Pengganti Ayah

Senin (12.00), 23 Maret 2020

-------------------------

“Apa kau sudah memastikan semua berjalan lancar?” Maya bertanya sambil menuang brendi ke dalam dua gelas.

“Tentu saja.” Sahut Freddy saat menerima gelas yang diulurkan Maya. “Aku tidak akan mengambil resiko untuk hal semacam ini. Aku sendiri yang akan mengawal pengirimannya hingga ke perbatasan.” Freddy berhenti sejenak untuk menyesap minuman keras itu lalu kembali menatap Maya yang duduk di seberangnya. “Kau yakin ini heroin murni?”

Maya menghembuskan asap rokok sebelum berkata, “Kau bisa coba sendiri untuk memastikannya. Aku selalu menyediakan barang yang berkualitas.”

Freddy terkekeh. “Ya, aku tahu.”

Maya menatap Freddy tajam. “Freddy, ini pertama kalinya aku mengandalkan seseorang selain diriku sendiri. Jika aku sampai tertangkap karena insiden ini, kaupun juga akan terseret. Kita berdua pasti akan menghabiskan waktu yang lama di penjara. Pastikan tidak ada masalah sekecil apapun, dan kita berdua pasti selamat.” Lalu Maya menyeringai lebar. “Bahkan kita akan untung besar.”

“Aku sudah melakukan semuanya dengan hati-hati sesuai instruksimu. Kau juga tahu bahwa aku mempertaruhkan karirku di kepolisian untuk melakukan semua ini. Aku tidak akan membuat kesalahan.”

Maya mengangkat gelas berisi cairan kekuningan itu. “Bersulang untuk kita berdua.”

Freddy juga mengangkat gelasnya. “Untuk kita berdua.” Ucapnya sambil menahan senyum.

Maya menelan seteguk brendi sebelum menghisap rokoknya kembali. Dia mengalihkan pandangan ke jendela kaca yang menutupi seluruh dinding bagian samping ruang kerjanya. Dari jendela itu dia bisa mengawasi seluruh aktivitas di ruang disko. Tapi dari luar berupa cermin sehingga tidak ada yang bisa mengawasi dirinya.

Pandangannya terpaku pada sosok lelaki di tengah keramaian. Begitu menonjol seperti mata air di tengah gurun pasir. Melihat Rafka selalu membuat hatinya terasa hangat. Rafka adalah miliknya. Tidak ada apapun yang bisa merebut Rafka dari sisinya. Wanita itu hanya pengganggu kecil. Biasanya Maya tidak akan membiarkan kesalahan semacam itu. Namun kali ini Maya akan memaafkannya. Rafkanya sedang bosan. Hal kecil pasti bisa membuat perhatiannya teralihkan. Tapi Maya harus memastikan bahwa Rafka tidak akan pernah meninggalkannya.

Maya menoleh kembali pada Freddy. “Bagaimana keadaan putramu?”

Freddy tersenyum lebar. Binar cinta tampak jelas di kedua matanya. “Merepotkan seperti biasa.”

“Apa dia menyukai hadiahku?”

Freddy terkekeh. “Ya, dia sangat menyukainya kira-kira selama sepuluh menit. Juan baru berusia satu setengah tahun. Dia menyukai banyak hal.”

“Ya, kau benar.” Maya mematikan rokok di asbak keramiknya sebelum melanjutkan, “Dan istrimu, bagaimana kabarnya?”

“Menyenangkan seperti biasa, dan bertambah manja. Tapi tidak pernah membuatku bosan.” Senyum sayang melintas di bibir Freddy.

“Apa dia masih tidak ingat masa kecilnya?”

“Seperti yang kuceritakan padamu. Kecelakaan itu membuatnya kehilangan semua kenangan masa kecilnya. Walau pengurus panti mengatakan bahwa Ratna tidak kehilangan ingatan yang penting, namun seringkali dia merasa harus mengingat sesuatu.”

“Yah, kenangan memang sesuatu yang berharga. Orang lain tidak bisa menentukan kenangan itu penting atau tidak, kecuali si pemilik kenangan. Kenapa kau tidak mencoba membantu istrimu mengingat kembali? Mungkin dia hanya butuh dorongan.”

Freddy mendesah. “Kadang aku juga berpikir begitu. Tapi Ratna merasa bahwa ada sesuatu yang mengerikan tentang kenangannya. Aku jadi tidak tega mendesaknya untuk mengingat. Mungkin itu salah satu alasan mengapa Ratna kehilangan ingatannya. Pasti kenangan itu terlalu mengerikan untuk diingat.”

