Jangan lupa dilike ya sayang-sayangnya Pak Dean, eh Mas Bara XD
Selamat membaca :*
************
Pagi itu sesampainya di Polsek, Bara segera menuju ke sebuah meja tempat di mana para wartawan menyimpan barang-barang.
Dari bawah meja ia mengambil sebuah kotak yang isinya adalah sebuah helm yang kemarin dibelikannya untuk Dijah. Hal itu dilakukannya untuk mengantisipasi kalau-kalau ia akan membonceng wanita itu lagi.
Sambil tersenyum-senyum Bara mengelap helm itu dengan tisu dan memastikannya mengkilap. Bara memang berniat pergi ke kos-kosan Dijah untuk mengantarkan wanita itu wawancara ke kantor perusahaan rokok.
Setelah mengelap bersih memastikan helm itu mengkilap dengan mematut-matutnya, Bara meletakkannya di stang sepeda motor dan ia segera naik ke motornya.
Sesaat ketika motornya menyala dan diputarnya menghadap ke arah pagar, ia melihat Dijah yang sedang menyeberangi jalan dan buru-buru masuk ke gang rumahnya yang tepat berada di sebelah Polsek.
Pagar batu Polsek yang setinggi dada orang dewasa hanya dapat memperlihatkan puncak kepala Dijah saja saat wanita itu menghilang sebelum sempat dipanggilnya.
Harusnya Dijah pagi itu langsung berangkat untuk wawancara, dengan sedikit heran ia melajukan motornya pelan-pelan memasuki gang.
Bara tak tahu yang mana rumah Dijah, tapi dari kejauhan ia mendengar suara Dijah memanggil seseorang dan kemudian seorang lelaki tua keluar dari rumah masih dengan rambut acak-acakan. Bara langsung mematikan mesin motornya.
Awalnya bara ingin langsung menyapa Dijah. Tapi mendengarkan perkataan wanita itu kepada laki-laki yang ternyata ayahnya, sangat membuat perasaan Bara tak enak.
Tega sekali ayahnya itu, pikir Bara. Harusnya dengan usia segitu, Dijah bisa berkuliah dan nongkrong bersama teman dan pengeluarannya masih ditanggung oleh ayahnya.
Bara melemparkan tatapan benci pada laki-laki yang sedang berdiri menggaruk-garuk kepalanya salah tingkah karena diomeli anaknya.
Tiba-tiba Bara mendengar suara isak Dijah. Bara yang tadinya menunduk sekarang mendongak melihat wanita itu mengusap wajahnya berkali-kali. Tampilannya yang tadi rapi kini sedikit berantakan karena wanita itu berkali-kali mengelap wajah dan menyisir rambutnya yang terikat ke belakang.
Bara semakin membenci ayah Dijah. Apakah Dijah akan marah padanya kalau ia menonjok pria itu sekarang? Bisa-bisanya dia memperlakukan anak perempuannya seperti itu.
Dari sela-sela pagar Bara melihat penampilan Dijah yang mirip pegawai cafe dalam masa training. Hitam putih. Sangat sederhana. Dengan sepasang sepatu murahan dan sebuah tas yang beberapa malam ini dilihatnya tergantung di pegangan lemari. Tas Dijah cuma itu saja, tak ada yang lain pikir Bara.
Dul yang tadinya menangis, kini menatap Bara dan motornya dengan terkagum-kagum. Dengan sorot mata terpesona, Dul memandangi motor Bara dengan antusias.
"Ayo naik," ajak Bara mengulurkan tangannya. Dul yang masih sedikit bingung tapi menurut, menyambut uluran tangan Bara dan menginjakkan kakinya pada sadel boncengan yang cukup tinggi.
"Jah!" panggil Bara. "Maaf ikut nyela, khawatir Dul makin terlambat. Acaranya di mana? Aku aja yang anter Dul."
Dijah menoleh padanya dan menatap bingung. Bara tak tega melihat tampilan Dijah yang akan pergi wawancara hari itu.
"Eh? Nanti gimana kalau..." Kata-kata Dijah terputus.
"Udah?" tanya Bara pada Dul. "Di mana acaranya?" Bara memastikan tempat yang akan ditujunya.
"Di taman wisata Om," jawab Dul.
"Ya udah, kita langsung ke sana. Jah kamu pergi ke kantor itu sendiri ya. Permisi Pak..." ucap Bara yang merasa tetap harus permisi pada pria tua yang semenit lalu ingin ditonjoknya.
Sudah pukul setengah sembilan, dan bus sekolah Dul sudah hampir tiba di tempat acara. Bara mengenakan helm yang dibelinya untuk Dijah kepada Dul. Berkali-kali helm itu turun menutup wajah Dul, tapi Bara melihat bocah itu nyengir dari kaca spion sambil memeluk erat pinggangnya.
Dijah harus belajar dari Dul cara memeluk pinggangnya seerat itu agar ia bisa memamerkan perut rata dan sixpacknya pikir Bara.
Setibanya di tempat acara, Bara terperangah melihat begitu banyaknya bus pariwisata yang terparkir. Ratusan anak TK yang terlihat bertubuh dan berwajah hampir sama tumpah ruah di tempat parkir.
Dengan sebuah ransel yang tersampir di bahunya, tangan kiri bara menggandeng lengan Dul dan tangan kanannya membawa kotak bekal anak laki-laki itu.
"Kita cari temen-temen dari sekolajan kamu dulu ya," ujar Bara sambil sedikit mundur untuk melihat nama TK yang tertera di punggung baju olahraga gang dikenakan Dul.
"Itu temenku Om!" seru Dul menunjuk sekelompok anak-anak yang sedang digiring seperti anak bebek oleh beberapa orang guru perempuan.
Belasan ibu-ibu ikut mengiri anak mereka masing-masing sambil menjepretkan kamera ponselnya ke arah anak masing-masing.
"Permisi Bu, maaf Dul terlambat." Bara menyodorkan tangan Dul pada gurunya yang langsung menyambut bocah itu.
"Iya Pak, nggak apa-apa, kita juga baru nyampe. Bapak orangtuanya Dul kan? Jangan pulang dulu ya Pak, bantu Dul memakai seragam marching band-nya. Sekolah kita dapat giliran pertama kali." Guru Dul tampaknya tak mempedulikan jawaban Bara karena wanita itu langsung berjalan menuju tenda-tenda yang di atasnya tercantum nama asal TK masing-masing sekolah.
Bara menggaruk kepalanya dan ikut berjalan mengiringi anak-anak itu. Sesampainya di tenda, guru tersebut membagikan sebuah bungkusan pada masing-masing anak.
"Mohon dibantu pada orangtuanya ya bunda-bunda, itu isinya seragam anaknya. Setelah acara harus segera dikembalikan, jangan sampai hilang."
"Ini Om," tukas Dul menyerahkan bungkusan itu pada Bara.
"Bunda-bunda..." gumam Bara melihat sekelilingnya. Memang semua yang hadir di sana adalah bunda-bunda. Hampir tak ada laki-laki.
"Dul... Ayahmu ya?" teriak salah satu anak pada Dul.
"Ayo Dul pake seragamnya dulu," ucap Bara mengeluarkan isi bungkusan dan setengah berjongkok memakaikan seragam marching band itu pada Dul.
Dul telah selesai berpakaian, tapi Bara melihat ada secarik sapu tangan keemasan yang ia tak tahu harus diletakkan di mana. Bara menoleh ke kanan kiri untuk melihat tampilan anak lain.
Bara menggerutu di dalam hatinya. Ini adalah kali terakhir ia berada di tengah ibu-ibu dalam kebingungan. Ia harus memastikan bahwa isterinya nanti harus berada di rumah saja mengurusi anak-anaknya. Tak boleh bekerja.
"Ayah Dul, sini saya bantu." Seorang ibu muda mengambil sapu tangan keemasan itu dari tangan Bara dan menyelipkannya di pundak Dul.
"Nah, begitu Mas..." ujar wanita muda itu pada Bara seraya tersenyum.
Dijah juga harus belajar dari perempuan muda ini untuk memanggilnya Mas selembut itu, pikir Bara.
"Dul udah selesai Bu," ujar Bara pada seorang guru yang sedang mengecek penampilan tiap muridnya.
"Oke Dul masuk ke barisan," pinta gurunya.
"Mas ayahnya Dul ya?" tanya perempuan tadi seolah ingin memastikan.
Tak ingin banyak menjelaskan, Bara langsung menjawab, "iya Mbak..." Dul menoleh ke arahnya saat ia mengatakan hal itu.
Dan Dul langsung berkata, "Yah, aku baris dulu ya..." bocah laki-laki itu tersenyum jahil padanya. Bara berjengit.
"Mas duduk di sini aja dulu, anak-anak kita sedang latihan sekali lagi. Baru kemudian nampil, nanti kalo nampil kita bisa mendekat untuk foto-foto." Wanita itu menunjukkan selembar tikar yang bawahnya telah dialasi terpal biru sebagai tempat duduk para orang tua yang menunggui anaknya.
"Anak-anak kita," gumam Bara sendirian.
"Ayah Dul! Duduk sini, saya tadi bikin rujak untuk cemilan. Ayo--ayo sini," ujar wanita muda lainnya yang menarik tangan Bara setengah memaksa agar ia ikut duduk di atas tikar itu.
Bara setengah terhempas di atas tikar itu. Dan dalam keadaan tak sepenuhnya sadar, ia telah mengunyah berbagai macam makanan yang disodorkan para ibu orang tua murid padanya.
"Ibunya Dul diem-diem udah menikah lagi. Kita nggak ada yang tau. Nggak diundang ya Jeung..." ucap wanita lain yang memakai penutup kepala tinggi dengan tempelan berbagai macam bunga hampir satu pot di kepalanya.
"Iya, kita nggak diundang. Jadi sekarang ibu Dul kerjanya apa?" tanya seorang wanita lain yang memakai rompi panjang motif macan tutul yang terseret nyaris ke tanah.
"Ibu Dul nggak kerja, tadi di rumah lagi nggak enak badan tidur-tiduran aja. Saya nggak suka dia keluar rumah." Bara berpikir kenapa tak sekalian saja membuat para ibu-ibu ini punya bahan baru untuk dibicarakan. Urusan besok-besok mereka bilang apa ke Dijah, itu urusan wanita itu menjawabnya. Bara sedikit tersenyum licik.
Pagi itu Bara laris manis dikerubuti ibu-ibu yang bersemangat ingin mendapat sepotong pujian tentang enaknya cemilan yang mereka sodorkan ke tangan Bara. Bara terus manggut-manggut sambil mengunyah.
Saat Bara melihat Dul, anak laki-laki itu sedang meringis ke arahnya. Kelihatannya Dul merasa tak enak karena telah membuatnya terjebak di tengah para ibu-ibu itu.
Musik marching band kemudian terdengar diputar. Bara menoleh asal suara.
"Sudah pembukaan, sebentar lagi kita ke depan Mas. Biar foto anaknya bagus!" Suara ibu-ibu tadi mengingatkan Bara akan kamera Canon tipe EOS 5D Mark III yang biasa digunakannya untuk mengejar foto bahan berita.
Bara melepaskan ransel dan membuka resteling untuk mengeluarkan kamera mahalnya. Sebagian ibu-ibu yang tadinya berisik saling menceritakan kegiatan pagi mereka berulang-ulang mulai terdiam. Mereka memperhatikan apa yang sedang dilakukan Bara.
Tangan Bara dengan cekatan membuka sebuah kotak transparan tempat ia menyimpan lensa kameranya secara terpisah.
"Ayahnya Dul tukang foto kawinan ya?" tanya salah seorang ibu-ibu.
"Wartawan Mba... Wartawan," sahut Bara meringis.
"Wih, keren. Ayah Dul wartawan."
Tentu saja keren pikir Bara. Seandainya saja orang tahu beberapa orang pahlawan nasional dulunya adalah seorang jurnalis sepertinya, pasti semua orang akan menganggap profesi wartawan ini patut dibanggakan pikir Bara.
Ibu-ibu semakin berdecak kagum melihat Bara yang dengan cekatan memasang kamera profesionalnya. Mendengar pujian dari ibu-ibu itu membuat Bara semakin memasang wajah datar misterius.
Suara musik marching band semakin memekakkan telinga dan Bara tiba-tiba merasakan ponselnya bergetar. Ia melihat panggilan itu ternyata dari Bayu juniornya di kantor.
"Ada apa Bay?" sahut Bara dengan intonasi tinggi.
"Lagi di mana Mas? Kita diminta Pak Heru ke kantor," ujar Bayu di seberang.
"Lo aja duluan ke kantor. Bilang gua lagi ngejer berita. Penting banget berita ini," jawab Bara dengan ponsel yang terjepit di antara bahu dan telinganya. Tangannya masih sibuk membereskan kotak lensa dan memasukkannya lagi ke dalam ransel.
"Mas Bara lagi di markas TNI ya? Suara musiknya begitu," tukas Bayu lagi.
"Iya. Makanya... Gue lagi di Mabes TNI ni. Ngejer berita anak Pangdam Jaya. Lo bilang aja gitu ama Pak Heru," jawab Bara setengah terkekeh.
"Siap Mas! Semoga sukses dan lancar ngejer anak Pangdamnya," sahut Bayu polos.
"Iya, doain Pangdamnya malem ini baek ke gue ye..." Bara tertawa menjawab ucapan juniornya itu.
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Aku dukung ko Mas Bara, emang perlu d kasih paham orang tua kayak bapaknya Dijah..
keterlaluan banget
2025-01-31
2
Andri Yani
ngakak aq thor nengok tingkah bara dah mirip lah sm.tini suketi suka asal ceplos 😄😄😄😄
2025-03-13
0
Teh Mbak Sri
Lagi bayangin wajah Bara yg lagi ngumpul bareng emak2. Eh Bunda, Bunda..
Dikerubutin pula..🤣🤣🤣
2025-01-25
0