Plakkkk...sambutan panas yang makin membuat hati dan pikirannya terbakar. Menyisihkan semua rasa gemetar yang menyusup keseluruh tubuh, kala menginjakan kakinya di tempat itu. Tempat terjadinya tragedi yang merenggut sisa ketenangan batin yang dia miliki.
"Masih berani kamu pulang ke rumah ini?" gertak sang Ibu yang sepertinya tak memperdulikan perasaanya.
"Teganya kamu menggoda ayah tirimu sendiri," sebegitu sempitnya pemikiran Bu Dini, menuduhnya sehina itu.
Kinar tersentak mendengar ucapan itu, lebih sakit dari sekedar teriris sembilu. Terasa perih tanpa darah, tanpa bekas yang terlihat nyata.
Terdiam meredam amarah, mengumpulkan kata-kata yang tak berbalas menyakiti. Bagaimanapun dia ibu kandungnya.
"Jika Ibu berfikir seperti itu, silahkan. Aku rasa Ibu masih punya hati nurani. Dan Ibu sangat kenal baik aku maupun suami Ibu." Kinar perlahan berderap masuk ke kamarnya, mengumpulkan beberapa harta bendanya yang mungkin tak seberapa berharga itu.
Air matanya terus menitik, meski susah payah berusaha dia tahan. Memukuli dadanya berulang, berharap melonggarkan sesak yang mendera di dalam sana. Sambil memunguti barang miliknya, barang-barang yang akan dia bawa untuk kembali berperang dengan kenyataan hidup yang penuh kejutan.
"Aku pamit, jaga diri Ibu baik-baik. Maaf...maaf untuk semuanya," ucapnya terbata menahan tangis yang hampir pecah. Terlalu berat untuk melangkah meninggalkan sang ibu, namun terlalu pahit untuk tetap bertahan.
Sementara sang ibu larut dalam diamnya, tak ada upaya apapun untuk mencegah kepergian Kinar. Nuraninya masih tertutup pemikiran buruknya.
Langkah Kinar pun makin jauh, sesekali menyeka air mata yang masih saja mengalir tak terkendali. Mencoba kuat meski sebenarnya terlalu lelah baginya.
Kini dia telah sampai di depan sebuah rumah kecil, di komplek pemukiman padat penduduk. Dengan ragu dia mengetuk pintu tersebut.
"Untuk apa kamu ke sini?" sapa seorang perempuan paruh baya bernada sinis.
"Maaf mengganggu Bu de, aku mau numpang tinggal di sini," kata Kinar membuang kegamangannya karena tak ada tempat lain untuknya berlindung.
"Kenapa, di usir sama ibu kamu. Atau oleh suaminya yang nggak berguna itu," tampak sekali ketidakharmonisan antara Bu de dan ibunya Kinar.
"Nanti aku ceritain Bu de, apa aku boleh masuk dulu?"
"Masuklah!"
Berurai air mata, Kinar menceritakan kejadian yang menimpanya dengan jujur tanpa terlewat satu pun. Membuat luluh hati Bu Ira Bu denya, penuh rasa iba.
"Ya sudah, kamu tinggal di sini saja. Jangan pikirin sikap ibu kamu lagi, nanti saat waktunya tiba, dia baru nyesel," ujar Bu de yang menarik tubuh Kinar ke dalam pelukannya. Memberinya rasa nyaman.
"Makasih Bu de," Kinar makin mengeratkan pelukannya.
___________________
Waktu berjalan pasti meski bagi Kinar terasa melambat, menjalani kesehariannya yang kini banyak berubah. Anin satu-satunya teman yang akrab kini menjauh, menularkan kebencian pada teman yang lainya. Mungkin memang ini hukuman yang pantas untuk dirinya, pikir Kinar.
Yang Kinar bisa lakukan sekarang hanya menutup diri. Fokus dengan sisa satu tahun lagi untuk meluluskan dirinya dari sekolah menengah atas tersebut. Sambil mencari tambahan untuk menopang hidupnya sendiri dengan kerja paruh waktu.
Ketika senggang, dia mengunjugi Jay yang masih menunggu proses persidangan. Dan Kinar bersedia menjadi saksi yang kemungkinan bisa meringankan hukuman Jay.
"Kamu nggak kerja?" tanya Jay.
"Bentar lagi aku berangkat."
"Nggak perlu terlalu sering mengunjungi ku."
"Iya..." jawab Kinar yang masih canggung dengan sosok Jay.
"Ini buat Mas," Kinar meletakan sebuah salep memar di telapak tangan Jay.
"Sekarang pulanglah!"
"Besok aku ke sini lagi," kata Cila seraya bangkit dari duduknya, beranjak cepat meninggalkan Jay yang masih mematung.
