Muslihat Maya

Senin (10.43), 23 Maret 2020

---------------------------

“Rafka, Maya mencarimu. Kau disuruh datang ke ruangannya.”

Rafka menatap malas wanita yang juga berprofesi seperti dirinya. Setelah menyampaikan pesan dari Maya, wanita itu langsung berbalik meninggalkan Rafka.

Rafka mengecek ponselnya. Dia masih punya waktu dua puluh menit sebelum Rena datang. Setelah mendesah malas Rafka bangkit lalu berjalan menyeruak kerumunan menuju ruangan Maya.

Rafka sama sekali tidak tertarik menemui Maya. Tapi di satu sisi Rafka tidak ingin terkena masalah jika membangkang. Wanita itu sejenis ular yang tidak segan-segan memanipulasi kelemahan orang lain demi mendapat keinginannya.

Tanpa mengetuk Rafka langsung masuk ke ruang kerja Maya. Kursi di balik meja besar yang biasa ditempati Maya kosong. Rafka masuk ke ruangan lain yang menjadi satu dengan ruang kerja Maya. Ruang yang baru saja dimasuki Rafka merupakan kamar yang didominasi ranjang kingsize di satu sudut. Sebuah lemari, mini kulkas, meja rias, sofa, dan seperangkat home teater memenuhi ruangan tersebut. Mungkin sebutan apartemen lebih cocok untuk ruang itu daripada kamar. Meskipun Maya memiliki rumah yang cukup besar, wanita itu lebih banyak menghabiskan waktunya di ruangan ini.

Kamarnya juga kosong namun ada suara air mengalir dari kamar mandi. Rafka tidak punya waktu untuk menunggu wanita itu. Rafka berbalik untuk pergi, mendadak pintu kamar mandi terbuka. Rafka kembali berbalik. Maya tersenyum senang melihat dirinya.

“Kau mencariku?” tanya Rafka dingin.

“Duduklah sebentar. Aku harus memasukkan benda-benda ini dulu supaya besok tidak lupa.” Maya mengangkat tangannya untuk menunjukkan perlengkapan mandi pada Rafka.

Saat itulah Rafka sadar ada dua tas besar di dekat meja rias Maya.

“Aku harus pergi keluar kota selama empat hari. Ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan.”

Aku tidak peduli, geram Rafka dalam hati.

“Aku sudah memintamu duduk. Kenapa masih berdiri di situ?”

“Langsung saja, Maya! Kenapa kau memintaku ke sini?” Rafka mulai kesal.

Maya terkekeh sambil berjalan santai ke hadapan Rafka. “Aku harus berangkat besok pagi-pagi sekali. Jadi aku ingin malam ini kau menemaniku.”

Kedua tangan Rafka mengepal. Seandainya orang di hadapannya adalah laki-laki, dia pasti langsung menghajarnya habis-habisan. “Kau tahu, kan? Ini malam minggu. Aku sudah punya klien.”

Maya meletakkan kedua telapak tangannya di dada Rafka. “Sayangnya, wanita itu harus kecewa malam ini.”

Jemari Maya mulai melepas kancing kemeja Rafka satu-persatu. Rafka segera memegang kedua pergelangan tangan Maya.

“Hentikan, Maya! Bertahun-tahun aku sudah menuruti semua perintahmu. Aku sudah menjadi seperti yang kau inginkan. Aku menjual tubuhku. Membiarkan orang lain menghinaku, merendahkanku. Apa bagimu semua itu belum cukup?”

“Aku juga tidak suka melihatmu harus menjual diri.”

Rafka menyeringai sinis. “Benarkah?”

“Tentu saja.” Maya melepaskan salah satu tangannya dari genggaman Rafka lalu meletakkannya di pipi Rafka. “Menikahlah denganku dan kau tidak perlu bekerja seperti ini lagi.”

Mata Rafka membelalak. Bibirnya terbuka tidak percaya. “Apa kau sadar dengan ucapanmu? Bagaimana bisa kau memintaku menikah denganmu?” Rafka menyingkirkan tangan Maya lalu mundur. “Aku sudah muak dengan semua ini.”

