Likenya jangan lupa,
selamat membaca :*
************
"Ke mall aja ya," teriak Bara dari depan.
"Jangan, pasar aja. Nggak usah masuk ke pasar, banyak toko di tepi jalan. Setelah dapet simpang pertama ke kanan," tukas Dijah menunjuk ke depan.
Bara mengikuti tiap petunjuk yang diberi Dijah hingga akhirnya mereka sampai di sebuah pasar kota yang jalan raya di depannya sangat padat.
"Di toko depan itu," ujar Dijah lagi. Bara menghentikan motornya di depan sebuah toko perlengkapan alat sekolah.
Dijah langsung turun dan masuk melihat-lihat apa yang dicarinya.
"Saya cari sepatu anak sekolah usia 5 tahun. Nomer 30," ujar Dijah.
"Sebentar..." Pemilik toko yang berada di balik steling kaca memutar keluar dan berjongkok melihat tumpukan kotak sepatu yang menempel di dinding.
"Yang ini 85 ribu, yang ini 110 ribu, yang ini 150 ribu. Cuma ada tiga merek Mpok." Pemilik toko menjajarkan tiga pasang sepatu di atas steling kaca.
Dijah mengambil sepasang sepatu dengan harga termurah dan mengamatinya sesaat.
"Bara! Duitku yang 50 ribu kemarin mana? Aku beli yang ini aja, aku nambahin 35 ribu." Dijah merogoh kantongnya dan mengambil gulungan uang pecahan 5000 dan 2000 rupiah.
"Ya ampun Dijah, bukan gini konsep yang aku maksud. Bu, bungkus yang ini." Bara menunjuk sepatu berharga 150 ribu.
"Kaos kakinya sekalian ada Bu? Minta 3 pasang ya," ujar Bara pada pemilik Toko.
"Kok yang itu, mahal. Aku jadi banyak hutang sama kamu," ujar Dijah.
"Ga apa, kan bagus kalo kamu jadi banyak utang ke aku. Ga bisa ke mana-mana kamu." Bara berbicara sambil mengeluarkan dompetnya.
"Aku nggak enak," ucap Dijah.
"Enakin aja," tukas Bara. Harga sepatu termahal di toko itu pun sebenarnya masih terlalu murah bagi Bara. Tapi ia tak ingin menyinggung Dijah dengan memaksa wanita itu pergi ke mall untuk membeli sepasang sepatu anaknya. Ia khawatir Dijah akan bekerja banting tulang untuk membayar kembali padanya.
"Aku bayarnya gimana? Dipotong setiap malem selama seminggu itu kan?" tanya Dijah sedikit khawatir. Bara mungkin tak pernah merasakan gelisah karena harus berhutang pada seseorang.
Saat harga diri terikat dengan sejumlah uang dengan orang lain, maka kebebasan berpendapat pun biasanya ikut tergadai. Dijah tak menginginkan hal itu.
"Iya, santai aja napa sih Jah." Bara mengambil bungkusan dari tangan pemilik toko dan menyerahkannya pada Dijah.
"Makasih, nanti aku pasti bayar dan ngelanjutin kerjaanku. Tapi harus tetap di malam hari."
"Iya--iya. Sekarang mau ke rumah orang tua kamu? Sekalian aku balik ke Polsek," tukas Bara.
"Iya, aku ke sana aja." Dijah menggenggam bungkusan berisi sepatu itu dengan kuat seolah takut bahwa bungkusan itu bisa hilang dari tangannya.
20 menit kemudian Dijah telah menepuk pundak Bara di depan gang rumahnya. Setelah Bara menghentikan motor, Dijah langsung turun dan membuka helmnya.
"Makasi ya, kalau nanti malam ada yang harus aku kerjain, situ dateng aja ke rumah. Aku udah ijin nggak masuk kerja seminggu," tukas Dijah.
TIIN... TIIIN...
Klakson sebuah mobil yang terdengar dekat membuat Dijah dan Bara menoleh ke arah suara. Seorang wanita cantik baru saja menurunkan kaca jendela mobil.
"Bara! Aku tunggu di depan ya!" teriak seorang wanita dari balik kemudi.
"Eh Jo! Oke!" sahut Bara melambai pada pengemudi mobil yang ternyata adalah Joana.
