Seperti biasa, di-like sekarang ya...
Selamat membaca XD
************
Tini berhasil membuat Bara yang tak pernah mati gaya, merasa salah tingkah sekarang. Yang bisa dilakukan Bara saat itu adalah duduk dengan pose semacho mungkin sambil melemparkan tatapan ke arah Dijah yang sedang tertawa palsu.
Asti dan Mak Robin yang juga sedang berada di sana malah sama santainya dengan Tini. Mereka berdua hanya tertawa seperlunya kemudian mencibir ke arah Tini. Mereka sudah terlatih oleh ucapan Tini yang tak beraturan.
"Jah!" panggil Bara.
"Hmmm?" sahut Dijah menoleh.
"Aku kayaknya masuk angin," ujar Bara. Dia sedang berkata jujur sekarang. Entah karena terlalu banyak mengemil gorengan seharian ini dan ditambah terlambat makan, Bara merasakan perutnya mual dan punggungnya terasa sangat kaku.
"Mual kau Bara?" tanya Mak Robin yang mendengar perkataan pria itu.
"Iya," jawab Bara sedikit lesu. Harusnya ia memang bisa pulang ke rumah kalau merasa dirinya tak sehat. Bukannya malah berkeliaran ke kos-kosan yang isinya hampir semua adalah wanita.
"Jah! Kerokin!" pinta Mak Robin tiba-tiba pada Dijah.
"Ha?" Dijah terlihat sedikit salah tingkah.
"Aku nggak suka dikerok," tukas Bara cepat.
"Kau rasa dulu, baru bilang nggak suka. Laen tangan yang ngadon, laen rasa makanannya." Mak Robin terkekeh.
"Tin! Ambilkan minyak angin anjing itu!" pinta Mak Robin pada Tini menunjuk ke dalam kamarnya. Wanita itu sedang memangku Robin yang tertidur di pangkuannya.
Tini bergerak cepat melangkah masuk ke kamar Mak Robin dan keluar dengan genggaman berisi sebuah botol.
"Pake ini Jah! Minyak angin anjing," ujar Tini.
"Hah? Maksudnya? Untuk anjing? Atau memang namanya?" tanya Bara dengan ekspresi cemas.
"Udah Jah! Ajak masuk kamar, biar Mas-mu tau asal muasal nama minyak angin itu." Tini tertawa memandang jahil pada Bara.
Perasaan Bara langsung tak enak. Tapi saat Dijah bangkit menarik lengannya agar turun dari motor, Bara seolah pasrah tak bisa menolak. Dan bukan pasrah sebenarnya, tapi lebih ke penasaran soal apa yang akan dilakukan wanita itu padanya.
"Buka bajunya," pinta Dijah dengan nada biasa saja.
"Hah? Sekarang?" tanya Bara dengan bodohnya.
"Ya sekarang! Jadi kapan? Masuk anginnya kan sekarang," tukas Dijah memandang Bara yang memberengut duduk di tepi ranjang.
"Aku malu," ucap Bara pelan.
"Atau aku panggil Tini aja? Dia jago ngerokin orang masuk angin. Apalagi mijet. Jago bener," ujar Dijah kemudian.
"Eh jangan!" pekik Bara. "Jangan Tini... Kamu aja," gumam Bara pelan kemudian mengatupkan mulutnya. Ia khawatir akan tersenyum memperlihatkan gigi kalau-kalau tak mengontrol mulutnya.
"Kunci pintu Jah, aku nggak mau diliat Tini lagi buka baju." Bara menunjuk pintu dengan dagunya. Dijah yang sedang berdiri di dekat pintu langsung memutar anak kunci.
"Udah makan?" tanya Dijah yang berdiri merapat ke dinding menghadapi Bara yang memijat-mijat bahunya.
"Belum, kamu masak?" tanya Bara.
"Masak, seadanya aja. Kalau mau makan, dikerok dulu."
"Tapi sebenarnya aku nggak suka dikerok. Dipijat aja aku nggak pernah," jawab Bara.
"Buka bajunya," gumam Dijah lagi. Ia tak menatap Bara saat mengatakan hal itu. Ia sibuk memandangi botol minyak angin yang berada di genggamannya.
Ketika sudut mata Dijah menangkap Bara mulai bergerak melepaskan jaketnya, Dijah pergi mengambil segelas air dan mengisinya dengan air hangat yang berada di termos.
Kali ini dia bisa memastikan kalau Bara tidak berbohong soal masuk anginnya. Wajah pria itu memang terlihat lebih pucat dari biasanya.
Bara telah melepaskan kemeja dan kaosnya seraya melirik Dijah yang belum berani menatapnya langsung.
Kini Dijah telah melihatnya bertelanjang dada. Selain di kolam renang atau pantai, Bara tak pernah membuka tubuhnya di depan wanita manapun.
