Senin (11.57), 23 Maret 2020
--------------------------
“Kenapa kau harus membawanya ke kamarmu?” Rafka mendesis di antara giginya yang terkatup rapat.
Alan hanya mengangkat bahu lalu berkata dengan enteng. “Jika ada yang melihatnya keluar dari kamarmu, itu aneh kan? Maksudku, Rena adalah klienku,” Alan buru-buru menambahkan ketika Rafka melotot. “lebih tepatnya berpura-pura sebagai klienku. Tentunya dia harus keluar dari kamarku.”
“Kenapa dia harus berpura-pura sebagai klienmu? Kenapa bukan sebagai klienku saja?”
Alan menggelengkan kepala sambil menepuk bahu Rafka sok wibawa. “Kecemburuan telah membutakanmu, kawan. Kau sedang diawasi. Semua yang bersamamu akan diperhatikan. Jika bersamamu, Rena tidak akan selamat keluar dari sini. Namun jika dia bisa, kau yang tamat. Dan ini bukan lelucon.”
Rafka menunduk lunglai mendengar kebenaran itu. Ketika dia mendongak, tatapannya bertemu dengan tatapan Rena. Sudah berapa lama gadis itu berdiri di sana?
Rena mendekat. Jemarinya menyentuh pipi Rafka dengan lembut. “Apakah dia membuatmu mendapat masalah?”
Rafka menggenggam jemari Rena di pipinya, menikmati kehangatan gadis itu sebelum melepaskannya. “Pergilah sebelum hujan kembali deras.”
Air mata Rena menggenang. Dia menyelipkan sesuatu dalam genggaman Rafka. “Kunci rumahku. Datang saja kapan pun kau mau.” Rena berjinjit lalu mengecup ringan bibir Rafka.
Selama beberapa saat gadis itu tetap menatap Rafka lalu berbalik menuju Alan yang sedang menunggu di ambang pintu. Sedikit perasaan kecewa terbersit di hatinya karena Rafka tidak mau berbagi penderitaan dengannya. Rena tidak menyangka bahwa Rafka juga akan mendapat masalah.
Lalu kenapa Rafka tidak juga meninggalkan tempat ini? Pertanyaan itu bergema di benak Rena, mengiringi langkahnya menembus gerimis di samping Alan. Rahasia menjijikkan apa lagi yang dimiliki wanita iblis itu yang berhasil menahan Rafka?
Rafka menatap punggung Rena yang menjauhinya dengan hati teriris. Dasar gadis bodoh, umpat Rafka dalam hati.
Bagaimana bisa dia masih mencintaiku setelah semua yang terjadi? Bahkan dia bersedia mengandung bayiku dan memintaku menikahinya. Kalau dia pintar, seharusnya dia menggugurkan bayi yang baru beberapa minggu itu lalu menikah dengan pria lain yang setara dengannya.
Rafka sungguh tidak bisa memahami Rena. Jangankan sekarang, teka-teki pertemuan mereka masih belum terjawab. Lalu, seorang bayi? Apa yang harus dia lakukan?
***
Apa yang harus dia lakukan?
Gadis mungilnya menangis. Rafka sudah memberinya susu dan menggendongnya, namun gadis mungil ini tidak berhenti menangis. Keringatnya membasahi kaos kusam yang dikenakannya. Sesekali Rafka melirik jam di atas pintu kamar. Sudah jam sebelas malam dan ibu belum pulang.
“Sshh, adikku yang cantik. Jangan menangis lagi.” Tangis gadis mungilnya semakin menjadi.
Mungkinkah aku membuat susu dengan takaran yang salah hingga perut adikku menjadi sakit? Pikir Rafka panik. Atau aku salah menggendongnya hingga dia kesakitan.
Sebuah isakan keluar dari bibir Rafka hingga dirinya sendiri kaget. Tanpa sadar bocah tujuh tahun itu juga menangis bersama gadis mungilnya. Ibunya pergi sejak sore dan dirinya sendiri lapar.
“Kakak mohon, berhentilah menangis. Kau membuat kakak menangis juga.”
