Boleh dilike dulu ya biar nggak kelupaan.
Selamat Membaca.
************
"Pelan-pelan kau jalan Tini! Tinggi kali sepatu kau itu. Nampak kurasa Danau Toba kalo kupake sepatu kau itu." Mak Robin mengomeli Tini yang pecicilan melangkah buru-buru ke arah Bara.
"Gimana sih jadi tukang ojek kok motornya gede gini? Gimana aku naiknya?" tanya Tini saat berdiri di sebelah Bara.
"Eh nggak Mbak! Aku bukan ojek. Aku wartawan yang mau wawancara Dijah." Bara buru-buru menurunkan standar motornya dan bangkit.
"Serius dong! Ya udah aku jalan ke depan aja. Sableng!" umpat Tini kemudian berjalan tertatih-tatih menghindari batu di halaman kos-kosan itu.
Bangunan kos-kosan itu berbentuk huruf U dengan 4 lantai menjulang ke atasnya. Kamar Tini, Mak Robin dan Dijah terletak berderet di sisi kiri. Itu yang menyebabkan mereka dekat satu sama lain. Oh, ada dua lagi yang ketinggalan. Asti. Asti adalah mahasiswi fakultas kehutanan. Serta tak lupa Boy penduduk paling baru yang dekat dengan Asti. Boy adalah seorang SPB kosmetik.
"Jah jangan lupa tagihan airnya, nanti kau kena repet (omel) lagi sama Nyai," tukas Mak Robin mengingatkan Dinah akan tagihan airnya.
"Iya, kok mahal ya Mak? Duitku lagi pas-pasan. Tetangga depan belom bayar utangnya minggu lalu." Dijah menghela nafas panjang. Tangannya kemudian kembali merogoh selembar tagihan kertas berisi tagihan airnya bulan itu.
"Andai semua orang ngebet bayar utang sama kayak ngebet minjemnya 'kan enak," gumam Dijah.
"Kalo semua orang kayak gitu, sunyi la penjara Jah! Nggak ada yang bunuh-bunuhan perkara nggak bayar utang." Mak Robin ngeloyor pergi menuju pintu kamarnya.
Dijah masih memandangi selembar tagihan air sejumlah 25.000 yang dirasanya sangat mahal itu.
"Dijah!" panggil Bara pelan. Ia merasa sekarang sudah aman untuk berbicara.
"Kamu kok masih di sini? Makasi udah nganterin aku pulang, aku nggak ada uang bayar ongkosnya atau gantiin uang bensin kamu," ujar Dijah.
"Enggak apa-apa. Aku wawancara sebentar aja sebagai gantinya. Gimana? Boleh?" tanya Bara dengan nada lembut. Ia takut menyinggung perasaan Dijah.
"Apa aku bakal dimasukkan dalam berita? Aku nggak mau, di gang rumahku sana, aku tiap hari jadi berita. Aku nggak mau cari penyakit."
"Nggak kok, ini untuk bahan tesisku. Syarat lulus kuliah. Ngerti? Kalo mahasiwa itu kan--"
"Ngerti! Kamu kira aku tinggal di hutan sampe nggak ngerti soal orang kuliah?" sergah Dijah.
"Astaga.... Bagus kalo ngerti. Sebentar aja Jah, please... sebagai bayaran nganterin kamu. Bisa kan?"
Dijah berpikir sejenak kemudian mengangguk. Ia kemudian berjalan menuju pintu kamarnya dan merogoh saku untuk mengambil sebuah kunci.
Setelah pintu terbuka, Dijah melepaskan sandal dan melangkah ke dalam kamarnya.
"Ayo masuk!" ajak Dijah santai.
"Ini kamar kamu Jah?" tanya Bara polos.
"Ya iya, masak kamarnya Mak Robin. Bisa pecah kepala kita dibuatnya," ujar Dijah.
"Ya ampun," gumam Bara.
