Doni duduk di ruang tengah, mencoba merendam amarahnya pada Nita. Ari dan Vina baru saja datang, mereka berniat untuk melihat kondisi Tari.
Pemandangan yang tak mengenakan tersaji di antara Doni dan Nita, membuat Ari penasaran dengan apa yang telah terjadi kepada orang tuanya.
"Pak, kenapa?" tanya Ari dengan hati-hati.
"Tanya saja sama Ibumu!" seru Doni, dengan amarah yang masih bergemuruh.
Ari beralih menatap ibunya, meminta penjelasan tentang pernyataan sang ayah.
"Bu?"
Nita menelan ludahnya dengan susah payah, ia malas harus kembali membicarakan tentang apa yang telah di lakukannya pada Tari.
"Bu, kenapa diam? Ini ada apalagi, sih?" tanya Ari menuntut jawaban.
"Ibumu yang menyuruh Tari menggugurkan kandungannya!"
Doni memberikan jawaban, ia sangat geram dengan tingkah sang istri.
Tentu saja, penyataan Doni sontak membuat Ari dan Vina terkejut.
"Apa? Maksud Bapak?" Ari masih mencoba mencerna ucapan sang ayah.
"Ibumu suruh Tari makan nanas muda! Dia ingin kandungan Tari gugur," jawab Doni, sembari menutup wajahnya tanda kecewa.
"Astagfirulloh, Bu. Kenapa Ibu tega berbuat kaya gitu ke Tari? Ibu tahu itu beresiko, kalau ada apa-apa sama Tari gimana?" Ari pun dibuat kecewa oleh sikap ibunya. Entah apa yang di pikirkan ibunya sampai bisa melakukan hal sejahat itu.
Vina merasa miris, ia tak banyak bicara. Vina berlalu menuju kamar Tari, ia bermaksud untuk memberi semangat dan menenangkan adik iparnya itu.
"Iya, iya! Ibu salah. Ibu lakuin itu juga buat Tari, Ibu gak mau dia menanggung malu karena hamil diluar nikah!" Seru Nita, ia tak tahan terus-terusan di salahkan.
"Aku ngerti, Bu. Tapi cara Ibu itu salah, cara Ibu bisa membuat trauma Tari." Ari mencoba menahan emosinya.
"Memang sekarang janin Tari sudah gak ada, tapi itu juga gak bisa merubah apa yang sudah terjadi sama Tari, Bu. Masa depan dia sudah rusak, jangan Ibu menambahnya lagi dengan hal yang bisa bikin Tari trauma!" Ari menjelaskan.
Nita terdiam, ia juga sebenarnya tidak mau menyakiti putrinya. Ia melakukan semua itu hanya agar putrinya tak menjadi bahan gunjingan, terlebih karena Jerry tak bertanggung jawab.
"Bu, yang harus kita lakukan sekarang hanyalah memberi semangat pada Tari. Kalau bisa kita juga bantu mencari si Jerry," lanjut Ari.
Semua terdiam, menenangkan diri mereka masing-masing.
Di kamar Tari, Vina mencoba untuk mengajak adik iparnya itu berbicara.
Vina duduk di tepi ranjang, mengelus lembut bahu Tari.
"Sabar, yah. Mbak tahu perasaan kamu," ucap Vina dengan hati-hati.
Vina mendengar Tari yang menahan isakannya, ia langsung memeluk Tari dengan hangat.
"Kamu boleh kok nangis, boleh banget." Vina mengelus lembut puncak kepala Tari.
Tari menenggelamkan wajahnya di dada Vina, tangisnya pecah. Rasanya dadanya sangat sesak, perih yang teramat dalam ia rasakan kini.
"Hidup Tari udah hancur, Mbak." Tari berucap dalam tangisnya.
"Tari bukan perempuan baik-baik," lanjutnya.
"Sstt!!! Jangan ngomong kayak gitu, Tar. Kamu harus kuat, kamu harus menata hidup kamu lagi. Buktiin sama dia kalau kamu bisa tanpa dia!" Seru Vina, ia tak ingin adik iparnya itu kehilangan semangat hidup.
Tari mengangkat kepalanya, "aku harus cari Jerry, Mbak."
Vina terdiam, ia juga memang ingin bertemu dengan Jerry, ia ingin mengambil uangnya kembali.
"Mau cari kemana?" Tanya Vina.
Tari terdiam, ia memang tak tahu harus mencari Jerry kemana. Memang salah Tari selama berhubungan dengan Jerry ia tak tahu dimana Jerry tinggal, siapa saja teman-temannya, atau jika saja Tari punya nomor yang bisa dihubungi selain Jerry.
