Meski Corona melanda,
lebaran sebentar lagi tiba.
Jangan lupa Likenya ya,
sayang-sayangnya Mas Bara :*
**************
Dijah memandangi kepergian Dul yang melingkarkan kedua tangannya ke sekeliling pinggang Bara. Dijah malu. Tapi di lain sisi ia sangat lega melihat Dul bisa berangkat tepat waktu.
"Siapa itu yang nganter Dul?" tanya Bapak Dijah yang ternyata juga mengamati kepergian Dul barusan.
"Temenku. Kenapa memangnya?" tanya Dijah sedikit kesal karena mengira bapaknya akan berterimakasih dan merasa sedikit menyesal tak bisa mengantar cucunya.
"Kamu jangan sembarangan deket sama laki-laki Jah, nanti kalau Fredy tau bisa habis kita semua. Laki-laki itu pun bisa mati dipukulinya," tukas Bapak Dijah.
"Kalau temenku sampe kenapa-napa, aku sendiri yang bakal bunuh si Fredy. Biar kami berdua bunuh-bunuhan. Biar tamat ceritanya. Pokoknya Bapak urus anakku aja. Nggak usah lagi urus hidupku. Aku nggak punya apa-apa lagi selain Dul. Udah cukup malang nasibnya lahir ke dunia ini dapat orang tua yang nggak bisa ngasi dia hidup yang layak. Harusnya nasib jelek itu cukup sampai di aku aja Pak, anakku jangan." Setelah mengatakan hal itu Dijah pergi meninggalkan halaman rumahnya dan keluar pagar dengan membantingnya.
Manusia dewasa dengan karakter yang sudah terbentuk memang sulit berubah, pikir Dijah. Selama ini bapaknya selalu menggunakan siklus tomat. Sebentar tobat, sebentar kumat.
Benar kata gurunya dulu, bahwa seluruh sistem tubuh manusia betapa pun sehatnya tak akan ada guna jika segumpal hatinya 'sakit'.
Dijah langsung menaiki sebuah angkot menuju kantor perusahaan rokok tempat Tini kini bekerja. Dan setibanya di sana, ternyata Tini tidak mengada-ada soal sebutan namanya di tempat itu.
Manager Operasional perusahaan itu langsung ramah pada Dijah saat ia mengucapkan kata kunci 'teman Tini Montok'.
"Kamu temennya Tini dari mana?" tanya Pak Heri saat mengamati Dijah lekat-lekat.
"Teman satu kost-an Pak," jawab Dijah.
"Nggak ada kesulitan kalau pulang larut malam kan?"
"Nggak Pak," sahut Dijah.
"Oke, kalau begitu--ini seragamnya." Pak Heri mengambil sebuah paper bag merah dari bawah meja dan menyerahkannya pada Dijah.
"Dalam seminggu, 3x saja. Mulai dari Kamis malam sampai Sabtu malam. Terserah kamu mau berpakaian di mana. Dari rumah atau berpakaian di kantor. Itu isi paperbagnya lengkap, kecuali sepatunya. Kalau bisa kamu beli sepatu hitam yang tingginya minimal 7 Senti ya."
Mendengar penuturan Pak Heri, Dijah mengangguk tanda mengerti. Modalnya hanya sepasang sepatu tinggi pikirnya. Sepulang dari kantor itu ia berniat mampir ke pasar barang bekas untuk mencari sepatu tinggi berkualitas dengan harga jauh lebih murah.
"Setiap hari kerja itu, jam berapa tiba di sini Pak?"
"Pukul 5 sore paling lama. Karena setelah SPG berkumpul, jam 6 sore semua harus sudah berangkat dengan leader masing-masing. Kamu bisa mulai hari Sabtu ini biar bisa training satu malam. Minggu depan kamu full seminggu. Kita coba sebulan ya Dijah," ujar Pak Heri tersenyum. Dijah kembali mengangguk.
Beres sudah pikir Dijah. Tiga lembar uang seratus ribu untuk beberapa jam bekerja terasa sangat banyak bagi Dijah. Meski kontrak awalnya baru sebulan penuh, Dijah sudah cukup bahagia karena dalam waktu sebulan ia bisa mendapatkan uang dengan jumlah yang tak pernah dilihatnya selama ini.
Maklum saja, mata Dijah sudah terlalu akrab dengan pecahan lima ribu rupiah.
********
Bara masih berdiri di sisi lapangan dan naik ke tembok pendek yang membingkai parit kecil yang mengelilingi sebuah lapangan.
Pria itu sedang membidikkan kameranya ke arah Dul yang sedang berkeliling lapangan menabuh drum mengalunkan lagu daerah Gundul Pacul sambil membentuk formasi barisan yang berubah-ubah.
