Apa aku hamil? Nggak...nggak mungkin.. jangan berpikiran seperti itu, bisa jadi doa. Mencoba menepis rasa curiga yang menyelip di otaknya.
Mereka saja yang udah berkali-kali nggak hamil. Ingatannya melayang pada beberapa temanya yang pernah melakukan hubungan seperti itu beberapa kali.
Namun pagi ini, dia benar-benar mabuk. Seharian hanya terbaring di UKS tanpa mengikuti pelajaran.
Memancing rasa penasaran Anin, apalagi setelah memergokinya mual-mual di toilet.
"Kamu kenapa?" tanya Anin dengan ketus.
"Nggak papa," jawab Kinar tanpa bangkit menyambutnya.
"Mual-mual kaya lagi hamil," katanya menyeringai.
Kinar tak menanggapinya, memilih diam. Meski jantungnya terasa berhenti sesaat, meninggalkan nyeri yang menyerang batinnya. Karena perasaan takut akan kata itu terjadi pada dirinya.
"Periksa ke Dokter.. siapa tau hamil beneran," cibirnya lagi.
"Tapi...nggak mungkinkan dengan Kakakku," tambahnya makin menajam. Membuat Kinar makin tersudut.
"Lain kali jangan dijual murah," kalimat Anin makin merendahkannya, ngeloyor pergi dengan senyum masam di wajahnya.
Bahkan terlalu berharga untuk sekedar uang, aku tak serendah itu. cebiknya dalam hati.
Bel berdering, pertanda jam sekolah hari ini berakhir. Dengan tubuh lemahnya, Kinara kembali ke kelas hanya untuk mengambil tas dan buku-bukunya.
Mualnya sedikit mereda, rasa lapar pun makin menderanya. Melihat siraman sambal pada buah segar membuat liurnya hampir menetes.
"Satu ya Bu..." pintanya pada Si Ibu penjual rujak buah.
"Mau yang pedes apa nggak Mbak?" tanya Si Ibu penjual.
"Iya Bu, yang pedes banget."
Hanya lima menit, sebungkus rujak buah kini telah berada di tangan Kinar. Sepertinya makanan itu bisa di terima mulut juga perutnya tak seperti makanan lain. Dengan lahap dan cepat dia menghabiskanya.
Kemudian kembali melangkah, bergegas menuju rumah. Mengistirahatkan tubuh lemahnya.
Sebuah kalender yang terpasang di dinding kamar, membuat pandanganya beralih. Membuka, mengurut dan menghitung angka yang terpampang di sana.
"Tanggal 25, biasanya aku dapet di tanggal 12. Bulan kemarin dan bulan ini belum..." Kinar meraba perutnya, "apa mungkin..? Ahhh...nggak...nggak mungkin," masih mencoba memungkiri kenyataan yang mungkin terjadi padanya. Meski ketakutan sebenarnya makin menyeruak.
Seminggu berlalu, keluhan yang dia rasakan makin menjadi. Tubuhnya pun makin melemah, perutnya tak bisa di isi sesuap nasi pun Memaksa Bu Ira membawanya ke Dokter terdekat. Meski berulang kali Kinar menolak.
"Anak saya kenapa Bu Dokter?"
Sejenak Dokter terdiam, ragu menjelaskannya. Melihat belianya gadis itu. Dia yakin belum bersuami. "Maaf Bu, apa anak ibu juga telat datang bulan?" ucapnya sebut mungkin.
Deggg...Bu Ira terkejut dengan kalimat itu. Kalimat tanya yang juga memunculkan tanya di otak kecilnya. Tak sanggup menjawab, hanya mengalihkan pandangannya pada Kinar.
"Mba Kinar, kapan terakhir menstruasi?" beralih pada Kinar yang tengah meremas kuat rok yang dia kenakan, merunduk takut dengan kejamnya kenyataan yang sebentar lagi akan terdengar jelas dan gamblang.
"Dua bulan ini belum," jawabnya lemah.
Tatapan Bu Ira pun menatap tajam ke arahnya. Hamil, satu kata itu berjejal penuh di kepalanya. Kata yang ringan di ucap tapi berbuntut konsekuensi yang berat untuk kondisinya saat ini.
"Usia kandungan Mba Kinar udah lebih dari sepuluh Minggu, ini obat dan vitamin yang harus diminum," ucap sang Dokter gamang, dia tau kabar itu bukanlah kabar gembira bagi mereka.
"Terimakasih Dok, kami pamit," dengan raut kecewa, menahan amarah, Bu Ira meninggalkan ruangan Dokter itu. Disusul Kinar yang mengekor di belakangnya dengan perasaan yang sulit di jelaskan, hancur.
kenapa masih Engkau tambah lagi cobaan ini Tuhan. Aku tak sanggup lagi, mengeluh dalam hati seraya mengayunkan langkahnya dengan kaki gemetar.