“Mungkin kau benar.” Maya menyeringai licik. “Jika itu sesuatu yang amat mengerikan untuknya, sebaiknya dia tidak perlu ingat.”

Freddy mengangguk setuju sambil melirik jam tangannya. “Aku harus kembali ke kantor.” Freddy bangkit.

Maya tetap duduk tenang sambil meneguk brendinya. Dia masih menikmati rasa cairan itu di lidahnya ketika Freddy mengenakan jaketnya.

“Freddy,” suara Maya nyaris seperti bisikan. “Jangan temui aku dulu hingga pengiriman selesai, kecuali jika aku yang menemuimu.”

Freddy mengangguk lalu berbalik. Sebelum dia sempat melangkah, pintu kantor terbuka. Rafka menatap Freddy dan Maya bergantian dengan mata terbelalak. Kedua orang yang ditatap Rafka tampak tenang dan menunggu reaksinya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” nada Rafka lebih tajam dari yang ia maksudkan. Rafka tidak habis pikir apa yang dilakukan suami adiknya di sini, sedang berduaan dengan wanita yang nyaris menghancurkan masa depan adiknya.

Pikiran-pikiran buruk melintas di benak Rafka. Apakah Freddy sebenarnya adalah suruhan Maya? Apakah selama ini lelaki itu telah membohongi gadis mungilnya? Apakah pernikahan Ratna juga adalah rekayasa Maya?

Freddy membuka mulut hendak menjawab, namun Maya mendahului. “Dia datang untuk menemuiku.” Lalu Maya berkata pada Freddy. “Freddy, kau bilang harus segera kembali ke kantor. Pergilah sekarang sebelum bosmu mencarimu.”

Freddy mengangguk sekilas pada Rafka lalu berjalan keluar.

Rafka menatap Maya dengan sorot tidak percaya. “Apa maksud semua ini?”

“Kami hanya membicarakan bisnis. Lupakan saja!”

Maya bangkit menuju Rafka yang sedang berdiri di tengah ruangan. Seulas senyum tersungging di bibirnya.

“Aku merindukanmu.” Desah Maya sambil meletakkan kedua tangannya di dada Rafka.

Rafka melompat mundur menjauhi Maya hingga membuat Maya tersentak kaget.

“Jangan coba untuk menyentuhku lagi atau aku akan menyakitimu.” Desis Rafka diantara giginya yang terkatup rapat.

Maya berhasil memulihkan diri dengan cepat atas penolakan Rafka. Senyum sinis tersungging di bibirnya. “Wah, wah. Akhirnya pengaruh nona kecil itu mulai tampak hasilnya.”

Rafka mengabaikan ucapan Maya. “Aku akan pergi dari sini. Mulai hari ini aku tidak akan tinggal di sini lagi. Aku datang menemuimu untuk mengucapkan selamat tinggal.”

Sosok Maya yang biasanya tenang dan dingin kini berubah seketika. Kepanikan memenuhi matanya yang membelalak. Wajahnya memucat. Bibirnya ternganga kaget. “Tidak. Kau tidak boleh melakukannya.”

Rafka diliputi rasa heran mendengar suara Maya yang nyaris histeris. “Aku akan pergi. Kali ini kita tidak akan pernah bertemu lagi.”

Rafka tidak lagi menunggu respon Maya. Lelaki itu berbalik membelakangi Maya yang masih berdiri mematung. Tinggal dua langkah lagi menuju pintu ketika Rafka terhenti karena Maya memeluknya dari belakang. Kedua lengannya melingkari tubuh Rafka. Tubuhnya menempel ketat di punggung Rafka.

“Maafkan aku.” rengek Maya. “Aku minta maaf karena memperlakukanmu dengan buruk. Tapi kupikir sekarang kita impas karena kau sudah membuatku menjual diri selama bertahun-tahun. Sekarang aku tidak akan bersikap buruk lagi.”

Rafka mengerutkan kening dengan heran mendengar ocehan Maya. “Hentikan, Maya! Apa maksudmu?” Rafka menggeliat berusaha melepaskan diri.

“Kumohon, jangan tinggalkan aku! Aku hancur ketika kau meninggalkanku untuk pertama kali. Aku tidak akan sanggup bertahan jika kau meninggalkanku lagi. Beri aku kesempatan untuk merubah segalanya. Kita akan hidup bahagia bersama. Kau dan aku akan bersama seperti dulu.”

