Memandangi rintik hujan yang kian deras menyapu legamnya aspal jalanan. Riuh suaranya bagaikan nyanyian sendu yang mengoyak hati yang tengah dirundung gundah. Duduk termenung berjam-jam di temani segelas kopi yang entah hitungan ke berapa diganti setelah habis diresapnya.
Beberapa kali matanya berkeliling, memutari sekitar berharap menemukan sosok yang akan memberinya jawab atas derita rasa bersalahnya. Melangkah ke arah belakang tempat dimana sosok itu sibuk dengan pekerjaanya, namun nihil hanya tersisa sekelebat bayangan yang terkenang dalam ingatannya. Tumpahan kopi yang mengenai t-shirt nya kala itu, awal dia menatap lekat sosok itu.
"Maaf..Mas nyari siapa?" tanya seorang pegawai yang keluar dari ruang dimana perabot kotor bertumpuk berantakan.
"Apa kamu baru di sini?" tanya Roman.
"Iya Mas, baru beberapa minggu ini," jawabnya.
"Aku nyari pegawai yang biasanya mengerjakan tugas ini," kata Roman mulai jelas.
"Saya kurang tau, nanti saya coba tanyakan pada temen saya."
"Terimakasih."
"Sama-sama," pegawai perempuan itu segera beranjak ke depan, membisikan sesuatu pada temanya. Kemudian menunjuk ke arah Roman duduk. Temannya itu pun mengerti, seperri tau siapa yang di cari orang tersebut.
"Apa benar Mas sedang mencari seseorang" sapanya sopan.
"Iya.., yang biasa kerja menemani kamu," jawab Roman datar.
"Apa yang Mas maksud Kinara? Sudah beberapa lalu dia berhenti kerja di sini."
"Kamu tau rumahnya?"
"Aku nggak tau, tapi alamat ini dekat dengan rumahnya," menyodorkan layar ponsel, menunjukan chat orderan saat itu.
Dan deggg... apa yang dia baca benar-benar membuat jantungnya menderu, makin menyiksanya.
Alamat ini, adalah rumah itu. Dan dia yang mengantarkannya, dia gadis itu...aku terlambat batinya menyimpulkan dari kenyataan yang memang nyata.
"Apa ada kontak yang bisa dihubungi," tanya Roman lagi.
Pegawai itu menggeleng, "aku nggak punya, sepertinya dia nggak punya hp waktu itu," jawabnya lirih, sementara banyak pertanyaan berbaris di kepalanya. Pertanyaan yang bahkan tak berani dia lontarkan, tak mau terlalu ikut campur.
"Terimakasih," Roman seketika beranjak bangkit. Meninggalkan tempat itu, entah kemana lagi tujuannya. Membawa sesal yang bertumpuk, seharusnya sejak awal aku mencarinya benar-benar, pikirnya.
__________________________
Mengantongi selembar ijazah SMA, Kinar nampak bersyukur. Meski berkas penting itu tidak didapatkannya dari sekolah favorit yang telah dia jalani hampir tiga tahun. Setidaknya ijazah paket C pun bisa mengantarkanya ke gerbang perguruan tinggi jika beruntung. Hanya saja harapanya menguap jauh, melihat dirinya yang tak lebih dari dua bulan lagi menyandang status Ibu.
Melangkah di bawah terik yang menyengat kulit mulusnya, memandangi gedung perkantoran yang menjulang tinggi. Andai bisa menjadi salah seorang karyawan di sana, bekerja di balik layar komputer, berkutat dengan file-file penting, khayalnya.
Jangan bermimpi terlalu jauh Kinara, bukan layar komputer yang kamu adep tiap hari, paling banter juga sapu dan kain pel..terkikik sendiri. Mengenyahkan khayalannya, kembali melenggang dengan sesekali memegangi perutnya yang makin terasa berat.
Doain Mama, setelah kamu lahir biar cepet dapet kerjaan, bisiknya lirih pada bayi yang masih di dalam sana. Yang seperti paham, merespon dengan gerakan-gerakannya. Menendang, membuat Kinar meringis nyeri.
Iya sayang... kamu semangat banget. Sepertinya Kinar memang sudah bisa menerima keadaan dirinya.
"Udah berapa bulan Mba?" seorang gadis seusianya tersenyum, bertanya ramah padanya.
"Tujuh Mba," jawab Kinar mengulum senyum membalasnya.
"Bentar lagi jadi ibu ya," balasnya lagi.
Kinar mengangguk, "iya Mba.."
"Mba mau kemana atau dari mana?" Kinar menanya balik.
"Aku mau lihat-lihat kampus Mba," jawabnya lagi.
"Ooh..." Kinar hanya berooh ria, merasa iri dengan kenyataan dirinya yang terpaksa harus mengubur mimpinya.
