Senin (10.50), 23 Maret 2020
-----------------------
Rafka bergegas keluar dari ruangan Maya. Darahnya serasa mendidih. Beraninya wanita itu. Berani sekali dia mengatakan bahwa Rafka putranya setelah semua perlakuannya. Dan apa katanya tadi? Berhubungan intim dengan dirinya terasa nikmat karena ini hubungan terlarang?
Benarkah Maya itu seorang manusia? Tingkahnya lebih menyerupai binatang daripada manusia.
Setengah berlari Rafka menyeruak lautan manusia. Pandangannya mencari-cari sosok Rena. Sejujurnya Rafka menyadari bahwa dirinya terlalu berharap. Setelah pengakuan Maya, mana mungkin Rena masih mau berbicara dengan dirinya? Kalaupun Rafka masih memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Rena, apa yang ingin dikatakannya?
Rafka terus mencari hingga sampai di halaman Fly Club. Gadis yang dicarinya tidak ada. Rena pasti langsung pulang. Rafka menyusurkan jemari panjangnya di antara helai rambut. Apa yang dirinya harapkan? Bahwa Rena masih bersedia menatap wajahnya? Pasti sekarang gadis itu sedang muntah karena jijik.
“Rafka.”
Rafka menoleh dan melihat penjaga pintu Fly Club menghampirinya.
“Seorang wanita menunggumu di depan gerbang Fly Club.”
Deg.
Selama dua detik jantung Rafka serasa berhenti berdetak, lalu mendadak berdetak kembali dengan begitu kerasnya hingga terasa menyakitkan. Lelaki itu memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri.
Mungkin bukan Rena, pikirnya mengingatkan diri sendiri. Tapi dia tidak bisa menahan harapan yang membuncah bahwa Rena masih mau memaafkannya.
Rafka berjalan menuju gerbang Fly Club. Debar jantungnya semakin keras ketika melihat mobil Rena diparkir beberapa meter dari gerbang Fly Club. Rafka berdiri dengan ragu di samping mobil Rena, menimbang-nimbang apakah dia harus menunggu hingga Rena keluar atau dia langsung masuk saja. Akhirnya Rafka memutuskan untuk langsung masuk.
Rena sedang duduk bersandar di balik kemudi. Pandangannya terpaku ke depan. Matanya sedikit bengkak. Dia pasti baru berhenti menangis. Rafka memilih diam. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Benarkah yang dikatakan wanita itu?” setelah beberapa menit, Rena memecah keheningan dengan pandangan yang masih lurus ke depan.
“Iya. Dia memang ibuku.” Bisik Rafka pelan. Mengucapkan kalimat itu seperti berusaha menelan kotoran.
Rena menoleh menatap Rafka. Ekspresi terluka terlukis jelas di wajahnya. “Bagaimana bisa kau melakukan itu dengan ibumu?”
“Karena aku lelaki lemah, Rena. Dia selalu mengancam dan melakukan hal aneh jika aku menolak. Itu sebabnya aku tidak mau kau terlibat lebih jauh dalam hidupku. Aku takut tidak bisa melindungimu.”
“Kenapa kau tidak pergi? Kenapa masih bertahan disini? Atau mungkin kau menyukai yang dilakukan Maya padamu?”
Rafka terkekeh ironis. “Aku menyayangi ibuku. Tapi hanya sebatas rasa sayang anak pada ibunya. Aku selalu merasa sangat kotor dan tidak ada harganya sama sekali ketika aku harus melayani ibuku.”
Inikah alasannya Rafka dengan begitu mudahnya mendonorkan ginjal? pikir Rena. Lelaki itu merasa dirinya tidak berharga hingga tidak khawatir lagi dengan keselamatannya.
“Aku sering kali berpikir untuk pergi jauh.” Lanjut Rafka. “Tapi aku selalu membuat alasan untuk tidak pergi. Kadang aku juga berpikir, yang aku dan Maya lakukan, apa aku menyukainya? Aku sama sekali tidak tahu. Yang kutahu hanya aku ingin sekali menghancurkan kepalaku sendiri dengan ribuan beton ketika aku harus melayani Maya.”
Dengan ragu, Rafka meraih tangan Rena. Hati Rafka berbunga saat tidak ada penolakan dari Rena.
“Setelah aku bertemu denganmu aku baru menyadarinya. Aku sama sekali tidak menyukai apa yang kami lakukan. Bersamamu aku baru mengerti arti kenikmatan. Bersamamu aku baru mengerti arti kebahagiaan.”
