Senin (11.58), 23 Maret 2020
-----------------------------
Rafka memarkir motornya di depan sebuah club malam. Ia mengabaikan tanda dilarang parkir yang tertulis jelas di dekat motornya. Penjaga pintu menatap Rafka tidak suka namun bergeser memberinya jalan.
Rafka memang tahu bahwa ibunya adalah seorang wanita penghibur dan sekarang berhasil membangun club malam ini. Tentu saja bukan karena gunjingan orang. Dirinya tahu karena sudah tinggal bersama ibunya sepanjang hidup. Rafka tahu watak ibunya. Memberi nasehat hanya membuang waktu dan memicu pertengkaran. Jadi Rafka mengabaikan sang ibu dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada gadis mungilnya. Dia tidak akan mengusik pekerjaan ibunya selama hal itu tidak mengganggu gadis mungilnya.
Hingga saat ini.
Ibunya telah melanggar perjanjian tak terucap mereka. Bahkan Rafka tidak sanggup lagi memanggil wanita iblis itu dengan sebutan ‘ibu’.
Rafka berhenti di ruang bising yang diterangi lampu disko. Lautan manusia menyebar di segala penjuru. Sebagian menari-nari di lantai dansa seperti orang gila diiringi musik yang berdentam memekakkan telinga. Yang lain tampak lebih asyik mencumbu pasangannya sambil menikmati minuman beralkohol.
Bau rokok dan minuman yang berbaur membuat Rafka mual. Namun adrenalin yang sarat kemarahan lebih menguasai tubuhnya. Rafka mengepalkan tangan untuk menahan debar di dadanya yang serasa menyakitkan.
Rafka sadar akan sangat sulit menemukan wanita itu di tengah lautan manusia. Dia tidak tertarik membuang waktu melakukan hal itu sementara amarahnya sudah mencapai ubun-ubun.
Pemuda itu memandang salah satu meja yang dipenuhi botol minuman. Beberapa gelas setengah kosong bertebaran di atas meja itu. Enam kursi bersandaran tinggi mengitari meja yang berbentuk lingkaran. Namun hanya satu kursi yang ditempati. Seorang pria duduk bersandar di salah satu kursi sambil mencumbu wanita yang duduk di atas pangkuannya. Sungguh pemandangan yang sangat menjijikkan di mata Rafka.
Rafka berjalan tenang mendekati pasangan itu. Kedua tangannya memegang tepi meja, mengangkat lalu membantingnya ke lantai. Suara meja yang menghantam lantai diiringi benturan keras botol kaca hingga hancur, menciptakan suara keras yang mengalahkan musik disko.
Pasangan di sebelah Rafka berteriak hingga kursi yang mereka tempati jatuh, membuat mereka berguling di lantai. Pengunjung yang lain ikut menjerit dan berlari menjauhi kekacauan yang disebabkan Rafka. Musik disko berhenti secara tiba-tiba. Sementara beberapa lelaki kekar yang tampak seperti algojo berhamburan mengepung Rafka. Senyum dingin tersungging di bibir Rafka. Ia puas melihat kekacauan yang telah ditimbulkannya. Namun hal itu tetap tidak bisa menghentikan getaran di sekujur tubuhnya.
Pria yang tadi sedang bercumbu bangkit menghambur ke arah Rafka. Dia memegang kerah jaket Rafka dengan mata merah karena alkohol dan amarah. “Apa maumu, hah?”
Rafka mengertakkan gigi menahan rasa mual ketika mencium bau alkohol yang tajam dari nafas pria itu.
“Aku sama sekali tidak punya masalah denganmu.” Ucap Rafka dengan dingin sambil menyingkirkan tangan yang mencengkeram kerah jaketnya.
“Bocah tengik! Remaja nakal sepertimu harus diberi pelajaran agar tidak semakin liar.” Selesai bicara, lelaki itu menyarangkan tinjunya di dagu Rafka.