Bara memang ingin memamerkan perut sixpacknya pada Dijah, tapi bukan dengan cara kerokan seperti ini pikir Bara. Ia ingin cara yang lebih maskulin seperti Dijah yang memeluknya dari belakang. Atau... saat Dijah berada di bawahnya. Dijah berada di bawahnya...
Bara tak bisa mencegah pikiran yang tiba-tiba saja masuk ke dalam otaknya dan menjelma menjadi sebuah angan erotis.
"Tengkurep aja," ujar Dijah masih berdiri. Bara kemudian memutar duduk dan mulai berbaring tengkurap untuk memberi punggungnya pada Dijah.
"Nama minyak anginnya emang anjing Jah?" tanya Bara yang masih penasaran.
"Tini dan Mak Robin nyebutnya gitu," sahut Dijah. Ia membuka tutup botol minyak angin dan mengangkatnya ke atas punggung Bara.
"Kok aneh..." gumam Bara yang mulai merasakan tetesan minyak di punggungnya. Ia memiringkan kepalanya ke kiri menghadap dinding.
Beberapa detik kemudian, "Aduh anjing! Panas banget! Aduh..." pekik Bara. Menyadari apa yang baru saja diucapkannya barusan, Bara terdiam. Ia kini telah mengerti asal muasal nama minyak angin itu.
Sedangkan Dijah yang meringis di belakangnya telah mulai meggosokkan sebuah koin ke punggung Bara dengan perlahan.
"Aku nggak suka dikerok Jah," ujar Bara lagi dengan suara yang teredam. Meski mengatakan hal itu tapi mata Bara kini telah memejam.
Dijah menggosok punggung Bara perlahan. Itu adalah kali pertama ia menyentuh punggung seorang pria. Meskipun ia pernah menikah, biduk rumah tangga singkatnya itu jauh dari angan dan impian seorang wanita pada umumnya.
Harusnya di usia masih belasan tahun, suaminya bisa bertindak sebagai seorang pria yang mampu memimpin keluarga dan bisa memanjakannya.
Banyak wanita yang menikah karena dijodohkan dan berakhir dengan jatuh cinta kepada suaminya karena diperlakukan dengan baik dan dipenuhi kebutuhannya.
Tangannl Dijah masih terus mengusap punggung Bara. Pria itu sedikit menggeliat saat Dijah sedikit menekan koin lebih keras di tempat yang dirasanya lebih memerah.
Setelah hampir setengah jam Bara tengkurap sambil memejamkan mata, Dijah melihat ponsel yang diletakkan Bara di dekat kepala bantal bergetar.
"Hapenya bunyi," ujar Dijah menghentikan gerakan tangannya.
"Hmmm..." Bara hanya bergumam dan tangannya meraih ponsel tanpa melihat siapa yang meneleponnya.
"Ya..." jawab Bara.
"Kamu di mana? Kata Bayu kamu udah balik dari gedung MPR, tapi kok nggak pulang ke rumah?" tanya Ibu Bara.
"Iya maaf, nggak apa-apa Bu, saya bawa kunci. Ibu bisa tidur tanpa nunggu saya pulang," jawab Bara.
"Heh! Kamu kira ibu siapa? Ibu kosmu? Ni anak main terus," omel Ibu Bara. "Kamu lagi di mana?" ulang Ibunya.
"Jah... Lanjutin lagi, enak" pinta Bara seraya menepuk punggungnya untuk memberi isyarat pada Dijah untuk melanjutkan kerokan yang ternyata dirasanya enak.
"Bara! Kamu lagi di mana? Itu kamu ngomong dengan siapa? Apa yang enak?" tanya Ibunya di seberang.
"Baik Bu, besok pagi saya pasti pulang. Ibu letakkan aja paketnya di depan pintu kamar saya." Bara setengah tertawa tertahan. Ia harus bersiap-siap menerima amukan ibunya sepulangnya dari sana nanti.
"Yah! Anak kamu ini lagi di mana? Ngomongnya aneh-aneh. Ayah aja yang ngomong ke Bara. Ibu males." Terdengar suara ibunya di seberang yang sekarang malah mengomeli ayahnya.
"Iya Bu, kan udah saya bilang. Besok pagi saya pasti pulang," sahut Bara lagi kemudian membalikkan tubuhnya. Kini ia sedang berbaring telentang sambil beradu pandang dengan Dijah.
Bara meraih tangan Dijah yang masing menggenggam koin dan mengambil koin itu serta meletakkannya.
"Bara! Denger Ibu, besok siang adik kamu dateng. Bawa anak-anaknya. Tapi dia ada perlu mau keluar sebentar, kamu bantu liatin anaknya. Jangan tinggalin kalau cuma dengan baby sitter. Denger?" tanya Ibunya di seberang.
