Senin (11.46), 23 Maret 2020
------------------------------
Rena melepas high-heel yang dikenakannya dengan lemah. Telapak kakinya terasa nyaman bersentuhan dengan dinginnya lantai keramik secara langsung. Gadis itu merebahkan diri di sofa panjang. Salah satu lengan menutupi matanya.
Perlahan Rena mulai terlelap ketika mendengar langkah kaki seseorang memasuki ruangan pak Gun tempat Rena beristirahat.
“Rena, apa yang kamu lakukan?”
Rena mendesah kesal mendengar pak Gun mulai menceramahinya.
“Berapa kali saya harus jelaskan? Ini kantor. Kau harus bersikap profesional di kantor.”
Rena mengabaikan ocehan pak Gun dan kembali mencoba terlelap. Suara langkah kaki itu semakin dekat. Perlahan tepi sofa yang ditempati Rena melesak dan seseorang duduk di sebelahnya. Orang itu menarik turun tangan Rena yang menutupi matanya.
“Sayang, kau baik-baik saja?”
Rena membuka mata dan melihat wajah bosnya yang mulai panik. Gadis itu mengangguk untuk menenangkan pak Gun.
“Tidak, sayang. Kau tidak tampak baik-baik saja. Apa kau sudah minum obatmu?”
Rena kembali mengangguk. Dia tidak sanggup membuka mulut karena perutnya yang masih bergolak.
“Ayo ke dokter! Sepertinya ada yang tidak beres denganmu.”
Pak Gun bersiap bangkit tapi Rena menarik tangan bosnya. “Rena baik-baik saja, pak. Rena akan segera kembali bekerja tapi biarkan Rena istirahat dulu sekitar sepuluh menit. Pasti Rena salah memakan sesuatu hingga muntah-muntah.”
Pak Gun menyentuh pipi dan dahi Rena untuk mengukur suhu tubuhnya. “Wajahmu benar-benar pucat seperti mayat.”
Rena bangkit lalu menyandarkan kepalanya di dada pak Gun. Kedua lengannya melingkari tubuh lelaki itu.
“Dalam sehari ini sudah dua orang yang bilang wajah Rena seperti mayat. Kalimat itu sangat tidak enak didengar.”
Pak Gun mengecup puncak kepala Rena. “Karena memang seperti itu wajahmu sekarang.”
Seseorang mengetuk pintu.
“Masuk.” Sahut pak Gun.
Rena kembali merebahkan diri sambil melirik wanita yang baru masuk. Ternyata mbak Vani, bagian keuangan.
“Ada apa Vani?” tanya pak Gun.
“Saya butuh tanda tangan bapak.” Jawab Vani sambil menunjukkan tumpukan dokumen di lengannya.
Mendadak pak Gun bangkit menghampiri Vani lalu mengambil dokumen itu. “Kau sedang hamil besar, Vani. Seharusnya kau meminta tolong pegawai yang lain untuk membawanya.”
“Anda berlebihan, pak.” Vani tersenyum. “Bahkan dokter menyuruh saya agar sering jalan kaki.”
Pak Gun menggelengkan kepala sambil meletakkan dokumen itu di mejanya. “Akan saya tanda tangani nanti. Minta pegawai lain datang ke sini satu jam lagi untuk mengambil dokumennya.”
“Oke, bos!” sahut Vani menyerah. Pak Gun memang sangat perhatian terhadap semua pegawainya.
Vani melirik sofa ketika Rena mulai bangkit dan berusaha membenahi penampilannya. “Rena, apa kau sakit?”
Rena mendesah kesal. “Kenapa? Apa mbak Vani juga akan bilang wajahku seperti mayat?” tanya Rena ketus.
Vani menahan tawa mendengar nada Rena yang seperti merajuk. “Ah, tidak kok. Kau masih cantik seperti biasa.”
Rena menyipitkan mata tidak percaya. “Lalu kenapa mbak bertanya?”
“Karena kau tampak lemas, sayang. Apa kau sudah makan?”
Pak Gun kembali menghampiri Rena. “Tidurlah lagi! Tidak perlu pikirkan pekerjaan.”