Seumur hidup, Rafka tidak pernah berkelahi. Namun dia bukan pemuda lemah. Nalurinya sebagai lelaki bangkit. Sebelum jatuh terhuyung Rafka memegang lengan lelaki itu lalu membalas dengan sebuah tinju tepat di perut, membuat lelaki itu mundur beberapa langkah sambil terbatuk-batuk.
Lelaki itu berusaha berdiri tegak lalu kembali menghambur ke arah Rafka. Tapi salah satu algojo mencengkeram lengannya.
“Kendalikan dirimu, Alan!”
Lelaki yang dipanggil Alan itu menatap si algojo dengan kesal. Dia masih tampak hendak menghabisi Rafka namun akhirnya dia memilih mengikuti saran si algojo.
Algojo berkepala botak di sebelah kiri Rafka menyeringai sinis. “Besar juga nyalimu hingga berani membuat onar di sini. Sebenarnya apa tujuanmu? Apa ini masalah wanita?” nadanya penuh ejekan.
“Ya.” Rafka menatap lurus mata si botak dengan menantang. “Aku mencari seorang wanita bernama Maya. Dia adalah pemilik tempat ini.”
Mereka yang bekerja di club itu saling memandang heran.
“Untuk apa kau mencari Maya?” Alan bertanya dengan kasar.
“Itu urusanku. Bawa saja dia ke sini!”
Alan menggeram marah dan siap menerjang Rafka.
“Hentikan!”
Suara itu menggelegar di tengah ruangan. Bukan jeritan. Hanya perintah yang diucapkan dengan tenang dan dingin.
Dan disanalah wanita itu. Berjalan dengan keanggunan bak serigala betina. Menyeruak kerumunan manusia hingga berdiri tepat di hadapan Rafka.
“Pasti ada hal penting yang ingin kau bicarakan hingga mau repot-repot datang ke sini.” Bibirnya yang dilapisi pemerah tebal melengkung membentuk senyuman yang tidak menyentuh matanya. “Sebaiknya ikut aku ke dalam. Di sana kau bisa bicara dengan leluasa.”
“Aku tidak sudi pergi kemanapun dengan wanita iblis sepertimu.” Desis Rafka dengan sisa-sisa kesabaran yang masih melekat. “Aku hanya ingin tahu apa yang telah kau lakukan pada adikku.”
Tawa kecil terlontar dari bibir Maya, membuat Rafka ternganga tidak percaya. Bagaimana dia bisa tertawa dalam situasi seperti ini?
“Kau tidak tahu?” Maya berdecak. “Bukankah biasanya gadis manja itu selalu menceritakan segalanya padamu?” Maya diam sesaat, menciptakan suasana dramatis. “Ah, lupakan saja. Tapi, tidak bisakah kau menebak?”
Setetes air mata jatuh mengalir di pipi Rafka. “Kau sungguh melakukannya?” suaranya yang serak penuh ketidakpercayaan.
“Aku mendapat klien baru yang menginginkan seorang perawan. Dia berani membayar mahal.” Maya mendesah. “Aku tidak mungkin menolak terutama di saat harga BBM sedang melonjak. Semuanya menjadi serba mahal. Jadi aku tidak mungkin melepas kesempatan mendapat klien potensial, kan?
“Kau...” Rafka kehilangan kata-kata. Penglihatannya buram karena air mata yang tidak mau berhenti mengalir. “Kau lebih peduli pada harga BBM daripada masa depan putrimu sendiri?” pemuda itu berteriak.
Maya terkekeh sinis. “Anak kecil sepertimu berani berbicara masa depan denganku? Masa depan apa? Kalian berdua hanya tinggal makan dan berbelanja dari hasil jerih payahku.” Maya mengacungkan jarinya ke arah Rafka. “Di saat aku hanya meminta satu bantuan, kau sudah meradang seperti ini.”
Maya bergerak selangkah mendekati Rafka sambil berkacak pinggang untuk menunjukkan bahwa dirinya yang berkuasa. “Seperti yang selalu dikatakan orang-orang sok suci di luar sana. Aku mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan kalian. Bekerja siang malam supaya kalian tetap makan. Tapi apa balasannya?” Maya berteriak kasar, lalu melanjutkan dengan lebih tenang. “Lagipula, gadis itu sudah cukup besar untuk membantuku. Sudah saatnya aku membawanya ke sini.”
