Kinar gemetar saat melihat tangannya kini penuh darah. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Ambruk dengan tangis yang bahkan tak mampu dia keluarkan. Menekuk lutut, menyimpan wajahnya di sana penuh lara.
Gedoran pintu yang berujung terdobrak paksa tak membuatnya bergeming, membisu dalam ketakutannya. Betapa terkejutnya Jay, saat dilihatnya tergeletak tubuh penuh darah dengan pisau yang masih menancap.
Tanpa bertanya, dia bisa menebak apa yang telah terjadi beberapa menit lalu.
"Bangunlah, kita pergi dari sini," memapah tubuh Kinar yang masih saja gemetar. Bibirnya menggigil, matanya membelalak namun kosong. Seorang pembunuh, kalimat itu yang terus terucap dalam batinya.
Hanya sekitar tiga puluh menit, Jay telah membawa Kinar ke tempat lain. Tempat yang mungkin dia rasa lebih aman untuknya.
"Tolong jaga dia sebentar, ganti pakaiannya," ucapnya pada seorang perempuan paruh baya yang adalah bibinya.
Melihat kondisi seorang gadis yang nampak sangat shock dengan pakaian berlumuran darah, sontak menyeruakan tanya Bi Ningsih.
"Apa yang terjadi dengan dia?
"Nanti aku ceritakan Bi, aku harus pergi dulu. Jangan lupa bakar pakaian yang dia kenakan itu," jawabnya, mengayunkan langkah tergesa-gesa.
"Jay... tunggu," panggilan Bi Ningsih tak dihiraukannya. Otaknya kini penuh tanya, mengenai kejadian yang sebenarnya.
Menuruti permintaan Jay, Bi Ningsih menuntun Kinar yang masih juga belum bisa mengatakan apapun. Membersihkan tubuhnya dari bekas darah, lalu menggantinya. Dan tak lupa segera di bakarnya pakaian yang penuh darah tadi.
Sementara Jay segera menuju tempat kejadian tadi. Belum ada seorangpun yang masuk, karena sebelum dia keluar tadi, pintu di tutupnya rapat lagi.
Mencoba menghilangkan jejak Kinar sebagai pelaku, Jay mengambil pisau yang masih tertancap tadi membuat tanganya berlumuran darah, sengaja dia lakukan agar sidik jarinya tertempel di alat bukti tersebut. Setelah di rasa yakin, tuduhan pembunuh akan mengarah padanya Jay langsung melaporkan dirinya ke pihak berwajib.
Beberapa polisi pun datang, mengevakuasi jenazah korban sekaligus melakukan penyidikan, mengumpulkan barang bukti. Jay kini telah diamankan. Sementara Bu Dini masih saja histeris, menangisi kematian suaminya itu. Tanpa memikirkan bagaimana nasib anaknya sendiri.
Kabar tersebut tentunya dengan cepat di dengar banyak orang tak terkecuali Anin adiknya yang tengah khawatir sang kakak sudah sehari ini tak pulang.
"Kakak ku membunuh? Kalian pasti salah, itu nggak bener," serasa petir di siang bolong, Anin terkejut bukan mainendenhar kabar tersebut dari beberapa temanya.
"Dia menolong Kinar yang hampir diperkosa ayah tirinya."
"Apa?" tubuh Anin lemas seketika, terhuyung tak berdaya. "Nggak mungkin...ini nggak mungkin," racaunya sembari terus melangkah menguatkan langkahnya berniat menemui Jay.
Setelah menunggu beberapa lama, dia diperbolehkan ketemu dengan Jay.
"Apa yang Kakak lakukan?" air matanya berkaca-kaca.
"Aku nggak sengaja melakukannya. Jangan khawatir nggak akan lama."
"Jangan khawatir katamu...lalu bagaimana dengan nasibku, Ibu dan Kakak sendiri," ucapnya menajam.
"Semua sudah teratasi, biaya kuliahmu dan kebutuhan ibu. Nggak perlu pikirkan apapun," Jay terlihat tenang.
"Lalu bagaimana dengan Kakak, masa depan Kakak, kehidupan Kakak?" tatapan Anin begitu dingin.
"Nggak usah pikirkan aku, pulanglah," tak mau berdebat lebih panjang Jay memilih beranjak meninggalkan adiknya.
Setelah menemui sang Kakak yang tak menemukan titik temu, Anin mendatangi rumah Kinar. Tempat terjadinya tragedi itu. Rumah itu nampak sepi, terpasang garis polisi yang memutarinya.
Sejenak dia terdiam, menatapi rumah sunyi tersebut.
Haruskah aku menyalahkanmu Kinar,atas semua ini. Hatiny bicara, dengan langkah bimbang dia pergi ke tempat Bibinya. Mencoba mencari ketenangan di sana. Karena jika ibunya tau, pasti akan sangat terpukul. Otomatis berpengaruh pada kesehatanya.
"Kenapa kamu Nin?" tanya Bi Ningsih yang khawatir melihat keponakannya nampak sangat kacau.
"Kak Jay Bi, dia penjara," jawabnya pelan.
"Apa? Jadi kepergiannya kemarin karena itu?" Bi Ning terperangah.
"Kak Jay kemarin ke sini?" tanya Anin mendesak.
"Iya, dia menitipkan temenya, seorang gadis."
"Siapa?" penuh tanda tanya besar.
"Bibi belum bisa berkomunikasi dengannya, dia masih sangat shock," jawabnya penuh iba.
"Dimana sekarang?" Anin sudah bisa menduganya, gadis itu Kinar.
"Di kamar," Bi Ning menoleh ke arah sebuah kamar, menunjukan keberadaan Kinar.
Anin melangkah, membuka pintu kamar tersebut. Sosok Kinar memang ada di sana, tengah menyimpan wajah di atas kedua lutut yang di dekapnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini, sementara kakakku meringkuk di balik jeruji besi," ucapnya dingin. Membuat Kinar mendongakkan wajahnya. Menatap Anin penuh tanya.
"Penjara? Kakakmu? Siapa?" benar-benar membuatnya bingung.
"Dia yang menolongmu atau menggantikan posisimu?" senyum sinis penuh curiga terpampang di wajahnya.
Kinar terperangah, tak pernah diduganya akan seperti ini. Seseorang mengorbankan diri untuk menggantikannya.
"Dimana sekarang?" mata sendunya makin terlihat rapuh.
"Kembalikan Kakakku sekarang juga?" desaknya.
Dengan langkah tersuruk-suruk, dengan kekacauan hatinya Kinar menemui Jay di kantor polisi.
"Pak..kasus pembunuhan kemarin bukan dia pembunuhnya, tapi aku. Dengan tangan ini aku telah menancapkan pisau itu," getar di bibirnya tak mampu dia kendali, air matanya makin menambah cerita dramatis itu.
Seorang petugas kepolisian hanya mengernyitkan alisnya, tak mengerti maksud ucapan Kinar.
"Maaf Mba, pembunuhan yang mana?"
"Mungkin pembunuhan yang kemarin. Remaja sekarang memang luar biasa," sela petugas yang lain tak percaya.
"Aku nggak bohong Pak, seharusnya aku yang ditahan," Kinar makin menekankan ucapanya.
"De...mencintai seseorang sekedarnya saja. Jangan mengorbankan dirimu sampai begitu," rupanya ucapan Kinar hanya dianggap celotehan ABG yang lagi bucin-bucinnya.
"Tapi Pak..." ucapan Kinar terputus.
"Sudah..sudah..aku izinin kalian ketemu saja. Tapi nggak boleh lama-lama. Besok jangan kesini dengan akting kaya tadi lagi," ujar salah satu diantara polisi itu.
Kini dua sosok yang tak saling kenal, tapi meninggalkan cerita yang menyesakkan itu telah duduk berhadapan, tanpa saling bersitatap. Kinar menunduk dengan air matanya, sementara Jay tertunduk ke arah jarinya yang dia mainkan di atas meja.
"Pulanglah...!" kata Jay mulai mengarahkan matanya pada gadis itu.
"Bukan aku yang seharusnya pulang, tapi kamu. Biar aku yang menanggung perbuatanku," tetesan bening makin mengucur tak terkendali.
"Gadis bodoh, cepat pulanglah... besok kamu harus sekolah."
Kinar mengangkat wajahnya, mendengar ucapan yang tanpa beban itu, "Mas...bahkan kita nggak saling kenal. Kenapa Mas lakukan ini?"
"Memang apa yang aku lakukan?" setengah senyum, Jay lemparkan dari bibirnya.
"Mas...?"
Dengan lembut Jay menggenggam kedua tangan Kinar, "lanjutkan hidupmu dengan baik, aku akan segera keluar dari sini," ucapnya dengan tatapan yang sulit diartikan dan berakhir usapan di dua sudut mata Kinar.
Kinar meraih tangan itu, turut menggengamnya, "bahkan seumur hidup pun, aku nggak mampu membalasnya," ucapnya serak dengan buliran yang makin deras.
"Hiduplah dengan bahagia, cukup hari ini saja kamu menangis seperti ini. Itulah cara untuk membalasnya," tatapan Jay makin dalam.
"Terimakasih..." Kinar mencoba menahan isaknya.
Semburat senyum terpampang dari wajah Jay, menunjukan bahwa dirinya tak apa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Mamak Mamak
berkorban untuk yg berarti
2022-03-20
0
triana 13
lije
2021-12-29
0
vie
jayy kamu luar bysa deh , salut gue
2021-03-07
0