Ari, vina, juga kedua orang tua Tari, kini tengah berkumpul di ruang tamu.
Mereka semua tertunduk, mereka semua masih tak percaya dengan apa yang telah terjadi.
Ari semakin dibuat marah oleh tindakan Jerry, selain uang istrinya yang di bawa kabur, kini adiknya harus kehilangan masa depan karena ulah bejad Jerry.
"Jika harus ada yang di salahkan, siapa yang bertanggung jawab atas kejadian ini?"
Doni berucap, tanpa menatap kearah manapun. Raut wajahnya begitu kusut, rasanya ia sudah gagal menjadi pemimpin keluarga.
"Kamu, ini sebabnya kenapa aku tidak selalu menuruti kemauan Tari. " Doni menambahkan, kini ucapannya tertuju pada dang istri.
Mata Novi menyipit, tubuhnya kinu menghadap sang suami.
"Jadi kamu nyalahin aku?" Tanya Novi dengan nada tersinggug.
"Lalu siapa? Kamu desak Tari buat cepet kerja, kamu izinin Tari pake baju yang kurang bahan, kamu juga izinin dia main sama teman laki-lakinya sampe nginep! Masih mau bilang kamu gak salah?" Doni berdiri, emosinya kembali mencuat.
"Aku lakuin itu semua juga buat Tari. Apa salahnya pake baju gitu? Sudah zaman juga, kan. Lagipula apa yang sudah kamu kasih ke Tari, hah? Kamu bisa penuhi semua kebutuhan dia tanpa harus dia cari uang sendiri? Bisa kamu siapin jodoh yang mapan agar dia bisa hidup enak? Lagipula sudah gak aneh lagi kok anak perempuan zaman sekarang hamil duluan," cetus Nita.
Praanggg!!!
Ari juga Vina terkejut, begitupun Nita. Sebuah gelas di banting oleh Doni, pecahan beling kini berserakan di lantai.
"Sudah gak aneh katamu! Anakmu sudah di rusak masa depannya, dan kamu masih bisa bilang kalau itu sudah gak aneh! Dimana hati kamu sebagai seorang ibu, Nita! Ya, aku memang belum bisa bahagiain kamu, bahagiain Tari, aku belum mampu penuhi semua kebutuhan kalian. Aku belum bisa kasih kalian hidup enak, tapi bukan berarti aku rela anakku harus terbawa arus oleh zaman yang kamu sebut sudah gak aneh lagi! Martabat aku sebagai seorang suami gak ada artinya di mata kamu!"
"Pak, Bu, cukup! Ari mohon cukup!" Ari mencoba menengahi perdebatan bapak dan ibunya.
"Gak ada yang harus disalahkan! Gak ada gunanya juga saling menyalahkan kayak gini. Yang harus kita pikirin sekarang, gimana caranya biar si Jerry itu tanggung jawab!" Tutur Ari.
"Bapak capek, Ri. Hati bapak hancur! Bapak merasa gagal menjadi pemimpin keluarga," ucap Doni sembari berlalu meninggalkan istri juga anaknya.
Ari mencoba menyusul sang ayah, namun Vina menghalangi langkahnya.
"Biarin bapak tenang dulu, kasih bapak waktu sendiri."
Ari terdiam, ia menuruti perkataan istrinya.
Nita terduduk lesu, ia masih tak menyangka suaminya bisa menyalahkan dirinya atas kejadian yang menimpa putri bungsunya.
"Ari sama Vina pulang dulu, kita bicarain lagi besok."
Ari memutuskan untuk pergi, memberi ruang untuk kedua orang tuanya saling menenangkan diri.
"Astagfirulloh... Astagfirulloh, ya Allah kenapa semua ini menimpa keluargaku. Kenapa ujian yang Engkau berikan begitu berat," ucap Doni. Isak tangisnya terdengar begitu pilu, hatinya begitu perih menerima cobaan yang tengah menimpa keluarganya.
***
Pagi hari, Tari terbangun dari tidurnya. Wajahnya kusut, rambutnya berantakan. Tangannya menggapai ponsel yang ia simpan di nakas samping tempat tidurnya, ia berniat untuk menghubungi rekan kerjanya, Novi.
Ia memberitahu bahwa hari ini tidak dapat masuk kerja, rasanya Tari seakan sudah kehilangan semangat hidup.
Setelah selesai mengirim pesan pada Novi, Tari kembali meringkuk, menutup tubuhnya dengan selimut.
"Tar."
Terdengar suara panggilan di luar kamar Tari, Nita mencoba untuk menemui dan berbicara dengan putrinya.
Dengan terpaksa, Tari bangun dan membuka pintu kamarnya.
"Ada apa, Bu?" Tanya Tari dengan lesu.
Nita masuk, dan kembali menutup pintu kamar putrinya.
"Sini, ibu mau bicara." Nita membawa Tari duduk di tepi ranjang.
