Like dulu,
baca kemudian.
************
Sore itu Joana menyambangi Bara ke Polsek. Seperti biasa wanita itu membawakannya macam-macam makanan. Joana yang baru saja pulang mengajar di kelas sore tampak lelah tapi dengan tampilan yang masih cantik.
"Masuk aja napa sih, ngapain berdiri di luar gitu. Kayak kang parkir aja." Joana meminta Bara untuk masuk ke mobil.
"Enggak ah, insecure banget. Seharian di luar aku ngerasa nggak percaya diri deket Bu Dosen yang harumnya masih semriwing," ujar Bara beralasan.
Bara bisa memastikan kalau setibanya ia berada di dalam mobil berkaca gelap itu, Joana pasti akan kembali menciumnya.
Joana cantik pikir Bara. Sewaktu wanita itu tiba-tiba mengunjungi rumahnya dengan berplastik-plastik makanan, ibunya juga menyukai Joana.
Terlebih lagi, mereka memiliki profesi yang sama. Ibu Bara merasa nyambung saat berbincang dengan Joana di ruang tamu sementara Bara asyik bermain catur dengan ayahnya.
"Kapan dateng ke rumahku?" rengek Joana. "Malem minggu gitu," tawar Joana yang sepertinya lupa kalau Bara belum siapa-siapanya.
"Aduh aku belum bisa janji," ujar Bara masih mengamati tampilan Joana. Rambut wanita itu dipotong pendek di atas bahu. Sepasang anting bunga mawar kecil menempel manis di telinga mungilnya. Bibirnya cukup mungil dan kemarin rasanya... kurang terasa.
Tubuh Joana cukup sintal. Pinggulnya lumayan pikir Bara. Banyak yang menyukai wanita itu, dan Bara mendapat prestise tersendiri karena dosen muda wanita tercantik sibuk mengejar cintanya.
Tapi... yang seperti Joana ini banyak. Dalam setahun bara bisa dikejar beberapa wanita sekaligus. Dia memang bukan berasal dari keluarga kaya yang hartanya tak habis-habis. Tapi sebagai laki-laki, Bara merasa ia punya nilai dan hak memilih.
Bagi laki-laki sepertinya, cantik itu biasa. Joana tak mampu membuat adrenalinnya terpacu dan jantungnya berdebar cepat saat mereka berciuman kemarin. Dalam arti kata kasarnya, ciuman Joana tak membuat kejantanannya tertantang.
Yang membuat jantungnya berdebar dan kejantanannya merasa tertantang itu adalah... Dijah?
Saat Joana masih berbicara soal rencana malam Minggu, Bara melemparkan pandangannya ke jalan. Ia melihat Dijah sedang menoleh ke arahnya.
Tatapan mata wanita itu datar saja. Seolah Dijah tak mengenalinya. Dijah memalingkan wajahnya.
Dasar, pikir Bara. Kemarin malam berciuman dengannya sampai mendesah, tapi sore itu berlagak tak mengenalnya. Kalau tak mau menyapanya lebih dulu, Dijah bisa saja tetap berdiri di sana menunggu ia saja yang mendatangi wanita itu.
Sekarang Dijah dengan cueknya pergi menumpangi angkot dan duduk bergelantungan seperti seorang preman yang menatapnya bengis.
"Ra! Bara! Kamu ngeliatin apa sih?" tanya Joana yang sekarang juga ikut kesal.
"Itu preman!"
"Preman mana?" tanya Joana celingukan.
"Udah pergi. Ya udah, kamu sekarang mau ke mana?" tanya Bara.
"Ih kamu kok jadi ngusir aku sih?" rajuk Joana. Bara tak peduli. Adiknya merajuk saja dia tak peduli, konon wanita yang bukan siapa-siapanya. Ibunya saja tak pernah bisa memaksanya, apalagi orang lain. Bara merasa bahwa ia adalah laki-laki bebas.
"Aku mau pergi ke tempat penting," ujar Bara kembali menaikkan ranselnya yang merosot.
"Aku ikut," pinta Joana. "Naik motor juga nggak apa-apa," tawar Joana lagi.