Ketika Rafka hendak berbalik, Maya mencekal lengan atas Rafka. “Kau mau kemana? Mau kembali kepada wanita itu?” Maya terkekeh. “Aku tidak tahu apa alasan wanita itu mencarimu. Tapi kulihat kelakuan kalian seperti orang yang sedang menjalin hubungan asmara. Kenapa, Rafka? Apa kau pikir wanita seperti Rena bisa menerimamu? Bagaimana kalau dia tahu seperti apa sebenarnya kehidupanmu di sini? Tentang hubungan kita? Apakah wanita itu masih bisa melihatmu dengan tatapan penuh cinta?” Maya menyeringai. “Pikirkan, Rafka! Lebih baik kau yang meninggalkan wanita itu daripada dia yang meninggalkanmu dengan tatapan jijik.”

“Apa yang kau bicarakan? Aku hanya bekerja seperti biasa. Kaulah yang memaksaku untuk menerima Rena sebagai klienku.”

“Kau pikir aku tidak tahu.” Maya menyeringai. “Tidak ada seorangpun yang mengenalmu lebih baik dariku. Aku tahu kau menjalin hubungan asmara dengan wanita itu.”

“Bicaramu melantur, Maya.” Rafka mulai geram. “Terserah apapun yang kau pikirkan. Aku akan menemui klienku sekarang.”

“Ide bagus. Kita temui wanita itu sekarang lalu aku akan menceritakan semua. Kuharap Rena bisa tahan dari badai pertama yang akan kuberikan. Karena pasti permainannya jadi lebih seru. Tidak seperti gadis mungilmu itu. Hanya karena satu masalah, dia sudah tumbang.”

Mata Rafka berkilat marah. Dengan geram lelaki itu mendorong Maya ke atas ranjang. Tubuh Rafka menindih Maya. Kedua tangannya melingkari leher wanita itu, siap mencekik.

Maya terkekeh. “Kenapa berhenti?” dengan santai Maya mengalungkan kedua lengannya di leher Rafka. “Kau tidak bisa membohongi hati kecilmu, Rafka. Sebesar apapun kau membenciku, rasa cintamu padaku jauh lebih besar.”

"Ya, aku memang menyayangimu. Tapi kau salah mengartikan perasaanku. Dan dengan egois kau memanfaatkan hal itu." Air mata Rafka menetes di wajah Maya. “Sejak pertama melihatmu, bagiku kaulah malaikatku. Sampai detik inipun perasaanku tidak berubah. Kumohon, Maya. Hentikan semua ini! Aku ingin hidup bahagia bersamamu seperti dulu.”

Jemari Maya menghapus air mata di wajah Rafka. “Dunia sudah berubah. Aku hanya mengikuti perubahan itu. Berhenti melihat ke belakang.” Maya mendesah lalu tersenyum tipis. “Putuskan hubunganmu dengan wanita itu. Sebagai gantinya aku berjanji tidak akan mengganggunya.”

Maya menarik wajah Rafka mendekat. Wanita itu mencium bibir Rafka dengan bergairah.

Rafka mengerang putus asa. Dengan batin terluka, perlahan Rafka menutup hatinya dan mengunci semua perasaannya. Dia harus mengimbangi Maya agar semua siksaan ini segera berakhir.

***

Rena duduk di kursi bar dengan lelah. Dia sudah mengelilingi seluruh bagian Fly Club namun tidak bisa menemukan Rafka. Biasanya dia tidak perlu mencari. Rafka lah yang menemuinya.

“Mau minum apa, Nona?”

Rena menatap bartender yang berdiri di balik meja bar. “Oh, kurasa, air putih saja.”

Bartender terkekeh. “Tidak mau mencoba minuman yang lebih kuat?”

Rena menggeleng. “Tidak, terima kasih.”

Si bartender menuang segelas air putih lalu memasukkan es batu. “Ini minumanmu. Ada lagi yang kau butuhkan?”

“Tidak.” Sejenak Rena meneguk minumannya. “Apa anda tahu dimana Rafka?” Rena bertanya pada bartender tadi.

“Tadi aku melihatnya duduk di sofa sana.” Bartender itu menunjuk. “Tidak tahu kemana sekarang.”

