Di-like sekarang biar ga lupa,
selamat membaca.
************
"Motornya jadi goyang terus nih. Kamu duduknya jangan di ujung banget!" teriak Bara dari depan.
"Aku bau! Udah jalan aja cepet. Gak jauh!" balas Dijah dari boncengannya.
"Keras kepala banget," ujar Bara.
"Apa??" teriak Dijah yang memang tak dengar apa yang dikatakan laki-laki yang memboncengnya.
"Gak apa-apa," sahut Bara.
"Situ kok tau nyari aku ke situ?" tanya Dijah.
"Menurut kamu?" Bara balik bertanya. Motor Bara telah tiba memasuki jalan di sebelah mall besar. Bara langsung mengarahkan motornya masuk ke sebuah gang kecil yang di depannya dihinggapi beberapa ojek pangkalan.
"Eh Bara! Balek lagi kau ke sini. Sebentar lagi udah bisa la kau ikot nonggok (ngetem) di depan gang itu, jadi RBT (ojek) juga." Mak Robin duduk di sebuah kursi plastik sambil menyuapi anaknya tertawa melihat Bara yang dalam waktu dekat sudah dua kali bolak-balik ke tempat itu.
"Aku mandi dulu," ujar Dijah melompat turun dari atas motor kemudian melepaskan helmnya dan meletakkannya di pangkuan Bara. Lantas ia buru-buru membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam.
Bara mengikuti Dijah dengan pandangannya seraya melepaskan helm.
"Sepi, yang lain pada kemana Bu?" tanya Bara berbasa-basi pada Mak Robin.
"Ada yang kerja, ada yang kuliah. Kek gini la kalo jam-jam segini. Malem biasa rame, orang udah pulang kerja semua. Mau lebih rame lagi kalo ada yang begadoh. Itu udah pasti dijamin rame," ujar Mak Robin terkekeh.
Bara melihat Dijah keluar kamarnya dengan sebuah handuk tersampir di bahu, ember kecil yang sepertinya berisi peralatan mandi dan tangan kirinya terlihat mendekap pakaian bersih.
"Itu anaknya Bu?" tanya Bara pada Mak Robin.
"Iya, pasti kau heran kenapa anakku masih kecil kali. Cocoknya memang jadi cucuku si Robin ini. Aku nikah hampir 20 taon baru dapet anak. Udah nggak kupikirkan kali soal anak, malah dikasi rejeki anak. Dulu pas siang malam kuresahkan soal keturunan malah gak ada. Kalo kata si Dijah, Robin ini hadiah ikhlasku." Mak Robun tersenyum memandang anak laki-laki satu-satunya.
"Bapaknya mana Bu?"
"Kerja bangunan, proyeknya di kampung-kampung. Bangun villa atau apa. Gak tau aku. Yang penting dua Minggu sekali dia pulang ngasi belanja anaknya," tukas Mak Robin.
Bara mengangguk kecil tanda ia menyimak perkataan wanita yang terlihat berumur setengah baya dengan rambut dipotong ala Demi Moore di jaman berjayanya.
Bara mengeluarkan ponselnya kemudian turun dari motor dan ikut duduk di sebuah kursi plastik di antara jendela Tini dan pintu kamar Dijah. Ia masih menunduk menatap ponsel, saat sudut matanya melihat Dijah yang telah keluar dari lorong di pojok bangunan dengan handuk di kepalanya.
Dijah melangkahkan kakinya cepat-cepat masuk ke kamar karena merasa tak enak telah ditunggui seorang pria yang baru dikenalnya beberapa hari. Terlebih ia bahkan tak tahu latar belakang pria itu.
Sesampainya di kamar Dijah kembali membuka kaos yang dikenakannya untuk menggunakan losion dan produk wewangian tubuh. Saat mematut dirinya di sebuah cermin tipis berbingkai coklat, ia melihat colokan pemasak nasi yang masih menyala.
"Aduh! Aduh!" pekik Dijah kaget.
Ia merasa nyesek dan ngenes telah beberapa jam meninggalkan pemasak nasi itu menyedot KWH token listriknya dengan sia-sia. Itu adalah sebuah pemborosan besar bagi Dijah.
Tiba-tiba,
BRAKKK
"Kenapa Jah?" tanya Bara yang membuka pintu kamarnya dan melongokkan kepala ke dalam.
Bara hanya sempat memejamkan mata sesaat sebelum sebuah botol deodorant melayang ke arahnya.
BRAKKK
Untungnya Bara dengan cepat kembali menutup pintu kamar Dijah. Sebotol deodoran nyaris menghantam kepalanya.
Di luar pintu kamar, Bara menyandarkan kepalanya. Matanya memejam sesaat dan tangannya mengelus dada.
"Ya ampuuun..." gumamnya pelan.
Bara belum lupa pemandangan yang baru saja dilihatnya di dalam kamar Dijah barusan. Wanita itu mengenakan jeans dan sebuah bra saja. Bara benar-benar tak bermaksud lancang. Tadinya ia sudah melihat Dijah berpakaian lengkap saat keluar dari kamar mandi. Siapa sangka wanita itu kembali melepaskannya.
"Kenapa kau?" tanya Mak Robin heran.
"Ditimpuk Bu," jawab Bara dengan wajah sedikit memerah.
"Jadi kok merah gitu mukamu? Demam?" tanya Mak Robin.
"Ah masak sih," ujar Bara menyentuh kedua pipimya bergantian. Melihat Dijah yang biasa berpakaian longgar namun tadi sekilas melihat dada penuh wanita itu membuat jantung Bara berdetak tak santai.
BRAKKK
Dijah yang baru keluar kamar kembali menutup pintunya dengan keras.
"Astaga..." gumam Bara lagi memegang dadanya.
"Udah?? Udah ngeliat? Kayak nggak bisa ngetuk aja," tukas Dijah langsung saat melihat Bara duduk di kursi plastik. Ia menatap sinis pria yang sekarang sedang menunduk dengan wajah memerah.
"Kamu bilang aduh, aku kira ada apa." Bara menekuk cemberut.
"Aku cuma bilang aduh, nggak bilang tolong. Lain kali harus dibedain. Belum tentu orang ngomong aduh itu butuh pertolongan kita," jelas Dijah masih dengan wajah kesal.
"Ya maaf..."
"Jadi pergi nggak?"
"Ya jadi, ayo..." Bara bangkit dari duduknya dan berjalan menuju motor.
Setelah memakai helmnya, Bara mengambil sebuah helm yang tadi dipakai Dijah.
"Helm siapa ini?" tanya Dijah. Karena setahunya sejak awal bertemu laki-laki itu, Bara tak pernah membawa helm lain di motornya selain helm yang dikenakannya sendiri.
"Helm Pak Santo, aku pinjem." Bara nyengir. "Baunya ga enak ya? Kamu baru keramas. Sabar ya Jah," kekeh Bara memasukkan helm itu ke kepala Dijah dan mengancingkannya.
POK! POK!
Bara memukul pelan helm di kepala Dijah dua kali kemudian menolehkan kepalanya ke belakang isyarat pada wanita itu untuk segera naik ke boncengan.
"Pegangan Jah," ujar Bara. Dijah meletakkan kedua tangannya di bahu pria itu. "Ga gitu juga pegangannya," sambung Bara lagi.
"Udah situ tenang aja. Cepet jalan, udah siang." Dijah menepuk bahu Bara yang menyalakan motor dan mulai melajukannya.
"Permisi dulu Bu," ujar Bara ditujukan pada Mak Robin.
"Iya, lanjot aja!" balas Mak Robin.
"Harusnya kamu itu manggil aku Mas..." ujar Bara saat motor masih melaju di dalam gang.
"Memangnya kalau nggak dipanggil Mas kenapa? Mati?" tanya Dijah.
"Lebih sopan Dijah... Kan aku lebih tua dari kamu."
"Yang tau kan situ aja. Orang lain nggak," jawab Dijah.
Bara hanya diam mengerucutkan mulutnya. Dijah ini keras kepala sekali pikirnya. Mau menjadi temannya saja sulit. Apalagi mau menjadi lebih dari itu. Pantas wanita ini masih menjanda padahal sudah lama bercerai dari suaminya. Bara kembali terbayang bagian atas tubuh Dijah yang tadi hanya berbalut bra.
Kepalanya yang sibuk membayangkan dada wanita terbalut bra membuat Bara tak menyadari jika jaraknya dengan sebuah mobil di depan semakin dekat karena lampu merah.
"Ya ampun!" pekik Bara menarik rem di tangannya. Motor berhenti mendadak dan Dijah merosot ke depan dan menempeli punggungnya.
"Aduh..." gumam Bara yang merasakan dada empuk Dijah melekat di punggungnya.
PLAKK!!
Dijah memukul lengan kanan Bara kemudian kembali mundur. Bara tersentak.
"Astaga Jah... Aku nggak sengaja," ujar Bara menoleh ke belakang.
"Liat jalan aja yang bener," pinta Dijah dari belakang. Dijah merasa jantungnya semakin tak nyaman tiap bersentuhan dengan Bara meski hanya sedikit saja.
To Be Continued.....
Kalo masih ada tiket vote, amankan untuk juskelapa ya.. XD
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
jumirah slavina
hilihhh.... bilang aja senangkn Kau...
rezeki ya Bar....
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2025-02-02
2
dyul
wadaw..... rejeki ya bar🤣
2025-02-26
0
dyul
hahaha
2025-02-26
0