Dijah tersenyum kemudian mengangguk dan melangkah masuk ke gang rumahnya. Beberapa langkah masuk ke dalam gang, Dijah kembali menoleh ke belakang untuk melihat Bara.
Pandangan mereka bertemu. Bara masih mengiringi langkahnya dengan tatapan. Sedikit menyesal telah menoleh ke belakang, Dijah kembali berjalan cepat-cepat.
Rumahnya terlihat sepi dan Dul tak terlihat bermain di luar. Dijah membuka pintu depan yang ternyata tak terkunci.
"Dul!" panggil Dijah.
"Ibu! Sini! Aku lagi masak sama mbah wedok." Dul menjengukkan kepalanya ke ruang tamu. Dijah berjalan masuk ke dapur untuk melihat apa yang sedang dikerjakan anaknya.
"Masak apa?" tanya Dijah.
"Bakwan jagung, tadi dikasi jagung manis sama tetangga." ibu Dijah berbicara sambil mengaduk baskom kecil berisi adonan tepung.
"Aku mau ngasi liat sesuatu, sini Bu." Dul menyeret tangan Dijah ke ruang tamu. Bocah laki-laki itu kemudian mengambil tas sekolahnya dan mengeluarkan selembar kertas.
"Sebentar ibu baca," ucap Dijah kemudian meneliti isi tulisan selebaran pengumuman dari pihak sekolah untuk wali murid.
"Pentas seni rupanya,"
"Iya Bu, aku ikut marching band. Pegang drum. Keren pokoknya. Nanti di sana dipakein seragam. Acaranya kan nggak di sekolah," ujar Dul bersemangat.
"Iya, ibu jadi kepingin liat kerennya Dul."
"Sepatu aku udah ada Bu?" tanya bocah itu mengingatkan.
"Oh, udah! Tadi ibu ke sini mau ngasi liat ke Dul. Ibu udah beli ini." Dijah mengeluarkan kotak sepatu dari plastik kreseknya. Mata Dul berbinar melihat sepasang sepatu hitam mengkilap dengan tiga pasang kaus kaki yang masih berwarna putih cemerlang.
"Ini punyaku semua kan Bu?" tanya Dul polos. Dijah tertawa mendengar pertanyaannya.
"Iya punya Dul semua," sahut Dijah.
"Ini pasti mahal, sepatunya bagus." Dul langsung membuka sumpalan koran dari ujung sepatu dan mencoba di kakinya.
"Ibu ketemu orang baik," tukas Dijah.
"Terimakasih orang baik, aku suka sepatunya." Dul tertawa dan berdiri dengan kedua tangan di pinggangnya. Dijah tersenyum puas melihat anak semata wayangnya tertawa senang.
"Jadi ibu ikut ngeliat aku jadi anggota marching band?" tanya Dul.
"Ibu usahakan, ibu pasti ikut. Berangkatnya seperti biasa naik bus sama-sama kan?" tanya Dijah pada anaknya.
"Iya, naik bus. Ngumpulnya di jam masuk sekolah seperti biasa. Dua hari lagi ya Bu, ibu jangan lupa."
"Tadi yang jemput kamu siapa? Mbah lanang?" tanya Dijah.
"Iya."
"Sekarang Mbah lanang mana?"
"Main catur di warung," sahut Dul masih asyik melihat sepatunya.
"Dul, ini bakwannya udah mateng!" teriak ibu Dijah dari arah dapur.
***********
"Naik mobil aja deh, aku nggak gitu suka kena angin di atas motor," ujar Joana pada Bara di depan Polsek.
"Kamu yang nyetir ya, aku capek." Bara membuka pintu mobil dan duduk di kursi sebelah pengemudi.
"Perempuan itu tadi siapa? Tumben kamu boncengin cewe," tukas Joana mulai melajukan mobilnya.
"Narasumber tesisku."
"Dia korban?"
"Bisa dibilang gitu, tapi nggak mau ngelapor."
"Kamu edukasi dong, biar mau ngelapor. Kasian..." gumam Joana.
"Iya, kasian." Bara membayangkan wajah Dijah yang sebenarnya masih sangat muda dan tak pantas mendapat perlakuan seperti itu.
"Perempuan tadi cantik," ujar Joana seraya melirik untuk meneliti ekspresi wajah Bara saat ia mengatakan itu.