"Nggak bisa, sorry. Ini misi pribadi. Ya udah, aku ke dalem dulu ya, mau minta tanda tangan ama Pak Santo soal kehadiranku di sini." Bara menepuk kap mobil Joana dan berlalu dari hadapan wanita itu.
Bara kembali masuk ke Polsek dengan alasan meminta tanda tangan Pak Santo, padahal untuk apa pula tanda tangan Pak Santo untuknya.
"Sedan hitam kan? Udah pergi," ujar Pak Santo tiba-tiba dari belakang Bara. Ia terkejut tapi nyengir karena mendengar laporan Pak Santo sesuai dengan yang dibutukannya.
"Kemarin aku liat kamu boncengin Dijah ya?" tanya Pak Santo.
"Iya Pak, emang kenapa?" Bara balik bertanya.
"Terakhir ada yang berani deketin Dijah, setengah mati dipukuli preman sampe babak belur. Dijah sendirian terus itu juga ada alasannya. Berani kamu?" tanya Pak Santo terkekeh.
"Trus pelakunya ditangkap polisi? Itu suaminya kenapa masih bebas aja?" tanya Bara penasaran.
"Ormas Hantu, maklumlah. Belum keciduk aja. Masih licin kayak belut. Kamu hati-hati. Aku tau kamu ama Dijah itu cuma kasian. Tapi jangan bikin dia makin kasian lagi." Pak Santo menepuk-nepuk pundaknya kemudian pergi.
"Aku cuma kasian ya?" gumam Bara pada dirinya sendiri.
Bara menarik jaket dari bawah meja pegawai tempat menyimpan barang miliknya. Sesaat sebelum melangkah pergi, Bara melirik sebuah kotak helm baru yang dibelikannya untuk Dijah.
Bara tak ingin Dijah yang hobi keramas itu rambutnya bau saat mengenakan helm pinjaman kalau-kalau harus diboncengnya.
Dipukuli sampe babak belur hanya karena mendekati seorang wanita tak bersuami? Keterlaluan sekali pikir Bara.
Langit nyaris gelap saat Bara meninggalkan halaman Polsek menuju kos-kosan Dijah. Ia masih kesal dengan wanita itu, tapi ia harus punya satu alasan kuat agar bisa datang ke sana dengan percaya diri.
Sebelum masuk ke gang tempat kos-kosan Dijah berada, Bara mampir ke sebuah minimarket dan berbelanja barang kebutuhan sehari-hari.
Beberapa saat kemudian, boncengan belakang motornya sudah bertengger sebuah kardus besar yang diikat dengan tali plastik. Sekarang Bara merasa seperti seorang sales yang berkeliling menjajakan barang dagangannya.
Kardus besar itu berisi telur, beras, mi instan, kecap, saus, deterjen dan pewangi.
Saat motornya semakin mendekati kos-kosan Dijah, muncul rasa malu pada diri Bara ketika melihat pantulan kardus besar dari kaca spion.
Bara kemudian melihat pantulan wajahnya sendiri. "Oke Bara, santai... santai" gumamnya sendirian.
Dan kehebohan malam itu pun tak dapat dihindari. Penghuni kos-kosan itu seperti sedang kompak berada di luar kamar untuk menyambut ia dan kardusnya.
Dijah sedang duduk di kursi plastik dekat pintu kamarnya. Dengan tatapan terheran-heran Dijah memandang Bara yang turun dari motor dengan sikap aneh karena menghindari kardus yang terikat di boncengan.
"Mas Bara... Bawa apa?" Tini membuka ikatan tali plastik dan mencoba menggeser kardus berat itu. "Berat Ih!" tukas Tini.
"Yang nyuruh kamu angkat itu siapa?" sergah Bara pelan. Bara kemudian menurunkan kardus itu dan meletakkannya di dekat kaki Dijah.
"Untuk kita semua Mas?" tanya Tini.
"Ya nggaklah Tini, Kek gitu pun kau tanya. Untuk si Dijah itu. Kau kira itu bantuan sosial dari pemerintah." Mak Robin yang sejak tadi diam mengamati kini tertawa melihat Tini yang mencibir.