Hebat juga para guru-guru TK itu pikir Bara. Menghadapi seorang bocah yang kritis seperti Dul saja, Bara agak sedikit kewalahan. Tapi guru-guru itu mampu melatih anak lima tahun yang menurutnya hanya bisa diam di saat tidur saja.
Setiap melakukan satu jepretannya ke arah Dul, Bara melihat layar kameranya. Foto Dul bagus sekali. Bara berencana akan mencetak dan memberikannya pada Dijah. Ibu anak laki-laki itu pasti senang.
Setelah berhasil menangkap momen-momen terbaik Dul, Bara merekam satunkahu terakhir yang dibawakan grup TK Dul. Masih dengan senyum simpulnya, Bara berniat mengirimkan video itu pada Dijah. Dan ketika mengingat ponsel Dijah yang diikat karet, Bara memberengut. Ia tak bisa langsung mengirimkannya.
Dan satu rencana baru muncul di kepala Bara untuk memberikan Dijah sebuah ponsel yang memang sudah sewajarnya dipakai di zaman ini.
"Kamu mau beli apa?" tanya Bara pada Dul ketika bocah laki-laki itu telah melepaskan seragam marching band-nya.
Mata Dul menatap berkeliling para pedagang kaki lima maupun stand-stand bazar yang menyebar di tempat itu.
"Kamu laper?" tanya Bara.
"Enggak, aku udah habiskan bekalku. Habis sampai tak bersisa. Kata ibu nggak boleh buang-buang makanan."
"Atau mau beli mainan?" tanya Bara.
"Aku nggak ada uang. Uang yang dikasi ibu kemarin masih sama mbah wedok. Harusnya dibawakan mbah lanang tadi," jawab Dul memandang Bara.
"Om cuma tanya kamu mau jajan nggak? Bukan uangnya." Bara menggandeng Dul menjauhi tenda menuju jajaran para pedagang.
"Memang boleh?"
"Ya boleh lah."
"Om ada uang?"
"Banyak," sahut Bara.
"Kalau gitu aku mau keong kelomang," ujar Dul.
"Di mana?"
"Itu!" Dul menunjuk seorang pedagang kaki lima incaran Dul.
"Oke, kita beli itu."
Setelah beberapa saat lamanya memilih, Dul akhirnya menenteng sebuah rumah-rumahan kecil dengan dua ekor keong berada di dalamnya.
"Guru kamu tadi bilang, udah bisa pulang sekarang. Kita balik aja? Atau masih mau di sini?"
"Aku mau pulang," jawab Dul cepat. Sepertinya anak laki-laki itu tak sabar ingin bermain bersama keongnya
"Oke, mari kita pulang." Bara menarik nafas lega. Tugasnya hari itu telah diselesaikannya dengan baik dan ia tak sabar ingin segera bertemu dengan Dijah.
Ingatan soal telepon dari Bayu tadi tiba-tiba melintas di kepalanya. "Aduh..." gumam Bara. Tampaknya ia harus bersabar untuk bisa menyatroni Dijah hari itu.
"Ayah Dul... Ayah Dul!" Suara seorang wanita membuat langkah Bara dan Dul terhenti.
"Ini ada cemilan tambahan, bawa pulang aja untuk Dul." Seorang wanita yang tadi membantu Dul memakai sapu tangan di bahunya menyerahkan sebungkus kecil makanan. "Ibunya Dijah pinter nyari bapak untuk Dul. Ganteng ih!" ujar wanita itu kemudian terkikik pergi.
Bara mengatupkan mulutnya berusaha menahan senyum.
"Dipuji ibu temenku, muka Om merah!" seru Dul tiba-tiba.
"Ah masa sih..." Bara meletakkan punggung tangannya bergantian di kedua pipinya.
"Kamu jangan bilang-bilang soal tadi sama ibu kamu ya," pinta Bara pada Dul.
"Memangnya kenapa? Om malu dicolekin ibu temenku?" tanya Dul dengan sorot mata benar-benar tak mengerti.
"Pokoknya jangan kamu bilang," sahut Bara kembali menggandeng tangan Dul berjalan menuju ke parkiran.
Setelah mengantarkan Dul kembali pulang ke rumah kakek neneknya dan membekali bocah itu dengan seplastik jajanan dari mini market, Bara langsung menuju ke kantornya.
Ternyata Heru, atasan Bara di kantor memintanya untuk menggantikan rekan kerjanya meliput berita sidang umum (sidang tahunan) MPR.
"Kok gue sih?" tanya Bara pada Heru.
"Lo yang punya ID Card khusus ngeliput sidang itu. ID Card lo di zona A, kemarin emang dibikin untuk jadi jurnalis cadangan kalo ada yang lain nggak bisa. Buruan berangkat. Banyak hal penting di sana." Heru mendorong bahu Bara agar segera pergi.