Bara sedikit menyunggingkan senyumnya saat bergumam tak jelas, "cantik ya?"
Bara malah melemparkan pertanyaan kembali pada Joana yang sekarang seperti merasa memiliki seorang saingan untuk mendapatkan hati laki-laki yang hangat namun sangat cuek di sebelahnya itu.
Beberapa kali mereka keluar bersama tapi bukan Bara yang menginisiasi pertemuan mereka. Selalu Joanalah yang lebih dulu memulai. Bara terlihat menikmati tapi seperti tak ingin terikat.
Bahkan chat sederhana seperti menanyakan apa pria itu sudah makan atau belum jarang sekali mendapat balasan tepat waktu. Dari hal itu Joana merasa bahwa ia masih belum termasuk ke dalam prioritas Bara.
"Kita makan ya, udah sore. Aku belum makan siang," tukas Joana.
"Boleh..." jawab Bara.
"Mau makan di mana?" tanya Joana.
"Terserah kamu mau di mana, kan kamu yang laper. Terserah Bu Joana mau makan di mana, aku temenin." Bara tersenyum pada wanita cantik di sampingnya.
Akhirnya Joana memilih sebuah restoran steak yang terletak di tengah kota. Beberapa saat lamanya mereka berdua berbincang soal pekerjaan baru Bara.
"Betah kamu jadi wartawan? Kayaknya kamu santai banget..." ujar Joana.
"Pikiranku masih terpecah ke tesis. Pengen cepet kelar," sahut Bara yang sore itu hanya meminum segelas jus.
"Narasumber kamu itu kerjanya apa? PSK ya?" tuding Joana langsung.
"Bukan. Dijah bukan PSK," jawab Bara cepat.
"Namanya Dijah rupanya. Jadi apa yang dilakukannya untuk cari nafkah? Kamu bilang dia udah lama cerai dan membesarkan anaknya seorang diri."
"Iya bener. Banyak. Yang dilakukan Dijah banyak tapi yang jelas Dijah bukan PSK. Aku ngikutin dia beberapa hari ini."
"Tadi kamu dari mana ama dia?" tanya Joana.
"Ada urusan sedikit. Client Secret (rahasia klien)," bisik Bara meletakkan telunjuknya di bibir dan mengedipkan matanya.
"Cuma sama aku kali, pelit banget sih." Joana cemberut. Bara hanya tertawa melihat Joana sedikit kesal.
Hampir dua jam berbincang di dalam restoran steak membuat wajah Joana terlihat senang. Mereka telah berada di dalam mobil. Joana bersiap mengantarkan barang kembali ke Polsek.
"Kamu malem ke mana? Main tempat aku yuk," ajak Joana.
Bara menarik nafas panjang dan menghelanya. Ia bersandar di jok kursi dan menoleh pada Joana.
"Aku nggak bisa, masih ada mau ngerjain sesuatu."
"Apa itu? Aku nggak boleh tau? Kamu kayaknya nggak mau membuka diri ya ke aku," ujar Joana.
"Bukan gitu, emang ada sesuatu yang nggak mungkin aku jelasin semuanya."
Joana memajukan tubuhnya mendekati Bara. Bola mata Bara tidak berwarna hitam pikirnya, dengan bantuan pantulan cahaya matahari yang menembus kaca mobilnya yang gelap, ia bisa melihat warna coklat pria itu.
Ia memberanikan diri menarik kemeja depan Bara dan menempelkan bibirnya pada bibir pria yang selalu jual mahal itu.
Awalnya Joana mengira Bara akan menolak, tapi ternyata pria itu menyambut ciumannya. Joana menyapukan lidahnya pada tiap sudut bibir Bara yang sejak lama dibayangkannya.
Bara ganteng. Sikapnya yang ramah dan baik pada setiap orang membuat banyak wanita penasaran.
Nafas Joana mulai terengah dan ia semakin menempelkan tubuhnya pada Bara. Tangannya secara natural bergerak membelai dada dan meremas bagian depan kemeja pria itu.
Bara melepaskan ciuman mereka dan menarik nafas.
"Udah mau malem, aku mau pergi ke suatu tempat. Besok-besok aku main tempat kamu," ujar Bara mencubit pipi Joana yang masih gelagapan belum menjejak bumi sepenuhnya. Sedikit kecewa dengan reaksi Bara, Joana melakukan mobil kembali menuju ke arah Polsek.