“Dasar kau iblis betina!” jerit Rafka histeris.
Rafka melompat menerjang ke arah Maya. Dengan sigap dua algojo mencengkeram pemuda itu. Rafka sudah melupakan kerumunan orang di sekelilingnya. Dia hanya fokus pada Maya.
“Lepaskan aku!” teriak Rafka sambil meronta. “Akan kubunuh kau!”
Maya menyeringai lalu berbalik santai. “Seret dia keluar!” perintahnya.
“Wanita iblis! Kembali ke sini kau! Aku akan membunuhmu!” Rafka berteriak semakin keras.
Maya mengabaikannya. Dia menyelinap pergi di antara para pengunjung yang masih berdiri terpaku menyaksikan pertengkaran ibu dan anak itu. Ekspresi mereka cukup beragam. Beberapa tampak terbelalak tidak percaya. Yang lain menatap iba pada Rafka. Tapi tidak sedikit juga yang terang-terangan mengagumi sikap Maya.
Kedua algojo itu menyeret Rafka keluar, membantingnya di halaman tepat di sebelah motor pemuda itu, lalu meninggalkannya.
Rafka bertumpu pada kedua lutut dan tangannya untuk berdiri. Tapi tangisnya pecah. Air matanya menetes ke batako. Dengan marah Rafka meninju batako itu berkali-kali hingga buku jarinya memerah.
Benarkah wanita yang tadi ibunya? Seperti inikah sifat asli sang ibu?
Siapa sebenarnya yang ingin dia bohongi? Rafka sudah tahu sifat asli Maya. Hanya saja dia berusaha menutup mata. Berpura-pura bahwa wanita itu adalah malaikat yang melindungi dirinya dan Ratna dari jauh. Tapi ternyata...
Kalau saja Rafka mau memperhatikan kebencian Ratna pada Maya. Kalau saja Rafka tidak bersikeras menyatukan mereka. Kalau saja Rafka tidak meninggalkan sang adik tadi pagi...
Pikiran-pikiran Rafka terhenti begitu merasakan getar ponsel dari saku celananya. Rafka bangkit sambil mengeluarkan ponsel lalu menjawab tanpa perlu melihat identitas penelepon.
“Ratna kecelakaan!”
Rafka belum mengatakan apapun ketika kalimat itu terlontar. Pemuda itu menjauhkan ponsel dari telinganya, menatap benda itu seolah tiba-tiba memiliki taring.
“Apa maksudmu?” tanya Rafka geram. Dia tidak mau mendengar lelucon apapun saat ini. “Jangan asal bicara.”
*“*Rafka, ini bang Akri. Tukang ojek perempatan jalan. Sekarang Ratna di ruang UGD rumah sakit Kusuma. Cepat ke sini!”
Benak Rafka berputar mencari ingatan tentang si penelepon. Kejadian tadi membuat benaknya kacau balau. Ya, di perempatan jalan sekitar seratus meter dari rumah Rafka ada pangkalan ojek. Rafka sering menghabiskan waktu di sana. Rafka mulai ingat pada bang Akri. Tapi Ratna ada di rumah, mana mungkin dia...
“Apa maksud abang?” Rafka mulai panik. “Ratna tidak mungkin kecelakaan. Dia ada di rumah.”
Bang Akri mendesah. “Nanti saja pertanyaannya. Sekarang cepat ke sini!”
Jemari Rafka menggenggam ponsel dengan erat seperti hendak menghancurkannya. Rafka mengatupkan bibir dengan rapat agar dirinya tidak berteriak. Sudah cukup wanita iblis itu melihatnya menangis. Rafka tidak mau membuat wanita itu tertawa puas melihat kehancurannya.
Rafka buru-buru memasukkan ponsel, melompat ke atas motor lalu menyalakan mesin. Pemuda itu sudah siap menarik gas ketika seseorang menghalangi jalannya.
“Menyingkir sebelum kutabrak!” melihat wajah orang di depannya membangkitkan amarah Rafka.