"Naik mobil kantor aja, itu Bayu udah di mobil!" seru Heru dari balik meja kerjanya.
"Ogah! Gue mau langsung balik kalo ada yang bisa gantiin. Gue boring lama-lama di sana, mending gue ikut Polisi nangkep penjahat."
"Lagi nguber siapa Lo? Gue bilangin ke Pak Wirya entar," seru Heru lagi.
"Bodo amat," sahut Bara kemudian menghilang di balik pintu.
Alasan Bara begitu terlihat santai dengan atasannya sederhana saja. Heru adalah kakak sepupunya. Dan kantor berita tempat di mana Bara bekerja adalah warisan milik kakek mereka.
Sebuah kantor berita yang dirintis pertama kali mencetak lembaran koran sampai kini berkembang menjadi sebuah media elektronik dan juga cetak tentunya.
Setibanya di gedung MPR, Bara memandangi ID Cardnya yang mencantumkan sebuah barcode dan keterangan Zona A tempat dari mana ia bisa meliput.
Zona itu adalah zona dekat podium tempat pimpinan MPR, Presiden dan Wakil Presiden serta pimpinan Lembaga lainnya.
Harusnya Bara senang karena tak perlu bersusah-susah meliput dari jauh seperti Zona D yang berada di lobby luar gedung Nusantara. Tapi hari itu, Bara ingin cepat menemui Dijah untuk melihat keadaan wanita itu setelah bersedih pagi tadi.
"Mana temen Lo? Udah deket belom? Udah mo malem ni," bisik Bara pada Bayu.
"Udah deket, entar Mas Bara bisa langsung keluar kasi ID Cardnya ke anak baru itu." Bayu masih mengamati tripodnya.
"Punggung gue sakit, pegel. Mual perut gue, mana AC-nya dingin banget." Bara terus mengomel memijat-mijat bahunya.
Bayu lalu membuka ponselnya, "udah di depan gih sana! Katanya mau ketemu Pangdam," ujar Bayu dengan wajah serius.
"Iya--iya. Mau ketemu Pangdam Jaya ini. Gue cabut dulu. Lo entar ati-ati pulangnya." Setelah berbasa-basi pada Bayu, Bara langsung terbang menuju parkiran dan segera pergi meninggalkan lokasi parkir gedung MPR menjelang malam itu.
Dalam perjalanan Bara sudah membayangkan bahwa Dijah mungkin sedang mengunci diri dan bersedih di dalam kamarnya.
Namun bayangan Bara sepertinya tidak terjadi malam itu. Dijah sedang duduk di kursi plastik dekat jendela kamar Tini bersama Asti dan Mak Robin sambil mendengarkan ocehan Tini yang setiap hari memakai pakaian seksi.
Dijah baru saja tertawa-tawa bersama teman-temannya.
"Kan udah aku bilang, nama Tini Montok di sana udah kondang," tukas Tini.
Bara menghentikan motornya di belakang Tini yang sedang berdiri menghadapi Dijah. Pangdam Jaya itu belum ada memandangnya, padahal dari kejauhan tadi Bara melihat jelas bagaimana Dijah yang mengawasi sejak ia melewati pagar kost-kostan itu.
"Kok bapak manager itu ramah banget sama aku. Apalagi waktu aku sebut nama kamu. Emang kenapa?" tanya Dijah pada Tini.
Bara membuka helm dan meletakkan helmnya di atas tangki, masih memandangi Dijah yang sepertinya malu untuk menyapa lebih dulu.
"Kok malah nanya kenapa--aku remas anunya dua kali," tukas Tini.
"Astaga..." ujar Bara terkejut sekaligus merasa ngilu.
Tini berbalik menghadap ke arah Bara. "Kok astaga... Kenapa? Mas mau diremas juga?"
"Eh..." Bara setengah memekik.
"Jah... Remas anu Mas-mu... Dia juga pasti suka," sahut Tini dengan wajah serius dan isyarat tangan menunjuk Bara dan Dijah bergantian.
"Ya ampuuun..." Bara membesarkan matanya menatap Tini yang meregangkan tubuhnya dengan santai setelah mengatakan hal itu.
Bara merasa wajahnya kembali memerah. Ia tak menyangka bagaimana Tini bisa menyuarakan isi hatinya segamblang itu.
Dijah yang ikut belingsatan dengan kalimat 'polos' Tini seperti biasa, terlihat mengubah letak duduknya menjadi lebih feminin.
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
dyul
org2 pinggiran nyata terpampang di kisah ini, di pinggirkan nasib, dipinggirkan keadaan😞
2025-02-27
0
dyul
bener2 kl deket si kunti jantung gak aman🤣🤣
2025-02-27
0
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Pangdam jaya ibu Khadijah 😁
2025-01-31
0