Senin (11.48), 23 Maret 2020
---------------------------
Rena berlari-lari kecil menembus rintik hujan menuju pintu masuk Fly Club. Dia sungguh tidak menyukai tempat itu, terutama setelah pengakuan Maya beberapa hari yang lalu. Tapi dia harus menemui Rafka.
Dua lelaki kekar yang menjaga pintu serentak berdiri ketika Rena mendekat. Rena mengabaikan kedua orang itu namun mereka menghalangi jalannya.
“Ada apa?” Rena bertanya dengan heran.
Salah satu lelaki berkepala botak menyahut. “Kami mendapat perintah untuk melarang nona Rena masuk.”
“Kenapa?”
“Kami hanya bawahan yang menjalankan perintah.” Lelaki yang lain memberi alasan untuk menghentikan serbuan pertanyaan Rena.
Rena yakin kedua orang itu tahu alasan dirinya dilarang masuk, namun ia tidak bisa memaksa mereka.
“Baiklah. Aku akan tunggu di sini.”
“Ayolah, nona. Kami bisa dipecat kalau anda tetap di sini.” Sahut si botak.
Rena melirik bangku panjang di halaman Fly Club tak jauh dari pintu masuk. Posisinya sedikit menghadap ke pintu sehingga dirinya bisa mengawasi orang-orang yang keluar masuk Fly Club.
“Kalau begitu aku akan menunggu di sana.” Jelas Rena sambil berjalan menjauh.
Beberapa menit berlalu dengan begitu lambat. Banyak orang keluar masuk pintu Fly Club namun tak satupun yang Rena kenali. Gerimis berubah menjadi guyuran hujan yang membuat Rena basah kuyup dan kedinginan.
Sesaat kemudian pintu kembali terbuka. Raut wajah dua orang yang baru keluar tampak bertolak belakang. Seorang wanita empat puluhan yang begitu antusias, dan seorang lelaki tiga puluhan yang tampak malas, terutama ketika melihat hujan yang mengguyur begitu deras.
“Halo, Alan. Klien baru?” penjaga pintu berkepala botak menyapa.
Alan hanya tersenyum malas sebagai tanggapan. Sejak dulu Alan tidak menyukai hujan. Apalagi jika membayangkan harus menembus hujan deras di malam hari. Walau hanya beberapa menit menuju area parkir di samping Club, dia sungguh tidak menyukainya.
Masalahnya tante Mery—istri pejabat yang sedang berulang tahun di sampingnya—sama sekali tidak bisa membaca suasana hatinya. Alan sudah membujuk wanita itu untuk menginap di Fly Club, tapi dia menolak dan bersikeras untuk mencari hotel.
Dengan enggan Alan meraih payung yang disediakan bagi karyawan Fly Club. Saat itulah tatapannya terpaku pada sosok dalam guyuran hujan.
“Siapa itu?”
“Si kecil Rena.” Jelas kawan si lelaki botak yang bertubuh lebih kekar.
Alan menatap mereka bergantian dengan heran. “Kenapa dia di luar? Bukankah Rafka ada di dalam?”
“Maya memberi perintah agar kami melarang Rena memasuki Fly Club. Mungkin karena pertengkaran beberapa hari yang lalu.” Lelaki kekar kembali menjelaskan.
Alan mengerutkan kening. “Kalian juga tahu tentang pertengkaran itu?”
“Gosipnya sudah menyebar di seluruh penghuni Fly Club.” Jelas si botak.
Tante Mery mulai tidak sabar. Dia mempererat rangkulannya di lengan Alan dan sedikit menariknya. “Ayolah, sayang. Kita pergi sekarang.”
Alan menyerahkan payung yang dipegangnya kepada tante Mery. “Tante, tunggu aku di mobil. Ada urusan yang harus aku selesaikan dulu.” Tante Mery membuka mulut hendak memprotes, tapi Alan buru-buru menambahkan, “sebagai gantinya tante dapat potongan setengah harga dan tambahan waktu dua jam, gimana?”
Senyum nakal menghiasi bibir tante Mery. Wanita itu memajukan tubuhnya, memberikan kecupan ringan di bibir Alan. “Oke.” Bisiknya.
Begitu tante Mery berlalu, Alan meraih payung lain lalu keluar menembus tirai hujan.