Ketukan di pintu depan rumahnya membuat Rafka kaget. Dia bergegas menuju pintu depan, berharap itu ibunya. Namun ternyata yang mengetuk pintu adalah bibi Risma yang tinggal di sebelah rumah.
“Astaga, sayang. Dimana ibumu?” bibi Risma bertanya sambil meraih balita dua tahun itu dari dekapan Rafka.
“Dia pergi sejak sore.” Jawab Rafka sambil terisak.
“Oh sayang. Kenapa kau tidak keluar dan meminta tolong?” bibi Risma membuai balita itu dan berusaha memberinya susu seperti yang dilakukan Rafka sebelumnya.
“Sudah malam. Semua orang pasti tidur. Aku juga sudah menggendongnya dan memberinya susu, tapi dia tetap menangis.” Rafka sudah berhenti menangis tapi air matanya terus mengalir.
Bibi Risma membawa si kecil ke kamar lalu meletakkannya di ranjang. “Kalau begitu, popoknya harus diganti.”
Rafka memperhatikan bagaimana bibi Risma mengganti popok adiknya dengan lembut dan sabar. Ia banyak bicara kepada adiknya hingga tangisnya perlahan berhenti. Berbeda sekali dengan ibu yang melakukannya tanpa suara dan kasar.
Begitu popoknya diganti, gadis mungil Rafka perlahan terlelap.
“Rafka sudah makan?” bibi Risma bertanya sambil membelai pipi Rafka.
Bocah itu menggelengkan kepala sambil menyeka air matanya.
“Tunggu disini dan temani adikmu. Bibi akan ambilkan makanan.”
Rafka duduk di samping adiknya yang terlelap. Mata dan hidung gadis mungilnya memerah. Rafka ingin mencium gadis mungilnya, tapi khawatir membuatnya terbangun dan menangis lagi.
Tak lama kemudian, bibi Risma masuk lagi mengajak Rafka ke ruang makan. Mata Rafka berbinar melihat sepiring ayam goreng dan nasi juga semangkuk sup.
“Habiskan makanan ini lalu pergi tidur. Sebelum itu, kunci dulu pintu depan rumah setelah bibi keluar. Jangan biarkan siapapun masuk jika kau tidak mengenalnya. Kau mengerti kan, sayang?”
Rafka mengangguk dengan mantap. “Terima kasih, bibi.”
***
Rafka bergegas menuju pintu depan ketika mendengar ketukan.
Gadis mungilnya baru saja terlelap setelah Rafka membacakan kisah Cinderella. Dan sekarang Rafka sedang bersemangat akan sesuatu.
Rafka membuka pintu depan dan nyaris melonjak gembira melihat siapa yang datang.
“Ibu, Rafka ingin bertanya sesuatu.”
Maya mengabaikan ucapan putranya lalu bergegas menuju kamarnya. Seluruh tubuhnya letih namun Maya cukup puas dengan penghasilannya hari ini.
“Ibu tahu tidak? Beberapa teman Rafka membeli tas dan sepatu baru karena naik kelas.” Ujar Rafka sambil mengikuti ibunya.
“Hmm?” Maya duduk di depan meja riasnya lalu melepas sepatu hak tingginya.
Pikirannya melayang kepada klien keduanya malam ini. Pria itu yang paling tampan di antara keempat kliennya tadi. Tapi juga yang paling menyebalkan. Untung saja pria itu memberi banyak tips.
Merasa mendapat perhatian ibunya, Rafka melanjutkan dengan lebih bersemangat. “Rafka juga ingin sekolah seperti mereka. Tapi mereka bilang Rafka harus masuk kelas satu dulu karena tidak pernah sekolah.”
Sebulan lagi, pikir Maya sambil menghapus make-up tebal dari wajahnya. Dia sudah mengumpulkan uang selama bertahun-tahun. Dan kini dia memiliki peluang untuk mewujudkan mimpinya.
Sejak wanita penghibur tua itu menawarinya pekerjaan begitu anak keduanya lahir, Maya berambisi membangun sebuah club malam. Dirinya tidak perlu lagi menjajakan tubuhnya setiap hari seperti sekarang. Orang lain yang akan menjajakan diri dan dia hanya akan menerima uang.