Bukannya menyingkir, Alan mendekati Rafka lalu meletakkan tangannya di atas bahu Rafka.
“Aku mendengar pembicaraanmu di telepon. Kau tidak boleh mengemudi dalam keadaan panik.”
“Aku tidak butuh bantuanmu.” Rafka menepis tangan Alan dari bahunya.
Alan mendesah. “Jadi kau rela Maya merawat adikmu lalu melakukan hal aneh lainnya sementara kau sekarat di rumah sakit karena kecelakaan? Setidaknya, dalam keadaan sehat kau bisa melindungi adikmu.”
Selama beberapa detik Rafka hanya menatap tajam Alan sambil memikirkan ucapannya. Setelah merasa ucapan Alan masuk akal, Rafka mengangguk lalu turun dari motor. Alan naik menggantikan posisi Rafka, menunggu Rafka naik di belakangnya.
“Kenapa kau melakukannya?” tanya Rafka begitu duduk.
“Apa? Melakukan ini?” Alan menarik gas dengan lembut. “Anggaplah sebagai ucapan maaf. Dan kurasa kita bisa berteman.”
“Aku tidak mau berhubungan dengan segala hal yang berkaitan dengan Maya.”
“Oh ya?” Alan hanya terkekeh tidak percaya.
***
“Adikmu mengalami gegar otak.”
Rafka memijat pelipisnya yang berdenyut.
Dokter di hadapannya tampak iba namun tidak memiliki pilihan lain selain melanjutkan. “Sejauh ini tidak terjadi kondisi kritis apapun. Tapi saya khawatir dia akan mengalami amnesia parah.”
Rafka limbung dan nyaris jatuh kalau Alan tidak menahan tubuhnya.
“Aku baik-baik saja.” Desis Rafka, berharap Alan menyingkir.
Alan mengabaikan ucapan Rafka, malah semakin erat menahan punggung pemuda itu.
“Sejujurnya, saya lebih nyaman berbicara dengan orang tuamu. Kau masih terlalu muda untuk menerima hal semacam ini.” Ucap dokter perlahan layaknya berbicara dengan anak kecil.
“Kami hanya tinggal berdua.” Rafka menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering sebelum melanjutkan, “Dokter, lakukan yang terbaik untuk Ratna.”
Dokter menepuk bahu Rafka. “Kami sudah melakukan yang terbaik. Masalah amnesia, hanya kau yang bisa mengatasinya. Bantu adikmu untuk mengingat, walau itu hal kecil. Sebagian besar penderita amnesia tidak bisa sembuh karena tidak ada yang membantu mengisi kenangannya yang kosong. Asal kau selalu disampingnya, adikmu pasti cepat sembuh dan bisa mengingat semua kenangannya lagi.”
Rafka mengangguk. “Terima kasih, dokter.”
“Kalau begitu, saya permisi dulu.” Dokter mengangguk singkat pada Alan lalu pergi meninggalkan mereka di koridor rumah sakit.
Alan memapah Rafka ke bangku panjang. Mereka duduk diam selama beberapa saat, tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
“Bagus juga dia hilang ingatan.”
Suara yang seolah diciptakan untuk merayu itu membuat Alan dan Rafka tersentak. Mata Rafka berkilat marah melihat Maya berdiri angkuh dengan lengan terlipat di depan dada.
“Dengan begini dia bisa cepat beradaptasi di clubku.”
“Dasar iblis...” Rafka bangkit hendak menerjang Maya namun Alan mencengkeram lengannya untuk mengingatkan bahwa mereka di rumah sakit. Rafka menangkap maksud Alan. Pemuda itu menarik nafas panjang beberapa kali sebelum kembali menghadap Maya.
“Tidak akan kubiarkan kau menyentuh Ratna.” Ucap Rafka dengan lebih tenang. “Aku akan melindunginya.”
“Rafka, Rafka. Kau berbicara seolah tidak mengenalku. Kau pasti tahu bahwa aku selalu mendapatkan semua keinginanku. Lari ke ujung dunia sekalipun, kau tidak akan bisa menyelamatkan Ratna dariku. Kecuali...” Maya sengaja menggantung kalimatnya.
