Saat dokter Annisa tengah menulis surat rujukan, tiba-tiba saja Nita dengan lantang menghentikannya.
"Tunggu Dok!" Seru Nita.
"Kenapa? Ada apa?" Tanya Doni.
"Pak, memangnya kamu punya uang buat biaya rumah sakit?" Tanya Nita.
Doni terdiam, ia sebenarnya memang tidak memiliki pegangan.
"Kita pikirin itu nanti, sekarang kesehatan Tari lebih penting!" Ucap Doni dengan tegas.
"Kita? Aku gak mau yah pusing mikirin biaya rumah sakit." Nita menentang.
"Dok, apa gak ada cara lain? Usia kandungan Tari bukannya masih kecil, janinnya juga terakhir di periksa belum kelihatan. Apa harus dilakukan kuret?" Tanya Nita.
Dokter Nisa menaruh bolpoint yang sedari tadi di pegangnya.
"Ada cara lain, Bu. Saya bisa saja kasih Tari obat, bisa membantu mengeluarkan darah kotor yang masih tersisa. Tapi ya mungkin tidak seperti tindakan kuret," jawab dokter Nisa.
"Ya sudah kasih obat saja, Dok. Kalau nanti hasilnya gak beda jauh, kuret kan bakal lebih sakit." Nita memutuskan secara sepihak.
"Bu, tapi..."
"Gak usah tapi-tapi! Pokoknya kasih obat saja, Dok."
Nita menyela Ari yang hendak berbicara, tak ada yang melanjutkan perdebatan itu.
Doni dengan terpaksa menuruti kemauan istrinya, walau dalam hati ia sangat tidak menyutujuinya.
Tari yang belum lama telah sadar, mendengar apa yang ibunya ucapkan. Rasanya sakit, mendengar seorang ibu yang memprioritaskan uang dalam segala hal.
Tari menahan tangisnya, sambil masih belum mau membuka matanya.
"Ya sudah, saya resepkan obat untuk Tari. Setelah obat habis, kita kontrol lagi. Kita lihat apa sudah bersih atau masih ada yang tersisa," ucap dokter Nisa.
Tari mulai membuka matanya, membuat Doni dan yang lain segera berhambur menghampirinya.
"Tari, kamu sudah sadar? Gimana, apa yang kamu rasain?" Tanya Doni yang sangat mengkhawatirkan putrinya.
Tari menangis, ia memeluk erat tubuh ayahnya.
"Maafin Tari, Pak. Tari udah bikin bapak susah," ucap Tari.
Doni mengelus puncak kepala putrinya, sembari memberikan semangat kepada Tari.
"Sudah gak usah minta maaf, yang penting kamu sehat."
"Pak, Bu, ini obatnya. Habiskan, yah." Dokter Annisa memberikan bungkusan obat kepada Nita, dan menyarankan agar Tari beristirahat agar cepat pulih.
Sebelum pergi, Nita sempat berpesan pada dokter Nisa.
"Dok, saya mohon. Jangan beri tahu siapapun tentang kejadian ini, terutama orang kampung."
Dokter Nisa mengangguk, sudah tugasnya untuk menjaga privasi pasien.
"Iya, Bu. Semoga cepat pulih, yah."
Doni dan semuanya berpamitan, biaya untuk penanganan Tari saat itu di bayar oleh Ari. Walaupun ia tengah marah pada ulah sang adik, namun ia juga tak tega melihat kondisi Tari yang seperti saat ini.
Setelah sampai di rumah, Tari segera masuk ke kamar di antar oleh ayahnya. Ia masih tak percaya dengan apa yang di alaminya saat ini, betapa hancurnya ia mendengar calon anaknya yang harus gugur.
"Kamu istirahat, yah." Doni membantu putrinya berbaring. Nita yang baru saja masuk ke dalam kamar Tari, segera menyimpan makanan juga obat di nakas samping tempat tidur putrinya.
"Kamu makan, terus minum obatnya. Biar darahnya cepat keluar, biar cepat sembuh terus kerja lagi!" Dumelnya.
Doni menggelengkan kepalanya, "kamu tuh, kalau bicara bisa enakan sedikit gak? Tari kan harus kita kasih semangat," ucap Doni.
"Loh kan ini juga Ibu kasih dia makan, suruh dia minum obat, biar apa? Biar dia cepat sembuh, biar gak terus diem di rumah. Pak, Tari itu harus cari uang buat ganti uangnya Vina yang dia pinjemin sama si Jerry itu," tukas Nita.
"Memangnya bapak mau bayarin hutangnya Tari? Punya Bapak uang sebanyak itu? Dagangan aja masih sering gak habis," lanjut Nita.
"Iya! Tari bakal makan, minum obat. Tari gak akan nyusahin bapak sama Ibu! Lagipula, Tari begini juga karena Ibu, kan? Coba kalau Ibu gak nyuruh Tari makan nanas muda itu, mungkin Tari gak akan kayak gini." Tari meluapkan emosinya yang sedari tadi ia tahan, pernyataan Tari juga membuat Doni kaget.
"Apa? Ibu nyuruh kamu makan nanas muda?" Tanya Doni.
Nita dan Tari terdiam, terlebih Nita yang akan segera mendapat dampratan dari sang suami karena ulahnya.
"Kamu keterlaluan Nita! Kamu suruh Tari makan nanas muda yang jelas-jelas di larang buat yang lagi hamil, sama saja kamu mau bunuh anak kamu sendiri! Kalau sampai ada apa-apa sama Tari gimana? Kamu bunuh calon anak Tari, kamu itu Ibu macam apa, hah?" Doni naik pitam.
"Pak, aku ngelakuin itu juga buat Tari. Kalau di biarin, terus perutnya tambah besar, gimana? Orang-orang bakal tahu tentang Tari yang hamil di luar nikah! Malu, Pak." Nita membela diri.
"Rasa malu kamu lebih besar daripada rasa takut kamu kehilangan nyawa anakmu sendiri! Kamu benar-benar gak punya perasaan!" Bentak Doni.
"Bapak gak usah berlebihan kayak gini, toh sekarang Tari gak apa-apa, kan? Janinnya sudah keluar, dia juga sudah bisa lanjutin hidupnya. Lanjutin kerja buat cari uang!" Balas Nita.
"Uang, uang, uang terus yang kamu pikirin!" Seru Doni.
"Lah, memang benar, kan? Uang itu segalanya, Pak. Hidup butuh uang," jawab Nita yang tak mau kalah.
"Harus kamu inget, Nita. Uang memang segalanya, tapi gak semua bisa di beli pakai uang. Kebahagiaan, keluarga yang saling mengerti dan menyayangi! Kamu gak bisa beli itu pakai uang."
"Cukup! Pak, Buk, berhenti. Tolong keluar dari kamar Tari," ucap Tari sembari terisak.
Doni menghela nafasnya, ia lalu berlalu memberi ruang untuk putrinya. Nita pun pergi keluar dari kamar Tari, tanpa ia merasa bersalah sedikitpun pada putrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments