Dari penulis :
Ini adalah novel bergenre romantis 21+ (adult-romance)
Dengan membaca novel ini, pembaca harus memastikan dirinya sudah cukup umur dan memahami bahwa cerita ini hanyalah fiksi belaka. Hanya imajinasi yang bertujuan menghibur. Tidak ada pelajaran di dalam novel ini. Jadi, jangan dicari pelajarannya.
Harap bijak berkomentar. Pastikan Anda memilih bacaan yang tepat sebelum melanjutkan. Ingat, jangan salah memilih genre bacaan. Don't forget, our words is our class.
**********
Sore itu masih panas, meskipun waktu sudah menunjukkan pukul empat lewat. Seperti biasa Dijah menyusuri gang rumahnya untuk menyetor sedikit hasil pendapatannya hari itu.
Hasil memungut barang bekasnya hari itu tidak banyak, ia hanya memperoleh 22.000 rupiah. Beberapa kilo karton bekas dan dua plastik besar kaleng bekas minuman mungkin hanya cukup untuk membeli sekilo beras, seperempat liter minyak goreng dan beberapa butir telur.
Rumah orangtua Dijah berada di pemukiman padat penduduk. Meski sangat reot, tapi hal itu masih lebih baik bila dibandingkan jika anaknya laki-lakinya; Dul ikut tinggal bersamanya di daerah kos-kosan tengah kota yang riuh dan penuh dengan kekacauan setiap harinya.
Wajar saja memang jika kos-kosan itu sangat murah. Kamarnya sangat kecil, sumpek dan kamar mandi bersama yang sering mati air. Namun meski mengeluh dengan fasilitas yang didapat setiap harinya, para penghuni kos seolah tidak jera. Bulan depan mereka tetap membayar biasa sewa demi melanjutkan hidup di sana.
Mencari tempat tinggal yang murah di tengah kota yang dekat dengan tempat mereka mencari nafkah itu hal yang tidak mudah. Dan satu lagi, kos-kosan Dijah boleh menunggak hingga dua minggu. Para penghuninya sudah terbiasa dimaki-maki pemiliknya.
Dijah tiba di depan rumahnya. Ia mendorong pagar kayu yang dipenuhi tambalan beberapa papan yang dipaku asal-asalan setinggi pinggang.
Di depan pintu yang tertutup itu berhamparan sandal rusak. Dijah sedikit kesal melihat hal itu. Berulang kali ia merapikan rumah mereka dengan beralasan rumah sangat sederhana masih bisa terlihat baik jika dirawat.
Rumah orangtua Dijah hanya memiliki satu kamar tidur, sepetak dapur kecil yang bersebelahan dengan kamar mandi serta halaman belakang yang langsung berbatasan dengan dapur tetangga.
Di antara jajaran rumah di gang yang rata-rata kecil, tapi rumah keluarga Dijah memang termasuk yang paling sederhana. Dinding dapur belakangnya masih berupa dinding tepas. Tempat di mana berbagai alat dapur seperti pisau diselipkan pada jalinan bambunya.
“Dul ... Dul,” panggil Dijah.
“Nggak dikunci Bu,” sahut Dul dari dalam.
Dijah mendorong pintu kayu tipis dengan handle berkarat itu. Dul tampak berbaring di depan sebuah televisi kecil beralaskan tilam tipis.
Bocah laki-laki itu mendongak untuk melihat ibunya yang baru masuk. Ruangan itu sangat pengap. Sebuah kipas angin sudah lelah menggeleng ke sana kemari untuk menghasilkan angin yang tak sejuk.
“Mbah mana?” Dijah menanyakan kedua orangtuanya yang tak terlihat di rumah.
“Mbah Wedok (nenek) tidur di kamar, Mbah Lanang (kakek) baru pergi ke warung.” Dul belum mengalihkan pandangannya dari depan televisi.
“Ngapain ke warung?” tanya Dijah yang penasaran. Ia khawatir ayahnya kembali duduk di warung untuk bermain gaple. Karena meski bukan untuk berjudi, Dijah tetap tak menyukai kebiasaan ayahnya itu. Karena setiap kali kembali dari warung, ayahnya akan membawa cerita aneh tentang pekerjaannya di luar sana.
“Katanya tadi beli beras," sahut Dul.
"Kamu sakit ya? Jam segini tumben nggak main di luar?" tanya Dijah pada anaknya
"Badan Dul agak panas Bu. Tapi Dul tadi udah minum obat," jawab Dul dengan pintarnya.
Bocah laki-laki lima tahun itu memang sangat bijak setiap bicara. Masa kecilnya yang banyak dihabiskan tanpa orang tua membuat Dul tak sempat bermanja-manja seperti anak lainnya. Ia harus pintar dan bijak menghadapi lingkungannya.
"Kamu sudah makan? Kalau belum biar ibu masak," tawar Dijah pada anaknya.
"Sudah kok, tadi mbah masak telur ceplok. Aku udah makan." Dul menoleh wajah manis dan sederhana ibunya. "Ibu mau langsung pergi? Nggak mau temani aku nonton TV? Aku nggak ada temen," ujar Dul menarik jemari Dijah yang duduk bersimpuh di dekat kepalanya.
"Nggak langsung pergi kok, ibu bakal temani kamu nonton. Bapakmu ada dateng? Nggak ada, 'kan?" tanya Dijah sedikit khawatir. Ia cemas Fredy datang ke rumah orangtuanya itu saat ia sedang berada di sana.
Dan rasa-rasanya perkataan itu baru saja meluncur keluar dari lidahnya, tiba-tiba suara gedoran di pintu membuat Dijah terlonjak.
"Dul ngapain kamu?" Suara Fredy terdengar dari luar.
Dengan telunjuk di bibirnya yang terarah pada Dul, Dijah beranjak ke pintu untuk memutar anak kunci.
BRAKK!!
Sedetik kemudian, pintu sudah menganga dan sosok Fredy dengan mata merahnya telah berdiri di sana menatap mereka.
“Oh ibunya yang pelacur lagi di sini. Ngapain kamu datang?” hardik Fredy sedikit terhuyung. Masih sore tapi laki-laki itu sudah mabuk.
Sekaya apapun orang tua jika tak mendidik anaknya dengan baik maka semuanya akan sia-sia. Sama halnya seperti Fredy yang berasal dari keluarga lumayan berada dulunya.
Harta yang melenakan tak membuat kedua orang tua Fredy awas terhadap pergaulan dan gaya hidup anak-anaknya. Semuanya tumbuh besar dengan foya-foya dan menghamburkan uang orangtuanya demi kesenangan dan unjuk gigi di pergaulan.
Miris memang, tapi dari empat bersaudara hanya satu orang lah yang bisa dibilang berhasil dalam kehidupan.
Sedangkan tiga lainnya semua terjerat dalam pergaulan buruk dan kehidupan yang berbeda tingkat kesengsaraannya.
“Dasar anjing! Enak aja kamu ngatain aku pelacur di depan anakku. Kayak hidupmu udah bener aja," seru Dijah pada mantan suaminya. Ia langsung menutup telinga Dul yang sedang terperangah melihat kedatangan bapaknya.
Mendengar perkataan Dijah, Fredy mengambil sebuah sandal dan melemparkannya kepada wanita itu. Dijah tak sempat mengelak, kepalanya langsung berdebu terkena kotoran dari tapak sandal.
Dijah buru-buru bangkit mendorong pria itu keluar dari rumah, ia tak ingin ribut di depan anaknya.
Ini bukan kali pertama, tapi ia memang tak ingin membuat masa kecil Dul dipenuhi dengan kenangan buruk kedua orangtua kandungnya.
Dengan sekuat tenaga Dijah mampu mendorong Fredy yang setengah mabuk sampai pria itu terhempas dengan bokong yang pertama mendarat lebih dulu di tanah.
"Dasar wanita anjing, dasar pelacur!" maki Fredy lagi.
Dijah masih melihat sekelilingnya mencari benda yang mungkin bisa dipergunakannya untuk menghantam kepala mantan suaminya.
Tapi rupanya Fredy lebih cepat. Laki-laki itu bangkit dan mengarahkan sebuah tendangan kepada tubuh Dijah sampai ia terhempas menghantam pintu.
Pintu kembali menjeblak terbuka. Dul berdiri menatap kedua orang tuanya dengan tatapan muram.
"Kunci dari dalam Dul! Ibu mau pergi dulu. Hari ini ibu nggak bisa nemenin kamu nonton film. Dikunci ya! Nanti ibu dateng lagi," seru Dijah buru-buru memakai sandalnya karena ingin segera berlari keluar dari pagar.
Dijah meraih pagar kayu secepatnya yang ia bisa. Tapi ternyata Fredy juga tak kalah cepatnya meraih rambut Dijah yang panjang sebahu serta menjenggutnya dengan keras. Dijah jatuh terhempas ke belakang.
PLAKK!!
Fredy menghadiahinya sebuah tamparan keras di pipi dijah.
Tiba-tiba dunia terasa gelap. Kepalanya pusing dan telinganya berdenging panjang. Dijah berusaha berdiri sambil berpegangan dengan dinding rumahnya.
Tak ada yang melerai, tak ada tetangga yang berani mendekati mereka jika tiba-tiba Fredy datang menghajarnya seperti ini.
Meneriaki pria itu maling agar orang-orang datang pun tak ada gunanya. Dijah pernah mencoba, tapi hanya satu dua orang yang datang kemudian kembali pergi.
Dijah meraba-raba tanah mencari sesuatu entah itu batu atau apa saja. Ia ingin membalas laki-laki itu sesegera mungkin.
"Dasar laki-laki anjing! Kamu beraninya sama perempuan aja. Ayo, kita ke kantor polisi biar aku laporkan kamu. Biar kamu busuk di penjara."
"Berani kamu lapor aku? Lapor aja! Keluar dari penjara nantinya, kamu dan Dul bisa mati aku buat. Mending kamu ikut aku." Fredy menyeret lengan Dijah dan membawanya menuju mulut gang. "Aku lagi kebelet. Ketimbang kamu melacur di luar sana jual anumu, mending kamu kelonan sama aku aja. Aku kasih duit juga kok," cerca Fredy sepanjang jalan.
"Matamu! Ketimbang kelonan sama kamu, ya mending aku ngelonte," sergah Dijah yang meronta mencoba melepaskan cengkeraman kuat di lengannya.
"Dasar pelacur!" maki Fredy lagi.
"Suka-suka aku. Anu juga anuku sendiri kok, bukan anu milik negara. Jual diri nggak kena pajak. Suka-sukaku mau ngapain!"
PLAKK!!
Fredy kembali menampar wajah Dijah kemudian terus menyeret perempuan itu keluar dari gang. Sepanjang gang mereka ditontoni oleh beberapa tetangga yang hanya bisa berbisik tapi tak bisa mengakhiri penderitaan Dijah sore itu.
Kantor polisi tak jauh. Hanya beberapa puluh meter dari gang rumah mereka.
Tapi memang Dijah tak pernah berani melaporkan Fredy. Ia takut laki-laki gila itu akan membuktikan ancamannya.
Hukuman dipenjara karena penganiayaan tidak akan membuat Fredy mendekam lama di penjara. Laki-laki itu bisa keluar dari penjara dalam setahun, dua tahun bahkan lima tahun lagi.
Fredy akan keluar dari penjara dengan tubuh yang masih segar bugar, masih bisa melukai Dijah dan anaknya.
"Lepasin aku brengsek! Lepasin tangan kotormu itu dari rambutku! Tanganmu itu udah kayak gembel! Aku aja yang mulung nggak sekotor itu. Cuihh!!" Dijah meludah ke jalan.
BUGG!!
Fredy yang semakin geram kembali memukul dahinya. Dijah sampai memejamkan matanya karena rasa sakit.
"Tolong!! Tolong!!" teriak Dijah.
"Mulutmu!" hardik Fredy yang sepertinya mulai sadar dengan lingkungan sekitar mereka.
Beberapa meter lagi mereka akan tiba di depan kantor polisi yang bertembok kuning.
"Hei! Tangan lo itu!" teriak seorang pria yang baru keluar dari kantor polisi dengan sebuah ransel tersampir di bahunya.
"Apa lo??" tantang Fredy pada pria itu.
Dijah yang merasa mendapat kesempatan, segera menunduk untuk memungut sebuah batu berukuran sekepalan dan menghantam kepala mantan suaminya.
"Aduh!!" pekik Fredy. Cengkeramannya pada rambut Dijah terlepas dan wanita itu segera kabur masuk ke halaman kantor polisi yang luas.
"Ngapain kamu ikut-ikutan? Dia lagi gila!" teriak Dijah menyeret lengan laki-laki yang tadi sempat melerainya. Ia khawatir Fredy akan mengenali dan mulai menandai pria muda yang berlagak jadi pahlawan kesiangan itu.
Nafas Dijah terengah-engah. Dahinya berdenyut dan matanya terasa sedikit berat digunakan untuk membuka. Matanya pasti bengkak, pikirnya.
Dijah melepaskan lengan pria muda itu kemudian berjongkok di halaman kantor polisi yang sejak kecil selalu dijadikannya tempat bermain.
Wajahnya penuh keringat, hidungnya yang tak mancung tapi bersanding manis dengan raut ovalnya sedikit mengeluarkan darah segar. Dijah mengusap darah itu dengan ujung lengan kaosnya.
"Sakit Mbak?" tanya pria muda yang kini ikut jongkok di sebelahnya.
"Enak! Pake nanya lagi!" sergah Dijah.
Bara mengerjapkan mata melihat wanita muda berwajah manis dengan kearifan lokal yang dipikirnya tak tahu berterima kasih itu.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Masya Allah, luar biasa sekali perjuangan Bu Dijah...
sekarang uang 22 ribu cuma dapet beras sekilo sama telor 2
2025-01-23
1
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Mas Barra..
tolongin itu jodoh kamu lagi d aniaya sama mantan suami gila
2025-01-23
0
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Enak mas , saking enaknya udah gak tau rasanya apa..
udah mati rasa🤧
2025-01-23
0