Jujur saja, wanita satu ini membuatnya sangat penasaran, sejak Rafka bercerita tentangnya. Awalnya Alan kira Rafka hanya bersikap berlebihan. Mungkin dia sedang mabuk kepayang kepada wanita yang begitu perhatian padanya. Lama-kelamaan rasa penasaran kian menggelitik benak Alan tiap Rafka bercerita tentang Rena.
Dan pengakuan di ruangan Maya beberapa hari yang lalu, semakin membuat Alan ingin bertemu langsung dengan Rena. Alan yakin Rena adalah wanita yang sungguh menarik untuk dikenal karena berhasil membuat Maya mengakui hubungannya dengan Rafka demi menyingkirkan wanita itu. Pasti Maya merasa Rena bisa membuat Rafka pergi dari sisinya. Tentu saja wanita iblis itu tidak mau hal itu terjadi karena Rafka adalah asetnya yang paling berharga.
Alan begitu membenci wanita itu. Rafka sahabatnya. Lelaki itu sudah banyak mengalami penderitaan. Dia tidak memiliki siapapun untuk dimintai tolong. Karena itu Alan ingin menolongnya. Walau hanya bantuan kecil. Alan yakin menolong sahabatnya bisa melalui wanita itu. Mungkin Rena lah malaikat penyelamat yang dikirim untuk Rafka.
Rena mendongak ketika Alan berdiri di hadapannya. Tubuhnya tidak lagi diguyur hujan karena payung besar yang digunakan lelaki itu. Selama beberapa saat mereka hanya saling menatap, mempelajari satu sama lain.
Tiba-tiba Alan tersenyum dan memiringkan kepalanya. Secara terang-terangan menelusuri tubuh Rena dengan matanya. “Aku Alan.” Lelaki itu memperkenalkan diri, “Dan kau pasti Rena. Apakah kau mencari Rafka?”
Rena hanya diam terpaku menatap Alan. Pernyataan dan pertanyaan yang datang bertubi-tubi membuat benak Rena kosong.
“Rena?” panggil Alan sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Rena.
Rena seolah tersadar. “Oh, kau benar. Bagaimana kau tahu siapa aku?”
“Perlukah aku menjelaskan?” Alan kembali tersenyum. “Karena itu pasti akan memakan banyak waktu, padahal aku sangat membenci berada di tengah guyuran hujan seperti ini.”
Rena tersenyum malu. “Maafkan aku.”
“Kenapa minta maaf? Dan kau belum menjawab pertanyaanku, apa kau mencari Rafka?”
Beberapa pertanyaan bermunculan di benak Rena. Siapa pria ini? Bagaimana dia bisa tahu siapa dirinya? Sejauh mana lelaki ini tahu tentang hubungan Rafka dan dirinya?
Tapi Rena menelan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia mengangguk perlahan sebagai jawaban.
“Kau tidak akan bisa menemukan Rafka di sini. Ayo, akan kuantar kau ke tempat Rafka.” Alan menggenggam sebelah tangan Rena yang tersampir di pangkuannya, sedikit menarik agar Rena berdiri.
Rena sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dia tidak mengenal lelaki ini. Bagaimana jika Alan adalah suruhan Maya yang berniat mencelakainya?
Tapi menunggu di sini juga tidak ada gunanya, pikir Rena sambil menatap pintu masuk Fly Club. Perhatiannya kembali pada lelaki asing di hadapannya. Nalurinya mengatakan bahwa Alan adalah lelaki yang baik, dan selama ini Rena selalu percaya pada nalurinya.
Perlahan Rena berdiri, sedikit bergidik karena tubuhnya yang basah kuyup. “Baiklah, tolong antarkan aku pada Rafka.” Ucap Rena mantap.
***
Rafka menutup pintu rumahnya dengan enggan. Keningnya disandarkan pada daun pintu yang dingin. Lelaki itu belum ingin pulang. Dirinya belum siap diselimuti kegelapan dan kesendirian yang biasanya menjadi teman akrabnya.
Rafka berniat minum-minum sampai teler begitu kliennya pergi. Tapi Alan menghancurkan rencananya. Ia baru saja menghabiskan gelas keduanya di pojok Club ketika Alan datang dan memaksanya segera pulang.
“Seharusnya kuhajar saja dia.” Desis Rafka di antara kegelapan. Dia sungguh kesal saat mengingat bagaimana Alan menyeretnya keluar lalu mendorongnya pulang. Padahal selain dirinya sendiri, Alan lah yang paling tahu betapa hancur hatinya.
