Sudah satu bulan, Tari tak mendapat kabar dari kekasihnya. Sudah satu bulan juga ia mencari cara agar dapat mengganti uang kakak iparnya, Vina. Entah kenapa, saat ini Tari benar-benar merasa menyesal. Ia teringat pada ucapan ayahnya, ia juga menyesal sudah mengabaikan larangan sang ayah yang tidak mengizinkannya pergi bersama Jerry waktu itu.
"Hey, ngelamun terus."
Tari dibuat kaget oleh rekan kerjanya, ia juga sempat berniat untuk meminta bantuan pada Novi.
"Kenapa, sih? Ada masalah?" Tanya Novi.
"Tar, ada apa? Cerita dong. Oh iya, kenapa kamu gak dateng ke pernikahan aku tempo hari?" Tanya Novi yang memang baru saja melangsungkan pernikahan.
"Iya maaf Nov, aku lupa. Kemarin-kemarin memang ada sedikit masalah," sahut Tari.
Novi memaklumi, ia masih berniat mencari tahu apa yang terjadi pada Tari.
"Kalau boleh tahu, masalah apa sih? Kayaknya kamu kepikiran banget sampe kerja aja gak fokus," tutur Novi.
Tari menghela nafasnya, ia juga merasa berat memendam semua masalahnya sendirian.
"Aku kelilit utang, Nov." Tari berucap dengan mata berkaca-kaca.
Terlihat jelas di wajah Novi rasa terkejut, "utang? Kok bisa, Tar. Bekas apa?" Tanya Novi.
"Sebenarnya yang punya utang bukan aku, tapi..."
"Tapi, siapa?" Tanya Novi.
"Jerry," ucap Tari.
"Jerry? Dia pinjam uang ke kamu atau gimana? Sumpah aku belum ngerti," tuntut Novi penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Tari mulai menceritakan semua kejadiannya dari awal, ia bahkan beberapa kali mengusap air matanya.
Novi yang mendengar cerita Tari, refleks mengepalkan tangannya.
"Gak punya malu banget si Jerry, punya utang bukannya di bayar malah kabur! Terus gimana sekarang? Belum ada kabar juga?" Tanya Novi.
Tari menggelengkan kepalanya dengan lemah, ia benar-benar bingung harus berbuat apa.
Tiba-tiba saja, Tari merasakan sesuatu yang aneh terjadi.
Ia lari secepat yang ia mampu menuju kamar mandi, ia memuntahkan segala isi perutnya.
Melihat tingkah aneh temannya, Novi segera menyusul Tari.
"Tar, kamu kenapa?" Teriak Novi sembari mengetuk pintu kamar mandi yang di masuki oleh Tari.
Tari tak menjawab, ia masih berusaha memuntahkan segala apa yang membuat perutnya tak nyaman.
Mendengar Tari yang tengah muntah, membuat Novi semakin khawatir.
Ia berlari keluar kamar mandi, dan kembali dengan membawa sebotol air mineral ditangannya.
Pada saat Novi masuk, Tari pun keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang lemas.
"Tar, minum dulu!" Novi menyodorkan minuman yang di bawanya.
Tari segera menegak minuman yang di bawakan oleh Novi, rasa mualnya sedikit berkurang.
"Kamu gak apa-apa?" Tanya Novi.
Tari mengangguk lemas, ia juga meminta izin untuk pulang lebih cepat.
Ia merasa ada hal aneh terjadi pada tubuhnya, ia belum pernah merasakan mual seperti yang baru ia alami.
"Mau aku pesenin taksi online?" Tanya Novi.
"Gak usah, aku bisa sendiri. Makasih ya, Nov. Maaf aku pulang duluan," ucap Tari.
Ia segera mengambil tasnya, dan pergi meninggalkan tempatnya bekerja.
Sebelum pulang menuju rumah, Tari berniat untuk mampir ke suatu tempat. Ia bermaksud untuk membeli suatu barang, barang yang akan membantunya mengatasi rasa khawatirnya.
Tari berjalan menyusuri gang menuju rumahnya, pikirannya bercabang. Beberapa kali juga ia tak sengaja menabrak orang-orang yang tengah berpapasan dengannya.
"Tar, jam segini kok udah pulang?" Tanya seorang tetangga pada Tari.
Tari tak menggubris, ia berjalan cepat tanpa menoleh ke arah lain.
