Gadisnya

Jumat (22.44), 21 Februari 2020

----------------------------

“Apa kau ingin aku menolak wanita itu untuk malam ini?”

Rafka mendongak menatap Maya yang—entah sejak kapan—berdiri di belakangnya. “Tidak perlu. Kau benar, wanita ini cukup menarik. Permintaannya juga tidak ada yang aneh. Dan aku mendapat tip yang lumayan besar.”

Maya menyeringai. “Itu bagus. Tadinya aku sedikit khawatir karena Rena tampak malu-malu dan gugup seperti remaja. Kuharap kau sudah mengatasinya.”

Rafka menuang whisky yang ada di meja di hadapannya, lalu meneguknya. Dahinya mengernyit merasakan cairan itu menuruni kerongkongannya. “Dia baru pertama kali datang ke tempat seperti ini. Dia pasti takut ketahuan suaminya.”

“Sebenarnya aku sedikit penasaran apa pekerjaan suaminya hingga harus meninggalkan istrinya yang cantik tiap akhir pekan.”

Salah seorang penjaga pintu Fly Club mendekati Maya lalu membisikkan sesuatu. Maya mengangguk lalu kembali menatap Rafka. “Oke, sayang. Nikmati akhir pekanmu. Aku harus pergi.”

Rafka menghembuskan nafas lega begitu wanita itu menjauhinya.

“Rafka, kau terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.”

Rafka menoleh menatap sahabatnya, Alan, yang sedang duduk bersandar di sofa melingkar di sampingnya. “Memangnya apa yang bisa kusembunyikan?” Sekali lagi Rafka meneguk minumannya.

Alan memperhatikan Rafka dengan tajam. “Aku bukan Maya. Aku sahabatmu. Kau tahu tidak ada orang yang lebih mengenalmu selain diriku.”

Rafka terkekeh, “Romantis sekali.”

Alan mengabaikan komentar Rafka. “Jadi, si Rena ini, ada apa dengannya?”

Rafka menunduk menatap gelas di tangannya. Bibirnya melekuk membentuk senyuman. “Gadis itu memintaku untuk menjadi kekasihnya.”

Alan mengangkat sebelah alis. “Bukankah memang seperti itu tugas kita? Menjadi kekasih wanita-wanita yang kesepian di tinggal suaminya.”

Rafka mendengus kesal. “Kau tidak dengar? Aku bilang ‘gadis’. Rena baru lulus kuliah dan dia belum menikah.”

Alan menegakkan tubuhnya. “Jadi maksudmu kau pria pertamanya? Ketika kalian berhubungan minggu lalu dia masih perawan?”

Rafka menarik telinga Alan hingga membuat lelaki yang lebih tua darinya itu mengerang. “Aku kekasihnya. Sepasang kekasih tidak harus berhubungan badan!”

Alan berhasil melepaskan diri lalu menjauh dari Rafka. “Bagiku terdengar seperti ‘ada udang di balik batu’.”

“Rena bukan gadis seperti itu!”

“Benarkah? Bagiku semua wanita seperti itu.”

Rafka menatap Alan dengan pandangan tidak suka.

“Astaga, Rafka!” erang Alan. “Enam belas tahun kau hidup di dunia malam dan kau masih belum mempelajari sesuatu? Semua wanita yang berani menginjakkan kaki di tempat seperti ini, tidak pantas kau percayai.”

Rafka mendelik memperingatkan Alan lalu menatap sekeliling untuk memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka.

“Tenang saja. Suara musik terlalu bising. Lagipula sebagian besar pengunjung disini sudah kehilangan setengah kesadaran mereka.”

“Aku tidak ingin mencari masalah dengan Maya.”

“Ya, ya. Kau...”

Tiba-tiba Rafka bangkit. “Itu Rena. Aku harus pergi sekarang.” Rafka mengenakan jaketnya lalu beranjak pergi.

“Kau tidak mau mengenalkanku padanya?”

Rafka mengabaikan pertanyaan Alan. Dia segera menghampiri Rena yang tampak berusaha menemukan dirinya. Begitu melihat Rafka mendekat, Rena tersenyum lebar menampakkan seluruh giginya yang terawat. Seketika, perasaan ingin memeluk gadis itu begitu kuat menghantam dirinya.

“Hai,” sapa Rena masih dengan senyum lebarnya.

“Hai. Ayo langsung pergi dari sini.”

Rafka merangkul bahu Rena dan membantu gadis itu menyeruak kerumunan. Malam minggu merupakan malam tersibuk di Fly Club. Rafka cukup senang berkat Rena dirinya bisa bebas dari kesibukan malam minggu Fly Club yang melelahkan.

