Like dulu,
membaca kemudian XD
************
Dijah hanya bisa memandang wajah Bara yang terlihat frustasi melilitkan jaket itu ke tubuhnya. Sejenak tadi ia menyangka Bara akan mendorongnya ke dinding untuk berbuat sesuatu yang sepertinya hanya dalam khayalannya saja.
Tak mungkin Bara seperti itu pikirnya. Dijah menepis jauh-jauh secercah pikiran romantisme soal pria itu dalam pikirannya. Bara memang sudah mengganggunya. Perhatian pria itu yang terbungkus kata penelitian dan narasumber membuatnya harus hati-hati.
Ia hanyalah seorang narasumber bagi Bara.
Dijah kemudian berjalan ke sudut kamar untuk membuka lemari dan mencari sebuah kaos oblong. Dengan daun pintu lemari yang menjeblak terbuka, Dijah melepaskan jaket yang tadi dililitkan Bara di tubuhnya.
Padahal itu adalah kamarnya, tapi ia malah harus menjaga sikap di depan tamunya. Bukankah harusnya tamu yang sedang meminta makan ini yang menjaga sikap padanya?
Setelah membalik-balik sedikit pakaian yang tersusun dalam lemarinya, Dijah tak menemukan kaos oblong. Ia kemudian menarik sebuah cardigan rajut berbahan kasar yang sering dipakainya untuk sekedar ke kamar mandi sebagai penutup bahu.
Setelah memakai cardigan itu, Dijah menutup pintu lemari dan mencampakkan jaket kembali pada pemiliknya yang telah berbaring menghadap dinding memunggunginya.
"Kalau mau tidur mending kamu pulang aja deh. Aku juga mau istirahat," ucap Dijah berdiri memandang Bara yang memejamkan mata memeluk guling.
"Aku laper Jah," gumam Bara.
"Ya pulang. Minta makan di rumahmu sana."
"Nggak boleh pelit Jah!" Bara kemudian berbalik masih memeluk sebuah guling menatap Dijah yang berdiri menyilangkan tangan di dadanya.
"Aku bukan pelit, cuma ada nasi putih sama telur aja. Udah malem, warung udah tutup. Aku nggak ada mi instan, belum belanja." Dijah duduk bersandar di dinding kamarnya. Entah apa mau laki-laki ini pikirnya. Kalau hanya sekedar mau makan, ia bisa dengan mudah pulang ke rumahnya.
"Nasi pake telur juga nggak apa-apa, aku mau."
Rasanya Dijah tak pernah merasa malu pada orang lain, termasuk pada lawan jenis yang selama ini mendekatinya. Ia tak malu kalau harus pergi keluar rumah dengan baju berlubang kecil atau sepatu tipis yang telapaknya sudah dijahit dan dilem puluhan kali.
Tapi Bara membuatnya rikuh berkali-kali. Pandangan pria itu yang sering menatapnya teliti membuat Dijah harus sering berkelit.
"Nggak apa-apa, aku mau. Cepet Jah, laper." Bara bangkit dari tidurannya dan turun bersila di lantai. Masih dengan sepasang kaus kakinya Bara menunggu Dijah yang bangkit dan mengambil satu dari dua piring yang berada di atas meja plastik.
Dijah mengeruk habis semua nasi dari dalam tempatnya dan meletakkannya ke piring. Sebutir telur yang beberapa saat lalu baru digorengnya itu sebenarnya adalah jatah makan malamnya. Tapi Bara datang minta makan, dan tadi siang laki-laki itu telah membelikan anaknya sepatu.
Tak apalah malam ini ia tak makan, terlelap semalam tanpa sepiring nasi tak lantas membuatnya mati kelaparan.
Dijah meletakkan sepiring nasi hangat yang di atasnya terhampar selembar telur dadar dan sedikit bawang goreng di hadapan Bara.
"Sendok Jah," pinta Bara memandang nasinya antusias. Dijah menyerahkan sebuah sendok yang langsung disambar oleh Bara.
"Apalagi?" tanya Dijah dengan sedikit kesal.
"Air putihnya," jawab Bara tak berperasaan tanpa menoleh.
Dijah meletakkan segelas penuh air putih kemudian duduk di sebelah Bara yang sedang mengangkat piring dengan tangan kirinya dan menyantap nasinya.