Rena memilih merebahkan kepala di dada pak Gun, lalu berkata pada wanita yang masih berdiri memperhatikannya. “Tadi sudah makan. Lalu perutku bergolak dan semua makanannya keluar.”
Vani terus memperhatikan gadis itu. Benaknya menerka-nerka melihat kondisi tubuh Rena. “Rena, apa tamu bulananmu sudah datang sebulan ini atau beberapa minggu terakhir?”
Rena mengerutkan kening. “Aku tidak pernah teratur, mbak. Tapi bulan lalu masih datang.”
“Kenapa kalian membicarakan tamu bulanan sementara ada lelaki di sini?” Pak Gun bertanya kesal.
Vani terkekeh. “Sebaiknya saya permisi dulu, pak.”
Begitu Vani keluar, Rena kembali berusaha terlelap dalam dekapan pak Gun. Baru beberapa menit, Vani kembali masuk sambil membawa segelas susu.”
“Rena, coba minum ini. Mungkin ini bisa membantu.”
Rena meraih gelas yang disodorkan Vani lalu meminumnya sejenak. Perlahan perutnya berhenti bergolak. “Enak.” Sahut Rena sambil tersenyum lalu ,menghabiskan sisanya.
“Sayang, kau suka minuman itu?” tanya pak Gun.
Rena mengangguk.
“Beli dimana?” tanya pak Gun kepada Vani.
“Di minimarket banyak.” Vani tampak salah tingkah. “Itu, um, susu khusus ibu hamil.”
Bibir pak Gun terbuka dengan mata terbelalak. Wajahnya perlahan lebih pucat dari Rena. Lelaki itu pasti sangat syok.
Rena tertegun. Pikirannya malah melayang memikirkan hal lain. Teringat ucapan mamanya.
Lelaki itu butuh alasan untuk membebaskan dirinya sendiri dari dunia gelapnya.
Inikah jawaban dari semua do’anya? Bayi dalam kandungannya akan membantu Rena membebaskan Rafka. Perlahan mata Rena berbinar. Senyumnya merekah.
“Tapi itu hanya dugaan sebelum dipastikan ke dokter.” Buru-buru Vani menyahut ketika melihat wajah pak Gun.
Rena berdiri., nyaris seperti melompat lalu menghambur memeluk Vani. “Aku yakin dugaan mbak benar. Aku akan segera jadi ibu seperti mbak.” Gadis itu berputar-putar bahagia. “Aku senang sekali. Aku akan punya bayi.”
Vani semakin salah tingkah melihat kebahagiaan Rena sementara wajah pucat pak Gun perlahan memerah. “Tapi Rena...”
“Tidak ada keraguan, mbak.” Potong Rena bersemangat. Gadis itu merasa tubuhnya dialiri banyak energi. “Aku pasti hamil. Aku bisa merasakannya. Pasti anakku sekarang sedang meringkuk nyaman di dalam sini.” Rena mengelus perutnya dengan bahagia.
“Rena!” bentak pak Gun membuat kedua wanita itu kaget. “Bisa-bisanya kau menari-nari bahagia karena seorang ******** di depan papamu! Siapa pria tidak bertanggung jawab yang berani menghamili putri papa ini, hah?” wajah pak Gun makin merah. “Bawa pria itu kesini supaya papa bisa mematahkan lehernya.”
***
Rena menghempaskan tubuh di sofa samping mamanya di ruang keluarga. Ia cemberut menatap papanya yang berdiri sambil berkacak pinggang. Bu Yuni—mama Rena—menatap mereka bingung.
“Ma, lihat anakmu ini! Dia berani hamil tanpa menikah!”
Bu Yuni menutup mulut untuk menahan pekikannya. Tapi pikirannya tidak sejalan dengan pikiran sang suami. Yang terlintas pertama kali dalam benaknya adalah kondisi tubuh Rena. “Ya ampun, sayang. Kamu hamil? Apa kamu sudah periksa ke dokter? Tidak apa-apakah kamu hamil dalam kondisi tubuh seperti sekarang?”