Setetes air mata bergulir di pipi Rena. Jemari Rafka bergerak untuk menghapus air mata itu.
“Lalu aku kembali berpikir, apa yang menahanku di tempat ini?”
“Apa sekarang kau tahu alasannya?” bisik Rena.
“Ya, aku sudah tahu. Aku tidak bisa meninggalkan tempat ini karena ibuku ada di sini. Satu-satunya orang tua yang masih kumiliki. Betapapun aku membencinya, aku tidak bisa menghilangkan perasaanku yang selalu mengatakan, dia adalah ibuku. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian.”
Rafka menyandarkan punggung di jok mobil. Jemarinya masih terus menggenggam tangan Rena seolah itu tali penyelamatnya. Pandangannya menerawang.
“Ketika ayah masih hidup, kami sangat bahagia. Ibu begitu menyayangiku, dengan cinta yang sebenarnya. Cinta seorang ibu kepada anaknya. Mereka selalu memanjakanku. Sebagai balasan, aku mencintai mereka tanpa syarat.” Rafka menghela nafas sejenak. “Sampai suatu hari, kecelakaan itu terjadi. Bus yang ditumpangi ayah untuk berangkat bekerja mengalami tabrakan beruntun. Ayah tewas seketika. Waktu itu aku tidak mengerti apa artinya. Tapi yang kutahu aku tidak bisa bertemu ayah lagi. Dan sejak saat itu aku tidak pernah melihat senyum ibu lagi. Senyum tulus penuh cinta yang biasa menghiasi bibirnya.”
Inikah yang dimaksud mama? pikir Rena. Rafka butuh alasan untuk melepaskan dirinya sendiri dari tempat itu. Apakah dirinya sudah cukup menjadi alasan agar Rafka mau meninggalkan dunia malamnya?
Rena meragukan hal itu. Tidak pernah sekalipun Rafka mengatakan bahwa ia mencintai dirinya. Bahkan Rafka belum bisa menerima cinta Rena. Sedangkan cinta Rafka pada ibunya begitu murni. Sangat tulus dari seorang anak kepada ibunya.
Tidak. Belum.
Rena belum bisa menjadi alasan bagi Rafka untuk meninggalkan dunia malamnya.
“Berapa usiamu saat itu?” Rena berbisik. Dia sungguh ingin memahami lelaki ini.
“Empat atau lima tahun. Sekitar itu.”
“Kau masih kecil sekali. Lalu apa yang terjadi setelah itu?”
Rafka tersenyum sambil menoleh menatap Rena. “Kau masih mau mendengarkan?”
Rena mengangguk.
Jemari Rafka terulur lalu dibenamkan di antara helai rambut Rena. Perlahan ia menarik jemarinya, menikmati kehalusannya. “Gadis bodoh. Seharusnya sekarang kau lari menjauh. Kenapa masih disini?”
“Karena aku bodoh dan sangat mencintaimu.”
Debar di dada Rafka semakin cepat dan menyakitkan. Mendadak dia seperti kehabisan udara.
“Rena, kau membuatku sesak nafas.” Bisik Rafka. “Aku butuh oksigen.”
Gadis itu menatap Rafka bingung. Mendadak Rafka menarik Rena mendekat, menahan belakang kepala Rena dengan jemari panjangnya, lalu menyatukan bibir mereka. Rafka mencium bibir Rena seolah itu nafasnya.
Puas dengan bibir Rena, bibir Rafka bergerak ke rahang gadis itu terus ke telinga. Dia menggigit kecil daun telinga Rena, membuat gadis itu mendesah.
“Aku harus pergi sekarang.” Bisik Rafka di telinga Rena.
Mendadak Rena menjauhkan diri. Tanpa menunggu respon dari Rafka, Rena menyalakan mesin mobil lalu menginjak gas. Mobil melaju dengan kecepatan normal, menyeruak lalu lintas malam.
Selama beberapa saat Rafka hanya menatap Rena bingung lalu ia terkekeh. “Apa aku diculik?”
Rena menyeringai. “Kau tawananku sekarang.”
“Ditawan gadis secantik dirimu, aku tidak akan melarikan diri.”
“Aku pegang ucapanmu.”
Tawa Rafka perlahan memudar mendengar nada serius dalam kalimat Rena. “Kita tidak bisa bersama, Rena. Aku takut kau terluka.”
“Aku hanya ingin mendengar kelanjutan kisahmu.”