"Eh iya, kamu dah makan?" tanya Bara tiba-tiba.
"Eh?" Dijah yang sedang mengamati cara Bara makan sedikit tersentak saat tiba-tiba Bara menoleh padanya.
"Kamu udah makan?" ulang Bara.
"Udah," jawab Dijah cepat.
"Pasti belum," potong Bara. "Aku ngerepotin ya Jah?" tanya Bara.
"Udah tau nanya, cepet abisin. Aku mau tidur!" sergah Dijah kemudian duduk menyandarkan punggungnya ke ranjang. Bersisian dengan Bara yang memang sepertinya tak menganggap bahwa ia seorang wanita.
"Aku suapin mau Jah? Biar romantis," ujar Bara.
Romantis kata Bara. Hari pertama mungkin itu akan terlihat sangat romantis. Makan sepiring berdua. Kalau sudah seminggu, kamu pasti akan rindu punya piring sendiri. Dijah tertawa kecil.
"Kok ketawa?" tanya Bara.
"Romantis itu kalo makan sepiring berdua tapi kamu tau ada banyak nasi di dalam penanak." Dijah kembali tertawa. Bara menatap wajah wanita yang baru kali itu dilihatnya tertawa.
"Kamu bisa ketawa juga," ucap Bara kembali menyuapkan nasinya. Dijah langsung diam. Mereka masih bertatapan. Nasi di piringnya sudah tinggal sesuap lagi, Bara menenggak air putih tanpa mengalihkan pandangannya.
Bara sedang menimbang-nimbang ingin mencium Dijah. Wanita itu sedang membalas tatapannya, harusnya ini adalah waktu yang tepat pikir Bara.
Ia penasaran dengan Dijah. Dijah manis. Selain kekasaran bicaranya, menurutnya Dijah adalah wanita yang baik dan bertanggungjawab.
Bara perlahan meletakkan piringnya dan menggeser duduknya sedikit mendekat.
"Kursinya nggak ada lagi Jah?" Pertanyaan konyol itu tiba-tiba keluar dari mulutnya. Sudah jelas-jelas kursi plastik reot itu dia yang menghancurkannya kemarin. Bara melihat Dijah menggantinya dengan dua buah krat minuman botol yang ditumpuk hingga membentuk meja kecil.
"Udah aku buang, aku minta itu ke warung." Dijah menunjuk tumpukan krat.
"Jah," panggil Bara.
"Hmmm--" Dijah benar-benar sudah mengantuk. Ia menyadari Bara yang mencondongkan tubuhnya. Dijah heran kenapa ia tak menolak atau menjauhkan tubuhnya. Nyatanya memang tubuhnya seperti terpaku ke lantai. Diam menunggu apa yang akan dilakukan Bara selanjutnya.
Kemudian Dijah merasakan tangan Bara berpindah ke belakang lehernya dan laki-laki itu mulai menyatukan bibir mereka. Dijah terhenyak. Ingin mendorong tubuh Bara yang bermaksud abu-abu dan tak jelas padanya.
Tapi Dijah hanya manusia biasa. Ia tak pernah merasakan bibirnya disapu selembut itu dengan bibir seorang pria. Dijah memejamkan mata dan mengikuti gerakan bibir Bara yang seperti menuntunnya.
Dingin, pikir Dijah. Air putih yang baru saja diteguk Bara tadi membuat bibir pria itu dingin dan segar. Dijah yang mengantuk memejamkan matanya. Ia mulai terhanyut dengan kehangatan yang menjalari tubuhnya hingga ke ujung-ujung jarinya.
Bara yang juga terhanyut seperti terlupa ia berada di mana. Ciumannya semakin menjadi-jadi. Ia menekan tubuh Dijah sampai kepala wanita itu mendongak karena ciumannya yang semakin keras.
Nafas Bara mulai cepat memburu, ia semakin berani karena ternyata Dijah tak menolaknya. Saat tangan kanannya sibuk menahan leher Dijah, tangan kirinya sudah berpindah ke perut wanita itu. Bara juga merasa bahwa tangan Dijah sudah mencengkeram kemeja depannya.