Rafka mulai tidak sabar. Dia berusaha lebih keras melepaskan diri.

“Arman, kumohon! Jangan hukum aku lagi.”

Tubuh Rafka seketika menegang. Wajahnya memucat. Dadanya amat nyeri. Rasanya seseorang sedang membelah dadanya lalu menikam jantungnya berkali-kali hingga hancur.

Dengan kasar Rafka mencengkeram kedua lengan Maya lalu menyentaknya hingga tubuh Maya terdorong beberapa langkah, bahkan nyaris tersungkur. Rafka langsung berbalik menatap Maya dengan jijik. Nafasnya memburu dengan marah. Penglihatan Rafka buram karena air mata yang menggenang. Lelaki itu menahannya agar tidak meleleh.

“Maya! Buka matamu dan lihat aku!” bentak Rafka. “Aku putramu. Aku bukan ayah.” Rafka menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. “Inikah alasannya? Inikah alasannya mengapa kau memperlakukanku seperti ini? Kau berharap aku menjadi pengganti ayah. Bagaimana bisa kau melakukan ini?”

Maya menyatukan kedua tangan di dada dengan posisi memohon. “Tidak, sayang. Aku tidak berusaha menjadikanmu pengganti siapapun. Kau adalah Armanku. Kau adalah reinkarnasi Arman. Kau hanya belum mendapatkan kembali ingatan Arman.” Maya terisak. “Dunia tahu betapa kita saling mencintai. Karena itu kau dikembalikan padaku.”

Rafka meremas rambutnya sendiri karena frustasi. “Kau sudah gila. Kau benar-benar sudah gila! Dan jika aku masih tetap di sini, pasti aku akan ketularan kegilaanmu.”

Rafka berbalik untuk membuka pintu, namun Maya berhasil merenggut lengannya. “Kau tidak boleh menolak takdir kita.”

Kali ini Rafka tidak lagi menahan tenaganya. Dia menyentak lengannya sekaligus mendorong Maya dengan keras ke lantai.

“Kalau kau keluar dari pintu itu, kau akan menyesal!” Maya berteriak.

Rafka mengabaikannya. Dia segera keluar tanpa menoleh lagi.

“Aku bersumpah kau akan menyesalinya seumur hidup!” Maya berteriak semakin keras namun dia hanya berbicara pada pintu yang menutup perlahan. Beberapa pasang mata tampak memperhatikan dari balik pintu. Tapi Maya sudah tidak peduli lagi.

Masih diliputi berbagai perasaan buruk yang bercampur aduk, Maya bangkit menuju meja kerjanya. Dia meraih telepon lalu menekan serangkaian nomor yang begitu dihafalnya.

“Ebas, kau masih punya data wanita yang kutunjukkan padamu waktu itu?” setelah Ebas menjawab, Maya melanjutkan. “Kalau begitu cari wanita itu lalu habisi dia. Aku ingin dia mati mengenaskan. Dan kalau kau mau, kau bisa menikmati tubuhnya dulu.”

***

Rafka mengabaikan beberapa orang yang berkumpul di sekitar ruang kerja Maya. Ia bergegas menyusuri koridor menuju pintu belakang gedung Fly Club. Dari sana hanya berjalan sekitar lima puluh meter untuk mencapai tempat tinggalnya.

Langkah Rafka terhenti ketika bayangan di sampingnya membuat dirinya tercekat. Rafka berbalik lalu melihat wajahnya sendiri yang terpantul di kaca. Dia tidak sanggup menyangkal betapa mirip wajahnya dengan wajah sang ayah. Bahkan sampai sekarang Rafka masih suka menatap foto sang ayah, menganggap kemiripan mereka adalah anugerah. Tapi ternyata dia salah. Kemiripan mereka adalah musibah.

Jemari Rafka mengepal lalu melayang menghantam kaca. Bayangannya runtuh bersamaan dengan suara kaca yang hancur. Nafas Rafka memburu.

“Astaga, Rafka!” Alan menggenggam pergelangan tangan Rafka yang jemarinya terluka. Dia mendesah sebelum berkata. “Ayo pulang.”

“Pulang?” Rafka melotot. “Tidak ada tempat pulangku di sini.”

“Terserahlah.” Alan menarik Rafka agar mengikutinya.

Mereka berjalan dalam diam. Alan sendiri tidak tahu bagaimana cara menghibur Rafka. Dia juga mendengar pertengkaran di ruang kerja Maya tadi. Alan juga tidak menyangka kalau Maya menganggap Rafka sebagai pengganti suaminya. Kalau seperti ini, bagaimana cara menghibur Rafka?

Tiba-tiba Rafka berhenti. Alan menoleh menatap Rafka untuk melihat apa yang menahannya. Mata Rafka berkilat penuh amarah. Perhatiannya tertuju pada seorang lelaki yang sedang bersandar di dinding, tepat di sebelah pintu keluar, seolah memang menunggu mereka. Alan tidak sempat mencegah ketika Rafka menyentak tangannya hingga terlepas dari genggaman Alan lalu menghambur ke arah lelaki itu.

Rafka berdiri tepat di depan lelaki itu lalu mencengkeram kerah kemejanya. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini, hah?” bentak Rafka dengan nafas memburu. “Katakan padaku! Apa Maya dalang dibalik pernikahanmu?”

Freddy hanya berdiri tenang menghadapi kemarahan Rafka. “Aku sudah lebih dulu menikah sebelum mengenal Maya. Pernikahanku tidak ada hubungannya dengan Maya.”

Cengkeraman Maya di kerah kemeja Freddy semakin kuat. “Maya itu betina licik. Kalau kau ingin pernikahanmu selamat, kalau kau ingin anak dan istrimu tidak terluka, menjauhlah dari Maya!”

“Yang sedang kulakukan bersama Maya juga demi kebahagiaan keluargaku.”

“Kau bilang bersama Maya demi kebahagiaan?”

Alan merenggut kedua tangan Rafka sambil menariknya menjauh. Dia khawatir Rafka bertindak kasar kepada polisi. Freddy bisa membuatnya dipenjara cukup lama.

Freddy merapikan kembali kerah kemejanya. “Bukan itu alasanku menemuimu. Kau tidak perlu khawatir tentang keluargaku. Aku akan menjaga mereka. Dan tentang Maya,” Freddy melipat kedua tangan di depan dada lalu menatap Rafka lurus. “apa yang kulakukan bersama Maya sangat penting bagiku. Aku sudah mempertaruhkan segalanya. Dan aku tidak mau ada kesalahan apapun. Jadi, aku harap kau jauhi Maya. Karena kau tampaknya bisa membuat rencanaku hancur. Kalau tidak, aku akan melakukan sesuatu yang sedikit kasar padamu.”

Rafka sudah siap menghajar Freddy namun Alan menahannya. Alan berdiri di antara mereka sambil menahan tubuh Rafka di belakang tubuhnya. “Sebagai polisi, seharusnya kau lebih jeli.” Ucap Alan tenang. “Tapi terserah kalau kau merasa semua yang kau lakukan itu benar. Itu hakmu. Hanya saja, sebagai sesama manusia aku ingin mengingatkan. Perhatikan sekelilingmu sebelum bertindak. Jangan sampai kau membuat kesalahan fatal yang akan menghancurkan hidupmu dan hidup orang-orang yang kau cintai.”

Selesai mengatakan itu, Alan menarik Rafka keluar tanpa menunggu tanggapan.

Freddy menatap tajam pintu yang menutup di depannya. “Dia benar-benar akan menjadi masalah. Aku harus melakukan sesuatu.”

***

“Sekarang sudah jam satu dini hari.” Ucap Alan sambil sesekali mengalihkan pandangan dari jalan untuk menatap Rafka. “Kau yakin mau menemui Rena sekarang? Dia pasti sudah tidur.”

“Aku punya kunci rumahnya.” Rafka berkata tanpa semangat. Pandangannya kosong menatap keluar jendela. “Lagipula ini salahmu. Seharusnya kau membiarkanku menemui Rena tadi sore. Tapi kau malah memaksaku menjelajahi seluruh kota ini tanpa tujuan.”

“Setidaknya kau akan menemui Rena dalam keadaan tenang. Bukan penuh amarah seperti tadi.”

Mereka terdiam selama beberapa saat lalu Alan kembali memecah keheningan. “Tentang Freddy, aku juga khawatir. Kalau semua yang dia katakan itu benar—tentang ketidakterlibatan Maya dengan pernikahannya—kuharap dia sungguh bisa melindungi keluarganya.” Alan tersenyum. “Kau ingat waktu kita datang ke pernikahan mereka tanpa diundang? Mereka terlihat bahagia. Aku tidak mungkin salah lihat. Mereka saling mencintai. Yah, walaupun aku juga tidak menyukai hubungan Freddy dan Maya, tapi aku percaya pada Freddy. Dia akan melindungi keluarganya.”