Dengan pelan Rafka menegakkan tubuh lalu berbalik. Dipandanginya rumah yang telah menemani Rafka selama enam belas tahun. Rafka menyebut tempat ini rumah, tapi hatinya tidak pernah merasa bahwa ini rumahnya.
Untuk pertama kali setelah belasan tahun, Rena berhasil membuatnya memiliki rumah. Tempat manapun akan menjadi rumahnya jika gadis itu ada disana.
Rena.
Dadanya selalu berdesir begitu nama itu muncul. Rafka tidak mengerti mengapa gadis sebaik Rena harus hadir dalam hidupnya yang kacau balau. Kenapa Tuhan merencanakan ini. Tapi semua percuma. Rafka harus merelakan Rena pergi. Kali ini tidak ada alasan lagi mereka bisa bertemu.
Rafka mengusap wajahnya dengan keras. Batinnya lelah. Ia ingin tidur nyenyak selama seminggu penuh.
Langkah Rafka lesu ketika berjalan menembus kegelapan menuju kamar. Hujan deras tadi berubah menjadi badai ganas. Cahaya terang-gelap yang dihasilkan kilat mengiringi langkah Rafka.
Kamarnya gelap, tapi Rafka tidak berniat menyalakan lampu. Cahaya kilat sudah cukup membantu penglihatannya. Tujuannya mandi di bawah shower lalu segera tidur hingga siang hari.
Tetesan air hangat yang menimpa punggungnya terasa nikmat. Mungkin dia bisa sedikit bersenang-senang di bawah guyuran air selama beberapa saat. Rafka memejamkan mata sambil mendesah menikmati pijatan di punggungnya.
Bayangan itu terasa nyata.
Tangan hangat Rena merangkul pinggangnya. Bibir manisnya menelusuri pundak Rafka, sambil memberikan ciuman-ciuman kecil hingga di tengkuknya.
Rafka tersentak. Ia mundur menjauhi guyuran air. Nafasnya memburu. Tangannya mengusap rambut basahnya dengan frustasi.
“Pasti aku tertidur sejenak.” Desisnya. “Aku sudah terlalu lelah dan pijatan air shower yang nyaman membuatku mengantuk. Tanpa sadar aku tertidur.”
Bahkan di telinganya sendiri hal semacam itu terdengar konyol.
Rafka segera menyelesaikan mandinya. Ia mengeringkan tubuh dengan asal lalu melilitkan handuk lain ke pinggang. Secara refleks pandangannya tertuju ke atas ranjang begitu keluar dari kamar mandi. Langkahnya terhenti.
Cahaya kilat sejenak menerpa ranjang. Sosok itu begitu jelas. Begitu nyata. Gadis yang sedang duduk sambil memeluk kedua kakinya yang menekuk menatap Rafka. Punggung gadis itu bersandar pada bantal.
Rafka segera menutup matanya sambil menarik nafas panjang. “Kali ini aku sedang berhalusinasi. Mungkin sebentar lagi aku harus dirawat di rumah sakit jiwa.”
Rena terkikik melihat tingkah Rafka. Gadis itu telah menghabiskan setengah jam terakhir dengan membayangkan reaksi lelaki itu begitu melihat dirinya disini. Dan Rena sudah memikirkan bagaimana cara mengatasinya. Tapi melihat Rafka bertingkah konyol sungguh di luar dugaan.
Rena menunggu sambil menahan cengiran lebarnya. Satu menit, dua menit, namun Rafka tidak beranjak. Matanya masih tertutup rapat. Rena cemberut seraya turun dari ranjang. Perlahan didekatinya Rafka yang berdiri kaku dengan kedua tangan terkepal.
Rena berhenti di depan lelaki itu. Tanpa menyentuh, Rena berjinjit lalu mengecup bibir Rafka dengan amat lembut.
Rafka mengerang tapi tetap tidak mau membuka mata. “Aku benar-benar sudah gila.”
Kali ini Rena membiarkan tawanya lepas, bersaing dengan suara guntur. Dengan penuh kerinduan, dirangkulnya tubuh Rafka yang masih basah.