“Kecuali apa?” desis Rafka.
“Kecuali kau mau menggantikan Ratna.” Maya mendesah sok dramatis sambil berjalan santai menuju kursi panjang di seberang Rafka dan Alan. Wanita itu duduk dengan menumpangkan kaki kanannya di atas kaki kiri. “Coba kau pikir. Bukankah bagus Ratna hilang ingatan. Dia jadi tidak bisa mengingat kejadian yang sudah dialaminya. Dia tidak perlu mengingat bahwa ibunya telah menjualnya dan bahwa kakaknya tersayang tidak bisa melindunginya.” Maya menyeringai licik.
“Percuma.” Alan menimpali, berusaha untuk menghentikan niat Maya. “Cepat atau lambat Ratna pasti akan mengingat itu semua kalau Rafka bekerja di club.”
“Tentu tidak kalau Rafka menghilang dari kehidupan Ratna.”
“Apa maksudmu?” pertanyaan itu sekedar refleks. Sebenarnya Rafka sudah paham maksud Maya.
“Yah, kau akan pindah ke tempatku dan kau bisa menitipkan Ratna. Mungkin di panti asuhan? Biar dia merangkai kenangannya sendiri lalu memulai hidup baru.” Maya kembali menyeringai. “Kalau kau berjanji menuruti semua ucapanku, aku juga akan berjanji untuk menjauhi Ratna.” Maya mendesah sambil bersandar. “Astaga, dia benar-benar gadis lemah. Hanya karena satu kejadian itu dia sudah mencoba bunuh diri. Aku jadi berpikir betapa serunya jika kita membuatnya teringat kejadian itu lagi. Aku penasaran apa yang akan dia lakukan.”
Jemari Rafka mengepal. Rasanya dia ingin menghajar wanita itu. “Apa kau bisa memegang janjimu?”
Alan bangkit sambil menarik lengan Rafka. “Kau pikir apa yang sedang kau lakukan? Jangan terpancing jebakannya.” Bisik Alan di telinga Rafka.
Namun Rafka tidak menghiraukan. Dia sedang menanti janji Maya.
“Tentu, aku berjanji.” Ucap Maya dengan mata berkilat licik.
“Baiklah.” Bisik Rafka membuat Alan terperangah.
Maya tersenyum lebar seraya bangkit. “Alan, mulai sekarang kuserahkan dia padamu. Kau harus mengajarinya banyak hal.” Dan wanita itupun berlalu, meninggalkan mereka berdua yang masih berdiri mematung menatap kepergiannya.
Alan menghempaskan diri di kursi panjang itu dengan lesu. Rafka ikut duduk dengan lebih perlahan.
“Aku kenal salah satu pengelola panti asuhan.” Bisik Rafka setelah terdiam cukup lama. “Tempatnya cukup terawat. Anak-anak di sana diasuh dengan benar. Aku bisa tenang kalau menitipkan Ratna di sana. Aku juga bisa menjadi donaturnya secara diam-diam. Akan kupastikan dia mendapat pendidikan tinggi dan kehidupan yang baik. Hingga suatu hari dia akan bahagia bersama keluarganya sendiri. Anak-anak yang akan selalu membuatnya sibuk dan tersenyum. Suami yang akan selalu mencintai dan melindunginya.” Rafka mendesah. “Ya, tentu saja. Dia akan mendapatkan itu semua, jika tidak bersamaku.”
“Alan bangkit dengan frustasi sambil melotot pada Rafka. “Kau sudah gila ya?” desis Alan lalu berjalan menjauh tanpa menunggu jawaban.
----------------------
♥ Aya Emily ♥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Maria Magdalena Indarti
Rafka kakak yg baik
2023-08-21
0
Carissa Fanis
iblis si Maya....
2022-04-16
1
Arik Gung
pola pikir rafka memang sulit utk dipahami dan kita merasa ada banyak jalan keluar lainnya... tapi temanku bilang memang ada orang yg seperti itu...
2021-11-11
1