"Itu Jah, diambil. Sekarang kamu dinafkahi sama Mas Bara. Enak ya Jah, dicium aja langsung dinafkahi," ucap Tini santai kembali menghenyakkan pantatnya di kursi plastik.
"Kalo ngomong ngaco!" tukas Dijah. "Emang itu apa sih?" tanya Dijah pada Bara.
Bara menyisir rambutnya dengan jari, "aku bawa ke dalem yah, kamu bongkar di dalem aja." Bara kemudian kembali mengangkat kardus itu dan masuk ke kamar Dijah dengan mendorong pintu kamar itu dengan bahunya.
"Dibongkar aja," pinta Bara seraya duduk di tepi ranjang membuka sepatunya. Dijah yang penasaran berlutut membuka kardus dan mengeluarkan isinya satu persatu. Bara mengamati binar antusias di mata Dijah sembari berbaring di ranjang dan memeluk guling.
"Banyak banget ini, untuk apa?" tanya Dijah menoleh pada Bara yang sedang menatapnya.
"Untuk makanku."
"Ini deterjen untuk apa?" Dijah mengangkat dua bungkus deterjen.
"Untuk nyuci jaketku--" Bara bangkit dari tidurnya kemudian melepas jaket yang masih ia kenakan. "Ini Jah, tolong cuciin ya. Titip." Bara kemudian kembali berbaring memeluk gulingnya.
"Memangnya kamu ngekos juga? Nggak ada yang nyuci? Kan bisa di-laundry. Murah," tukas Dijah heran tapi mengambil jaket yang tadi disodorkan Bara kemudian meletakkannya ke keranjang kecil tempat pakaian kotor.
Bara menimbang-nimbang akan menjawab apa atas pertanyaan Dijah barusan. Kalau ia mengatakan bahwa dirinya masih tinggal bersama orangtua, Dijah bisa saja menolak permintaannya.
Sepertinya Bara harus memanfaatkan perasaan Dijah yang halus dan sering mengasihani orang lain untuk membuat wanita itu tak mengusirnya.
"Aku ngekos Jah, yang biasa ngurus pakaianku lagi mudik. Makanku nggak teratur, tadi pagi aja aku nggak sarapan." Bara menutup wajahnya dengan guling saat mengatakan hal itu. Ia merasa seram sendiri dengan Dijah yang sering melemparkan tatapan curiga padanya.
"Udah makan?" tanya Dijah dengan intonasi rendah. Ia suka Bara. Tapi ia juga khawatir. Dijah memiliki banyak kekhawatiran. Termasuk penampakan seorang wanita dengan sedan hitam yang tampaknya selalu berada di dekat Bara.
"Belum Jah, aku ke sini emang sekalian mau minta makan. Sekarang kerjaan kamu nambah. Makan malamku sampai akhir minggu." Bara bangkit kemudian merogoh dompetnya. Ia mengambil sejumput uang lembaran pecahan 50 ribu kemudian membuka telapak tangan kanan Dijah.
"Nih! Aku kasi upah kerja kamu di depan, besok masak ya Jah!" ujar Bara tersenyum puas. Ia berhasil mengikat Dijah dengan sebuah kontrak tak kasat mata.
"Cie... Nafkah lahirnya udah, nafkah batinnya juga harap disegerakan Mas.." Tini muncul di depan pintu dengan sepiring nasi dan mulut yang sedang mengunyah.
"Ya ampun..." gumam Bara sedikit terkejut dengan kemunculan Tini di ambang pintu. Dijah yang sudah terbiasa mendengar candaan tak biasa di lingkungan itu hanya meringis.
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
Yeti Kosasih
duuh bara beree kau tuuh dari rasa kasian timbulah rasa cinta nantinya...
sook bayar yg bener kerjaan dijaah..jgan diutangin kesiaan..😂
2025-02-13
1
gaby
Salut sama Tini, walau pelacur tp ga nikung gebetan temen, bukan Temen makan temen
2025-02-20
0
jumirah slavina
misi mengejar Dijah ya Bar....🤭😍
2025-02-02
2