"Ayo masuk..buruan," teriakan dari dalam mobil yang baru saja menepi.
"Aku kan nggak minta di antar," serunya dengan memberengut.
"Aku nggak mau di marahi Om Doni sama Tante Arini kalau kamu nyasar," sahut Angga tak mau kalah.
"Emang bocah...nyasar, bisa lihat tulisan kali," Hana belum juga menurut. Memaksa Angga turun menyeretnya. Di saat bersamaan Kinar pun beranjak masuk ke dalam angkot yang sudah menunggunya.
"Kamu tinggal aja di rumah ku, biar aku bisa jaga dua puluh empat jam," kata Angga nampak serius.
"Ogah...entar ada yang minta buruan nikah."
"Paling kamu yang nggak tahan.."balas Angga dengan tatapan menggoda, menyibakkan rambutnya ke belakang, sok ganteng.
"Hiiihhh... kepedean," Hana makin memberengut.
"Serius nih Mas, aku kan pengin mandiri. Nggak mau ngrepotin orang lain mulu," kata Hana.
"Gue juga serius mau jaga elu Hana..." seru Angga.
Hana menggeram, "Mas..."
"Yaaa...nggak usah keras gitu, aku nggak budek."
"Gue bakalan jadi perawan tua, kalau kamu kek gini terus," Hana melipat kedua tangannya di depan dada, dengan bibir yang makin manyun. Mengingat beberapa teman laki-lakinya masa SMA nya mundur karena ulah Angga. Sahabat Kakaknya itu.
"Ya udah kita nikah aja sekarang, gue udah siap lahir batin," jawab Angga.
Cila tak menjawab, malah membuka handel di sebelah kirinya karena mobil telah berhenti.
"Han.. Hana..." teriaknya tak di gubris, memaksa Angga keluar mengejarnya.
"Apa lagi sih..." eluh Hana saat tangan Angga berhasil mencengkeram lengannya.
"Gue cuma becanda..." kilah Angga yang memang mengerti Hana belum membuka hati untuknya.
Hana hanya meringis, memaksakan senyumnya, "Ya...aku ngerti kok," dia memang selalu berusaha untuk tidak menanggapi celotehan Angga. Pria dewasa yang terus mengejarnya, tapi juga masih bermain-main dengan perempuan lain. Sungguh bukan tipenya.
____________________
Waktu berlalu dengan cepatnya, hari demi hari berganti menambah baris cerita yang akan menjadi paragraf membentuk cerita lengkap di kemudian hari.
Perut yang makin membuncit membuat Kinar makin kesulitan berkatifitas normal. Padahal pekerjaan Bu De menumpuk butuh bantuan. Untuk mencuci atau menggosok, salah satu.
"Kamu istirahat saja sana, udah cape gitu. Kasian bayi kamu," Bu Ira meminta setrika yang ada di tangan Kinar.
"Bentar lagi nggak papa kok Bu."
"Udah sana...Ibu bisa kok."
Kinar mengalah, menuruti apa kata Bu De yang kini dia panggil ibu. Beranjak bangkit menuju kamarnya, merebahkan raga yang terasa lelah, memejamkan mata yang sudah meminta jatah untuk tertutup lelap.
Sementara Bu Ira masih melemburnya, demi janji pada pelanggan laundrynya yang akan diambil pagi petang.
Burung-barung bersiul saling bersahutan menyapa sang mentari muncul keluar, embun sejuk masih nampak berkilau menyapu dedaunan. Riuh suasana pagi pun mulai bergeliat, beranjak sibuk dengan rutinitasnya masing-masing.
Namun Kinar, dengan keringat dingin yang membasah di tubuhnya memegangi perut merasakan nyeri yang terus menekan. Serasa sesuatu di dalam perut sedang memaksa keluar.
"Kinar...Kinar...bangun..." panggilan Bu Ira masih di acuhkanya.
"Udah siang gini tumben belum bangun sih," Bu Ira terpaksa mendorong kuat daun pintu itu.
Dilihatnya Kinar meringkuk, menahan sakit memegangi perutnya.
"Kinar..." serunya kemudian mendekat, mengamati dan memeriksanya.
"Ayo kita ke rumah sakit, kamu mau melahirkan. Ketuban kamu udah pecah," langsung memapah Kinar bangkit, membawanya keluar sebisanya meminta bantuan.
Beruntung ada tetangga sebelah yang mendengar, langsung mencarikannya mobil untuk menunu rumah sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
boomlike sampai sini dulu 👍
2021-04-04
0
Nurhayati Karim
kasian belum juga ketemu roman
2021-03-14
0
HeniNurr (IG_heninurr88)
Aduh mau ngelahirin ya... 😥😥smoga lancar
2021-03-01
1