"Assalamu'allaikum, Tari pulang." Tari berucap sembari melepas sepatunya.
"Tar kok udah pulang?" Tanya Nita yang tengah menyiapkan bahan gorengan untuk di jual sore nanti.
"Tari izin pulang cepet, Bu." Tari menjawab sekadarnya, ia lalu berlalu masuk ke dalam rumah.
"Loh, kok sudah pulang?" Kembali Tari mendapat pertanyaan yang sama dari sang ayah.
"Tari izin pulang cepet, Pak." Tari pun menjawab dengan jawaban yang sama.
"Kenapa? Kamu sakit?" Tanya Doni sembari mengecek kening putrinya.
"Tari gak apa-apa, cuma emang sedikit gak enak badan." Tari berdalih, ia lalu meminta izin masuk ke kamarnya untuk beristirahat.
Setelah masuk ke dalam kamar, Tari kembali merogoh suatu barang di dalam tasnya.
Ia menatap barang itu dengan getir, nafasnya mendadak terengah.
Tari membuka pintu kamarnya pelan-pelan, ia melihat keadaan sekitar ruang tamu. Ketika kondisi dirasa aman, Tari segera berlari kecil menuju kamar mandi.
Ia menutup pintu kamar mandi dengan perlahan, menguncinya dan mulai menyiapkan diri.
"Ini konyol! Tapi aku harus coba," ucapnya dalam hati.
Tari mulai buang air kecil, menampungnya dalam wadah kecil.
Tari mulai membuka bungkusan kecil ditangannya, benda pipih yang tak lain adalah alat tes kehamilan.
Ia mulai mencelupkan benda pipih itu ke dalam urine, menunggu hasil kira-kira sekitar sepuluh detik.
Setelah cairan naik hingga batas garis, dan hasilpun sudah didapatkan. Tari mengangkat benda itu, ia memejamkan matanya tanda belum siap untuk melihat hasil yang didapatkan.
Beberapa kali Tari mengatur nafasnya, menyiapkan diri untuk segera melihat berapa garis yang timbul pada benda itu.
Tari mulai membuka matanya secara perlahan, samar terlihat garis merah pada permukaan benda pipih yang sedari tadi di pegangnya.
Mata Tari terbelalak, air matanya seketika mengalir deras.
"Positif."
Tangan Tari gemetar, tubuhnya ambruk.
Dadanya bergemuruh, ia menunduk.
"Aaarrrgghhh!!!"
Tari berteriak dengan kencang, membuat Doni dan Nita yang sedang berada di depan rumah mendengar teriakan Tari.
Kedua orang tua Tari berlari menuju sumber suara, langkah mereka terhenti di pintu kamar Tari.
"Tar?"
Doni melihat sekeliling kamar putrinya.
"Di sana, Pak." Nita menunjuk ke arah kamar mandi.
Doni beralih, ia segera mengetuk kencang pintu kamar mandi rumahnya.
"Tari, kamu kenapa? Ada apa?" Tanya Doni dengan cemas.
Tak ada jawaban, mereka hanya mendengar Tari yang kini semakin histeris.
"Tari, kamu kenapa? Keluar, Tar!" Nita mencoba membujuk putrinya, namun Tari tetap tak bergeming.
"Pak, gimana? Aku khawatir sama Tari," ucap Nita pada suaminya.
Tanpa aba-aba, Doni menabrakan tubuhnya pada pintu kamar mandi.
Ia terus melakukannya hingga pintu itu terbuka, terlihat Tari yang menangis sejadinya.
"Tari, sayang kamu kenapa? Kenapa nangis kayak gini?"
Nita segera merangkul putrinya, ia menyeka rambut yang menutupi wajah Tari dan mengusap air mata yang sudah membanjiri wajah polos putrinya.
"Tari, kenapa? Jawab! Jangan bikin Bapak sama Ibu cemas," pinta Doni.
Tak sengaja, ia melihat alat yang Tari gunakan tergeletak di sampingnya.
Doni memungut benda itu, tampak jelas pada raut wajahnya sebuah tanda tanya besar.
"Ini... Ini punya siapa?" Tanya Doni.
Nita menoleh, ia merebut benda pipih itu dari tangan suaminya.
"Tespek?" Nita beralih menatap ke arah putrinya, ia mencoba untuk bertanya pada Tari tentang kepemilikan benda tersebut.
"Tari, ibu tanya sama kamu. Ini punya siapa?" Nita berucap dengan penuh penekanan.