Aku takut akan sulit melepasmu, karena aku hanya ingin mengikatmu dengan ikatan rasa dari hati. Bukan jeratan yang membuatmu tak nyaman. Jay telah jatuh, jatuh terlalu dalam pada gadis kecil malang itu.
______________________
Riuhnya pengunjung malam itu membuat Kinar kewalahan, mondar-mandir kesana kemari melayani meja demi meja. Di tengah lelahnya ia masih juga kena omelan beberapa pengunjung yang tak sabaran.
"Aku bukan pesen ini," kata seorang pria tampan menunjuk setelah ekspreso. Untuk kesekian kali Kinar salah mengantar pesanan.
"Aku pesan American," katanya lagi.
"Maaf Mas saya salah meja, akan segera saya ganti," jawab Kinar menunduk, mengakui kesalahannya. Bergegas kembali ke belakang, mengambil pesanan yang sesuai.
Tanpa disadarinya, tatapan Roman mengiringi langkahnya hingga lenyap dalam keriuhan.
Lelah sekali...gumamnya dalam hati sembari selonjoran menekan-nekan betisnya yang terasa pegal. Wajahnya mengkilat, dengan titik-titik keringat di tepiannya.
Roman tak sengaja kembali memperhatikan sosok gadis itu. Gadis seumuran adiknya dengan nasib yang berbeda. Iba, mungkin itu yang dia rasakan saat ini. Sebelum akhirnya dia kembali ke mejanya, meraih tasnya kemudian segera keluar dari tempat tersebut. Meninggalkan bungkusan kecil obat pereda nyeri otot yang biasa dia gunakan.
Kinar yang masih harus menyelesaikan pekerjaannya segera bangkit kembali, membersihkan meja sekaligus isi ruangan itu. Sebelum mematikan lampu membalik papan Closed, mengakhiri pekerjaan malam ini.
Sambil berjalan dia membaca obat yang dia temukan di atas meja tadi, tanpa tau siapa pemiliknya.
Mungkin ini berguna untuku, katanya dengan seulas senyum terpampang indah di wajah lelahnya. Namun gambaran sosok Roman tadi masih melintas nyata di pikirannya, sedikit menerka dialah si pemilik obat itu. Tapi mungkin hanya ketinggalan, pikirnya.
________________________
Singkat cerita, persidangan Jay digelar. Pernyataan Kinar yang merupakan satu-satunya saksi kunci, banyak meringankan posisi Jay. Hingga ketukan palu hakim memutuskan hukuman empat tahun penjara untuk Jay.
Keputusan yang Kinar rasa masih berat, empat tahun orang yang tak bersalah menggantikannya dalam kurungan. Entah bagaimana dia harus membayarnya. Merasa dirinya hanyalah sosok yang telah tergadaikan. Apapun permintaan Jay nantinya, pasti akan dia penuhi, sekalipun itu tubuhnya.
"Jika aku berlaku baik di sini, hukumanku mungkin akan berkurang. Tidak lama bukan?" ucap Jay saat ditemui Kinar.
"Setelah Mas keluar nanti, aku akan membayarnya. Apapun yang Mas mau," kata Kinar memelan.
"Kamu harus menghabiskan hidupmu untuk mengabdi padaku," balas Jay tersenyum, dengan kalimat yang menyiratkan suatu makna.
Mendengar itu, Kinar hanya melempar setengah senyumnya, "apapun akan aku penuhi, selama aku mampu."
"Aku cuma bercanda, aku nggak minta apapun. Hiduplah dengan bahagia. Itu sudah cukup, jaga dirimu baik-baik," kata Jay dengan tatapan mendalam.
Kinar hanya mengangguk pelan, menyeka air mata dengan cepat agar Jay tak melihatnya. Namun salah, dengan cepat pulang tangan Jay telah menempel di wajahnya, mengusap lembut menghapus air matanya.
"Air matamu terlalu berharga, jangan dikeluarkan percuma," ucapnya membuat kedua sudut bibir Kinar terangkat, berusaha menampakan senyumnya.
"Jangan menjadi perempuan lemah, jadilah kuat untuk dirimu sendiri," kata Jay sebelum Kinar melangkah pergi meninggalkannya.
"Aku akan berusaha," Kinar merasa yakin dirinya mampu.
"Aku nggak akan menyia-nyiakan pengorbanan yang Mas berikan," Kinar menggenggam erat tangan Jay. Seolah dia memasrahkan dirinya untuk sosok itu, meski dirinya tak yakin kemana hatinya bertaut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
triana 13
nyicil dulu ya kak
2021-12-29
0
Tarie Maryadi
jayencintai kinar, semoga terbalaskan ...
2021-02-24
0
Ratu Tety Haryati
😢😢😢😢
2021-02-24
0