Tari masih bingung dengan apa yang ingin dibicarakan ibunya, "ada apa sih, bu?" Tanyanya.
"Ibu mau bawa kamu ke klinik," ucap Nita dengan yakin.
"Hah? Ke klinik? Gak, ah. Buat apa, bu?" Tanya Tari, jelas ia menolak karena ia merasa malu dengan kondisinya.
"Buat apa? Ya buat cari tahu usia kandungan kamu," jawab Nita.
"Pokoknya ibu mau bawa kamu ke klinik," Nita bersikukuh dengan kemauannya.
Tari terdiam, ia tak punya pilihan lain selain menuruti perintah ibunya. Di sisi lain, Tari juga ingin memperjelas hasil tes kehamilannya. Tari berharap hasil yang saat ini diterima adalah sebuah kesalahan, ia berharap kalau hasil dari alat kehamilan itu tidak akurat.
"Ya udah, aku mau."
Hari itu juga, Tari dan ibunya pergi ke klinik. Mereka pergi tanpa meminta izin dari Doni, bahkan Nita pun belum kembali berbicara dengan suaminya setelah kejadian pertengkaran kemarin.
"Bu, bapak tahu?" Tanya Tari.
"Gak usah ngomongin bapak, ibu lagi gak mau bicara sama bapak kamu!" Cetus Nita, ia masih tak terima dengan ucapan Doni yang menyalahkannya.
Sesampainya di klinik, Tari menunggu ibunya yang tengah mendaftarkannya.
Beruntungnya, Tari dan ibunya datang lebih awal. Mereka mendapatkan urutan pertama, dan tak butuh waktu lama Tari pun di panggil masuk ke ruang pemeriksaan.
"Kenapa, Bu?" Tanya dokter kandungan yang akan memerika Tari.
"Anak saya mau periksa kandungan, Dok." Nita membantu menjawab pertanyaan dokter.
"Oh, boleh. Silahkan berbaring, kita lakukan dulu USG, yah."
Tari berdiri, dan menuruti perintah sang dokter, dengan gugup ia pun membaringkan tubuhnya diatas ranjang.
Menunggu dokter menyiapkan alat, dan melakukan pemeriksaan terhadapnya.
"Boleh di angkat bajunya, Mbak. Bagian perutnya aja, yah. Kita olesi dulu gelnya," pinta dokter pada Tari.
Dengan tangan gemetar, Tari mulai mengangkat sedikit bajunya.
Ia sempat terkejut karena gel yang dingin mulai di oleskan pada perutnya.
"Ok kita mulai yah," ucap dokter sembari menggerakan alat USG dan melihat keadaan kandungan Tari.
"Emm ini kantungnya, Mbak, Bu. Janinnya belum terlihat, sementara ini masih kantungnya aja." Dokter telah selesai melakukan pemeriksaan, ia mengambil sehelai tissu untuk membersihkan perut Tari yang basah karena gel.
"Untuk sekarang usia kandungannya masih lima minggu, masih sangat muda. Ada keluhan mual atau pusing?" Tanya dokter.
"A... Ada, Dok." Tari menjawab dengan gugup.
"Ok, saya kasih vitamin yah," ucap sang dokter.
Dokter menuliskan resep, dan memberi Tari vitamin untuk mengurangi keluhannya selama hamil muda.
"Jadi kalau sekarang janinnya masih belum terlihat, Dok?" Tanya Nita.
"Betul, Bu. Nanti sekitar satu bulan lagi ibu sama mbaknya bisa kontrol lagi, nanti kita lihat kondisi janinnya. Apa janinnya berkembang, atau tidak." Dokter menjelaskan.
Nita mengangguk, Tari hanya bungkam dan tak mau banyak bicara.
Selesai pemeriksaan, Nita dan Tari segera pergi dari klinik.
"Kita langsung pulang, bu?" Tanya Tari, ia merasa badannya lebih mudah lelah dari biasanya.
"Nggak, ibu mau ajak kamu ke suatu tempat dulu."
"Kemana?" Tanya Tari.
Nita melihat ke sekeliling, ia lalu berbisik kepada Tari.
"Kita ke dukun beranak," jawab Nita dengan suara pelan.
"Hah? Mau apa, Bu?" Tanya Tari, ia terkejut mendengar jawaban ibunya.
"Tari, dengerin ibu. Usia kandungan kamu masih kecil, masih kantungnya aja. Kata dokter janinnya masih belum keliatan," tutur Nita.
"Jadi maksud ibu, gimana?" Tari masih tidak mengerti tujuan ibunya mengajaknya ke dukun beranak.
Nita menghela nafasnya, lalu ia kembali berbisik pada Tari.
"Kita gugurin kandungan kamu," ucapnya.
"Apa? Ibu becanda, kan?"
Tari begitu tak percaya dengan jawaban yang diberikan ibunya.