"Ya udah cepet! Kamu mau nanya apa? Aku sambil ngerokok ya... Kalo kamu khawatir bengek, kamu duduknya di dalem. Aku di depan pintu aja," tukas Dijah mengambil sekotak rokok dan sebuah pemantik.
"Kok harus ngerokok Jah? Kan nggak sehat ...." gumam Bara pelan.
"Kalo aku emosi, aku harus ngerokok. Biar setanku ikut keluar dari ubun-ubun. Kamu ceriwis banget ya, sekarang mau jadi wartawan apa jadi dokter?" hardik Dijah dari depan pintu seraya menyalakan rokoknya.
"Ehmm ... pertanyaanku santai aja Jah, kamu sering mendapat perlakuan seperti tadi? Itu kan namanya penganiayaan."
"Sering, aku dah biasa. Dari sejak hari pertama pernikahanku."
"Kenapa? Maaf kalo pertanyaannya sedikit pribadi," ujar Bara hati-hati.
"Hari pertama pernikahanku, aku nggak mau ditiduri. Ya udah, gitu aja. Laki-laki lagi mabok sabu ya gila. Semua-semua mau. Jijik aku. Cuihh!" Dijah meludah keluar.
"Oke, dimengerti. Usia berapa kamu bercerai?" tanya Bara.
"17 taon lebih sedikit."
"Kenapa akhirnya bisa bercerai? Mengingat temperamen suami kamu seperti itu?"
"Biaya cerai mahal buatku waktu itu. Nikah lebih murah ketimbang cerai. Aku dibantu waktu itu, masukin gugatan dengan alasan nggak dinafkahi. Kekerasan rumah tangga juga."
"Oke. Kenapa sekarang nggak dilaporin polisi? Biar mantan suami kamu bisa dipenjara? Kamu korban kekerasan Jah! Apalagi aku denger tadi dari tetangga kamu, kamu udah sering begini. Kenapa kamu diam?"
Bara tak sanggup lagi menahan sedikit amarahnya mengingat perlakuan mantan suami narasumbernya itu.
Dijah menghisap rokoknya dan menghembuskan asap ke atas.
"Aku takut mati! Aku takut anakku mati! Rumah orangtuaku cuma itu. Selama orangtuaku masih hidup, si anjing itu bisa nyari orangtuaku. Memangnya bisa dipenjara selamanya kalo cuma mukuli aku aja? Enggak, 'kan?" tanya Dijah sedikit kesal.
"Oke--oke. Kamu jangan ngamuk dong," potong Bara cepat. Dia masih membutuhkan Dijah sebagai narasumbernya.
Dijah adalah narasumber eksklusif yang didapatnya secara tak sengaja saat ia sedang pusing mencari korban kekerasan yang bisa atau lebih tepatnya yang mau diwawancarai langsung.
Karena kebanyakan korban kekerasan terutama perempuan hanya diam seperti memaklumi perlakuan yang diterima. Terutama dalam kehidupan rumah tangga. Tamparan dan makian seperti hal yang lumrah dilakukan oleh seorang suami yang kasar pada isterinya.
"Yowes! Mumet endasku! Besok-besok disambung lagi kalo ketemu. Aku mau tidur," ujar Dijah.
"Jah! Pekerjaan kamu apa? Ini pertanyaan terakhir hari ini," sela Bara cepat.
"Aku kerja malem di cafe yang letaknya di jajaran ruko seberang mall ini. Kalo siang apa aja aku kerjain yang penting ada uangnya," jawab Dijah.
"Kamu nemenin ... pelanggan?" tanya Bara pelan. Ia menelan ludah menanti jawaban Dijah.
"Iya," jawab Dijah asal.
"Hmmm ...." Kemungkinan besar Dijah PSK, pikir Bara. Untuk menanyakan rincian tentang pekerjaan malam wanita itu pada pertemuan pertama mereka, Bara merasa kurang sopan.
