Mencoba berdamai dengan keadaan tapi nyatanya terlalu sulit, tidak adil rasanya. Cobaan bertubi-tubi menimpanya, merenggut senyum yang menghias manis wajahnya. Menyurutkan mimpi yang pernah terinci indah di kepalanya.
Air dingin mengalir dari dari atas kepalanya, berharap mampu meredam marah pada takdir yang menuliskan sepahit ini untuknya. Menggosok-gosok jejak dari laki-laki itu, yang menempel di tubuhnya. Namun sekuat apapun dia berusaha menghapusnya, miliknya yang berharga tak akan pernah bisa kembali. Menyisakan luka batin yang menganga lebar sulit tersembuhkan.
"Kamu nggak sekolah?" kata Bu Ira masuk ke kamarnya, mendapatinya masih meringkuk tertutup selimut rapat.
"Aku nggak enak badan," jawabnya terdengar pelan dan serak.
Bu Ira pun menghampirinya, menyentuh dahi dengan telapak tangannya, "kamu sakit, badan kamu panas banget. Ke Dokter ya?" bujuknya.
Cila menggeleng, "nggak usah Bu De, nanti sembuh sendiri."
"Bu De ambilkan obat sebentar," seraya bangkit melangkah keluar. Kembali lagi dengan segelas air putih lempengan bungkus obat di tanganya.
"Minumlah..!" menyodorkan satu tablet parasetamol pada Kinar.
Kinar pun perlahan beringsut bangun, menerima obat tersebut, memasukannya ke dalam mulut dan kembali berbaring. Sakit yang mendera di pusat sensitifnya, sepertinya berakibat demam kali ini. Sakit yang sengaja dia sembunyikan dari siapapun.
Sementara di kamar yang menjadi saksi perbuatan terkutuknya semalam, Roman mulai mengerjap-ngerjapkan matanya. Silaunya mentari pagi yang mulai memanas, mengusiknya dari lelap dan damainya mimpi indah semalam.
Memaksa tubuhnya untuk bangkit, terdiam sejenak saat ingatanya kembali pada kejadian semalam. Puncak kenikmatan yang dia reguk tanpa perasaan cinta, kenikmatan yang hanya dia nikmati sepihak. Karena di lain pihak ini adalah siksaan.
Kemudian berderap mencari air untuk membasuh wajahnya, yang mungkin juga mampu menyegarkan otaknya untuk berfikir tepat kedepannya. Matanya menghadap cermin, memandang pantulan wajahnya di sana, mengutuki dirinya yang berbuat serendah ini.
Dengan tatapan kosong dia keluar, tanpa sengaja terlihat bercak darah mengering pada kain spre yang telah kusut prak poranda. Membuat udara di sekitarnya seolah kosong, menyisakan sesak yang mencekik kerongkongannya.
Aku telah merusaknya...sesuatu yang berharga miliknya. Sesal yang tiada guna membuat isi otaknya menguap entah kemana.
"Ngapain lu di dalem, nggak keluar-keluar. Apa lagi lu kenang kenikmatan semalem?" cibir Aryo.
"Waahhh...gila lu ya, bekasnya sampe kaya gitu, banyak banget. Kasian tuh cewe, segelnya di buka paksa," mata Aryo membelalak melihat noda darah itu.
"Lu mustinya tanggung jawab tuh, udah bikin dia rusak," ocehnya belum berhenti.
"Cuma buat seneng-seneng, nggak lebih," jawab Roman mendustai nalurinya.
"Kalian ribut banget," sela Angga yang ngeloyor ikutan masuk.
"Gimana, semalem servisnya memuaskan nggak. Dia itu yang tergila-gila sama kamu," kata Angga yang lupa kejadian semalam saking mabuknya.
"Telat lu Ngga, keburu dia njebolin perawan orang. Tuh bekasnya," celetuk Aryo.
Angga menautkan kedua alisnya, bingung. "Lalu siapa dia?"
"Emang lu ngga inget? Mirip gadis di cafe itu," jawab Aryo tak begitu yakin.
"Gadis itu?" Angga meyakinkan.
"Iya mirip gadis yang tempo hari kita perhatikan."
Tatapan Angga beralih pada Roman yang lebih memilih mengunci mulutnya sedari tadi, "lu udah nggak waras?" sorot matanya penuh amarah, ada ketidakrelaan di sana.
"Lu juga yang memulai permainan ini," balas Roman tak kalah tajam.
Kalimat jawaban Roman sontak membuat Angga terdiam, semua katanya tercekat di tenggorokan. Karena dialah yang berulah awalnya. Dialah yang menabur benih kekacauan ini.
___________________
Tiga hari berikutnya, Kinar mulai memaksa dirinya kembali beraktifitas. Melakoni perannya yang masih seorang siswa menengah atas sebuah sekolah negeri. Hanya saja dia pindah kerja, ikut Bu De nya yang bekerja di kantin rumah sakit.
Sementara di tempat kerjanya yang lama, seseorang mencarinya.
"Maaf..temen kamu yang satunya nggak berangkat?" tanya Angga.
"Maksudnya Mas, Kinara? dia mau fokus sekolah, katanya kemarin pas pamitan.
Jadi namanya Kinara, Angga teringat pada seseorang.
"Dimana sekolahnya?"
"Maaf Mas, aku belum sempet tanya."
"Oo..ya udah makasih."
Selain Angga, Roman juga datang beberapa jam kemudian. Hanya saja dia hanya diam, matanya berkeliling mencari sosok gadis itu. Tapi nihil, tak terlihat sama sekali. Hingga dia putuskan segera pergi.
Setelah hari itu, dia tak pernah datang lagi ke tempat itu. Mengesampingkan batinya yang terus bergejolak, benar gadis itu atau bukan dia ingin melupakannya. Memaksa logika mewajarkan tindakannya.
______________________
Hari itu Kinar memaksa diri menemui Jay penuh ragu. Merasa dirinya tak punya apa-apa lagi untuk bisa membayar hutangnya.
"Wajah kamu pucat, apa kamu sakit?"
"Cuma kecapean aja," jawab Kinar.
"Ini bukan masakan kamu?" cukup satu suapan Jay bisa mengenali masakan Kinar.
"Iya, aku bawa dari tempat kerja."
"Mas..." panggilnya gemetar.
"Ada Apa?"
"Maaf..."
"Untuk apa kamu minta maaf lagi."
"A.. aku bukan lagi lagi perempuan ut..." ucapnya yang terasa sangat berat harus terputus saat Jay tiba-tiba tersedak.
"Pelan-oelan Mas...," Kinar menepuk punggungnya.
"Tadi kamu mau bilang apa?" tanya Jay setelah meminum air putih.
Cila menggeleng, "nggak, bukan apa-apa," mengurungkan niatnya untuk berterus terang.
Jay menggenggam tangan Kinar dengan lembut, "Aku ingin minta sesuatu."
Mendengar itu, mata Kinar menatap Jay penuh tanya.
"Tunggu aku..." ucapnya terdengar penuh pengharapan. Mulai berani menunjukan perasaanya.
Kinar terhenyak, matanya memanas. Memaksa butiran bening menggenang, jatuh menitik. Di iringi anggukan lemah, ragu.
Apa aku masih pantas buat nunggu kamu, aku sudah kotor. Teriaknya dalam hati.
Menatap langit yang dirundung duka, nampak muram dengan awan hitam yang berbaris menutupi cerahnya matahari. Menumpahkan kesedihannya lewat rintik hujan yang kian deras, mengguyur bumi. Pepohonan yang mengering, telah basah tersiram, dan mungkin esok akan tumbuh hijau segar dedaunan muda.
Mungkinkah dirinya seperti itu, setelah awan duka merundungnya. Pada waktunya nanti akankah berubah rona cerah bahagia, semoga. Setitik asa kini menyulutnya untuk berani menghadapi kenyataan sekaligus kejutan hidup yang terus membuat jantungnya berdegup tak tenang.
Tiga bulan telah berlalu, rumah kontrakan Bu denya yang akan di tempati si empunya, memaksa mereka untuk pindah. Cukup jauh dari tempat itu.
Dan selama itu pula, Kinar mulai jarang menemui Jay. Berharap perasaan diantara mereka terkubur dalam, karena merasa tak pantas untuknya.
Apalagi sebulan ini Kinar mendapati keanehan dalam tubuhnya. Mual yang terus mengobrak-abrik perutnya sungguh membuat tak nyaman, nafsu makannya pun perlahan hilang. Makin melemahkan tubuhnya.
"Kamu kenapa?" khawatir Bu Asih saat melihatnya membungkam mulut lari ke belakang.
"Nggak papa Bu de, mungkin masuk angin," jawab Kinar tersendat masih menahan mualnya.
"Bu de kerokin dulu, baru kamu berangkat. Masih pagi ini," ujar Bu de.
Kinar pun menurut, tubuhnya kini tengah di baluri minyak gosok yang aromanya begitu khas. Namun Bu Asih sedikit heran, Kinar tak seperti sedang masuk angin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Mamak Mamak
lanjut
2022-03-20
0
triana 13
lanjut
2022-01-30
0
Dina Purwasih
jadi kinar apa cila??
2022-01-27
0