Tari tak menjawab, ia hanya menangis, menunduk, dan berteriak tak jelas.
"Tari berhenti menangis! Jawab bapak, ini punya siapa?"
Emosi Doni mulai memuncak, dadanya kembang kempis menahan amarah yang telah siap untuk meledak.
Doni mengangkat paksa tubuh Tari, ia memegang bahu putrinya dengan erat.
"Jangan bilang kalau kamu... Hamil!" Desak Doni.
Tari terdiam, ia menunduk dalam.
"Maafin Tari, pak, bu," ucapnya pelan.
Mendengar jawaban yang tak diharapkan, membuat Doni dan Nita yakin jika sesuatu telah terjadi pada putri bungsunya.
"Jadi benar kamu hamil? Siapa? Siapa yang sudah hamilin kamu?" Bentak Doni sembari melepas cengkraman tangannya dari bahu Tari.
Nita hanya menangis, menatap nanar putrinya yang sudah tak lagi suci.
"Jawab bapak, Tari! Siapa orangnya," tanya Doni dengan nada tinggi.
"Je... Jerry," jawab Tari dengan perasaan takut.
Doni dan Nita kembali terkejut.
Bruk!!!
Doni menendang pintu kamar mandi, hal itu membuat istri juga anaknya ketakutan. Doni belum pernah semarah itu, bahkan Tari tak pernah sedikitpun di bentak oleh sang ayah sebelumnya.
"Bapak, maafin Tari, pak. Tari khilaf," ucap Tari sembari bersujud di kaki sang ayah.
"Bu, Tari minta maaf. Tari salah, bu."
Tari pun melakukan hal yang sama pada ibunya.
Hati orang tua mana yang tak hancur mendapati anak gadisnya sudah di kotori oleh pria asing, layaknya petir disiang bolong.
"Tanggung jawab! Dia harus tanggung jawab sama kamu, Tari!" Doni kembali berteriak.
"Tapi Tari gak tahu dia dimana, pak, bu," ucap Tari dengan penuh penyesalan.
Doni mengusap kasar wajahnya, tangisnya tak bisa ia tahan lagi.
"Kenapa, Tari, kenapa? Kenapa kamu berbuat seperti itu, hah? Salah apa bapak Tari, salah apa sampai kamu membuat bapak hancur. Kenapa kamu bikin bapak kecewa! Dari kecil bapak berusaha didik kamu, bapak rawat kamu, bapak besarkan kamu dengan hati-hati. Tapi kenapa kamu rusak kerja keras bapak selama ini, Tari!"
"Apa karena bapak gak bisa bahagiain kamu sehingga kamu gak mau dengar ucapan bapak? Apa karena bapak gak bisa turutin semua kemauan kamu, sampai kamu gak mau nurut sama bapak? Kalau sudah kayak gini, mau gimana Tari?"
Doni benar-benar terpukul, ia sangat hancur mendengar putrinya melakukan hal kotor seperti itu.
"Pak, sabar," Nita mencoba menenangkan suaminya.
Ia beralih merangkul Tari, dan berniat mengajak Tari ke kamar.
"Pak, Bu, ada apa? Kok pada nangis?"
Tanya Ari, yang baru saja datang bersama Vina.
"Tari, kamu kenapa?" Tanya Vina yang melihat wajah Tari begitu kusut.
Sejenak semua orang bungkam, membuat Ari semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
"Kenapa gak ada yang jawab? Ada apa ini?" Tanyanya lagi.
"Tari hamil,"
"Apa?"
Ari dan Vina terkejut mendengar jawaban sang ayah, mata mereka kini tertuju pada Tari seakan menuntut penjelasan.
Tari merasa tertekan, ia berlari masuk ke dalam kamarnya. Ia mengunci pintu, berteriak, menangis, menyesali apa yang telah terjadi padanya.
"Bodoh! Bodoh! Harrrgghh, aku benci sama kamu, Jerry. Aku benci!"
...***...
Jika di dunia ini bisa meminta hal untuk kembali, aku akan meminta untuk mengulang waktu yang ku buang sia-sia.
Waktu yang ku gunakan untuk hal yang tidak berguna, waktu yang pada saat dimana aku akan kehilangan segalanya.
Dan jika boleh, ada satu hal yang ku harap tidak pernah terjadi. Yaitu, bertemu denganmu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments