Senin (12.02), 23 Maret 2020
---------------------------
Maya menggebrak meja dengan keras membuat kelima anak buahnya semakin menunduk. “Dasar bodoh! Kalian sungguh tidak berguna! Hanya mencari satu orang saja kalian tidak becus!”
Salah seorang yang bertindak sebagai pemimpin mengangkat kepala. “Tapi bos, kami sama sekali tidak memiliki petunjuk.” Dia berusaha membela diri.
“Memangnya kalian detektif yang butuh petunjuk? Cari saja Rafka sampai ketemu!” suara Maya semakin lantang. Matanya berkilat penuh amarah.
Anak buahnya saling melirik bingung. Tapi mereka memilih diam karena tidak mau kena damprat.
“Sedang apa kalian masih di sini? Cepat pergi dan jangan pernah kembali sebelum menemukan Rafka. Kalau tidak aku akan menjadikan kepala kalian sebagai hiasan dinding Fly Club.” Maya kembali membentak.
Anak buah Maya bergegas keluar tapi mendadak wanita itu kembali berteriak. “Tunggu! Sebelum kalian pergi, cari Alan dan suruh dia segera menemuiku!”
Kelima orang itu hanya mengangguk lalu segera berhamburan keluar ruangan Maya.
Maya menyandarkan tubuh di kursinya sambil berusaha menenangkan diri. Nafasnya memburu karena panik dan amarah. Maya takut kehilangan lelaki itu. Dia tidak mau kehilangan Arman untuk kedua kalinya.
Benaknya kembali melayang ke masa lalu. Hatinya begitu hancur ketika berita kematian Arman sampai padanya. Dia sudah berharap ikut mati bersama Arman. Tapi dia tidak mau menyerah. Bukan sifatnya untuk menyerah.
Maya dan Arman tumbuh besar bersama di panti asuhan. Bertahun-tahun mereka bersama, benih-benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Mereka jadi tidak terpisahkan. Tidak ada masalah yang tidak bisa mereka selesaikan bersama. Mereka telah menata masa depan dengan begitu sempurna.
Tapi takdir berkata lain. Arman meninggalkan Maya berjuang sendirian. Ijazah SMA Maya tidak berguna karena berbagai alasan, terutama karena saat itu dia sedang hamil empat bulan. Tiap hari dia berjalan kesana-kemari di bawah terik matahari untuk mengemis pekerjaan.
Lambat laun hati Maya mengeras. Dia mulai menyalahkan berbagai hal. Menyalahkan Arman yang telah meninggalkannya. Menyalahkan orang tua yang telah membuangnya. Menyalahkan Tuhan yang telah menggariskan takdir baginya. Terutama menyalahkan anak-anak yang membebaninya. Dia bahkan sangat membenci anak-anaknya. Ada kepuasan tertentu ketika melihat mereka menderita seperti dirinya, terutama si pembawa sial.
Ketika wanita penghibur tua itu menawarinya pekerjaan di dunia malam, Maya tidak banyak berpikir lagi. Dia langsung setuju. Saat itulah tujuan baru hidupnya mulai terbentuk. Dia tidak mau lagi menjadi orang miskin yang tertindas. Dia berambisi menjadi seorang wanita yang memiliki kuasa dan ditakuti. Maya bekerja siang malam untuk mengobati kekosongan dalam hatinya karena kehilangan Arman.
Tahun-tahun berlalu, dan impian Maya mulai menjadi nyata. Namun ternyata semua terasa hampa karena Arman tidak di sisinya. Hingga suatu hari dia melihat sosok Arman dalam diri seseorang.
Rafka.
Arman telah hidup dalam diri putranya. Maya tidak peduli meski dunia menentangnya. Meski takdir tidak mengizinkan. Tapi Maya yang sekarang sudah berbeda. Dia tidak akan lagi tunduk terhadap takdir. Dia akan memiliki Rafka. Dia akan hidup bahagia kembali bersama Armannya.
Tapi sekarang hati Maya diliputi rasa cemas dan takut. Rafka menghilang. Maya sudah mengerahkan seluruh kemampuan dan koneksinya untuk menemukan Rafka. Namun hasilnya nihil.