“Ibu...” Rafka mengguncang bahu ibunya yang sedang melamun menatap cermin. “Ibu tidak mendengarkan Rafka.”
Maya berbalik menatap putranya sambil melotot. “Apa? Kau ingin sekolah?” Maya mengibaskan tangan di depan Rafka lalu kembali menghadap cermin dan melanjutkan membersihkan wajahnya. “Apa gunanya sekolah? Pada akhirnya kau tetap harus berebut mencari pekerjaan. Sekolah hanya tempat untuk menghabiskan uang.”
“Tapi aku akan punya banyak teman. Dan aku bisa belajar banyak hal.”
“Untuk apa semua itu?” Maya berdiri dengan geram. “Orang-orang yang kau sebut teman suatu saat akan menjadi musuhmu. Dan semua yang diajarkan oleh para penipu yang menyebut diri mereka guru hanya omong kosong saja.” Maya menuju pintu kamar lalu membukanya lebar-lebar, memberi isyarat agar Rafka keluar. “Jangan merecoki aku lagi. Dan jangan harap aku akan membuang uang meski satu sen saja untuk sekolah.”
Rafka keluar dari kamar ibunya dengan lesu. Semangatnya pupus sudah. Rasa panas menusuk matanya begitu pintu kamar dibanting di belakangnya. Rafka ingin keluar, berjalan-jalan di tengah malam ini hingga kesedihannya hilang.
Baru satu langkah, tatapannya bertemu dengan mata hitam gadis mungilnya. Gadis lima tahun itu berdiri di tengah ruangan. Rambutnya yang panjang hingga pinggang membingkai wajah cantiknya. Sebelah tangannya memeluk boneka panda yang dibelikan Rafka beberapa hari yang lalu.
Rafka segera menghampiri gadis mungilnya, berlutut di hadapannya. “Gadis mungil kakak, kenapa disini?”
“Ibu memarahi kakak, ya?” jari-jari kecil gadis itu membelai pipi kakaknya.
Rafka memasang ekspresi bingung yang lucu. “Tidak.”
Gadis kecil itu merengut. “Kakak bohong. Tadi ibu berteriak pada kakak. Ratna benci ibu.”
“Hei,” Rafka membingkai kedua sisi wajah Ratna. “Ratna tidak boleh bicara seperti itu. Ingat apa kata kakak? Ibu itu...”
“yang melahirkan kita.” Potong Ratna. Lengan montoknya yang tidak memeluk boneka merangkul leher Rafka. “Tapi Ratna benci orang yang jahat. Orang yang membuat sedih pangeran Ratna adalah orang jahat.” Bisik gadis kecil itu di telinga Rafka.
Tenggorokan Rafka tercekat karena kasih sayang tulus dari gadis mungilnya. Rafka berdiri sambil mengangkat Ratna dalam pelukannya. “Siapa pangeran Ratna?” tanya Rafka untuk mengalihkan perhatian gadis mungilnya.
Ratna menatap kakaknya dengan cemberut. “Tentu saja kakak. Lalu seperti di film Barbie, Ratna akan tumbuh besar dan menjadi putri cantik yang akan menikah dengan kakak.” Jari-jari montoknya membuat gerakan-gerakan lucu yang menggemaskan.
Rafka tertawa. Mencium pipi gadis mungilnya lalu menempatkannya di ranjang. Ratna meletakkan bonekanya di samping dan segera berbaring. Rafka menyelinap di sampingnya lalu menyelimuti mereka berdua.
“Jadi, cerita apa yang ingin Ratna dengar sekarang?” tanya Rafka sambil membelai rambut panjang gadis mungilnya.
Ratna bergeser, menelusup dalam pelukan kakaknya. Salah satu lengannya memeluk pinggang Rafka dan ia membenamkan wajahnya di dada sang kakak. “Ratna tidak mau dengar cerita apapun. Ratna akan tetap bangun kalau kakak turun dari ranjang.”
Rafka tersenyum. Kedua lengannya membalas pelukan gadis mungilnya, mendekap gadis itu di dadanya. “Kakak sangat menyayangi Ratna.” Ucap Rafka sepenuh hati, berharap gadis mungilnya mengerti arti kalimat itu.