"Pendapatannya Jah? Satu malam berapa?" tanya Bara yang ternyata belum bisa mengerem mulutnya.
"Katanya pertanyaan terakhir!" sergah Dijah kesal. "Udah, udah. Kamu pergi sana."
"Iya itu terakhir, please ...." mohon Bara pada Dijah.
"50 ribu." Dijah membayangkan bagaimana wanita yang biasa dipanggil mami memberinya 50 ribu rupiah untuk mengantarkan minuman dari jam 8 malam sampai pukul 1 dinihari.
"50 ribu? Astaga ...." Bara terperanjat. Murah sekali tarif wanita ini pikirnya. Apa ia harus menyewa layanan Dijah agar bisa berbincang semalam suntuk dengan wanita ini pikir Bara lagi.
"Mbak Dijah! Besok mulung nggak?" tanya Asti yang tiba-tiba muncul lengkap dengan ranselnya. Wanita muda itu baru saja pulang dari praktek di kampusnya.
"Emang kenapa?" tanya Dijah.
"Besok nggak usah mulung, setrikain pakaian aku aja ya. Upahnya seperti biasa," ujar Asti.
"Iya. Boleh," sahut Dijah cepat.
"Itu siapa yang duduk di dalem? Tumben laki-laki boleh masuk, pasti spesial." Asti tertawa.
"Martabak kali spesial,"
"Cakep Mbak, namanya siapa?" tanya Asti cengengesan.
"Mulan," jawab Dijah.
"Mulan?" tanya Asti heran.
"Ketemu di jalan," tukas Dijah tertawa.
"Huuu.... Udah bisa ketawa. Muka Mbak Dijah masih benjut-benjut. Pasti ulah orang yang sama," ujar Asti.
"Ya udah sana kamu. Mandi, abis mandi jangan ngurung cowokmu di kamar lagi." Dijah mengibaskan tangannya.
"Masak Tini aja yang boleh," jawab Asti seraya melangkah menjauh.
"Ngawur! Tini kok diikuti," tukas Dijah. "Heh! Pergi sana!" sergah Dijah tiba-tiba pada Bara yang masih terpukau menguping pembicaraan Dijah dan Asti.
"Ya udah, aku balik ya Jah! Besok-besok kalo ketemu, aku bisa lanjut wawancara kan? Kamu kalo cari aku, ke kantor polisi tadi aja. Aku sering nongkrong di situ." Bara bangkit dan berjalan keluar pintu dengan berjingkat-jingkat menghindari kaki Dijah yang tak mau bergeser sedikitpun.
Dijah mengikuti Bara dengan pandangannya. Pria tinggi berkulit kuning langsat dengan rambut ikal yang sedikit panjang dan menutupi dahinya itu berjalan menuju sepeda motor besarnya.
Saat Bara memakai helm full face berwarna hitam yang hanya memperlihatkan matanya saja, Dijah seperti melihat pria yang berbeda.
Mata Dijah masih mengamati Bara yang menyalakan motornya dan sedikit berputar mengarah ke pintu pagar.
Punggung pria itu lebar pikirnya. Bara juga sangat wangi.
Tiba-tiba, Bara menoleh ke belakang.
"Jah! Entar ketemu lagi ya," seru Bara melambai dan mengedipkan matanya.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Dijah yang terperanjat terbatuk-batuk karena tercekik asap rokoknya sendiri.
"Baru kenak main mata sekali aja, udah tebatok-batok kau Jah!" tukas Mak Robin yang ternyata memperhatikan tingkah Dijah dari depan pintu kamarnya.
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
jumirah slavina
idiiihhhh.... Bara'Bere genit....
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2025-02-02
2
legira
cerita ini udah ke sekian kali aku bacanya..tetap aja seru..
2025-01-22
0
Ni Ketut Patmiari
baru tau kpanjangan mulan nemu dijalan🤣
2025-04-01
0