Pikiran Maya terus menerawang hingga dia tidak menyadari Alan telah masuk ke ruangannya dan berdiri dengan bingung.
Alan berdehem. “Maya, kau mencariku?”
Mendadak Maya menoleh dan pandangannya tajam kepada Alan. “Dimana Rafka?”
Alan mendesah. “Aku sudah menjelaskannya berulang kali padamu, Maya. Aku juga tidak tahu. Kau pikir aku tidak gelisah memikirkannya? Aku juga khawatir.”
“Penjelasanmu masih tidak masuk akal bagiku.” Ucap Maya dingin. “Kau pikir aku bisa percaya padamu dengan mudah? Aku tahu betapa setianya dirimu pada Rafka. Bukankah kau sangat peduli padanya? Aku yakin kau pasti tahu dimana Rafka bersembunyi.”
Alan mengusap pelipisnya dengan kesal. “Jadi maksudmu aku adalah orang paling bodoh sedunia? Kalau aku memang tahu dimana Rafka bersembunyi, kenapa aku harus kembali ke sini? Bukankah seharusnya aku ikut bersembunyi dengannya? Jadi menurutmu, apa alasanku kembali ke sini? Sebagai pengalih perhatian?” Alan kembali mendesah. “Silahkan menduga semaumu, Maya. Aku sudah mengatakan semua yang aku tahu.”
Maya terdiam untuk mencerna penjelasan Alan. Lelaki itu benar. Tidak ada alasan Alan tetap berada di sini jika bisa bersembunyi bersama Rafka. Maya tahu betapa Alan sangat menyayangi Rafka.
“Kau bilang Rafka mendadak pingsan karena sangat marah pada Freddy. Bagaimana bisa? Rafka bukan lelaki penyakitan yang bisa pingsan karena hal sepele.”
Alan mengalihkan pandangan dari Maya. Lelaki itu bingung bagaimana menjelaskan kondisi Rafka pada Maya.
“Apa yang kau sembunyikan, Alan?” Maya kembali bertanya dengan dingin.
Alan menatap Maya. “Selama enam tahun, Rafka hidup hanya dengan satu ginjal.”
Maya membelalak. “Apa maksudmu? Apa Rafka terserang penyakit tertentu?”
Alan mendesah. “Rafka mendonorkan satu ginjalnya untuk penderita gagal ginjal. Dokter sudah mengingatkan dirinya untuk tidak stres. Tapi yah, masalah yang menghampiri Rafka datang bertubi-tubi. Aku hanya berharap, dimanapun Rafka berada saat ini, dia dalam kondisi sehat baik fisik maupun mental.”
Maya memperhatikan wajah Alan dengan teliti, berusaha menemukan kebohongan dalam matanya. Tapi yang Maya lihat hanyalah kesedihan karena kehilangan seseorang. Benarkah itu yang terjadi pada Rafka?
Mendadak tangan Maya gemetar. Rasa panas menusuk belakang matanya. Dia tidak mau kehilangan lagi. Kenapa takdir selalu berusaha memisahkan dirinya dari orang yang dicintainya?
“Pergilah!” suara Maya nyaris seperti bisikan.
Alan mengangguk singkat lalu keluar.
Maya meremas tangannya sambil berusaha menghentikan air matanya agar tidak mengalir. Dia tidak akan menyerah. Tuhan sekalipun tidak akan bisa menghalanginya memiliki Rafka. Maya pasti bisa menemukan lelaki itu walau harus mencari ke ujung dunia.
***
“Waktu itu aku kaget ketika mendengar Rafka berteriak di belakangku. Dia sangat marah mendengar pembicaraan kita di telepon. Lalu Rafka berusaha menyerangku namun temannya menghalangi. Detik berikutnya mendadak Rafka pingsan.” Freddy mendesah. “Paramedis yang sedang berusaha memindahkan mayat wanita itu langsung datang memberi pertolongan. Setelah itu aku kembali melanjutkan pekerjaanku. Sekitar lima belas menit kemudian, teman Rafka berkeliling menanyai semua orang yang ada di situ tentang keberadaan Rafka. Aku tidak memperhatikan karena itu bukan bagian dari tugasku.” Freddy meraih tangan Maya yang mengepal. “Kalau aku tahu kau akan sekalut ini, saat itu juga aku pasti akan berusaha mencari Rafka.”