“Ratna juga menyayangi kakak.” Balas Ratna dengan mengantuk.
Rafka membelai punggung gadis mungilnya dengan berirama, membuat gadis itu mulai terlelap. Benaknya teringat kejadian tadi di kamar ibunya. Hatinya terluka. Penolakan ibunya sangat menyakiti dirinya.
Rafka menoleh menatap gadis mungil yang menggeliat dalam pelukannya. Tangannya terus membelai punggung sang adik. Perlahan sudut bibir Rafka terangkat membentuk senyuman. Semakin lama semakin lebar. Matanya berkilat penuh tekad.
Tak apa walau dirinya tidak bisa sekolah. Tapi dia akan memastikan bahwa gadis mungilnya bisa sekolah dan menggapai semua impiannya. Kalaupun ibunya tidak mau membiayai, Rafka sendiri yang akan bekerja keras demi gadis mungilnya.
***
“Ratna mau hadiah apa tahun ini?”
Ratna mengalihkan pandangan dari televisi lalu mendongak menatap kakaknya. “Kue cokelat yang cantik dengan lilin angka delapan berwarna ungu dan hadiah kejutan.” Ratna tersenyum senang. Ia membetulkan posisi kepalanya di paha Rafka lalu kembali menonton film Barbie di televisi.
Rafka mengerutkan kening sambil terus membelai rambut sang adik. “Kita melakukannya setiap tahun. Ratna tidak ingin sesuatu yang lain? Misalnya pesta ulang tahun? Ratna bisa mengundang semua teman sekelas Ratna.”
“Tidak.”
“Hei,” Rafka memegang pipi Ratna, memaksa gadis itu menatap dirinya. “Kakak punya uang. Kalaupun kurang, kita bisa minta pada ibu.”
“Memangnya nenek sihir itu mau memberi kita uang?” bibir Ratna mengerut keras kepala.
“Ratna pikir darimana kakak dapat uang untuk mengurus kita berdua selama ini?” Rafka menjewer pipi adiknya dengan gemas. “dan seingat kakak, kakak tidak pernah mengajari Ratna memanggil ibu seperti itu.”
Ratna mendengus kesal, berbaring miring di kursi panjang yang mereka tempati sambil meraih kue di depannya, dengan sengaja menghindari tatapan Rafka. “Kalau nenek sihir itu memang memberi kakak uang, kenapa kakak tidak pernah sekolah? Kenapa kakak masih harus kerja dari pagi hingga sore di cafe?”
Rafka mendesah. Dia tidak mau menjelaskan bahwa ibunya memberi uang yang hanya cukup untuk keperluan mereka sehari-hari. Tidak ada uang lebih terutama untuk keperluan sekolah. Rafka tahu ibunya memiliki uang. Tapi setelah kejadian malam itu, Rafka tidak lagi mengungkit masalah sekolah. Dan tampaknya ibunya sengaja memberi uang pas agar mereka tidak sekolah sesuai keinginannya.
“Jadi, tentang pesta,” ucap Rafka untuk mengalihkan perhatian Ratna. “Ratna tetap tidak mau?”
Ratna menggeleng.
“Kalau ke taman hiburan seharian lalu malamnya kue dan hadiah?” bujuk Rafka. Rafka tahu adiknya menolak pesta karena tidak ingin menyusahkan dirinya. Tapi Rafka sangat ingin menyenangkan gadis mungilnya.
Ratna kembali menatap Rafka dengan mata berbinar. “Sungguh?”
“Tentu.” Jawab Rafka sambil mencubit hidung Ratna. “Kita bertiga akan bersenang-senang seharian.” Tambah Rafka hati-hati, khawatir dengan reaksi gadis mungilnya.
Binar di mata Ratna perlahan meredup. “Kalau nenek sihir itu ada di rumah pada hari ulang tahun Ratna, Ratna akan mengunci diri di kamar sampai esok harinya.” Ratna bangun lalu duduk di sebelah Rafka untuk menunjukkan kekesalannya. Pandangannya menuju televisi walau pikirannya melayang jauh dari situ.
“Sayang...”
“Ratna atau dia?” desis Ratna di antara giginya.