Rena mendesah kecewa lalu kembali meminum air es di gelasnya.

“Apa Anda Nona Rena?”

Rena menoleh ke arah suara. Seorang lelaki berbadan seperti binaragawan berdiri di sampingnya. “Iya. Ada perlu apa?”

“Anda pasti mencari Rafka. Dia ada di lantai atas. Saya akan mengantar Anda menemuinya.”

Mata Rena berbinar. “Tentu saja.”

Lelaki itu berbalik lalu berjalan menjauh. Rena bergegas mengikuti lelaki itu.

Melalui pintu khusus staf, mereka berjalan menyusuri lorong yang terdapat banyak pintu di kanan kirinya. Suara musik mulai tidak terdengar dari tempat itu.

Rena berdehem untuk menarik perhatian lelaki di depannya. “Banyak sekali pintu di sini. Ruang apa saja ini?”

“Semua ini adalah kamar yang bisa disewa pelanggan.”

“Tapi kenapa tertulis ‘khusus staf’?”

“Agar tidak sembarang orang bisa masuk.” Jelas lelaki itu jengkel. “Diamlah! Kau cerewet sekali.”

Rena mencibir kesal. Sombong sekali, pikirnya.

Di ujung lorong mereka menaiki anak tangga. Mereka sampai di ruangan yang cukup luas dan terdapat banyak sofa. Menurut Rena tempat itu seperti ruang bersantai bagi keluarga besar.

Lelaki itu berbelok lalu mereka sampai di depan sebuah pintu dari kayu mahoni yang diukir indah. Lelaki itu membuka pintu lebar-lebar tapi tidak beranjak masuk.

“Aku hanya mengantarmu sampai disini. Terus saja masuk melalui pintu sebelah kiri di samping lemari arsip. Rafka ada di dalam.”

Rena tersenyum. “Terima kasih.”

Setelah lelaki itu meninggalkannya, barulah Rena masuk. Rena yakin ruangan itu adalah ruang kerja. Rena mengernyit ketika melihat beberapa foto Maya tergantung di dinding.

Mungkin ini ruang kerja mucikari itu, pikir Rena.

Rena menoleh ketika terdengar suara desahan seperti orang yang sedang bercinta. Entah kenapa jantung Rena seperti berhenti berdetak. Dengan ragu Rena berjalan menuju pintu di samping lemari arsip. Pintunya tidak tertutup. Pandangan Rena langsung terpaku pada dua sosok tanpa busana di atas ranjang.

Rena tidak bisa membendung air matanya yang mendadak tumpah. Hatinya sakit. Sangat sakit. Rena memaksa kakinya untuk berbalik, namun ia seperti membeku di tempat.

Rafka.

Rena yakin hanya menyebut nama itu dalam hati. Namun mendadak Rafka menoleh seolah merasakan kehadirannya. Mata Rafka membelalak. Wajah lelaki itu memucat.

Seperti mendapat kekuatan, Rena berbalik lalu berlari keluar. Dia tidak sanggup lagi melihat mereka.

Rafka yang melihat Rena berlari keluar berusaha menarik dirinya dari dekapan Maya. Namun Maya menahannya. Rafka menatap Maya dengan marah. “Kau sengaja melakukannya, kan?”

Maya menatap Rafka tajam. “Kalau kau meninggalkanku sekarang dan menemuinya, aku bersumpah akan membuat wanita itu menderita.”

Tangan Rafka mengepal kuat lalu dia menghantam dinding di sisi ranjang.

Maya segera meraih tangan Rafka yang buku jarinya memerah lalu menciumnya. “Maafkan aku, sayang.”

Rafka hanya memejamkan mata dengan frustasi ketika Maya menarik tubuh Rafka dalam pelukannya.

-----------------------

♥ Aya Emily ♥

Terpopuler

Comments

Maria Magdalena Indarti

Maria Magdalena Indarti

lho maya bukannya ibu Rafka krn adiknya Ratna anak maya.

2023-08-19

0

ati

ati

penasaran siapa sih Maya ini

2021-10-26

1

VanillaQueens

VanillaQueens

marahnya aku baca cerita part ini

2021-08-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!