“Seharusnya waktu itu aku tidak membiarkan Rafka pergi.” Maya memegang kepalanya yang mulai berdenyut. “Yang kuinginkan saat itu hanyalah kematian wanita yang telah menghancurkan hubungan kami.”
“Meskipun aku hanya bertemu Rafka sebentar, aku bisa melihat bahwa dia lelaki yang kuat. Kalau yang kau takutkan Rafka melakukan sesuatu yang nekat seperti bunuh diri, itu tidak mungkin terjadi.”
“Aku baru mengetahuinya.” Suara Maya serak. “Rafka hidup hanya dengan satu ginjal. aku sungguh takut terjadi sesuatu padanya.”
Mata Freddy membulat kaget. “Sungguh? Padahal dia terlihat sehat.” Freddy mendesah. “Sabarlah, Maya. Rafka pasti akan segera kembali padamu.”
“Kenapa takdir selalu mempermainkanku?”
Freddy memilih tidak menjawab. Dia menepuk bahu Maya untuk menenangkan wanita itu.
***
Jam enam pagi di Fly Club sama seperti jam dua belas malam di tempat lain. Seluruh ruangan di Club kosong. Pegawainya sudah pulang ke rumah masing-masing, kecuali sang pemilik. Maya lebih suka tidur di kamar yang menjadi satu dengan ruang kerjanya di lantai dua Fly Club. Tapi sejak tadi malam, wanita itu belum pulang. Dia pasti sangat panik karena kehilangan Rafka.
Lelaki itu berdiri di tengah ruangan sambil menyeringai menatap seluruh bagian Fly Club. Sebentar lagi tempat itu akan menjadi miliknya. Sekarang dia sedang membayangkan mengubah seluruh bagian Fly Club sesuai keinginannya.
Perlahan lelaki itu berjalan menuju pintu khusus staf. Dia memperhatikan pintu-pintu kamar di sepanjang lorong. Dia tidak suka ruangan itu. Terkesan membuang-buang tempat dan merusak pemandangan. Dia harus memikirkan untuk mengubah ruangan itu menjadi seperti apa.
Lelaki itu terus berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Dengan santai dia membuka pintu ruang kerja Maya yang tidak pernah terkunci. Wanita itu selalu berpikir tidak akan ada seorang pun yang berani mencuri darinya. Tanpa kuasa, tentu saja tidak akan ada yang berani. Berbeda dengan lelaki itu. Dia memiliki sesuatu yang tidak akan pernah diduga Maya.
Dengan satu tangan di dalam saku celananya, lelaki itu menyusuri lemari arsip. Dia mengambil beberapa dokumen dan melemparkannya ke atas meja. Setelah selesai, lelaki itu berjalan santai ke balik meja lalu menghempaskan diri di kursi Maya. Kakinya di tumpangkan ke atas meja. Satu-persatu dibacanya dokumen itu.
Sepuluh menit berlalu, dia sudah memilih beberapa dokumen yang dibutuhkannya lalu mengembalikan sisanya ke tempat semula. Sambil bersiul senang, lelaki itu pergi meninggalkan ruangan Maya.
-----------------------
♥ Aya Emily ♥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
APA FREDY YG MMBUNUH RENA, ATAU ORG2 SURUHAN MAYA,, FREDY INI BAD COP ATAU GOOD COP, KLO BAD COP, PERSIS FREDY SAMBO TU SI FREDY INI..
2023-03-08
0
Ulif Yuhanna
karena kamu juga selalu menentang takdir dengan berbuat jahat Maya. Freddy tersenyum miris melihatnya 😏
2022-11-08
0
Ulif Yuhanna
mungkin kamu juga bersekongkol Freddy 🤭🤭🤭
2022-11-08
1