“Ratna yang sedang berulang tahun. Tentu saja kakak akan menghabiskan waktu bersama Ratna.”
“Dan kita merayakannya hanya berdua.”
Rafka mengusap pelipisnya yang berdenyut. Rafka tidak suka melihat ibu dan adiknya perang dingin seperti ini. Namun Rafka tidak bisa menyalahkan Ratna karena ibunya memang tidak pernah bersikap layaknya seorang ibu. Rafka hanya bisa pasrah dan berdoa agar mereka bisa berdamai.
***
“Gadis mungil, dimana kau?”
Rafka meletakkan kantong belanja yang dibawanya di atas meja dapur. Pemuda itu segera membuka kantong berisi es krim cokelat kesukaan Ratna, lalu memasukkannya ke dalam freezer sebelum mencair.
Rafka tersenyum bangga sambil mengeluarkan kotak kecil dari saku jaketnya. Isinya sebuah gelang cantik yang juga berfungsi sebagai jam tangan. Emas putih dengan taburan permata hijau. Bentuk dan warnanya seperti gelang monel yang di jual di toko aksesoris sehingga tidak terlalu mencolok jika dikenakan anak SMP.
Awalnya Rafka berniat membeli gelang ini sebagai hadiah ulang tahun gadis mungilnya yang kedua belas. Tapi uang yang dikumpulkannya untuk merayakan ulang tahun Ratna tidak cukup.
Rafka memasukkan kembali kotak yang dibungkus kertas kado dengan pita merah jambu itu ke saku jaketnya. Ia tersenyum mengingat pekerjaannya tadi di kantor. Tidak sia-sia dirinya mempelajari desain melalui internet selama bertahun-tahun. Sekarang ia bisa menikmati hasilnya.
Rafka keluar dari dapur menuju kamar Ratna. Biasanya Ratna selalu menyambut kedatangannya. Pemuda itu melirik jam tangannya. Masih jam tujuh malam. Mungkin hari ini dia kelelahan dan tidur cepat.
Dua minggu yang lalu bos Rafka mempercayakan sebuah proyek besar pada dirinya. Tadi Rafka berhasil membuat bosnya kagum. Setelah ini akan ada banyak proyek besar yang menantinya. Dirinya tidak perlu lagi khawatir dengan masalah keuangan. Ia bahkan sanggup untuk memanjakan gadis mungilnya.
Rafka membuka pintu kamar Ratna tanpa mengetuk lalu dia tertegun sesaat. Pemuda itu mengerutkan kening dengan heran melihat pakaian yang berserakan di lantai. Rafka masuk dengan perlahan lalu berhenti di samping ranjang yang juga seperti habis perang. Ratna sedang tidur membelakanginya. Seluruh tubuh gadis itu ditutup selimut hingga di bawah dagunya. Rambutnya tergerai di sekitar kepala.
Rafka mendesah sambil berkacak pinggang. “Ratna.” Panggil Rafka.
Ratna tidak merespon. Rafka tahu adiknya tidak tidur. “Apa Ratna marah pada kakak karena meninggalkan Ratna di hari libur? Sungguh, kakak minta maaf.” Masih tidak ada respon.
Sekali lagi Rafka mendesah. Perlahan senyum jahil tersungging di bibirnya. Rafka melompat ke atas ranjang di belakang adiknya lalu menggelitiki pinggang Ratna. “Kenapa gadis mungil ini? Apa dia marah pada kakak?”
Tetap tidak ada respon.
Rafka berhenti. “Sayang...” ucap Rafka sambil membelai rambut adiknya.
Ratna bergeser menjauh.
Kerutan di dahi Rafka semakin dalam. Ratna memang manja pada dirinya dan sering merajuk. Tapi dia tidak pernah benar-benar marah bahkan menjauhinya. Apalagi sampai mengamuk sambil membanting benda-benda. Ada yang aneh dengan sikap Ratna.
Rafka turun dari ranjang lalu memutar ke hadapan Ratna. Rambut panjangnya tergerai menutupi seluruh wajahnya. Rafka berlutut di sisi ranjang di depan Ratna, berusaha menyingkirkan helai-helai rambut yang menutupi wajah gadis mungilnya.