“Sudah banyak yang kau ketahui tentang diriku sekarang. Tapi aku sama sekali tidak tahu tentangmu. Apa kau masih memiliki keluarga? Bagaimana kehidupanmu ketika tidak bersamaku? Yang kutahu hanya seorang gadis cantik bernama Rena bersedia menghabiskan akhir pekannya bersama diriku. Dan dia bilang, dia mencintaiku.”
Rena tidak membalas ucapan Rafka. Dia memilih diam dan konsentrasi mengemudi. Keheningan yang panjang melanda mereka hingga mobil berhenti di tepi pantai.
Tempat itu sepi. Penerangan hanya berasal dari lampu di dalam mobil. Debur ombak terdengar jelas namun tidak tampak pergerakan karena gelap.
“Pertama kali kita bertemu, kau juga pergi ke pantai. Sepertinya tempat ini cocok untuk menjadi tempat terakhir kita.”
“Selama hidupku, untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Karena itu aku tidak akan pernah setuju hubungan kita berakhir tanpa alasan yang jelas.”
Rafka menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan frustasi. “Apakah yang kau alami selama bersamaku belum cukup sebagai alasan?”
“Masih banyak rahasia di antara kita. Aku masih ingin tahu bagaimana bisa kau dan ibumu terjebak di tempat semacam itu. Dan kau pasti masih penasaran bagaimana aku bisa jatuh cinta padamu.”
“Mungkin itu lebih baik. Kita jadi tidak terlalu terlibat antara satu sama lain.”
Mendadak Rena mematikan lampu mobil. Kini mereka diliputi kegelapan. Cahaya bulan sama sekali tidak membantu karena hanya menyorot lemah.
Rafka merasakan Rena bergerak pindah ke kursi belakang. Tubuh Rafka tertarik karena jemari mereka masih saling bertaut.
“Apa yang kau lakukan?” bisik Rafka. “Apa kita menjadi buronan dan harus bersembunyi?” tanya Rafka sambil pindah ke kursi belakang di samping Rena.
Gadis itu terkikik geli. “Hanya agar tidak ada yang melihat kita.” Tangan Rena mulai meraba-raba mencari kancing kemeja Rafka. “Kenapa kau selalu memakai kemeja?”
Rafka terkekeh. Dengan insting, tangan Rafka kembali menangkup belakang kepala Rena lalu mendekatkan bibir mereka. “Karena klienku masih tetap bisa melepaskan pakaianku sementara kami saling berciuman.”
Rena menggeram. “Kau menyebalkan!”
“Mau bukti?”
Rafka langsung mencium bibir Rena sementara jemari gadis itu membuka satu-persatu kancing kemeja Rafka lalu melepaskannya dari tubuh lelaki itu.
“Lihat, kan!” bisik Rafka serak.
“Jangan bicara lagi!”
“Gadis kecil, kau makin liar.”
Mereka pun saling merapat. Melepaskan dahaga satu sama lain. Desah nafas mereka berbaur bersama debur ombak. Menjadi melodi yang meramaikan langit malam. Kegelapan menjadi selimut yang membungkus mereka.
***
Rafka baru saja keluar dari gerbang Fly Club. Mendadak sebuah sedan hitam mengkilat melintas di depannya lalu berhenti. Dari pintu belakang Maya turun dan langsung menghampiri Rafka.
“Ikut aku sekarang! Aku ingin jalan-jalan menikmati cuaca pagi ini yang cerah.”
Rafka berkacak pinggang. “Apa lagi rencanamu kali ini?”
“Kau sangat mengerti diriku, sayang.” Maya terkekeh. “Iya. Aku punya rencana. Aku ingin menemui cucuku.”
Mata Rafka melebar. Apa dia tahu tentang Juan?
“Ayolah, Rafka. Apa kau tidak mau mengawasiku? Bagaimana kalau aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melukai bocah kecil itu, terutama setelah yang kau lakukan?”
Rafka langsung berjalan melewati Maya menuju sedan hitam yang masih terparkir, membuka pintu belakang lalu menyelinap masuk.
Maya tersenyum licik lalu ikut masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah Rafka.
-----------------------------
♥ Aya Emily ♥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Iis Mansyur
selalu sukaaa dengan karya kak aya
2021-03-26
0
lintang berseri
alur kaya gini blm pernah aq Nemu ini,,,,, bikin syok
2021-03-20
1
Zaitun
maya kan manusia biasa.. di bisa di kalah kan...
2021-02-19
1