Rafka tersentak merasakan seseorang mendekapnya. Perlahan lelaki itu mengangkat kelopak mata. Hanya kepala Rena yang dibingkai rambut hitam sehalus sutra yang bisa dilihat Rafka. Tubuh Rena yang hanya sebatas pundak Rafka menguarkan aroma yang amat familiar. Aroma yang begitu dirindukan Rafka.
Dengan penuh keraguan Rafka mengangkat tangan lalu membelai rambut gadis itu. Bisakah khayalan terasa senyata ini?
“Rena?” suara Rafka hanya bisikan lembut, khawatir gadis dalam dekapannya tiba-tiba menghilang.
“Iya, ini aku.”
Rafka menghembuskan nafas dengan keras seolah dia menahannya sejak tadi. Matanya kembali terpejam. Dadanya terasa sesak oleh rasa rindu. Kedua tangan Rafka membalas pelukan Rena dengan lebih erat.
Rafka menunduk lalu mengusapkan wajah dalam helai rambut Rena. Menanamkan kecupan panjang di puncak kepala gadis itu sebelum menjauhkan diri tanpa melepas pelukannya, hanya sebatas agar bisa menatap wajah Rena.
“Bagaimana kau bisa berada di sini?”
Bibir Rena merengut manja. “Aku tidak diizinkan masuk ke Fly Club. Jadi aku menunggumu di kursi taman dekat pintu masuk. Lalu seorang temanmu...” Rena terdiam sejenak dengan kening berkerut. “Lalu temanmu—yang sepertinya belum memberitahukan namanya—mengajakku ke sini. Dia bilang aku boleh menunggumu di sini. Kurasa dia teman serumahmu karena dia memiliki kunci rumah ini.”
Rafka langsung bisa menebak siapa lelaki itu, tapi dia melotot pada Rena. “Kau tahu kesalahan apa yang telah kau lakukan?”
Rena menggeleng dengan bingung melihat mata Rafka yang berkilat marah.
“Pertama, hanya karena seorang pria mengatakan akan membantumu bertemu denganku, dengan mudahnya kau mengikutinya. Tidakkah kau mengerti betapa berbahayanya hal itu?”
Rena menunduk dengan rasa bersalah, namun Rafka meletakkan satu jarinya di bawah dagu Rena dan memaksa gadis itu untuk menatapnya kembali.
“Kedua, kau menyiksa dirimu sendiri dengan datang mencariku di tengah cuaca seperti ini. Dan apa tadi kau bilang? Kau menungguku di kursi taman, yang seingatku tidak beratap. Kau membiarkan dirimu diguyur hujan demi menungguku.” Rafka menarik nafas sejenak. Berbagai emosi berkecamuk di dadanya. “Terakhir, kau berada di rumahku. Kalau Maya sampai...”
Jari Rena menutup bibir Rafka, menghentikan ocehan lelaki itu. “Jangan sebut nama iblis wanita itu. Aku tidak rela namanya keluar dari bibirmu.” Suara Rena sedikit serak. Perasaan terluka tercermin dalam matanya. Perlahan Rena menurunkan jemarinya, memberi izin pada Rafka untuk melanjutkan.
“Aku tidak ingin wanita iblis itu tahu kau ada di sini.” Kali ini suara Rafka lebih halus, tidak lagi memarahi. “Dia bisa melakukan hal buruk.”
“Tidak akan ada yang tahu aku di sini. Jam empat pagi nanti aku akan pergi.”
“Kau sungguh nekat. Apakah kau tahu tempat apa ini? Tempat ini semacam...” Rafka ragu bagaimana menyebutnya. “semacam perumahan bagi wanita dan lelaki penghibur asuhan wanita iblis itu. Kalau ada yang melihatmu di sini, orang itu pasti akan melapor.”
“Aku sudah tahu tempat apa ini. Temanmu yang menceritakannya. Dan dia sudah berjanji akan membantuku keluar hidup-hidup.”
“Ha ha, lucu sekali.” Sindir Rafka tanpa senyum.
Rafka kembali mendekap Rena. Mereguk aroma gadis itu. Lalu perlahan dengan penuh kepedihan dan berat hati dijauhkannya tubuh Rena.
