Dari Penulis :
Dengan membaca novel ini, pembaca dianggap sudah dewasa dan bisa membedakan mana yang sekedar fiksi atau mana kehidupan nyata.
Mohon jangan mengaitkan isi cerita dengan satu agama, suku, ras atau golongan tertentu.
Mari saling menghargai dan bijak dalam memilih bacaan.
Terimakasih sudah mampir ke karya-karya juskelapa.
*************
Bara masih berdiri di dekat wanita muda yang sesaat lalu baru saja menghantam kepala seorang pria dengan sebuah batu.
Mata wanita itu masih menatap pria yang sekarang terlihat sudah enggan mengejarnya. Pandangan mata tidak menyiratkan ketakutan. Bara hanya melihat kemarahan di sana.
"Nama Mbak siapa? Itu tadi siapa?" tanya Bara pada Dijah yang masih mengintip ke arah Fredy.
"Dijah," sahut Dijah tanpa menoleh pada Bara.
"Yang itu tadi siapa?" tanya Bara lagi.
"Mantan suamiku," jawab Dijah singkat. Matanya masih menatap ke arah Fredy yang terlihat menjauhi pagar Kantor Polisi.
"Kok Mbak bisa dipukuli? Apa sebabnya?" tanya Bara penasaran. Naluri wartawannya muncul seketika.
"Itu pasti sakit, 'kan?" Bara masih memberondong Dijah dengan pertanyaan.
"Ini penganiayaan Mbak," ujar Bara. Dijah masih diam melihat ke luar pagar. Tangannya merogoh kantong depan ransel yang dikenakannya dan mengeluarkan sebuah plaster. Bara membuka plaster itu dan menempelkannya di dahi Dijah yang mengeluarkan sedikit darah.
"Kalau sakit kenapa nggak dilaporin aja Mbak? Mbak bisa buat pengaduan. Ini namanya udah tindakan kekerasan. Mbak kok diem aja sih?" Bara yang diabaikan merasa sedikit kesal. Ia ingin meninggalkan wanita itu tapi rasa penasarannya meronta.
Saat Dijah melihat Fredy meninggalkan tempatnya semula sambil mengusap-usap kepala, Dijah menghembuskan nafas lega. Ia bisa segera pergi dari kantor polisi itu.
Kemudian kehadiran seorang pria yang sejak tadi tak berhenti menanyainya seperti membuat kesadarannya kembali.
"Dari tadi aku diem aja karena nggak suka dipanggil Mbak. Mbak ... Mbak ... Kapan aku kawin sama mas-mu?" sengit Dijah kesal kemudian berdiri.
"Kenapa Jah? Kenapa muka kamu begitu?" tanya Pak Santo polisi tua yang sehari-hari bertugas di sana.
Pak Santo baru saja tiba dengan motor bututnya dan berhenti tepat di depan Dijah saat wanita itu berjalan keluar pagar. Dijah telah lama mengenal polisi itu, sedikit banyak pun Pak Santo tahu akan kehidupannya.
"Nggak apa-apa Pak, tadi nggak sengaja nabrak anak-anak naik motor," jawab Dijah asal kemudian pergi melangkahkan kakinya menuju tepi jalan untuk menyetop salah satu trayek angkutan untuk menuju kos-kosannya.
Dijah melangkahkan kakinya menjauhi pagar kantor polisi agar Pak Santo tak kembali menanyainya. Pelipisnya berdenyut dan sekarang ia bisa memastikan bahwa bagian atas matanya sudah pasti membengkak.
Dijah kemudian meraba dahinya. Ada plaster luka. Sejak kapan plaster itu berada di dahinya ia pun tak sadar.
Bara memandang punggung Dijah yang berjalan menjauh. Buru-buru ia berlari ke parkiran di sisi kiri kantor untuk mengambil sepeda motornya.
"Mau ngejer berita?" teriak Pak Santo pada Bara yang menaiki motornya tergesa-gesa.
"Iya! Berita besar," sahut Bara kemudian melakukan motornya meninggalkan Pak Santo yang kemudian berlalu menuju parkiran.
Bara mengendarai motornya perlahan-lahan sampai tiba di sebelah Dijah yang masih berdiri di tepi jalan.