"Denger..." Bara berbicara masih menggenggam tangan Dijah dan memandang mata wanita itu.
"Jangan ditinggalin sebelum adikmu balik ke rumah ya," pinta ibu Bara lagi.
"Iya, nggak akan aku tinggalin. Kan aku juga sayang..." ucap Bara masih memandang Dijah. Mereka masih bertukar pandang.
Tak lama kemudian pembicaraan itu berakhir. Bara masih menggenggam tangan Dijah.
"Jah... Aku males pulang," ucap Bara.
"Eh?" Dijah sedikit membesarkan matanya menatap Bara. Tak mau pulang katanya, pikir Dijah. Mau tidur di mana laki-laki ini, pikir Dijah.
"Tini malem ini nggak keluar?" tanya Bara.
"Kenapa dengan Tini?" Dijah balik bertanya dengan bingung.
"Aku nginep di sini ya... Tapi aku nggak bisa tidur kalo berisik." Bara menarik Dijah sampai tubuh wanita itu membungkuk di atasnya.
Dijah menelan ludahnya. Jarak wajahnya kini tak lebih dari 5 senti dari hidung Bara. Bulu mata lentik pria itu bisa diamatinya dari dekat. Bara ganteng, pikir Dijah untuk ke sekian kalinya.
"Deket lagi Jah." Bara menekan punggung Dijah agar menjatuhkan diri ke atas dadanya. Bara kini bisa merasakan dada Dijah yang sedang naik turun bergerak seolah gelisah karena aksi sederhananya.
"Kayaknya Tini udah tidur ya. Kalo aku tidur di ranjang ini sama kamu, kamu mau?" tanya Bara. "Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu. Cuma pengen deket, kayak gini." Bara memperhatikan titik-titik halus di hidung mungil Dijah.
Bara memejamkan matanya dan meraup bibir Dijah ke dalam paduan bibir dan sapuan lidahnya. Dengan cepat Bara merasakan tubuhnya sendiri sudah bergetar. Begitu cepat tubuhnya merespon tiap sentuhan kecil yang dilakukannya pada Dijah.
Semoga malam ini Tini tidak merusak suasana, pikir Bara. Ia hanya ingin tidur memeluk Dijah sambil... Yah sambil apapun itu pasti ia akan suka selama dengan Dijah pikir Bara.
Bara mulai mendesah lirih.
Dijah menikmati setiap usapan dan tekanan Bara pada punggungnya yang membuat dadanya kini menempeli dada telanjang laki-laki itu.
"Tiniiiii!! Aku arep ngeterne iki, kae mau keri Ning omahku (Aku mau nganter ini, ketinggalan di rumahku)" Suara ibu yang biasa mencuci dan menyetrika baju Tini terdengar mendekati pintu kamar wanita itu.
Tak berapa lama kemudian terdengar suara pintu kamar Tini dibuka dari dalam. Bara mencoba mengacuhkan suara gangguan itu dan berusaha memusatkan konsentrasinya pada bibir Dijah dan sepasang benda empuk yang sedang menindih dadanya.
"Opo?" sahut Tini tak lama kemudian.
"Geg Iki klambi opo, lak nggawe piye? (Itu baju apa, terus cara pakainya gimana?)" ucapan ibu cuci terdengar jelas dari kamar Dijah.
"Kok malah tekon... (kok malah nanya...)" sahut Tini.
"Memange kuwi meh nggo opo? (memangnya itu untuk apa?)" suara ibu itu kembali terdengar bertanya. Dijah mulai kehilangan konsentrasinya dan mulai membuka mata. Ia ikut penasaran dengan benda yang sedang dibicarakan tetangganya.
Bara ikut membuka mata. Tapi bibirnya masih menggigit dan menyesap bibir Dijah sesekali. Pandangan mereka masih bersitatap dengan konsentrasi yang sudah berpindah mendengar percakapan di sebelah.
" Iki jenenge lingerie. Gunanya ya untuk nutup tempe," sergah Tini kemudian.
Dijah tak bisa menahan tawanya mendengar jawaban Tini. Bara yang tadinya tak mengerti dengan percakapan yang sedang berlangsung, kini tubuhnya ikut berguncang karena tawa.
Ia merengkuh Dijah ke dalam pelukannya. "Ya ampun Jah, untung yang kayak Tini cuma satu di kos-kosan ini."
Bara membenamkan kepala Dijah di sisi kanannya. Samar-samar sekali, nyaris tak kentara, Bara merasakan bibir Dijah mengecup bahunya.
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
dyul
dasar anak Bengali, maknya di bilang kang paket🤣🤣
2025-02-27
0
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Ternyata beneran minyak angin anjing🤣
2025-01-31
0
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Minyak angin anjing kaya apa Mak😁🤭
2025-01-31
0