“Kau harus pergi dari sini. Lagipula hubungan kita sudah berakhir. Kita tidak ditakdirkan untuk bersama.” Rafka mengusap lembut bibir Rena dengan ibu jarinya untuk menghentikan protes gadis itu. “Kau tidak perlu membantah. Itulah kenyataannya. Mungkin kau akan menemukan...” Rafka tercekat. Perasaan tidak rela dan cemburu menggerogoti dadanya. “pria lain yang jauh lebih baik dariku. Yang bisa melindungimu dan memberimu sebuah keluarga kecil yang bahagia.”
Rena mengangkat tangan lalu meletakkannya di sisi wajah Rafka. “Lalu bagaimana denganmu? Tidakkah kau juga ingin menggapai kebahagiaanmu?”
“Aku pasti bahagia. Cukup dengan memikirkan bahwa dirimu bahagia, aku juga akan bahagia.”
“Kenapa? Apa kau juga mencintaiku?” Rena menunggu dengan cemas jawaban Rafka.
Sambil tersenyum Rafka mengangguk. “Iya, aku juga mencintaimu. Karena itu aku ingin gadis yang kucintai ini bahagia.”
“Tapi kebahagiaanku adalah bersamamu.” Bisik Rena sedih.
Rena menjatuhkan tangan di sisi tubuh, lalu berbalik menuju jendela besar yang menghadap halaman belakang. Perasaan sesak memenuhi dadanya.
“Aku hamil.” Suara Rena rendah bahkan nyaris seperti bisikan.
Namun dua kata itu seperti bom yang meledak di telinga Rafka. Bibir Rafka terbuka tapi tak sepatah katapun yang terucap. Seluruh tubuhnya gemetar karena tegang.
Perlahan Rena berbalik karena tidak ada jawaban. Siap mengulang ucapannya jika ternyata Rafka tidak mendengarnya. Rafka masih berdiri di sana. Di tempat yang sama seperti beberapa saat lalu ketika Rena memeluknya. Tubuh lelaki itu begitu tegang seperti hendak memukul sesuatu. Raut wajahnya seolah dipenuhi teror.
“Maafkan aku karena tiba-tiba mengatakannya. Aku tidak tahu harus basa-basi bagaimana untuk memulai. Jadi aku langsung saja.”
Hening.
Rena menjilat bibirnya dengan gugup, khawatir dengan respon Rafka. “Aku bingung bagaimana cara menjelaskan hal ini padamu. Orang tuaku sudah tahu dan mereka memaksaku untuk membawamu ke hadapan mereka. Mereka ingin kita segera menikah. Jadi aku butuh kepastian darimu.”
Mata Rafka melebar namun tetap tidak ada jawaban.
Rena mulai panik. Apa Rafka akan menolaknya? Mendadak matanya terasa panas. Rena sudah tidak tahan lagi. Dia berbalik dan meletakkan kedua tangannya di bingkai jendela untuk menopang tubuhnya, lalu membiarkan dirinya menangis lepas.
Rena bahkan tidak khawatir lagi akan ada yang mengetahui keberadaannya. Air matanya mengalir deras. Kilat semakin terang menakutkan dan suara guntur silih berganti meramaikan langit malam.
Rena sudah siap menghadapi segalanya. Namun sikap diam Rafka menyakiti hatinya. Menghancurkan bendungan emosi yang ditahan gadis itu. Rafka seolah menolaknya. Rena tidak sanggup bertahan jika Rafka menolaknya.
Kabar mengejutkan Rena membuat Rafka serasa lumpuh. Dia bahkan tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Namun tangis Rena begitu menyayat hatinya. Jiwanya yang kelam seperti teriris. Rafka bergerak menghampiri Rena. Tidak sanggup mendengar tangisnya lebih lama. Lelaki itu mendekap tubuh Rena dari belakang, berharap dapat meredakan rasa sakit yang diderita gadis itu.
“Sshh, kumohon. Berhentilah menangis.”
Rafka menolehkan wajah Rena ke arahnya. Hatinya semakin pedih melihat wajah kekasihnya berurai air mata. Lelaki itu melepaskan pelukannya lalu pindah ke samping Rena. Mereka saling berhadapan lalu Rafka mengecup lembut bibir Rena.
“Jangan menangis lagi.”
“Kau akan menolakku, kan?” suara Rena serak karena tangis. “Kau akan menyuruhku menggugurkan bayi ini, lalu kau akan mengusirku pergi dan tidak boleh kembali lagi.”
Tangis Rena semakin pecah. Rafka kembali mendekap tubuh Rena. Berkali-kali memberikan kecupan mesra di puncak kepala gadis itu untuk meredakan kesedihannya.