Di lapangan parkir Fly Club, Rena menyerahkan kunci mobilnya pada Rafka. “Bisakah kita langsung ke rumahku?”

Rafka membukakan pintu mobil untuk Rena. “Kenapa?”

“Minggu lalu kau tidak sempat mencicipi masakanku karena kita terlalu sering keluar. Sebelum kesini aku sudah menyiapkan beberapa masakan. Kau mau, kan?” pinta Rena manja.

Rafka tidak bisa menahan diri lagi. Diangkatnya dagu Rena lalu diciumnya bibir gadis itu. Gadisnya.

Ya, gadisnya!

Gadis kecil ini miliknya. Setidaknya selama mereka bersama.

Ketika Rafka menjauhkan diri, nafas mereka berdua tersengal-sengal.

Senyum Rafka merekah. “Sepertinya kau sudah menguasai teknik yang kuajari minggu lalu.”

Wajah Rena memerah. Dia ingat dengan jelas apa yang mereka lakukan minggu lalu sebelum Rafka pergi. “Rafka!” Rena menegur lelaki itu dengan manja.

Rafka terkekeh lalu sekali lagi memberikan kecupan singkat di bibir Rena sebelum berkata, “Ayo, masuk!”

Setelah mereka di dalam mobil, suara guntur tiba-tiba menggelegar.

“Sayang, keinginanmu tepat. Kurasa kita tidak bisa pergi keluar.” Rafka menatap Rena dengan senyuman nakal. “Mungkin kita bisa melanjutkan pelajarannya.”

“Rafka!” seru Rena, tapi kemudian gadis itu terkikik geli.

Rafka memundurkan mobil lalu melaju keluar Fly Club.

“Astaga!” mendadak Rena berseru. “Tadi kita berciuman seperti itu di lapangan parkir?”

Rafka terbahak. “Kau tidak sadar?”

Gadis itu menggeleng malu.

“Jangan khawatir. Yang kita lakukan tadi masih termasuk sopan di Fly Club. Kau mau dengar seperti apa yang tidak sopan itu?”

“Tidak!” sekali lagi Rena berseru membuat tawa Rafka makin meledak.

***

“Rena, yakin tidak butuh bantuanku?” Rafka bertanya untuk yang kesekian kalinya.

Lelaki itu sedang duduk sambil bertopang dagu di kursi dapur. Pandangannya begitu intens mengikuti gerakan Rena.

“Kau cerewet sekali.”

Rafka menggertakkan gigi. Baru sepuluh menit sejak gadis itu menyuruhnya duduk diam. Tapi Rena tidak mengerti. Rafka butuh bergerak untuk menghilangkan ketegangan yang tiba-tiba menguasai dirinya.

Di mata Rafka gadis itu seperti menari. Pinggulnya yang dibalut jins ketat bergoyang mengikuti langkahnya. Seluruh tubuh Rena bergerak dengan tarian sensual, dan Rafka sudah nyaris meledak.

Rafka berdiri lalu berjalan tergesa ke lemari es. Dia menuang segelas air dingin lalu meneguknya dengan cepat, berharap air dingin itu bisa meredakan gairahnya yang mendadak bangkit.

“Tidak bisakah kau menunggu lima menit lagi?” Rena menatap Rafka sambil berkacak pinggang.

“Kau lama sekali. Aku sudah sangat lapar.” Tapi bukan lapar makanan.

“Kalau kau berkeliaran seperti ini aku jadi tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaanku.” Ucap Rena malu-malu.

Sikap Rena malah membuat tubuh Rafka makin menegang. “Baiklah, lima menit.” Rafka kembali duduk di tempatnya semula.

Setelah ini aku harus berendam air es, pikirnya sambil meringis.

Rafka semakin gelisah ketika Rena mulai menghidangkan makanan di hadapannya. Kaos yang dikenakan Rena sedikit longgar dan tebal. Bagian atasnya menutup hingga garis leher. Pakaian yang lebih dari sopan untuk dikenakan saat kuliah. Namun Rafka tetap tidak dapat menahan imajinasinya yang berkelana liar.

Dirinya sendiri kaget dengan perasaannya. Semua yang berhubungan dengan Rena di luar kebiasaan. Cara Rena memperlakukannya dan sikap gadis itu padanya. Mungkin itulah yang menyebabkan semua perasaan aneh ini muncul.

Bagi Rafka, minggu ini merupakan minggu terpanjang dalam hidupnya. Rafka sungguh tidak sabar menunggu datangnya akhir pekan berikutnya. Dan kalau boleh jujur, dia merindukan gadis itu. Padahal sebelumnya Rafka tidak pernah merindukan kliennya.

