Terimakasih untuk kalian yang sedang mencoba untuk memahami Dijah berserta dunianya :*
Like-nya biar ga lupa XD
************
"Mau mulung? Udah baek (sembuh) kau rupanya?" tanya Mak Robin yang melihat Dijah sedang mengenakan sepatu boot karet yang biasa digunakannya ke tempat pembuangan sampah.
"Udah. Udah nggak apa-apa kok," sahut Dijah.
"Istirahat dulu Jah, nggak usah kau paksakan kali." Mak Robin duduk di depan pintu kamarnya dengan sepiring nasi di tangan.
"Kasian sama Mbok Jum, nanti nggak ada yang bantu bawa barang-barangnya ke agen loak. Kayak kemarin, Mbok Jum cuma dapet 5000. Aku tambahin uangnya untuk beli nasi makan siang," ujar Dijah telah berdiri rapi menghadap lawan bicaranya.
"Sibuk kali kau mikirkan orang, orang aja gak pernah teringat mau sedekah sama kau Jah... Kau aja masih miskin," sungut Mak Robin yang terkadang pusing melihat Dijah yang sibuk mengkhawatirkan Mbok Jum. Wanita tua yang tinggal di rumah kardus bersama suaminya di dekat pembuangan sampah.
"Kalo mau sedekah harus nunggu kaya, kapan lagi aku bisa sedekah Mak? Kalau miskinku awet, bisa-bisa sampe mati aku nggak bakal sedekah. Ya udah Mak, aku berangkat dulu. Bilang sama Asti, pakaiannya udah aku susun ke lemari sekalian." Dijah berjalan menjauhi pintu Mak Robin menuju pagar. Seperti biasa dia akan naik angkot yang memutar ke seberang jajaran ruko untuk pergi ke belakang perkantoran.
Tempat pembuangan sampah itu tak jauh sebenarnya. Tapi melintasi jalan raya kota besar dengan berjalan kaki bukanlah perkara yang mudah.
Dijah takut menyeberangi jalan dan melintasi kendaraan dengan kecepatan yang kadang-kadang sama dengan kecepatan ia menghabiskan uang pencariannya seharian. Sangat ekspres.
"Jah!" teriak Mbok Jum dari atas gunungan sampah saat Dijah baru tiba di tempat itu.
Dijah berjalan ke arah Mbok Jum sambil sesekali memungut gelas plastik bekas air mineral.
"Jangan naik tinggi-tinggi, nanti jatuh Mbok." Dijah mengulurkan tangannya ke arah Mbok Jum yang masih sehat meski telah berumur lebih dari 75 tahun.
"Aku dapet ini Jah." Mpok Jum mengulurkan plastik kresek putih bertuliskan nama supermarket besar.
"Apa itu? Ayo turun sini," ajak Dijah pada Mbok Jum yang tertatih menuruni gunung sampah yang didakinya tadi.
"Ayo kita makan. Ini masih baru. Bukan sampah sebenarnya. Tapi orang kaya nggak suka," tukas Mbok Jum mengeluarkan isi plastik itu yang ternyata adalah tepi roti tawar yang dikupas.
"Mau? Enak ini," sambung Mbok Jum lagi.
"Kotor Mbok, nanti Mbok sakit. Kasian suamimu nanti nggak ada yang urus," tukas Dijah.
"Tadi di gunungan paling atas. Belum ketimpa sampah lain. Coba ini," ujar Mbok Jum menyodorkan sehelai kulit roti. Dijah membuka mulutnya. Ia masih bisa membeli roti itu dalam keadaan utuh. Tapi Mbok Jum menganggap itu adalah makanan mewah.
"Iya, masih enak. Tapi jangan sering-sering kayak gini Mbok. Nanti Mbok Jum sakit. Aku keliling dulu ya, belum dapet apa-apa. Nanti sore aku mau ngeliat Dul sebelum berangkat kerja. Kasian, uang jajannya pasti abis."
"Ibumu udah sehat?"
"Sehat-sehat gitu aja. Untungnya masih bisa masak untuk Dul." Dijah bangkit menuju ke arah pondok rumah kardus Mbok Jum dan mengambil sebuah keranjang yang biasa disampirkannya di bahu untuk memungut barang bekas.
"Pakai topimu Jah, sayang mukamu nanti gosong!" teriak Mbok Jum. "Kasian, raine apik (wajahnya cantik). Sayang bojone gendeng (suaminya gila)!" umpat Mbok Jum sendirian.