“Sayangku, kau pikir aku akan melakukannya?”
Rena mendongak menatap kekasihnya. “Kau tidak akan melakukannya?”
“Mana mungkin aku bisa setega itu? Aku baru menyadarinya. Ternyata aku sangat mencintaimu. Hanya saja berita ini amat mengejutkan. Jadi tolong, beri aku kesempatan untuk memikirkan jalan keluarnya.”
“Berjanjilah bahwa kau akan mencari jalan keluar untuk bisa menikahiku.”
“Sayang, aku...”
“Kalau begitu aku akan menemui wanita iblis itu dan memohon padanya agar melepaskanmu dari sini. Bahkan aku siap memenuhi semua keinginannya.”
Rafka menegang. Rena tidak boleh melakukan itu. Maya pasti akan memanfaatkannya demi kepentingan pribadi. Rafka meraih kedua lengan atas Rena, mencengkeramnya dengan kuat. “Berjanjilah kau tidak akan berbuat seperti itu. Sebagai gantinya aku akan berjanji memenuhi keinginanmu.”
Rena menghembuskan nafas lega. Dia segera menghambur ke dalam pelukan Rafka. “Aku berjanji dan terima kasih.”
Mereka kembali berpelukan selama beberapa saat sambil meredakan emosi masing-masing.
“Aku kedinginan.” Bisik Rafka.
“Aku tahu bagaimana membuatmu hangat.” Rena balas berbisik diiringi seringai nakal.
Rafka menggenggam tangan Rena yang mulai menjelajah. “Kau mau apa, gadis cantikku?” suasana penuh haru tadi telah berubah sepenuhnya. Tangan Rafka yang lain menghapus jejak air mata di wajah Rena. “Sekarang kau harus istirahat karena ada gadis mungil dalam tubuhmu yang mengharapkanmu selalu sehat.”
"Mengapa kau menyebut bayi kita ‘gadis mungil’? Bisa saja dia seorang bayi lelaki.”
“Ibu, Rafka sudah menyiapkan nama untuk gadis mungil itu.”
“’Gadis mungil’ apa?”
“Yang ada dalam perut ibu. Ibu bilang adik Rafka sedang tidur dalam perut ibu.”
“Kenapa kau bilang ‘gadis mungil’? Mungkin saja adikmu laki-laki.”
“Rafka ingin adik perempuan yang cantik.”
Rafka tersentak saat jari-jari Rena menepuk pipinya.
“Ada apa?” bisik Rena. Raut wajah Rafka membuatnya khawatir.
Rafka hanya tersenyum menenangkan. Lelaki itu meletakkan satu jarinya di bawah dagu Rena lalu mendongakkannya. Dengan perlahan bibir Rafka mendekat, menyentuh lembut bibir Rena. Sentuhan lembut itu membawa kenangan lama ketika mereka bersama. Beberapa saat kemudian, Rafka melepaskan ciumannya dengan berat hati.
Rena menunggu hingga beberapa tarikan nafas sebelum berkata, “Jadi, langsung ke babak berikutnya?”
“Tidak ada babak berikutnya. Naik ke atas ranjang sekarang juga lalu tidur.”
Rena mendesah pura-pura kecewa tapi menuruti perintah Rafka. Dia menyelinap di balik selimut. Setelah mengenakan celana piama, Rafka menyusul berbaring di belakang Rena. Dengan lembut Rafka meletakkan kepala Rena di lengannya. Tangannya yang lain menutupi perut Rena dengan posesif.
Rena tersenyum menikmati sikap lembut Rafka. Tangannya sendiri diletakkan di atas tangan Rafka yang melingkari pinggangnya. Perlahan gadis itu terlelap dalam dekapan sang kekasih.
---------------------------
♥ Aya Emily ♥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Rahil Ramadhani
nnti rafka ama rena punya anak kembarrr laki semua
2021-06-01
0
Nya♌
kereeen bgt Thor ceritanya..tp knp ko chapnya dikit ya
2020-11-25
2
Angely
𝘣𝘦𝘨𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘢𝘶𝘵𝘩𝘰𝘳 𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮 𝘣𝘦𝘣𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘙𝘢𝘧𝘬𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘣𝘭𝘪𝘴 𝘮𝘢𝘺𝘢
2020-08-20
0