"Aku bingung, Mbak." Tari mengeluh.
"Kita cari jalan keluarnya bareng-bareng. Untuk urusan uang, Mbak gak bisa janjiin apapun. Kamu tahu sendiri Mas Ari gimana," ucap Vina.
Tari mengangguk, ia sangat paham dengan hal itu.
"Tari bakal tanggung jawab, Mbak. Tari bakal cicil," sahut Tari.
"Maafin Mbak, yah." Vina menatap adik iparnya itu dengan perasaan tidak enak.
"Gak apa-apa, Mbak. Tari memang salah," jawab Tari.
Tari tersenyum tipis, ia menghembuskan nafasnya perlahan.
"Tari bakal kerja lagi, kerja yang lebih giat. Buat bayar uang Mbak Vina, buat bantu Bapak sama Ibu juga." Tari menyemangati diri sendiri.
"Nah gitu dong, Mbak yakin kamu bisa. Kamu harus percaya, bakal ada laki-laki yang lebih baik segalanya dari Jerry," ucap Vina.
Tari mengangguk, walau dalam hatinya masih sangat perih.
Memang benar, nyatanya seseorang yang menyakiti kita sangat dalam ialah orang yang paling kita percaya.
Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, karena pada akhirnya semua hasil sudah ditetapkan untuk kita. Jika yang kau inginkan tiba-tiba menjauhimu, maka itu memang bukanlah milikmu. Namun jika hal yang tidak kau inginkan malah mendekatimu, yakinlah kamu tidak akan pernah bisa lari darinya.
...***...
Hari baru untuk Tari, ia memutuskan untuk kembali bekerja. Melupakan kejadian pahit dalam hidupnya, menata diri agar menjadi lebih baik.
Mencoba berdamai dengan keadaan, mencoba untuk tegar menghadapi cobaan.
"Tar, kamu mau kemana pagi-pagi gini?" Tanya Doni ketika melihat putrinya sudah berpakaian rapih.
Terlebih, kini Tari kembali mengenakan pakaian yang lebih tertutup, namun masih tanpa hijab.
"Tari mau masuk kerja, Pak." Tari menjawab seadanya.
"Memangnya kamu sudah sehat?" Tanya Nita yang tengah membereskan dapur.
"Tari sudah agak enakan, kok. Lagipula, Tari harus cari uang buat bayar hutang ke Mbak Vina."
Tari telah siap, ia mengulurkan tangannya pada Doni dan Nita.
"Gak sarapan dulu?" Tanya Nita.
"Nggak. Nanti aja," jawab Tari.
"Tari berangkat, assalamu'allaikum."
"Wa'allaikumsalam," jawab Nita dan Doni bersamaan.
"Kamu harus minta maaf sama Tari," ucap Doni pada Nita.
"Kamu lihat dia sekarang, berusaha bangkit sendiri. Walaupun ibunya sendiri tega menyuruhnya menggugurkan kandungannya." Doni menyindir.
Nita terdiam, entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Tapi yakinlah hati kecil seorang ibu pada anaknya, ada kasih sayang yang teramat tulus.
Di perjalanan menuju tempatnya bekerja, tak sengaja Tari melihat sebuah mobil yang tak asing melintas di hadapannya.
"Mobil itu, kan?"
Tari terdiam, menatap mobil yang masih terjangkau oleh pandangannya.
Dengan cepat, Tari mencari pengemudi ojeg dan memintanya mengejar mobil yang ada di hadapannya.
"Mas lebih cepet lagi bisa, gak?" Tanya Tari, ia tak ingin kehilangan jejak mobil di depannya.
"Ini udah paling cepet, Neng. Kalau di tambah, takut." Pengemudi ojeg itu menjawab dengan setengah berteriak.
"Apa itu Jerry atau mobilnya yang sama?" Tari bertanya-tanya dalam hatinya.
Berbagai pertanyaan timbul dalam benaknya, hingga Tari lengah dan kehilangan jejak mobil yang di kejarnya.
"Mas, mobilnya kok ilang? Kita ketinggalan?" Tanya Tari.
"Waduh, iya kayaknya Neng. Abis tadi di depan ada yang nyalip, jadi gasnya di pelanin."
Penjelasan sang pengemudi membuat Tari kecewa, hampir saja Tari bisa bertemu dengan pemilik mobil itu. Ia sangat penasan siapa yang mengemudikan mobil itu, ia berharap kalau itu adalah Jerry.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
ᵉᶜ✿💞puji 💞hiatus
semoga tari tetap bangkit y, semangat buat author sehat selalu🤗🙏
2021-11-23
0