Mbok Jum sebenarnya lebih kasihan lagi dibanding Dijah. Bersama-sama merantau ke kota besar bersama anaknya, namun Mbok Jum dan suaminya sudah bertahun-tahun ditinggalkan anak-anaknya yang katanya merantau dan bekerja ke tempat lain.
Dua orang anak laki-laki Mbok Jum lenyap bagai ditelan bumi. Meninggalkan orang tua yang harusnya sudah beristirahat di masa tua mereka.
Selama dua jam Dijah berkeliling di tempat pembuangan sampah itu. Hasil memungut cangkir air mineralnya lumayan banyak. Meski begitu, jika ditimbang beratnya pasti tak lebih dari dua kilogram.
Dijah duduk di depan rumah kardus Mbok Jum memisahkan beberapa karton tebal dan kaleng susu bayi yang didapatnya.
"Aku udah selesai, mau ke pengepul sekalian?" tanya Dijah pada Mbok Jum.
"Aku belum, kamu aja duluan. Sudah jam berapa ini?" tanya Mbok Jum. Dijah merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah ponsel poliponik kecil yang sekelilingnya diikat karet gelang.
"Jam 11 siang, nggak laper?" tanya Dijah.
"Belum, ya udah kamu aja duluan. Aku lanjut lagi. Itu hapemu kenapa diiket karet?" tanya Mbok Jum.
"Baterenya bunting," jawab Dijah terkekeh.
"Makanya kalo malem jangan disatuin sama benda lain. Jadi nggak dibuntingin." Mbok Jum tertawa.
"Selesai dari sini ke mana?" tanya Mbok Jum lagi.
"Aku mau beli air mineral dua karton. Itu ada acara wisuda di hotel sebelah. Rame tamunya. Lumayan kalo habis dua karton aja. Aku dagang di luar. Ya udah Mbok, aku duluan ya."
Setelah memasukkan barang-barang yang akan dijualnya ke sebuah karung plastik, Dijah berjalan menjauhi tempat pembuangan sampah dan berjalan kaki menuju agen pengepul yang tak jauh dari sana.
Tak jauh, tapi kalau berjalan kaki, Dijah bisa bersimbah keringat. Dijah mengamati jarum timbangan dan angka kalkulator yang diketuk-ketukkan agen itu dengan sangat cepat.
"2 kilo plastik ini, 8 ribu ya Jah. Kartonmu kubeli perbiji aja. Ini karton bagus, sering dipakai orang untuk pindahan. Satunya 10 ribu. Ada 3 jadi 30 ribu. Totalnya 38 ribu. Setuju Jah?" tanya Agen itu padanya.
"Setuju. Ya udah mana uangnya?" tanya Dijah tak sabar. Lumayan pendapatan hari itu karena karton rokok tebal yang diperolehnya tadi.
Dijah cepat-cepat mengantongi uangnya dan pergi menyusuri jalan menuju sebuah toko kelontong untuk membeli air mineral berukuran sedang.
Perutnya lapar, tapi melihat keramaian di depan hotel tempat biasa orang sering menggelar acara membuat jiwa bisnis Dijah meluap. Ia harus membawa sedikit tambahan yang lagi hari itu.
Tiga jam berdiri di antara jajaran pedagang bunga, boneka, tukang foto, mainan anak-anak, pedagang gorengan, dan pedagang es, akhirnya Dijah bisa menghabiskan dua karton air mineral berukuran sedang dengan total 48 botol.
Keuntungannya perbotol 500 rupiah. Dengan bangga Dijah mengantongi pendapatan bersihnya sebesar 24 ribu. Ditambah penghasilannya nanti malam, uangnya bisa cukup untuk membeli sepatu sekolah baru untuk Dul.
Sejak masuk sekolah TK 6 bulan yang lalu, anak laki-laki itu masih mengenakan sepasang sepatu putih yang sudah dipakainya ke mana-mana sejak umur 4 tahun. Itulah keuntungannya membeli sepatu anak-anak lebih besar dari ukuran kaki sebenarnya, pikir Dijah. Sepatunya tahan dipakai bertahun-tahun selama bagian tapaknya tak ingin memisahkan diri seperti Timor Leste.
Dijah sudah berada di rumah sejak pukul 3 sore tadi , ia sudah memasak nasi dan mendadar sebutir telur sebagai makan siangnya. Setelah mandi dan berganti pakaian bagus, Dijah kembali bersiap-siap pergi ke rumah orangtuanya untuk menjenguk Dul.
"Mau nengok si Dul?" tanya Mak Robin mendongak.
"Iya,"
"Kepalamu jangan gitu! Jadi ilang uban yang aku liat tadi," omel Tini yang sedang duduk di atas kursi plastik sambil memegang kepala Mak Robin dan sebuah pinset untuk mencari uban wanita paruh baya itu.
"Aih!" ujar Mak Robin.
"Rajin banget ke rumah bapakmu Jah. Kalo aku yang jadi kamu, aku udah males punya bapak kayak gitu. Nggak berguna." Tini melihat wajah Dijah yang masih berdiri di depan mereka.
"Masih ada mamaknya di rumah!" tukas Mak Robin memukul betis Tini.
"Aku kalo pulang ke rumah suka sebel. Kayaknya bapakku taunya duit melulu. Pusing!" sergah Tini yang memiliki rambut berwarna merah seperti api.
"Eh, ko dengar aku dulu! Kadang-kadang orang tua itu cuma perlu kawan cakap, bukan penghasilan kau yang sikit itu!" sergah Mak Robin. Tini yang mendengar perkataan Mak Robin jadi sedikit kesal dan mencabut selembar uban dengan keras.
"Aduh!! Rambut putihku aja yang kau cabut Tini! Jangan rambut itemnya jugak!" Mak Robin mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit.
Dijah tertawa kemudian pergi meninggalkan tetangganya menuju jalan raya dan mencari angkot untuk ditumpanginya.
Tak sampai setengah jam Dijah telah kembali menyusuri gang tempat di mana ia dipukuli dan diseret Fredy kemarin.
Sudah sore, matahari sudah hampir tenggelam dan langit beranjak gelap. Ia ingin memberi uang beras dan lauk untuk anaknya dan harus buru-buru kembali untuk berangkat kerja.
Dari kejauhan Dijah melihat Dul yang sedang berdiri dan dikerumuni beberapa anak lain seusianya. Seseorang di antara anak itu terlihat lebih besar.
"Bilang aja kamu mau Dul. Kamu minta beli ibumu sana! Jangan ngambil makanan orang. Tadi aku letak di sini, sekarang malah nggak ada. Pasti kamu yang ambil."
"Enggak ada. Bener kok, aku nggak ada ambil. Aku kan paling akhir nyampe di sini. Trus langsung ikut main. Ini kartu gambarku aja masih kupegang. Gimana aku mau ambil ayam gorengmu." Suara Dul lamat-lamat terdengar di telinga Dijah.
"Kenapa Dul?" tanya Dijah saat tiba di dekat anaknya.
"Heh Dul Ibumu Dateng. Minta ibumu ganti ayam gorengku. Mahal itu, ada mereknya. Bukan yang di kaki lima," ujar seorang anak pada Dijah.
"Kamu yang ambil?" tanya Dijah pada anaknya. Dul menggeleng.
"Kamu sudah jujur pada ibu?" tanya Dijah lagi. Dul mengangguk. "Sekarang kamu ngomong ke temen kamu," pinta Dijah.
"Aku nggak ada ambil ayam goreng itu. Dul nggak ada ambil Bu," ucap Dul hampir menangis.
"Kamu sudah makan?" tanya Dijah. Dul mengangguk. Air mata anak laki-laki itu nyaris tumpah.
"Sudah dengar semuanya? Bukan Dul yang ambil. Lagian bisa aja dimakan kucing. Kamu cari yang bener," tukas Dijah pada anak yang melapor padanya.
"Tapi Ibu Dul bisa ganti ayam goreng aku," ujar anak itu lagi.
"Kenapa aku harus ganti sesuatu yang nggak dimakan Dul? Aku percaya sama perkataan Dul. Kenapa aku harus tanggungjawab untuk kesalahan yang nggak dibuat anakku?" tanya Dijah setengah menunduk seraya menggandeng anaknya.
"Ayo kita pergi," ajak Dijah menggandeng anaknya.
"Ibu percaya aku?" tanya Dul mendongak seraya terisak.
"Ibu percaya. Kenapa ibu harus nggak percaya. Dul anak ibu. Ibu harus percaya Dul ketimbang orang lain. Itu makanya Dul harus selalu jujur sama ibu. Ngerti kamu?" tanya Dijah memandang puncak kepala anaknya. Ia melihat Dul mengangguk.
"Memang bukan Aku yang ambil. Pertama liat memang ada kotak ayam goreng di situ. Aku juga kepingin. Tapi aku nggak ambil punya orang."
"Iya bagus, sekarang kita beli ayam goreng. Kamu juga harus nyoba ayam goreng bermerek itu biar tau rasanya." Dijah terus menggandeng lengan anaknya keluar dari gang dan menyusuri tepi jalan raya melewati kantor polisi dan sebuah SPBU.
