Sore hari, Tari ikut berjualan bersama ayahnya. Ia tak merasa malu sedikitpun, baginya waktu bersama keluarga adalah segalanya.
"Tar, biar Bapak saja yang jualan. Kamu di rumah sama Ibu," ucap Doni.
Tari menggelengkan kepalanya, "Tari bantu Bapak aja. Lagipula menjelang malam pembeli ramai, nanti Bapak kewalahan."
Doni tersenyum tipis, ia merasa senang dengan perubahan Tari saat ini. Selain itu, Doni juga bisa jauh lebih dekat dengan putrinya.
"Mbak, beli gorengannya."
Tari menoleh ke sumber suara, dua pasang mata kini bertemu.
"Noval," ucap Tari.
"Oh, Tari. Kamu jualan?" tanya Noval sembari memperhatikan gerobak dagangan milik Tari juga ayahnya.
Tari mengangguk, "ia. Bantu-bantu Bapak," jawabnya.
"Mau beli apa aja?" tanya Tari tanpa sungkan.
"Campur aja, Tar." Noval menjawab asal. Matanya tanpa sadar tak henti memperhatikan gerak gerik Tari.
"Hebat. Perempuan, masih muda, tapi gak malu bantu orangtuanya jualan." Noval memuji sikap terpuji Tari dalam hatinya.
Tanpa sadar, Tari sudah menyodorkan pesanan Noval sedari tadi.
"Hei!" Seru Tari sampai membuat Noval terhentak.
"Ya, duh, maaf. Jadi gak fokus," ucap Noval sembari gelagapan.
Tari mengerutkan keningnya, "jangan ngelamun makannya," sindirnya.
Noval terkekeh, "berapa?" tanyanya.
"Lima belas ribu, aja." Tari menjawab seadanya.
Noval merogoh dompetnya, ia menyodorkan selembar uang berwarna biru.
"Kembaliannya tukar sama nomor kamu aja," ucap Noval.
Tari terdiam, ia terkejut mendengar ucapan Noval.
"Nomor, aku?" tanyanya memastikan.
Noval mengangguk," iya, boleh?" tanya Noval sembari memberikan ponselnya pada Tari.
Tari tersenyum tipis, lalu ia mengangguk. Tari mengetikkan nomor teleponnya di ponsel Noval.
"ini," sodor Tari.
"Ini," ucap Doni, memberikan kembalian milik Noval.
Tari dan Noval terdiam mendapati sikap Doni yang tanpa mereka sadari, sedari tadi mendengar percakapan mereka.
"Nomor anak saya sudah dapat, sekarang ambil kembaliannya. Kegedean," ucap Doni sambil terkekeh.
Noval yang merasa malu, dengan gugup menerima uang kembaliannya.
Ia juga segera berpamitan, sebelum Tari dan Doni menyadari pipinya yang mulai memerah karena menahan malu.
"Liatin aja terus." Doni mencolek putrinya yang sedari tadi memperhatikan Noval.
"Bapak apaan, sih." Tari tersipu, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
***
Jerry, tengah menikmati hidupnya yang kini bergelimang harta.
Setiap harinya ia hanya ongkang-ongkang kaki, melihat kenaikan omset bisnisnya setiap bulan.
"Jer, gimana omset kita bulan ini?" tanya ayah Jerry.
"Selalu ada kenaikan." Jerry menjawab sambil berbangga diri.
"Bagus kalau gitu. Semoga usaha kita selalu maju," harapan sang ayah.
Jerry benar-benar dibuat lupa pada masa lalunya, masa dimana ia sangat kesulitan.
Mengadu nasib di kota orang, membuat harus memutar otak setiap harinya. Ia lupa dengan kawannya yang selalu ada saat susah, ia lupa pada rumah kontrakan nya yang sempit, ia lupa pada Noval yang sering ia pinjami mobil, dan ia lupa pada Tari.
Harta membuatnya terlena, tak ada lagi cerita susah makan. Tak ada lagi mengemis meminjam kendaraan, bahkan meminta sebatang rokok.
Ya, ini Jerry sekarang. Jerry si kaya raya.
***
Sudah hampir jam sepuluh malam, Tari juga sang ayah bersiap untuk pulang. Tari mengemas sisa dagangan yang belum terjual, sedangkan Doni sibuk merapikan penggorengan.
"Sisanya segini, Pak." Tari memperlihatkan satu buah kantung kresek berukuran cukup besar yang berisi gorengan.
Doni melirik, sejenak ia terdiam.
"Kita bawa pulang aja dulu, nanti kalau kita tawarin ke tetangga. Kali aja ada yang mau," ucap Doni.
Tari mengangguk, ia berjalan di samping sang ayah yang tengah mendorong gerobak dagangan. Sesekali Tari melirik sang ayah, ia merasa kasihan melihat Doni dengan susah payah mendorong gerobak menuju rumah.
"Pak, kenapa gerobaknya gak di taruh di tempat jualan? Jadi Bapak kan gak usah bolak balik bawa gerobak," ucap Tari.
Dengan nafas terengah, Doni mencoba menjelaskan alasannya pada Tari.
"Kalo di simpan, biaya titipnya mahal, Tar. Daripada di pakai untuk bayar sewa tempat, mending buat kebutuhan lain."
Tari terdiam, "Tapi kan Bapak jadi capek harus dorong-dorong gerobak."
Doni terkekeh, "gak apa-apa, itung-itung olahraga."
Tari tersenyum tipis, dalam hatinya ia masih merasa kasihan pada sang ayah.
"Kapan yah, aku bisa sewakan tempat buat Bapak. Biar Bapak gak terlalu cape," ucapnya dalam hati.
Doni memperhatikan raut wajah putrinya, sekilas ia dapat menebak yang tengah dipikirkan sang anak.
"Tar, hidup itu singkat. Memang semuanya itu perlu uang, tapi gak semua juga harus pake uang. Contohnya, kebersamaan kita. Semua orang pasti sering menebak-nebak kehidupan orang lain, dan yang paling sering terjadi adalah melihat dari sisi senangnya. Ketika orang lain melihat hidup kita itu adem-adem aja, gak ada masalah, senang-senang aja, itu tidak sepenuhnya benar, tapi ya gak salah juga. Mereka tidak tahu bagaimana kita berjuang, bagaimana kita berproses, mereka hanya tahu hasilnya aja. Dan menurut Bapak, kesenangan atau kesusahan itu balik ke diri kita sendiri, intinya sih gimana caranya kita menikmati hidup aja. Di bawa senang ya senang, di bawa susah ya pasti susah."
Mendengar ucapan sang ayah, membuat Tari kagum pada sosok cinta pertamanya itu. Ya, seorang ayah itu bagaikan cinta pertama untuk anak perempuan. Banyak pelajaran yang Tari ambil dari sang ayah, bagaimana menyikapi setiap masalah, bagaimana harus bersikap bijak, dan yang penting, Tari belajar bagaimana cara menikmati hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
ᵉᶜ✿💞puji 💞hiatus
ciye Noval mulai naksir nih sama tari
2022-02-19
0