Dijah merasa terbang melayang. Ini ciuman yang sebenarnya pikir Dijah, baru kali ini merasakan sebuah bibir menyentuh bibirnya dengan ciuman kecil berkali-kali kemudian berbuntut panjang sampai nyaris membuatnya kehilangan nafas.
Bara pasti sedang melecehkan statusnya pikir Dijah. Bara pasti menganggapnya murahan dan benar-benar bisa dibeli dengan 50 ribu. Bara pasti hanya ingin memperlakukannya seperti ini.
Bara pasti... Kepala Dijah terasa pusing, debar jantungnya pun sudah tak santai. Belaian tangan Bara yang menjalari perutnya membuat Dijah ingin mendorong laki-laki itu. Atau ia ingin semakin menarik Bara untuk naik ke atas ranjangnya?
Bara meremas perut rata Dijah, kemudian bergerak ke atas sampai ke batas rusuk wanita itu. Tangannya baru saja berpindah semakin ke atas dan mulai meremas lembut Dada wanita itu.
"Mmmm..." gumam tak jelas lolos dari bibir Dijah saat merasa tangan Bara sudah berada di dadanya.
Tiba-tiba,
BRAKKK!!
Pintu kamarnya terbuka. Tini berdiri di depan pintu kamar menatap Bara dan Dijah yang sadar seperti tersetrum. Bersamaan mereka menoleh ke arah pintu.
"Maaf! Gak maksud ganggu. Cuma mau bilang ke Dijah. Lusa pagi, ikut ke kantor perusahaan rokok. Masih ada nerima SPG. Meski nggak tetap tapi lumayan. Jangan lupa ya Jah! Lusa. Berangkatnya bareng aku aja," tukas Tini santai seolah tak melihat apa-apa. Saat mau berbalik pergi, Tini kembali menoleh pada Bara.
"Tangannya lanjutin aja Mas! Dijah udah lama nggak ada yang megang-megang." Tini terbahak-bahak kemudian pergi.
"Astaga..." gumam Bara menatap tangan kirinya.
Bara yang menyadari tangannya masih berada di dada Dijah spontan merona. Dasar perempuan geblek pikirnya, buka pintu kamar orang lain tak pakai ketuk-ketuk dulu.
Dijah salah tingkah membetulkan letak cardigannya yang sedikit tersingkap karena ulah liar tangan Bara. Sepertinya laki-laki itu memang sejak awal menargetkan bagian tubuh Dijah yang memang menggoda itu.
"Ehem." Bara berdehem. Dijah mengangkat piring bekas makan Bara dan menyingkirkannya ke sudut.
"SPG? SPG rokok maksudnya Jah?" tanya Bara pada akhirnya untuk memecah kecanggungan mereka.
"Iya, kata Tini gajinya lumayan. Aku mau nyoba."
"Kerjanya malem juga itu Jah," tukas Bara.
"Iya, aku tau." Dijah menjawab perkataan Bara tanpa melihat laki-laki itu.
Bara kemudian bangkit menyambar jaketnya. Ia merasa harus segera pergi dari tempat itu. Bagian tubuhnya yang lain pasti akan membawa kesulitan jika ia terlalu lama di sana. Bara merasakan darahnya tadi sudah mendidih.
Sambil memegang kedua pipinya yang tiba-tiba terasa panas, Bara pamit pada Dijah. Sudah hampir tengah malam saat Dijah melepasnya di depan pintu.
Dijah menatap punggung Bara yang menjauh, kemudian ia cepat-cepat menutup pintu kamarnya. Dijah menempelkan tubuhnya di balik pintu.
Ia kemudian menyentuh dada tempat di mana jantungnya berdetak begitu keras. Dijah mengusap-usap dadanya berkali-kali. Ia meminta jantungnya untuk sedikit lebih tenang karena laki-laki yang memberi debaran itu sudah tak ada di sana.
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
Yeti Kosasih
ha..ha...eh baraaa main cup aja woii itu mulut kau baru makan telor dadar apa g bau amis haaah...🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2025-02-13
0
Teh Mbak Sri
Iklan pun datang seenak jidat tanpa ketuk pintu...Dasar Suketi...
wkwkwk...
2025-01-25
1
jumirah slavina
dasarrrr Suketi merusak suasana
🤭🤭🤭🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2025-02-02
2