Persis di sebelah SPBU itu terletak sebuah restoran ayam goreng populer yang melayani jasa drive thru dan makan di tempat.
Dijah langsung masuk dan mengantre di kasir. Mata Dul berbinar melihat lampu dan mainan-mainan kecil hadiah paket ayam goreng yang digantung demi menarik minat bocah sepertinya.
"Mau mainan yang mana?" tanya Dijah.
"Yang itu Bu!" seru Dul menunjuk sebuah mainan plastik berbentuk hiu lucu memegang sebuah bola.
"Iya. Mbak! Paketan yang dapet mainan itu satu. Untuk dibawa pulang ya," ujar Dijah pada kasir.
"44 ribu rupiah," ujar kasir itu. Dijah merogoh kantongnya dan mengeluarkan lembaran uang pecahan kecil dan menjajarkannya di atas meja.
Setelah menghitung jumlahnya, Dijah menyodorkan uang itu.
Habis sudah uang belanja sehari demi sepaket ayam goreng lengkap untuk Dul. Dijah menghampiri sebuah wastafel dan mencuci bersih tangan anaknya.
"Mau makan di mana?" tanya Dijah kemudian.
"Duduk di sana aja boleh Bu? Aku bosan di rumah," ujar bocah laki-laki itu.
"Boleh, itu ada kursi kosong. Kita duduk di sana aja." Dijah menggandeng anaknya untuk menempati satu kursi yang terletak di pojok.
Ibu dan anak itu duduk berdampingan menghadap jalan raya dan sebuah taman kecil milik restoran ayam goreng.
Dul buru-buru membuka kotak ayamnya. Mata anak laki-laki itu terpukau hanya karena melihat beberapa lembar saus tomat sachet.
"Makan," pinta Dijah memandang anaknya. Dul mulai mencubit ayamnya dan memasukkan lapisan terluar ayam renyah itu ke dalam mulutnya.
Dijah menyobek bungkusan saus dan meletakkannya di atas kertas nasi yang sudah lebih dulu direntangkannya.
"Enak Bu. Ibu mau? Ibu juga harus rasa." Dul kembali mencubit ayam goreng itu dan menyuapkannya ke mulut Dijah.
"Enak?" tanya Dul. Dijah mengunyah ayamnya dan mengangguk.
"Enak. Tapi kamu aja yang makan, ibu udah kenyang." Dijah mengelus kepala anaknya.
"Aku bakal rajin belajar kalau sering dikasi makan ini," tukas Dul polos.
"Dasar kamu,"
"Sepatuku kapan dibeli Bu?" tanya Dul lagi.
Sepatu? Uang yang dikumpulkan Dijah hari ini hanya tinggal tersisa beberapa lembar karena paketan ayam goreng yang enak itu.
Langit sudah gelap, dan perutnya juga ikut lapar menyaksikan Dul yang begitu lahap memakan ayam goreng dan nasi putihnya.
Dijah memandang wajah manis anaknya. Kerah kaos Dul memiliki lubang. Dan sandal jepit anaknya telah memakai peniti untuk menyatukan bagian tali dan tapaknya. Malang sekali nasib Dul pikirnya. Bahkan sepasang sepatu saja dia belum sanggup membelikan anaknya.
"Sepatunya sabar ya, ibu cari uang dulu. Nanti kalau uang ibu banyak, ibu belikan sandal dan baju sekalian. Kamu pokoknya jangan nakal. Nurut apa kata mbah wedok. Belajar yang pinter. Kalau kamu pinter nanti, bisa masuk sekolah yang murah. Kamu juga bantu ibu. Ya Dul?" tanya Dijah memandang wajah anaknya.
Dul mengangguk tanpa melihat ibunya.
Tiba-tiba,
"Ibunya Dul nggak ikut makan? Ayo makan sama-sama. Om juga hari ini lagi pengen makan ayam goreng." Bara datang memegang senampan penuh makanan dan meletakkannya di depan Dijah.
Bara kemudian menarik kursi di seberang ibu dan anak itu melipat tangannya seraya tersenyum memandang Dijah dan Dul bergantian.
Dijah baru menyadari bahwa bulu mata Bara sangat panjang dan lentik.
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
jumirah slavina
konsisten ya Tin job baru'mu....
ngambilin uban MakRobin...
2025-02-02
2
dyul
karena dijah rajin sedekah, mknya derajatnya naik mak
2025-02-24
0
dyul
selalu bahagia kl kang mas bara hadir😍
2025-02-26
0