Mendadak Ratna bangkit lalu duduk diam dengan kaki ditekuk di depan dada. Kedua lengannya ditumpangkan di atas lutut. Wajahnya dibenamkan di atas lengannya.
Rafka tertegun dengan reaksi Ratna hingga dia tidak sanggup bergerak. Sebuah perasaan takut mencengkeram dadanya. Ada apa ini?
Rafka bangkit perlahan, duduk di samping Ratna dengan hati-hati seperti menghadapi hewan yang terluka. Pemuda itu menelan ludah karena panik. Dengan lembut, tangan Rafka membingkai kedua sisi kepala gadis mungilnya lalu mendongakkannya agar menatap dirinya. Rafka ternganga menatap wajah adiknya. Rafka sesak nafas dan rasanya seperti ada yang menikam jantungnya.
“Apa yang terjadi?” bisik Rafka.
Mata Ratna menolak menatap Rafka. Sebutir air mata menetes dari matanya yang sudah bengkak. Sudah berapa lama gadis mungilnya menangis?
Satu tetes diikuti tetes yang lain hingga akhirnya Ratna tersedu-sedu. Tenggorokan Rafka tercekat dan bernafas terasa berat. Didekapnya wajah gadis mungilnya. Tangis Ratna semakin menjadi. Mata Rafka terasa panas namun tidak ada air mata yang mengalir. Amarah yang menyala dengan cepat dari rasa sakit di jantungnya membuat dirinya tidak sanggup mengeluarkan air mata.
Siapa yang berani melakukan ini pada gadis mungilnya?
Rafka menunduk, membenamkan wajah di puncak kepala Ratna. Lalu sebuah kesadaran menyergapnya. Gadis mungilnya telanjang. Ratna tidak pernah tidur dalam keadaan telanjang. Tapi sekarang telapak tangan Rafka menyentuh punggung telanjang Ratna dan hanya selembar selimut yang menutupi bagian depan tubuhnya.
Telinga Rafka serasa berdengung ketika ia menoleh memandangi seluruh penjuru kamar. Ruangan yang biasanya rapi dan bersih kini kacau dengan seluruh barang berserakan.
Pakaian itu.
Baju kesayangan Ratna yang dia kenakan sebelum Rafka berangkat bekerja tadi pagi. Bayangan gadis mungilnya tadi pagi yang berdiri di pintu depan dengan wajah cemberut sambil meremas-remas pita ungu di pinggang bajunya, berkelebat di benak Rafka.
Oh, tidak. Tidak mungkin.
Rafka menjauhkan tubuh gadis mungilnya dan sekali lagi tangannya membingkai sisi wajah Ratna, memaksa sang adik menatap matanya.
“Apa yang terjadi?” tanya Rafka dengan ketenangan yang membuat kaget dirinya sendiri. Terlalu tenang dan dingin hingga terasa seperti suara orang asing. “Katakan pada kakak apa yang terjadi!”
Ratna juga merasakan perubahan sikap kakaknya. Seperti ada jiwa lain yang menempati tubuh kakaknya. Ratna ketakutan. Takut akan apa yang mungkin dilakukan kakaknya. Ratna melirik dada sang kakak, berharap bisa kembali ke sana. Tempatnya yang paling aman.
“Ratna, lihat kakak!” Ratna segera menatap Rafka kembali. “Kakak akan bertanya untuk terakhir kalinya. Apa yang terjadi?”
“Ibu...” desis Ratna lemah namun tidak dapat menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba Rafka bangkit lalu berderap keluar.
---------------------------
♥ Aya Emily ♥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Ulif Yuhanna
Masya Alloh Rafka 🥺🥺🥺
2022-11-08
0
April Lia
qu tu brharap ending x maya tu mati karna pnyakit yg trus²an mengerogoti tubuh x,, dngn rsa skit yg teramat sangat.😠😠
smpai maya sndiri yg mnginginkan kmatian tu dtang pda diri x,,,,,😬😬
atas blasan kekejaman x slma ini pda kdua anak kndung x😏😏
2021-06-16
1
Zaitun
kok bisa begitu seorang ibu
2021-02-19
1