"Mau pulang ke mana Mbak?" tanya Bara pada Dijah yang hanya meliriknya sekilas kemudian kembali menatap layar.
Bara tak menerima sahutan apapun. Sekarang posisi Bara persis seperti seorang laki-laki hidung belang yang sedang merayu perempuan di tepi jalan pada sore hari.
Dijah sedang berpikir-pikir, bagaimana ia bisa masuk kerja malam itu kalau wajahnya babak belur. Dijah berdecak samar nyaris tak terdengar. Tapi Bara yang sempat mendengar suara dari mulut Dijah menatap wajah perempuan itu.
Bara masih duduk di atas motornya. Memperhatikan wajah manis Dijah yang bagian matanya kini membengkak. Kaos oblong putih yang dipakai wanita itu terlihat kotor di bagian depan dengan salah satu lengannya terdapat noda darah yang mulai menggelap.
Kasihan, pikir Bara. Masih muda tapi tampaknya wanita itu sudah sangat terbiasa menerima kekerasan. Pandangan Bara turun sampai ke sandal karet bertali di kaki Dijah. Bara melihat kulit jari kelingking sebelah kanan Dijah mengelupas.
"Ayo Mbak, biar saya anter." Bara sedikit menggeser motornya memberi jarak pada Dijah. Dalam benaknya ia sedikit khawatir Dijah tersinggung dan memungut batu untuk memukul kepalanya.
"Eh, nama kamu siapa?" tanya Dijah tiba-tiba dengan wajah sedikit kesal.
"Bara Wirya." Bara mengeluarkan sebuah tanda pengenal dari sakunya. "Nama kamu Dijah, 'kan? Karena kamu keliatan lebih muda dari aku, kamu bisa panggil aku Mas Bara aja."
"Baik. Begini Bara, aku nggak ada urusan sama situ, mending situ pergi sekarang. Aku mulai risih orang-orang ngeliatin aku terus dari tadi. Pergi sana!" sergah Dijah melangkah sedikit menjauh.
"Niatku baik kok," ujar Bara lagi.
"Namanya niat yang tau ya cuma situ!" balas Dijah.
"Rumah kamu di mana? Aku tulus cuma pengen bantu. Nanti kamu diliatin orang di angkot."
"Udah biasa," sambung Dijah.
"Cepet naik!" ajak Bara memajukan motornya.
"Sana!"
"Dijah! Naik!"
"Apa sih?!! Enggak! Nanti aku teriak. Gendeng!" maki Dijah.
Tiba-tiba,
"Hei Lon*te!" teriak Fredy yang tiba-tiba kembali muncul berlari ke arah Dijah.
"Aduh si anjing!" maki Dijah terkejut kemudian langsung naik ke atas boncengan Bara.
"Cepat jalan! Tadi situ ngotot mau nganter aku pulang! Itu si anjing dateng lagi!" Dijah menepuk pundak Bara berkali-kali.
Bara cepat-cepat menyalakan motornya dan pergi meninggalkan Fredy yang terlihat menunduk seperti sedang mencari batu untuk melempar mereka.
"Cepat! Ngebut!" perintah Dijah pada Bara yang membabi-buta melajukan sepeda motornya membelah jalanan sore.
"Ini ke mana?!!" teriak Bara.
"Ke kost-an aku!" balas Dijah juga dalam teriakan.
"Ya di mana? Aku nggak tau!"
"Oh iya ya .... Jalan terus aja, nanti simpang kita ke kiri!" Balas Dijah seraya berpegangan pada bahu pria asing yang baru ditemuinya tak sampai sejam.
"Lurus aja terus, mall besar itu sebelahnya ada jalan, belok kiri lagi." Dijah menepuk-nepuk bahu Bara untuk memberi tanda.
Saat melihat mulut gang tempat tinggalnya yang selalu ditunggui beberapa ojek setempat, Dijah kembali menepuk bahu Bara untuk memelankan laju motornya.
"Belok situ," pinta Dijah menunjuk gang. Sebenarnya ia bisa turun di depan gang saja, tapi sore itu ia sedang tak ingin meladeni mulut iseng para laki-laki itu mengomentari wajahnya yang penuh luka.