Rafka mendesah. “Aku hanya berharap Freddy tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum.”

Mereka kembali terdiam selama sisa perjalanan. Hanya suara Rafka yang sesekali memberi arahan.

Alan berbelok dengan mulus di tikungan memasuki area perumahan tempat tinggal Rena. Alan mengerutkan kening dengan heran melihat barisan mobil polisi. Rafka yang sebelumnya duduk bersandar tanpa semangat kini duduk tegak dengan waspada.

Seorang polisi menghadang jalan dan memberi tanda pada mereka agar memutar balik.

Alan mengangguk pada polisi itu lalu memundurkan mobil dan memarkirnya di sisi jalan. Bisa dibilang Rafka melompat keluar setelah mesin mobil dimatikan. Alan bergegas mengikuti Rafka yang sudah berjalan tergesa.

Beberapa warga sekitar tampak berkerumun membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka saling berbisik untuk mengumpulkan informasi. Alan dan Rafka mengabaikan orang-orang itu. Namun langkah mereka terhenti di depan garis kuning polisi yang mengelilingi rumah mungil Rena.

Jantung Rafka serasa berhenti. Dia tidak sanggup memikirkan apa yang sedang terjadi pada Rena. Seorang polisi menahan Rafka ketika ia mencoba menerobos garis kuning.

“Tolong, pak. Izinkan saya masuk. Gadis yang tinggal di rumah ini adalah kekasih saya.” Pinta Rafka memelas.

Polisi yang kelihatan jauh lebih muda dari Rafka itu terdiam. Dia menyipitkan mata sambil meneliti Rafka dan Alan dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Kalaupun kau berkata jujur, aku tidak punya wewenang untuk mengizinkanmu masuk.”

“Kalau begitu izinkan aku menemui polisi yang berwenang.” Ucap Rafka.

“Kau harus menemui Komandan Freddy. Dia ada di sana.”

Polisi muda itu menunjuk trotoar di depan tembok pembatas rumah Rena. Rafka bisa melihat seseorang yang berseragam polisi berdiri jauh dari kerumunan. Orang itu sedang berbicara serius di telepon.

Alan dan Rafka saling menatap penuh tanya.

“Mungkin hanya kebetulan.” Desis Alan sambil menepuk bahu Rafka. Mereka berjalan beriringan menghampiri Freddy yang memunggungi mereka.

“Jangan khawatir, Maya. Semua akan baik-baik saja. Akan kupastikan namamu bersih dari kasus ini.”

Langkah Rafka terhenti. Tubuhnya menegang. Rafka hendak menerjang Freddy namun tertahan tubuh Alan yang menghadang di depannya. “Beraninya kau!”

Freddy tersentak lalu berbalik. Matanya bertatapan dengan mata Rafka yang berkilat penuh amarah. Pemandangan yang seolah sudah melekat pada diri Rafka akhir-akhir ini.

“Rafka hentikan! Jangan bertindak gegabah di sini.” Alan mengingatkan.

Namun Rafka tidak mendengarkan. Pandangannya fokus pada Freddy. Rafka bisa melihat sekilas keterkejutan di wajah Freddy ketika melihat dirinya, sebelum ekspresinya kembali datar dan tenang.

Mendadak Rafka merasakan sakit yang menyengat di belakang kepalanya. Seluruh kepala Rafka terasa berat. Tubuhnya melemas. Pandangannya berkunang. Rafka masih sempat melihat Alan terbelalak menatapnya dengan bibir terbuka lebar, sebelum pandangan Rafka menjadi gelap dan tubuhnya mati rasa.

------------------------

♥ Aya Emily ♥

Terpopuler

Comments

Ulif Yuhanna

Ulif Yuhanna

cengkraman Rafka 😁

2022-11-08

0

Ulif Yuhanna

Ulif Yuhanna

Maya yang ini kejam banget. tapi gak semua Maya kejam ya ckckck

2022-11-08

0

Umriyah Purnawati Sholikhah

Umriyah Purnawati Sholikhah

dulu ada kasus kyk gini ,,ibu berhubungan bdn sm anaknya krn klo lht anaknya kyk lht suaminya yg sdh meninggal.prnh jd bntg tamu d acara talk show d slh saty stasiun TV.

2021-03-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!