Bara baru saja selesai mencatat beberapa jadwal sidang kriminal di pengadilan yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Ia bermaksud akan menghadiri sidang terbuka itu untuk menyantumkannya dalam kolom berita.
Sekaligus ia merasa penasaran dengan nasib kriminal yang sempat bertemu dan diwawancarainya di Polsek itu.
Bara mengambil jaket yang dititipkannya di bawah meja salah satu pegawai di Polsek yang memang sudah seperti rumah kedua bagi para wartawan.
"Mau pulang?" sapa Pak Santo pada Bara.
"Iya Pak, udah pegel-pegel pengen rebahan." Bara memakai jaketnya kemudian melangkah menuruni tangga.
Saat melintasi teras depan kantor Bara melambaikan tangannya pada Pak Santo yang membalas dengan anggukan.
Bara mengendarai motornya menuju kediaman Dijah. Perutnya lapar, tapi ia merasa rugi kalau harus membuang waktu makan di luar sementara jam kerja Dijah dengannya berakhir di pukul 10 malam.
Bara sedang tak ingin menanyai Dijah macam-macam. Ia hanya ingin disediakan sepiring nasi oleh perempuan itu. Entah beras Dijah ada atau tidak, ia nekad minta diberi makan.
Malam itu tak terlihat seorang pun tetangga Dijah yang unik-unik itu. Sedikit tak biasa pikir Bara, kemudian ia mematikan mesin motornya di depan kamar Dijah.
TOK!! TOK!! TOK!!
Bara mengetuk pintu kamar itu pelan. Setelah nyaris terkena lemparan sebuah deodoran, tampaknya Bara harus berhati-hati.
CEKLEK
Suara kunci diputar dari dalam dan pintu mengayun membuka. Dijah menatapnya dari balik pintu yang sedikit terbuka.
"Kok agak kemaleman?" tanya Dijah dari balik pintu. Kepala wanita itu masih terbungkus handuk saat menjenguk ke luar.
"Boleh masuk?" tanya Bara. Dijah terlihat sedikit ragu dan masih berbicara dari celah pintu.
"Besok aja deh, aku udah ngantuk. Boleh besok aja?" tanya Dijah.
"Keramas lagi..." gumam Bara.
"Gerah," jawab Dijah. Ia masih berdiri di depan pintu.
"Aku laper Jah," ujar Bara kemudian mendorong pintu dan melangkah masuk. Ia mencampakkan ranselnya ke dalam kamar Dijah seolah sewa kamar wanita itu adalah hasil patungan dengannya.
"Eh kamu nggak boleh mas--"
"Ya ampun Jah..." gumam Bara saat melihat Dijah yang berdiri di balik pintu.
Rambut Dijah basah, sebuah handuk kecil terletak begitu saja di kepalanya. Wanita itu menutup bahunya dengan sebuah handuk tapi tak berhasil menutupi sepasang dada yang terbalut dengan sebuah tank top ketat sampai belahan dada itu terlihat jelas.
"Kamu keluar sekar... Mau ngapain kamu?" sergah Dijah yang melihat Bara berjalan mendekatinya.
"Kasiani mata dan perutku Jah," ucap Bara yang melepaskan jaketnya. Matanya tak sengaja tertumbuk pada Dada penuh Dijah yang selama ini selalu tersembunyi di balik pakaian longgarnya.
"Keluar sana," tukas Dijah. Wajahnya telah merona dan ia sudah salah tingkah melihat mata Bara menuju lurus ke arah tubuhnya.
Bara yang juga mulai berdebar kemudian membalutkan jaketnya secara asal di tubuh Dijah dan mengikatkan kedua lengan jaket itu mengelilingi tangan wanita itu.
Bara kemudian menghempaskan tubuhnya di kasur tipis kamar itu. "Masakin aku sesuatu Jah, aku laper"
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
dyul
udah kaya suami aja kang mas Bara... rebahan minta mkn🤪
2025-02-26
0
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
MasyaAllah Mas Dul🥺
2025-01-30
0
Tarsini Fahri
perasaan dulu ceritanya nga ada Joana dulu banyak obrolan dikosan yg mengocok perut thor
2025-01-03
1