"Siapa...dengan siapa kamu melakukanya?" gertak Bu Ira setibanya di rumah.
Kinar hanya terdiam, buliran bening mengalir tak terkendali dari matanya.
"Apa kamu kira dengan air matamu itu, bisa menyelesaikan semuanya?" sergahnya lagi.
"Katakan siapa, aku akan meminta akan menuntut tanggungjawabnya," Bu Ira makin mendesaknya.
Kinar hanya menggeleng, tak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Aku tidak bisa melihat wajahnya..." jawabnya diantara isak tangis yang tak mampu dia tahan.
"Bukan ayah tirimu itu kan?" ingatan Bu Ira kembali ke kejadian waktu itu.
"Aku dipaksa...aku benar-benar nggak tau siapa..." tangisnya pecah.
Kinar dengan terisak, mulai menceritakan k jadian yang menimpanya malam itu.
Bu Ira mengiba, hatinya luluh setelah mendengar semuanya. Dia yakin keponakanya tak mungkin berbohong.
"Bu de akan pikirkan jalan keluarnya," ucapnya seraya mengurai pelukan, memberi Kinar kekuatan.
Kenapa semalang ini...Tuhan berilah kekuatan untuknya jangan membuatnya rapuh dengan cobaan yang engkau berikan ini. Kata hatinya memohon penuh harap.
Kinar hanya bisa membenamkan tangisnya dalam dekapan hangat itu, dekapan yang membuatnya sedikit tenang. Dekapan yang membuatnya merasa tak sendiri untuk memikul semuanya.
_____________________
"Berangkatlah, sekolah kamu hanya tinggal beberapa bulan lagi. Kamu harus lulus. Setelah itu kita pindah dari sini," ujar Bu Ira dengan lembut.
"Aku rasa saat lulus nanti, perut kamu belum terlalu besar. Tenanglah..."
"Iya Bu De, terimakasih..." meski belum siap menerimanya, setidaknya dukungan dari Bu Ira membuat Kinar memaksanya untuk siap.
Namun kenyataan ternyata jauh dari harapan mereka. Anin yang kebenciannya telah membumbung, begitu gencar mengamati dan mecari informasi untuk membuktikan kecurigaannya.
Tak sulit baginya, karena beberapa teman dekatnya tinggal sekomplek dengan Kinar. Membuat gerak-gerik Kinar terpantau sewaktu-waktu. Dua bulan berturut-turut periksa ke Bidan pun Anin mengetahuinya. Membuatnya semakin yakin akan kecurigaannya. Hanya tinggal selembar bukti saja untuk membukanya.
Sayangnya bukti itu tak urung dia dapat, memaksanya berbuat lebih nekat.
"Sudah berapa bulan?" tanyanya menyeringai, menatap ke arah perut Kinar yang mulai terlihat membuncit.
"Apanya?"
"hehh...malang banget nasib kamu lahir tanpa ayah," sambil meraba perut Kinar. Yang sontak membuat Kinar langsung mundur menjauh.
"Kenapa menghindar, kamu pikir bisa terus menyembunyikannya?"
"Tolong Anin...jangan seperti ini lagi," pinta Kinar.
"Aku tau aku punya hutang sama kakak kamu, suatu saat aku akan membayarnya," kata Kinar menambahi.
"Membayar? Dengan apa? Cinta? jangan bercanda Kinara...bahkan tubuh kamu saja udah nggak layak untuk membayarnya. Bodohnya kakakku..." di iringi tawa penuh hinaan.
Kinar yang tak tahan dengan ucapan Anin, memilih menjauh. Melenggang meninggalkannya.
Namun di luar dugaan, terlihat siswa-siswa lain berkerumun di depan papan informasi sekolah. Saling bergunjing kemudian menatap sinis saat berpapasan dengan dirinya.
Dan saat mendesak melihat papan tersebut. Betapa terperangahnya, selembar kertas yang berisi hasil tes kehamilan atas nama dirinya terpampang jelas. Padahal dia sendiri tak merasa pernah memilikinya, namun menuliskan kebenaran adanya.
Hatinya makin hancur tak berbentuk, ruang udara terasa kosong membuatnya sulit bernafas. Matanya memanas tapi tak mampu mengalirkan air mata yang telah telah terlanjur mengering, entah kenapa tak bisa menetes saat ini. Gunjingan-gunjingan berbisik tajam di telinganya. Membuatnya ingin mengubur diri saat itu juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
triana 13
like
2022-01-30
0
vie
ya ampun kinar begitu berat cobaanmu, 😭
2021-03-07
0
Desi Ummu Ihsan
Kasian sekali nasibmu Kinar...😥😥
2021-02-24
0