Jumat (19.11), 20 Maret 2020
---------------------------
Rafka mondar-mandir dengan gelisah sambil sesekali melirik pintu masuk Fly Club yang semakin dipenuhi orang.
Sudah hampir jam setengah delapan namun Rena belum muncul juga.
Berbagai pikiran buruk memenuhi benaknya. Bagaimana kalau gadisnya itu kecelakaan? Atau mungkin dia dihadang gerombolan penjahat.
Rafka menyusurkan jemari panjangnya di antara helai rambut dengan frustasi. Seharusnya ia meminta nomor ponsel Rena. Bukankah itu yang dilakukan sepasang kekasih? Bertukar nomor ponsel dan saling memberi kabar.
Seseorang menepuk bahu Rafka dan meremasnya dengan bersahabat. Rafka menoleh dan pandangannya bertaut dengan mata hitam Alan. “Apakah ini karena Rena?”
Rafka mengusap wajahnya dengan frustasi. “Rena belum datang. Seharusnya dia sudah disini setengah jam yang lalu.”
“Ayolah, kawan. Mungkin dia terjebak macet atau masih ada urusan. Jangan gelisah. Kau tidak boleh stres.”
“Kenapa? Apa aku juga tidak diijinkan mencemaskan kekasihku?”
Alan mendesah. “Rafka, jangan bilang kau lupa bahwa sekarang kau hanya memiliki satu ginjal. Terakhir kali kau banyak pikiran akhirnya kau mimisan dan jatuh pingsan. Aku tidak suka melihatmu seperti itu.” Alan sedikit mendorong tubuh Rafka menuju sofa. “Tubuhmu tidak sekuat dulu lagi. Kau harus selalu ingat itu.”
Rafka menghempaskan diri di sofa. Matanya terus tertuju ke pintu masuk.
Alan berusaha mencari bahan pembicaraan untuk mengalihkan perhatian Rafka. “Ngomong-ngomong, apa kau tidak pernah bertemu lagi dengan keluarga itu?”
Rafka mengerti maksud Alan. “Tidak.”
Alan mendesah sok dramatis. “Kau itu bodoh atau apa? Seharusnya waktu itu kau tidak pergi begitu saja tanpa pamit. Bukankah keluarga itu sudah menjanjikan setengah dari kekayaan mereka untukmu? Kenapa tidak kau terima saja?”
Rafka menatap Alan dengan kesal. “Sudah berapa ratus kali kau menceramahiku seperti itu, hah?”
“Sampai kau memberi penjelasan yang masuk akal, aku akan terus melakukannya.”
“Kau sahabatku, Alan. Seharusnya kaulah yang paling mengerti diriku. Apa yang bisa kulakukan dengan uang sebanyak itu? Apa dengan harta berlimpah aku bisa bebas dari tempat ini?” Rafka menatap Alan dengan sedih. “Kau juga tahu itu tidak mungkin.”
Alan memalingkan wajah, tidak sanggup melihat kesedihan di mata sahabatnya. “Kau tahu, Rafka? Apa yang kupikirkan enam belas tahun yang lalu ketika aku juga menjadi saksi betapa kacaunya hidupmu?” Alan mendesah. Pandangannya terpaku pada berbagai botol minuman di atas meja. “Aku merasa akhirnya aku bertemu adik yang tidak pernah kumiliki. Aku ingin membawamu saat itu juga. Pergi jauh dari dunia malam. Tapi aku tahu kau tidak akan mau pergi. Karena itu aku tidak pernah mencoba.”
Rafka tersenyum ironis, “Aku senang kau tidak mencoba. Aku tidak bisa meninggalkan gadis mungilku.”
“Wah, lihat ini! Rafka masih di sini padahal ini malam minggu. Sepertinya malam ini adalah keberuntunganku.”
Rafka menatap dengan kesal wanita berpakaian merah darah itu. Rafka sungguh tidak ingin meladeni siapapun saat ini.
“Halo, Sasha.” Alan menyapa dengan gayanya yang menggoda. “Rafka sudah punya klien. Dia sedang menunggunya. Kau bisa bermain bersamaku malam ini.”
“Menunggu? Bukankah Rafka tidak suka menunggu?” Sasha berjalan genit dan dengan percaya diri duduk di pangkuan Rafka.”
“Pergilah, Sasha! Aku sudah punya klien.” Rafka berkata dengan dingin. “Suasana hatiku juga sedang buruk sekarang. Jangan sampai aku menyakitimu.”
“Wow, aku tidak pernah melihat Rafka sedingin ini. Kau terlihat sangat hot.”
Alan berdehem. Dia bisa melihat kesabaran Rafka mulai hilang. “Sayang, ayolah! Kalau kau pergi bersamaku malam ini, aku akan memberimu bonus.”
Sasha mengabaikan Alan. Wanita itu menyusurkan kuku panjangnya yang berwarna semerah pakaiannya di pipi Rafka lalu bergumam serak, “Aku benar-benar ingin merasakan bagaimana kau menyakitiku.”
Dengan geram Rafka berdiri sambil mendorong tubuh Sasha. Wanita itu menjerit kaget ketika tubuhnya terlempar dan jatuh terduduk di atas lantai. Beberapa pasang mata menatap Sasha. Bukannya membantu, mereka malah mencemooh dirinya. Rasa sakit di tubuh Sasha tidak seberapa dibandingkan perasaan terhina. Dia menoleh dan melihat Rafka sudah berjalan beberapa langkah menjauhi dirinya.
“Rafka!” jerit Sasha.
Semakin banyak mata yang menoleh menatap Sasha, namun yang dipanggil tidak berhenti.
“Kau pikir siapa dirimu, hah?” teriakan Sasha semakin keras.
Kali ini Rafka berhenti.
Sasha berdiri dengan marah. “Hei, kau! Hanya karena kau menjadi idola di tempat ini, kau lupa siapa dirimu sebenarnya?”
Rafka berbalik lalu berjalan santai ke hadapan Sasha. “Apa?” tanya Rafka dengan suara tenang dan dingin.
“Kau memperlakukanku seolah aku wanita rendahan. Apa kau lupa? Aku yang akan membelimu. Aku yang memberimu uang. Kau hanyalah seorang pekerja di sini yang menjual tubuhmu demi uang.”
Entah sejak kapan suara musik berhenti. Semua mata tertuju pada mereka.
Perlahan senyum merendahkan tersungging di bibir Rafka. “Apa kau tidak malu mengatakan itu? Kau membeberkan aibmu sendiri.” Rafka menyeringai dengan mata yang menyorot dingin. “Ya, kau benar. Aku—Rafka—akan melayani kebutuhan seksual wanita manapun yang sanggup membayarku. Tapi kau, Sasha si wanita terhormat, harus membayar agar seorang pria mau melayanimu.” Rafka semakin mendekat. “Kenapa? Apa tidak ada seorangpun yang bersedia menyentuh tubuhmu yang sudah kendor tanpa bayaran?”
Bibir Sasha terbuka lebar. Matanya berkaca-kaca mendengar hinaan Rafka yang sangat kejam. “Kau...”
“Apa yang terjadi di sini?”
Semua mata tertuju pada Maya yang melangkah tenang menyeruak kerumunan.
Seperti mendapat angin segar, Sasha menunjuk Rafka. “Lihat ini, Maya! Bocah kesayanganmu! Dia sudah menghinaku! Melontarkan kata-kata kasar padaku!” Sasha menjauh dari Rafka, berdiri di samping Maya. “Aku sudah menjadi pelanggan tetap di sini selama bertahun-tahun. Bahkan aku sering mempromosikan Fly Club. Tapi setelah kejadian ini, aku akan mengajak teman-temanku bermain di tempat lain saja.”
Maya menatap Sasha dengan senyum ramah. “Rafka sedang tidak enak badan, tapi masih tetap harus bekerja. Itu sebabnya dia jadi gampang naik darah. Aku janji lain kali hal semacam ini tidak akan terjadi lagi.”
“Aku pegang janjimu, Maya.” Sasha meninggalkan mereka, menghilang di balik kerumunan.
“Sedang apa kalian semua?” Maya menatap berkeliling orang-orang yang masih berkerumun. “Nyalakan kembali musiknya!”
Maya menatap Rafka dengan sorot curiga. Perlahan wanita itu mendekat lalu berdiri di hadapan Rafka, menatap tepat di mata lelaki itu. “Kau uring-uringan.” Bukan pertanyaan. Lebih seperti tuduhan.
“Bukan urusanmu. Yang penting aku bekerja seperti biasa.”
Rafka hendak berbalik namun lengan atasnya dicekal Maya.
“Kenapa? Apa karena wanita itu datang terlambat, kau jadi seperti ini?”
Alan mendekat untuk menengahi mereka. “Maya, wajar kalau Rafka uring-uringan seperti ini. Tadi pagi waktu kami pergi ke Mall, mendadak ada seorang pria yang membawa banyak anak buah, menghadang kami. Katanya Rafka pernah tidur dengan istrinya. “Alan mendesah untuk mendramatisir cerita karangannya. “Dia menghina dan memaki Rafka di tengah orang banyak. Rafka nyaris saja jadi korban pemukulan. Beruntung security Mall sigap mencegah perkelahian. Dan sekarang, pelanggan kesayanganmu datang terlambat sudah lebih dari tiga puluh menit. Kau tahu kan, betapa rewelnya Rafka dengan ketepatan waktu?”
Maya hanya diam mendengarkan tanpa menoleh menatap Alan. Pandangannya tetap fokus pada Rafka yang menolak menatap matanya. “Benarkah itu?” Maya bertanya pada Rafka.
“Maya, kau bisa...”
“Sudahlah, Alan. Untuk apa kau menceritakan semua itu? Tidak ada gunanya. Bagi seorang Maya, kepuasan pelanggan yang paling penting.”
Perlahan cengkeraman di lengan Rafka mengendur. Maya memindahkan tangannya ke dada Rafka dengan manja. Sikap dinginnya berubah. “Jangan merajuk, sayang. Tentu kau jauh lebih berharga dari semua pelangganku. Seharusnya kau memberitahuku tentang kejadian itu. Apa kau tahu yang mana istri pria itu?”
“Tidak.”
“Sayang sekali.” Jemari Maya di dada Rafka merambat naik. Dielusnya bibir Rafka dengan jemari lentiknya. “Sudah lama kita tidak bercinta. Aku merindukanmu.”
Maya merapatkan tubuhnya pada Rafka. Lelaki itu memejamkan mata. Kedua tangannya mengepal erat.
Ya, Tuhan. Tolong aku, teriak Rafka dalam hati.
Alan hanya bisa memalingkan wajah. Kedua tangannya juga mengepal kuat. Dia tidak sanggup melihat penderitaan di wajah Rafka.
Maya sedikit berjinjit untuk mencapai bibir Rafka.
“Hhmm, Maya. Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu.”
Maya menoleh dan menatap kesal orang yang telah mengganggunya. Penjaga pintu Fly Club itu berdiri gelisah melihat tatapan membunuh bosnya. Walau tidak pernah turun tangan sendiri, Maya dikenal suka menghabisi orang-orang yang tidak disukainya.
“Bilang aku sibuk!”
“Mereka bilang sedang terburu-buru. Kalau kau tidak menemui mereka sekarang, mereka akan membatalkan kontraknya. Itu yang mereka katakan.”
Maya mendesah kesal. Dengan berat hati dia menjauh dari Rafka.
“Sepertinya kita tidak bisa melakukannya malam ini. Tunggulah beberapa saat lagi. Wanita itu pasti datang.” Maya berlalu mengikuti si penjaga pintu.
Rafka mengusap wajahnya dengan frustasi. Rasanya dia ingin berteriak. Berapa lama lagi dirinya harus mengalami siksaan ini?
Alan mendekati Rafka. Meremas bahu lelaki itu sejenak, berharap bisa mengurangi kepedihannya. “Gadismu sudah datang. Pergilah! Nikmati akhir pekanmu.”
Rafka mengangguk singkat. Ia berbalik lalu menjauh dari Alan yang menatap kepergiannya dengan sedih.
***
Rafka mencengkeram lengan atas Rena sambil menyeret gadis itu keluar Fly Club. Rasanya seperti ada gunung berapi di dadanya yang siap meledak.
Begitu mendekati mobil Rena, Rafka mendorong tubuh Rena ke pintu mobil lalu mengurung gadis itu di antara lengan kekarnya.
“Kau terlambat karena makan malam dengan bosmu?”
Rena mengangguk singkat. Dia tidak berani membalas tatapan Rafka.
“Kenapa baru sekarang kalian berkencan di malam minggu? Bukankah biasanya tiap pulang kantor?”
Rena tidak suka dengan tuduhan Rafka. Dia membalas tatapan Rafka, mencoba bersikap berani. “Rafka, aku sudah menjelaskan padamu minggu lalu. Kami lembur karena pekerjaan.”
“Oh, begitu. Lalu yang tadi apa? Apakah itu juga karena pekerjaan?”
“Proyek yang kami kerjakan sukses. Jadi pak Gun mengajak makan malam untuk merayakannya.”
“Apa proyek itu hanya dikerjakan oleh kalian berdua?”
“Tentu saja tidak. Banyak pegawai lain yang terlibat...”
“Lalu kenapa kalian hanya makan malam berdua?” Rafka membentak.
Beberapa pasang mata di tempat parkir itu menatap mereka.
Rena kembali menunduk. Dengan geram Rafka mencengkeram rahang Rena lalu mendongakkan wajah gadis itu. Seketika nafas Rafka tercekat. Gadis itu berurai air mata. Rasanya sakit mengetahui dirinya telah membuat Rena menangis, lagi.
Rafka melepaskan cengkeraman di rahang Rena. Dengan lembut Rafka melingkarkan lengannya di pinggang kekasihnya. Keningnya diletakkan di kening Rena. Lelaki itu menyandarkan tubuh pada gadisnya.
Sejenak mereka terdiam dengan mata terpejam, menikmati momen kebersamaan mereka.
“Maafkan aku, sayang. Aku baru saja mengalami hari yang buruk dan tanpa sadar melampiaskannya padamu.” Ucap Rafka tanpa membuka matanya.
Rena membelai pipi Rafka dengan sayang. “Aku siap mendengarkan.”
“Tidak. Kau tidak akan suka. Ini berhubungan dengan pekerjaanku.”
Rena terdiam. Rafka benar. Jika itu berhubungan dengan pekerjaan lelaki itu di Fly Club, Rena tidak akan bisa menjadi pendengar yang baik.
Perlahan Rena mengalungkan kedua lengannya di leher Rafka. Ia berjinjit untuk menyentuhkan bibir mereka. Rafka mengerang sejenak lalu menyambut ciuman Rena. Setelah mereka kehabisan nafas, barulah Rafka melepaskan ciuman mereka. Tapi Rafka tidak menjauhkan diri. Dia menyandarkan wajahnya di lekukan leher Rena, menghirup aroma gadis itu.
“Seluruh tubuhku terasa gerah. Aku ingin berendam air hangat.”
“Aku akan menyiapkannya di rumah.” Sahut Rena sambil membelai tengkuk Rafka.
Di rumah, pikir Rafka sambil tersenyum.
“Kau harus berendam bersamaku.”
Rena tersenyum. “Dengan senang hati.”
***
Maya menatap pasangan itu dari balik kaca depan mobil dengan geram. Jemarinya meremas handphone yang dipegangnya.
Apa-apaan itu tadi?
Apa dugaannya tadi benar? Rafka uring-uringan karena wanita itu? Dan ciuman mereka yang dilihatnya tadi tidak seperti ciuman antara pelanggan dan pria sewaannya. Tingkah mereka seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar, lalu berciuman untuk saling melepas rindu.
Dada Maya serasa terbakar memikirkan hal itu.
Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa wanita itu? Rena tiba-tiba masuk dalam hidup Rafka. Dan sepertinya berusaha merebut Rafka dari dirinya.
Maya tidak peduli meski ribuan wanita menjamah tubuh Rafka. Anggap saja itu hukuman untuk lelaki itu. Tapi hati dan jiwa Rafka miliknya. Hanya miliknya.
“Bos, kita berangkat sekarang?” tanya lelaki berotot yang duduk di balik kemudi di samping Maya.
Maya mengabaikan lelaki itu. Matanya menyorot tajam pasangan yang baru saja memasuki mobil. Maya bisa melihat dengan jelas senyum Rafka yang merekah bahagia. Apa lelaki itu sedang jatuh cinta?
Tidak. Itu tidak boleh terjadi.
Maya akan memisahkan mereka. Pertama Maya akan memberi peringatan pada mereka. Kalau tidak berhasil, Maya akan menggunakan kartu As yang selama enam belas tahun berhasil menjerat Rafka. Dan kalau itu tetap gagal, Maya akan menghabisi wanita itu.
Sebuah seringai muncul di bibir Maya.
Tidak. Tidak perlu sampai sejauh itu. Maya yakin mereka akan terpisah hanya karena peringatan kecil darinya. Wanita seperti Rena tidak akan sanggup menghadapi kekejaman yang sesungguhnya di dunia yang ditinggali Maya dan Rafka. Rena pasti akan berlari ketakutan begitu mendapat peringatan darinya.
“Kita pergi sekarang.” Ucap Maya pada lelaki di sebelahnya. Matanya masih terus tertuju ke titik dimana mobil Rena hilang dari pandangan.
***
Rena tersenyum senang sambil merebahkan punggungnya di dada Rafka. Jemarinya membelai tangan Rafka yang melingkari perutnya. Tubuh mereka tertutup busa hingga sebatas dada.
“Rena, berhentilah bergerak-gerak!” Rafka menggeram di telinga Rena.
Rena terkikik geli. Gadis itu memiringkan kepalanya agar bisa menatap Rafka yang menyandarkan kepalanya di dinding belakang bathtub. Mata lelaki itu terpejam. Nafasnya tenang dan teratur. Apa Rafka tertidur?
Dengan nakal jemari Rena bergerak menyusuri tubuh Rafka.
“Kalau kau tidak menyingkirkan tanganmu, aku akan memperkosamu saat ini juga.”
Rena terkekeh. “Bukan diperkosa namanya kalau aku juga mau.”
Rafka menyeringai tanpa membuka matanya. Tangannya semakin erat mendekap Rena.
“Kau masih marah padaku?” tanya Rena hati-hati.
“Masih.”
Rena mendesah. “Rafka, pak Gun itu...”
“Hentikan atau aku akan tambah marah.” Rafka membuka matanya lalu menunduk menatap Rena. “Setelah kupikir lagi, walaupun kita sepasang kekasih, kenyataan tetap tidak berubah. Kita memiliki kehidupan yang berbeda. Pekerjaanmu yang sering membuatku kesal, aku tidak punya hak untuk ikut campur. Pekerjaanku yang tidak kau sukai dan sering membuatmu sedih, kau juga tidak punya hak untuk ikut campur.”
Rena memalingkan wajah. Rafka benar. Dunia mereka berbeda. Mereka tidak bisa memaksakan perbedaan itu agar menyatu. Kecuali kalau salah satu dari mereka mengalah.
Rena tersenyum tanpa diketahui Rafka. Dirinya masih punya kesempatan. Kalau Rena bisa menarik Rafka dari dunia gelapnya, mereka bisa hidup bersama.
Rena kembali memiringkan kepalanya untuk menatap lelaki itu. Rafka sudah menutup matanya lagi.
“Rafka?”
“Hmm?”
“Ada lowongan di perusahaan tempatku bekerja. Kenapa tidak kau coba daftar disana?” Rena bertanya hati-hati.
“Tidak.”
“Kenapa tidak?”
“Karena aku tidak mau menjadi pesuruh pak Gun-mu itu.”
Rena merengut. “Jadi kau mau bekerja dimanapun asal bukan pak Gun bosnya?”
Rafka mendesah. “Tidak, Rena.”
“Kenapa lagi?”
Rafka membuka kedua matanya lalu melotot menatap Rena. “Karena aku menyukai pekerjaanku sekarang.”
Rena bangkit dari pelukan Rafka, berbalik dan duduk tegak menghadap lelaki itu. “Bagaimana bisa kau menyukai pekerjaan semacam itu?”
“Apa kau suka bercinta denganku, Rena?”
Pipi Rena memanas. “Kau mengalihkan pembicaraan.”
“Jawab saja pertanyaanku!”
Rena menelan ludah. “Aku sangat menyukainya. Lalu kenapa?”
“Apa rasanya nikmat?” tanya Rafka serak. Mata Rafka menelusuri tubuh Rena.
“Ya.” Bisik Rena.
“Seperti itulah yang kurasakan terhadap pekerjaanku. Aku mendapat uang yang lumayan banyak sekaligus mendapat kenikmatan. Jadi bagaimana mungkin aku tidak menyukai pekerjaanku?”
“Aku tidak percaya padamu.”
“Baru beberapa menit yang lalu aku memberitahumu. Dunia kita tidak akan pernah bisa bersatu.”
“Baiklah, terserah.”
Dengan geram Rena memukul air di antara mereka. Rafka yang terkena cipratan air bercampur busa menggeram. Rena tertawa sambil mundur menjauhi Rafka. Dengan sigap Rafka bangkit, membuat air meluber keluar bathtub. Lelaki itu menarik kaki Rena lalu menindihnya. Tawa Rena terhenti ketika Rafka langsung mencium bibirnya dengan liar.
---------------------------------
♥ Aya Emily **♥**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
April Lia
jdi penasaran🤔🤔🤔 apa gg mnjerat rafka selama ini d dunia kelam itu
2021-06-16
0
Zaitun
maya anak ibliss
2021-02-18
0
Widi Nuhgraeni
apakah Maya ibu kandung Rafka???..koq jahat bangettttt
2021-01-30
0