“Dokter bilang tidak apa-apa, Ma. Asalkan Rena menjaga kesehatan.” Sahut Rena.
“Lalu pil yang biasa kamu konsumsi, apa tidak berpengaruh terhadap bayimu?”
“Dokter mengizinkan Rena mengurangi dosisnya. Jadi tidak apa-apa.”
“Oh, syukurlah!” bu Yuni tampak lega.
“Mama, bukan itu masalahnya.” Erang pak Gun frustasi. “Putri kita hamil tanpa suami. Seharusnya papa tidak memberinya izin tinggal sendirian.”
“Papa jangan khawatir. Rafka pasti bertanggung jawab.” Ucap Rena dengan yakin.
“Rafka? Kenapa nama itu tidak asing?”
“Rafka itu yang mendonorkan ginjalnya untuk Rena.” Jelas bu Yuni.
“Oh, lelaki itu! Kurang ajar sekali. Aku menawarinya sebagian hartaku namun ditolaknya. Sekarang dia malah menggoda putriku.”
“Lebih tepatnya Rena yang menggoda Rafka, papa.” Rena meringis.
“Ini akibatnya karena mama terlalu memanjakannya. Kalau sudah seperti ini, bagaimana?”
“Yah, nikahkan saja mereka,” sahut bu Yuni pasrah.
Rena tersenyum senang mendengar keputusan mamanya.
“Tidak. Rena tidak akan menikah.” Pak Gun menarik nafas untuk menenangkan diri. “Baiklah, tidak masalah kalau Rena hamil. Kita akan membesarkan anak itu bersama-sama.”
“Papa!” Rena merengek kesal.
“Sampai kapan papa akan memperlakukan Rena seperti putri kecil? Lagipula dia sudah terlanjur hamil. Mau tidak mau dia harus menikah dan membangun keluarga.”
“Sampai kapan pun Rena adalah putri kecil papa. Dan disinilah keluarganya.”
Mama Rena bangkit lalu memukul bahu pak Gun. “Papa yang selalu memanjakan Rena. Dan sekarang papa mulai bersikap seperti anak kecil yang takut mainan kesayangannya direbut orang.” Bu Yuni menarik lengan pak Gun agar mengikutinya. “Ayo ikut mama!”
Begitu orang tuanya menjauh, Rena terkikik geli. Kedua orang tuanya saling menuding siapa yang memanjakan Rena. Padahal keduanya lah yang memanjakan dirinya.
Beberapa saat kemudian bu Yuni kembali lalu menghampiri putrinya yang masih duduk di sofa.
“Dimana papa?” tanya Rena.
“Mama mengurungnya di kamar.” Rena kembali terkikik.
Bu Yuni tersenyum melihat putrinya begitu bahagia.
“Kau sungguh mencintai lelaki itu?” bu Yuni ingin memastikan.
Rena menatap sang Mama. Kali ini dengan raut bersalah. "Maaf, Ma."
Bu Yuni memegang kedua tangan putrinya. "Mama sedih kamu harus seperti ini. Hamil tanpa suami. Tapi Mama tidak akan meninggalkanmu." Satu tangannya menepuk lembut pipi Rena. “Jadi, apa kau sudah berhasil membantunya keluar dari tempat itu?”
Gadis itu mendesah lalu merebahkan kepala di lekukan bahu Mamanya. “Rena harap kehadiran bayi ini bisa membantu Rafka.”
“Lakukan yang menurutmu paling baik, sayang.”
Rena memeluk mamanya dengan erat. "Sekali lagi maaf karena harus seperti ini."
-----------------------------
♥ Aya Emily ♥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Ulif Yuhanna
nah anaknya ngaku 🤭
2022-11-08
0
Ulif Yuhanna
Pak Gun bapaknya Rena ya. ibu Rena juga baik mau mengikuti dan mengarahkan anaknya. tapi dari awal apa cuma Rena ada yang punya kesan terhadap Rafka? Rafika saking menikmati hidup jadi gak inget Rena, mungkin kalo Pak Gun inget kan Rafka 🤣
2022-11-08
0
sunshine
pak gun jadi obat nyamuk 🤣🤣
2021-07-27
0