"Tari, mumpung perutnya belum kelihatan. Memangnya kamu gak malu apa sama orang-orang? Kalau mereka sampai tahu kamu hamil diluar nikah, kamu bakal jadi gunjingan orang sekampung! Mau kamu?" Tanya Nita.
Tari terdiam, ia tak ingin orang-orang sampai tahu kalau dirinya hamil. Tapi Tari juga takut untuk melakukan aborsi, ia takut jika hal itu akan berdampak buruk pada nyawanya.
"Tapi Tari takut, bu." Air matanya mulai mengalir, Tari benar-benar ketakutan.
"Ada ibu. Sudah ayo ikut saja," ajak Nita. Ia menggandeng tangan anaknya dengan paksa, membawanya ke tempat yang ia tuju.
Sepanjang perjalanan, Tari diliputi rasa khawatir.
"Pak berhenti," teriak Tari pada sopir angkot.
"Tari, kenapa berhenti?" Tanya Nita karena anaknya tiba-tiba saja menghentikan laju angkutan umum yang mereka tumpangi.
Tari segera turun dari angkot, ia langsung membayar dan menjauh dari angkutan itu.
"Aku gak mau," ucap Tari.
"Gak mau gimana? Terus kamu mau membesarkan anak kamu tanpa ayahnya? Kamu mau nanggung malu aib kamu sendirian?" Nita benar-benar marah pada putrinya. Ia sudah berencana untuk mengeluarkan janin yang ada di dalam perut Tari, ia tidak mau orang-orang tahu aib anaknya itu.
"Tari takut, bu. Gimana kalau pas lagi ngeluarin janinnya, ada apa-apa sama Tari? Ibu gak khawatir apa sama Tari?" Tari menangis, ia kecewa dengan sikap ibunya.
Nita terdiam, ia sangat kesal pada putrinya karena telah menggagalkan rencanya. Tanpa sengaja, terlintas cara lain di otak ibu dua anak itu.
"Ikut ibu," pinta Nita yang telah berjalan mendahului Tari.
Tari menghela nafasnya, ia mengikuti langkah cepat ibunya yang kini menuju sebuah mobil yang tengah berjualan aneka macam buah-buahan.
"Ibu mau beli buah?" Tanya Tari.
Nita tak menggubris, ia langsung menanyakan sesuatu pada pedagang buah itu.
"Ada nanas muda?" Tanyanya.
"Ada, Bu. Mau berapa biji?" Tanya pedagang itu pada Nita.
"Satu kilo aja," ucap Nita.
Pedagang itu mengangguk, ia lalu memilihkan buah nanas yang paling muda untuk Nita.
"Lebih dikit gak apa-apa, Bu. Jadi delapan puluh ribu," ucap pedagang itu.
"Hah, mahal banget, bang. Gak bisa kurang?" Tanya Nita, ia terkejut dengan harga nanas muda yang melebihi harga daging ayam per kilo.
"Ini nanas muda hutan, bu. Sudah dapatnya, kalau mau ya silahkan." Pedagang itu tak menurunkan harga sedikitpun pada Nita.
"Beli setengah kilo aja, Bang." Nita akhirnya membeli setengahnya.
"Ya sudah kalau gitu, sebentar, Bu."
Pedagang buah itu membungkus nanas pesanan Nita.
Nita pun menyodorkan uang sebanyak empat puluh ribu kepada pedagang itu.
"Makasih," ucap Nita sembari berlalu pergi.
"Bu, nanas muda buat apa? Ibu mau bikin rujak?" Tanya Tari.
"Gak usah banyak tanya! Kita pulang," ajak Nita yang masih kesal pada putrinya.
Tari hanya menghembuskan nafasnya kasar, ia sungguh sudah merasa lelah.
Ditambah Nita yang kembali mampir ke apotek untuk membeli sesuatu, membuat Tari ingin segera sampai di rumah.
Setelah perjalanan yang lumayan melelahkan, sampailah Tari dan ibunya di rumah. Tari segera bergegas masuk ke dalam kamar, namun langkajnya terhenti karena Nita yang menyodorkan kantong keresek padanya.
"Ini apa, Bu?" Tanya Tari.
"Nanas muda yang tadi buat kamu, makan!" Titah Nita.
"Makan? Tapikan rasanya pasti asem, Bu. Lagian aku kan lagi hamil," ucap Tari sembari menurunkan nada suaranya.
"Justru itu tujuannya! Kamu makan nanas itu, biar janin kamu keguguran." Nita menekankan ucapannya.
"Apa?" Tari kembali dibuat terkejut oleh tindakan ibunya.
Ia seakan tak percaya, ibunya bersikukuh untuk menggugurkan kandungannya. Tari merasa sangat hancur, selain di tinggal oleh Jerry, ia kini harus menerima perlakuan sadis ibunya sendiri.
"Apa aku harus melakukannya," ucap Tari dalam hati, sembari mengelus perutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments