Likenya jangan lupa ya,
Selamat membaca.
************
"Kau kok gak kerja?" tanya Mak Robin pada Tini yang malam itu datang ke depan pintu kamarnya dengan sepiring nasi dan segelas air.
"Sekali-sekali libur biar nanti nggak kaya banget." Tini menempati kursi di depan pintu kamar Mak Robin dan mulai menyantap makan malamnya.
"Dijah mana? Gak kerja dia malam ini?" tanya Mak Robin pada Tini.
"Ga tau, belom ada keliatan. Mungkin tempat emaknya. Dijah ga kapok ketemu si anjing itu, padahal kalo ke sana seringnya digebukin," tukas Tini.
"Eh itu laki-laki yang kemarin. Bonceng Dijah! Apa itu cowoknya?" tanya Mak Robin. "Mampos kau Tini! Kalah goyangan kau sama si Dijah. Dapatnya cowok ganteng."
"Biarin! Rejeki masing-masing Mak. Buat apa ganteng kalo nggak ada duitnya," ujar Tini.
"Yang penting bukan lakik orang Tin! Tiap malam bisa kau keloni! Nggak bekas nyelupin orang lain! Haha" Mak Robin tertawa terbahak-bahak seraya memukul punggung Tini. Seketika Tini terbatuk-batuk gelagapan meraba-raba mencari gelas air putihnya.
"Udah, di sini aja." Dijah menepuk pelan pundak Bara beberapa meter lagi dari depan pintu kamarnya.
Mak Robin dan Tini masih terbengong di bawah lampu teras memandang Dijah yang turun dari motor besar Bara dengan tubuh terlihat kaku.
"Eh! Apa! Matikan kereta kau dulu," sergah Mak Robin pada Bara.
"Apa? Siapa?" tanya Bara dengan jari telunjuk mengarah ke hidungnya.
"Ya kau lah! Nanya pulak! Matikan kereta kau itu. Tegang nanti bulu idung kami tepanggang asap knalpotmu itu," ujar Mak Robin.
"Eh, maaf." Bara cepat-cepat mematikan mesin motornya seraya memandang ke arah Dijah yang sedang membuka pintu kamarnya.
"Aku cuci tangan dulu. Perut aku langsung kenyang liat cowo ganteng," ujar Tini bangkit memungut piring dan gelasnya. Perempuan itu buru-buru masuk ke kamarnya yang terletak persis di sebelah kamar Mak Robin.
"Jantan aja memang otak kau," gumam Mak Robin tanpa terdengar oleh Tini.
Tak lama kemudian Tini keluar lagi kemudian berjalan mendekati Bara yang masih duduk di atas motornya menunduk menatap ponsel. Mak Robin sudah masuk ke dalam kamarnya saat Tini tiba di depan Bara.
"Namanya siapa Mas?" tanya Tini manja berdiri di depan motor dan meletakkan kedua siku tangannya di stang motor.
"Bara..." jawab Bara masih sibuk dengan ponselnya.
Tini keluar kamarnya dan telah berganti pakaian menjadi sebuah tank top putih menerawang dan berpotongan sangat rendah. Sebuah hot pants super ketat hanya menutup bokongnya sejengkal membuat penampilan Tini semakin terlihat liar.
"Kerjanya apa Mas? Mas pacarnya Dijah ya?" tanya Tini spontan.
"Bukan, saya rekan kerjanya." Bara masih menunduk ke ponselnya. Tini yang semakin mendekat untuk melihat wajah Bara lebih jelas telah menempelkan dadanya yang nyaris tumpah di depan kap motor.
"Kalo orang ngomong itu diliat Mas! Ga sopan kalo gitu," tukas Tini sedikit kesal.
"Iya Maaf, ini bales pesan penting banget," sahut Bara kemudian mendongak.
Saat Bara menyimpan ponselnya dan mendongak ke arah Tini, "astaga..." Mata Bara langsung disuguhi sepasang dada yang nyaris terlihat puncaknya.
"Woi! Tini! Gak ada otak kau ya! Kok gak telanjang aja kau sekalian? Punya kawan kau itu woi." Mak Robin mendekati Tini dan menyeret perempuan itu masuk ke kamarnya.
"Aku cuma memprospek Mas Bara Mak," jawab Tini terkekeh-kekeh.
Dijah yang mendengar lengkingan Mak Robin kemudian datang menghampiri Bara.
"Aku kira ngikut di belakangku, taunya masih duduk di sini." Dijah meraih lengan Bara dengan wajah sedikit kesal kemudian menyeret pria itu masuk ke kamarnya.
"Buka sepatumu. Kamarnya udah jelek, jadi harus bersih," tukas Dijah.
"Udah cepet, kamu mau nanya-nanya apa? Aku udah nelfon mami bilang aku nggak kerja seminggu karena ibuku sakit." Dijah kembali berjongkok di depan sebuah ulekan dan melanjutkan menghaluskan sedikit cabai dan bawang di atas batu cekung itu.
"Jadi... tadi kamu masuk kamar langsung ngulek cabe ini?" tanya Bara.
"Iya, kenapa?"
"Kamu nggak capek? Ini udah malem, kamu nggak capek seharian di luar? Itu cabe untuk apa?" tanya Bara.
"Aku udah beberapa hari makan telur diceplok aja. Bosen, ini cabenya aku ulek sekarang. Besok tinggal dimasak. Jadi aku nggak buru-buru banget."
"Hmmm--"
"Jadi pertanyaan kamu apa? Resep balado telor ceplok?" tanya Dijah menoleh Bara yang duduk bersandar di ranjang kayu Dijah dengan satu kaki tertekuk santai.
"Nama suami kamu siapa?" tanya Bara sambil merogoh ranselnya mencari alat perekam kecil yang biasa selalu dibawanya. Ia menyalakan alat perekam itu tanpa sepengetahuan Dijah untuk menghindari rasa tak nyaman perempuan itu.
"Fredy. Kamu tanya semua orang di dekat sana pasti tau semua. Pak Santo polisi itu pun pasti tau," jawab Dijah memindahkan sejumput cabe ke sebuah mangkok dan meletakkannya ke bawah tudung saji kecil di atas meja plastik berwarna merah.
"Kamu menikah setelah pacaran?"
"Enggak. Aku masih SMA. Bapakku banyak hutang ke Fredy untuk berobat ibuku. Setiap hari Fredy nagih dengan mukuli bapakku. Katanya kalo aku mau dinikahi sama dia, utang bapakku lunas." Dijah pergi ke sudut kamar dan mencuci tangannya di dalam seember air yang tertutup kemudian mengelap tangannya sampai kering.
"Usia pernikahan?"
"Enam bulan, mungkin nggak nyampe."
"Langsung bercerai?"
"Enggak, aku melahirkan Dul. Gugatannya aku masukkan setahun kemudian."
"Selama itu kamu ke mana?"
"Hidup pindah-pindah dan kerja serabutan. Nyuci piring di rumah makan, pelayan warung bakso, macem-macem. Ini tempat tinggalku yang entah ke berapa." Dijah duduk bersandar di dekat kursi plastik tipis yang tak bisa diduduki. Ia hanya menggunakan kursi itu sebagai tempat menaruh penanak nasi agar bisa dicolokkan di tempat yang tinggi.
"Pssst... Jah..." panggil Tini tiba-tiba dari luar menjengukkan kepalanya ke dalam kemar Dijah.
"Apa?"
"Kamu nggak mau nasi goreng? Aku traktir." Tini tersenyum ke arah Bara, bukan Dijah.
Dijah mendekati pintu dan berkata pada Tini, "tumben kamu nawarin aku. Biasa juga makan sendiri."
"Sekali-kali kan nggak apa-apa," ujar Tini. Dijah meraih pintu dan mengayunkannya di depan wajah Tini.
"Mau ngewe Jah?" tanya Tini.
"Iya, makanya jangan kamu ganggu!" seru Dijah membanting pintunya. "Dasar usil," ujar Dijah pelan.
"Huuuu... Mau enak-enak nggak modal banget Mas Bara kamu itu. Percuma motornya motor mahal." Suara Tini masih terdengar sangat jelas.
"Astaga..." gumam Bara lagi.
Kamar Dijah hanya berukuran 3x4 meter tanpa kamar mandi. Ruangan itu hanya diisi dengan sebuah ranjang kayu, lemari kayu kecil dua pintu, meja plastik dan kursi plastik usang yang tak sanggup lagi menahan beban berat.
Dijah duduk berseberangan dengan Bara. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding semen tanpa cat. Dijah sengaja mengambil jarak sejauh mungkin dengan Bara.
Dengan menyilangkan kaki dan menyembunyikan kakinya sebisa mungkin, Dijah berusaha bekerja dengan profesional sesuai permintaan Bara.
"Setiap hari makan telur ceplok?" tanya Bara.
"Iya, emang kenapa? Sehat juga kok," tukas Dijah.
"Nggak kangen makan daging?" tanya Bara.
"Kita nggak bisa kangen sama sesuatu yang kita lupa rasanya." Dijah tertawa sumbang. Ia sedang mengingat-ingat kapan terakhir kali ia rela membelanjakan uangnya untuk membeli nasi bungkus dengan lauk sepotong daging.
"Ayam aja aku sebenarnya nggak terlalu suka. Udah nggak enak lagi."
Bara terdiam sesaat, ia seolah tak tahu harus berkata apa lagi.
Beberapa lama suasana hening dan canggung, kemudian seperti teringat akan sesuatu Dijah bangkit berdiri menuju lemari kecil yang terletak di pojok kamar.
Tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas. Perlahan-lahan Dijah merapikan lembaran dua ribu rupiah itu sampai berbentuk lurus dan memasukkannya ke sebuah dompet kain panjang dengan resleting.
Bara yang ingin melihat apa yang dikerjakan Dijah, berdiri sesaat melongokkan kepalanya. Kemudian pria itu duduk di kursi plastik tempat penanak nasi biasa berada.
Dijah yang merasa melihat bayangan seseorang berdiri di belakangnya, menoleh sekilas. Ia belum sempat memberi peringatan pada Bara, sampai kemudian...
GUBRAAAAKKK
Bara jatuh ke lantai dengan bokongnya masih berada di kursi namun 4 kaki kursi itu telah mekar ikut rata dengan lantai.
"Aku belum sempat bilang," tukas Dijah meraih tangan Bara untuk membantu pria itu berdiri.
"Sakit Jah! Baru kali ini aku ngerasain..." Bara meringis.
Di luar pintu kamar Dijah, Tini menutup mulutnya. Dengan mata terbelalak Tini kemudian berjingkat-jingkat mendekati Mak Robin yang duduk di ambang pintu kamarnya.
"Mak, ngeri banget ih Dijah. Kayaknya Bara itu masih perjaka Mak, sakit katanya. Ada suara aneh dari dalem. Mungkin pake gaya baru, tapi Mas Bara itu pemula. Hihi--" Tini terkikik menutup mulutnya.
"Sukak kau la Tini," tukas Mak Robin.
"Perjaka Mak," ujar Tini lagi sambil memukul paha Mak Robin dengan genitnya.
"Otak kau itu cocoknya dikeluarkan terus direndam biar bersih. Besok dipake lagi." Mak Robin mendengus melihat Tini yang seperti cacing kepanasan setelah beberapa saat menempelkan telinganya di pintu kamar Dijah.
"Mau nanya apa lagi? Aku ngantuk mau tidur. Besok pagi mau kerja."
"Jah, aku mau nanya sesuatu. Kamu jangan marah ya..." ujar Bara memandang Dijah yang telah kembali duduk bersandar di dinding.
Pandangan Bara menelisik Dijah yang tak sedang menatapnya. Wanita itu sedang menunduk memandangi kuku-kuku tangannya.
Sayang sekali jika Dijah menjual diri pikir Bara. Dengan wajah manis dan tubuhnya yang cukup menggoda kaum pria, Dijah harusnya masih bisa mencari seorang pria yang mau mempersuntingnya.
Apalagi hanya dengan 50 ribu rupiah. Kalau Dijah menjadi pelacur pun, dengan sedikit polesan Dijah bisa punya harga jual lebih mahal. Bara masih mengamati wajah lelah Dijah.
Bara yang bokongnya terasa pegal karena jatuh barusan, telah mendudukkan dirinya di ranjang kecil Dijah yang hanya memiliki sebuah bantal tipis dan sebuah guling lembek.
"Apa?" tanya Dijah lesu.
"Dengan 50 ribu satu maleman, kamu ngelayanin berapa orang?"
"Ya banyak..."
"Banyak?"
"Iya."
"Kamu ngasi layanan apa aja?"
"Maksudnya?"
"Yah... Kamu ngasi layanan apa aja? Short time gitu?" tanya Bara polos.
"Hah? Kamu ngira 50 ribu di cafe itu upah aku tidur sama laki-laki?"
"Iya. Emang ngapain?"
"Kalau aku melacur, aku nggak perlu mulung! Aku cuma perlu ke salon pasang bulu mata tegang kayak punya Tini, trus pake baju seksi biar tete aku keliatan segede apa! Edan pikiranmu. Pergi sana! Aku mau tidur." Dijah membuka pintu dan menyeret lengan Bara serta mendorong tubuh laki-laki itu keluar kamar.
"Jadi bukan Jah?" tanya Bara dari depan pintu.
BRUKK
Bara menangkap ranselnya yang dilemparkan Dijah ke luar.
"Bukan gitu ya Jah?"
BRAKKK
Dijah membanting pintu kamarnya.
"Jah! Maaf Jah!" seru Bara dari luar pintu.
Dengan wajah cemberut, Bara menyampirkan ranselnya dan berjalan lesu ke arah motornya.
"Kenapa Mas? Cepet keluar ya?" tanya Tini.
"Hah?" Bara menatap Tini bingung.
"Pasti Mas Bara cepet keluar kan?"
"Ya ampun... Keluar apanya..."
"Foreplaynya dilamain Mas, jadi Dijah bisa puas juga." Tini berbicara dari depan pintu kamarnya masih dengan pakaian seksi.
"Astaga... Bukan gitu."
"Halah, malu-malu..." tukas Tini.
"Ya ampun..."
Bara menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia merasa bersalah soal pertanyaannya pada Dijah barusan. Besok ia harus mencari cara agar Dijah mau kembali berbicara dengannya.
To Be Continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
jumirah slavina
buahahahahahahahahahaaaaa....
jan iri ya Kamu Suketi...
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2025-02-02
2
Teh Mbak Sri
Jaka Sembung bawa golok...
Roaming...
wkwkwk...
2025-01-25
1
dyul
hahaha.... always ngakak, gaya si tini
2025-02-26
0