Sekarang lihat dirinya. Duduk gelisah karena bergairah terhadap gadis satu ini. Kemarin malam Rafka sudah bersama dua wanita secara bergantian dalam satu malam dan dirinya juga termasuk lelaki yang sangat sulit bergairah jika tidak diawali dengan foreplay yang panjang. Jadi, ada apa dengan dirinya sekarang?

“Rafka, kau baik-baik saja?” jemari halus Rena menyentuh pipi Rafka, membuat lelaki itu terperanjat. “Kau terlihat gelisah.”

Rafka berusaha tersenyum. Dia menoleh sedikit untuk mengecup jemari di pipinya. “Aku hanya sedikit lelah. Apa kita bisa makan sekarang?”

“Tentu. Kau harus memakan semuanya.”

Rafka tersenyum lalu mulai menikmati hidangan.

“Bagaimana rasanya?” tanya Rena dengan antusias setelah Rafka memakan beberapa suap.

“Lumayan.” Sahut Rafka acuh.

“Hanya seperti itu?”

“Rafka menelan sejenak lalu berkata, “Kau beruntung. Itu jawaban yang jujur. Padahal aku sudah menyiapkan kata-kata manis kalau ternyata masakanmu menyedihkan.”

“Rafka!”

Rafka terbahak. “Jangan berteriak. Teriakanmu akan mengundang suara guntur.”

Selesai berkata seperti itu, suara guntur menggelegar diikuti guyuran deras hujan.

“Apa kubilang.”

“Kau menyebalkan.”

“Memang.” Rafka kembali menyantap makanannya.

“Oh, astaga!” tiba-tiba Rena bangkit. “Jemuranku!”

Rafka kembali terbahak melihat Rena lari terbirit-birit menuju pintu dapur yang terhubung dengan halaman belakang. Segera Rafka menghabiskan makanan di piringnya lalu bangkit untuk melihat Rena. Rafka menyandarkan bahu di ambang pintu dan bermaksud kembali menggoda gadis itu. Namun pemandangan di hadapannya membuat dirinya tertegun.

Tubuh Rena basah kuyup akibat guyuran hujan. Kaosnya yang basah menempel ketat di tubuh Rena. Rafka bisa melihat lekuk tubuh gadis itu.

Sebelah tangan Rena menggenggam jemuran basah. Tangan yang lain berusaha menjangkau jemuran yang lebih tinggi. Akibatnya kaos yang dikenakan Rena terangkat dan sedikit menampakkan perutnya.

Rahang Rafka menegang. Semburan gairah yang lebih dahsyat dari sebelumnya menghantam dirinya. Nafasnya memburu. Seluruh tubuhnya terasa panas.

Perlahan lelaki itu turut menembus tirai hujan menghampiri Rena.

Rena menoleh dan mendapati Rafka sudah berdiri di sampingnya dengan air menetes-netes di wajahnya. “Apa yang kau lakukan? Masuklah! Aku akan selesai sebentar lagi.”

“Percuma saja. Kau harus mencuci lagi pakaian-pakaian itu.”

Rena menunduk menatap kain basah di tangannya. “Kau benar.”

Dengan jari telunjuknya Rafka mengangkat dagu Rena. “Jatuhkan saja!” perintah Rafka dengan suara serak.

Rena bisa melihat dengan jelas mata Rafka yang berkilat penuh gairah. Entah kenapa tubuhnya menjadi hangat di bawah guyuran hujan. Bibirnya terbuka karena nafasnya terengah. Seperti dihipnotis, Rena menjatuhkan kain basah di tangannya. Matanya tidak bisa berpaling dari mata Rafka.

Perlahan Rafka menunduk. Sentuhan awal bibir mereka sangat lembut lalu semakin menuntut, membuat tetes hujan berbaur dalam ciuman mereka.

Beberapa saat kemudian, Rafka menjauhkan diri. Kedua tangannya berada di sisi kepala gadis itu. “Rena, ini kesempatan terakhirmu untuk menolakku. Kalau kau tidak mau ini berlanjut, dorong aku menjauh sekarang.”

Mereka saling menatap dengan pandangan berkabut penuh gairah. Seulas senyum tersungging di bibir Rena.  Dengan sikap malu-malunya gadis itu mengalungkan lengan di leher Rafka. Dia mendekat, merapatkan tubuh mereka, menyatakan dengan jelas jawaban atas pilihan yang diberikan Rafka tanpa kata-kata.

-----------------------

♥ Aya Emily ♥

Terpopuler

Comments

Ulif Yuhanna

Ulif Yuhanna

kesian Rafka 🤣🤣🤣

2022-11-07

0

irish gia

irish gia

balik buat baca berkali kaliii

2021-11-16

2

sunshine

sunshine

lah otak rafka dah kemana mana 🤣

2021-07-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!