"Siapa Jah?" tanya seorang pengemudi ojek saat Bara memelankan laju motornya untuk masuk ke dalam gang.
"Pelanggan baru!" teriak Dijah dengan wajah biasa saja. Motor Bara terlalu bagus dan penampilan pria itu tak meyakinkan untuk disebutnya seorang tukang ojek. Bahkan parfum Bara pun terasa melekat di telapak tangannya yang sejak tadi bertengger di bahu pria itu.
"Itu ada pintu, masuk aja." Dijah menunjukkan sebuah pintu besi sedang selebar satu mobil.
Saat tiba di halaman lumayan luas, Bara membuka helmnya dan melihat ke sekeliling. Dia tak menyangka bahwa di dalam gang sempit itu ada sebuah bangunan besar bertingkat dengan puluhan kamar kecil.
"Dijah!!" panggil seorang wanita tiba-tiba. Dari lengkingan suaranya, Dijah bisa menebak itu adalah Mak Robin. Seorang ibu rumah tangga asal Medan dengan satu anak yang suaminya bekerja di luar kota.
Mak Robin adalah salah satu penghuni terlama di kos-kosan itu.
"Opo?" sahut Dijah menoleh pada Mak Robin yang berjalan menghampirinya.
"Tagihan airmu," ujar Mak Robin mengangsurkan selembar kertas.
"Nanti aku bayar." Dijah melipat kertas itu kemudian mengantonginya.
"Kenapa muka kau? Dipukol si anjeng itu lagi? Dah kubilang sama kau Dijah, ayok kita pecahkan kepalanya sama-sama." Mak Robin menyibakkan helai rambut pada wajah Dijah untuk melihat lukanya.
"Astaga..." gumam Bara memegang dadanya saat mendengar nada suara tinggi Mak Robin.
"Udah nggak apa-apa. Dikit aja. Besok-besok aja kita pecahkan kepalanya. Aku buru-buru mau kerja," ujar Dijah kembali menaruh rambut di atas lukanya agar tak terlihat.
"Janganlah kau kerja! Tidor aja kau dulu, pasti sakit kepalamu itu," tukas Mak Robin. "Tin! Mau ke mana kau? Ko tengok dulu ini kawan kau udah bengap-bengap mukanya!" teriak Mak Robin memanggil Tini yang sudah sangat cantik sore itu.
Tini yang dipanggil Mak Robin bergegas mendekati Dijah dengan heels 10 senti-nya.
"Ya ampun Jah, kok kayak gini lagi? Nanti pulang kerja aku obati ya. Sekarang nggak sempet aku udah ditunggu," ujar Tini sedikit mengangkat dagu Dijah.
"Kau mau ke mana sore-sore gini?" tanya Mak Robin pada Tini.
"Melonte-lah Mak, 'kan nggak mungkin aku ngantor jam segini," jawab Tini santai.
"Astaga... " gumam Bara lagi.
"Aku pergi dulu, kamu nggak usah kerja Jah!" tambah Tini seraya berjalan menjauh. "Eh Jah! Ini siapa?" tanya Tini menunjuk Bara.
"Siapa--? Ooo .... Ojek! Itu Ojek!" seru Dijah meringis saat menyadari ternyata Bara masih berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Astaga ...." gumam Bara lagi saat Tini berjalan mendekatinya.
To Be Continued.....
Dari Penulis :
Maklumi kata-kata kasarnya ya, jangan diikuti.
Ini hanya sepotong realita yang sedang terjadi di sekeliling kita.
Izinkan Dijah membuat hidupnya lebih indah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
ghost1330
udah keberapa kalinya baca, kata2 sakti atah bara pun keluar "astaga"... 🤭
2024-12-11
0
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
astaga (3)😄😄😄😄
ayo satu kali lagi biar dapat 1 buah gelas cantik🤣🤣🤣🤣
2025-01-23
0
🇹ⱤłɆᵈᵉʷᶦ 🌀🖌
bahasa nya bikin syokk, tapi cerita lucu, astaga, eneng too orang seperti dijah
2024-12-31
0