Like ya,
Selamat Membaca :*
************
Bara sedang merekam sebuah berita sederhana. Hanya tentang seorang anak 10 tahun yang kelaparan dan menjambret sebuah ponsel milik seorang ibu yang sedang berbelanja di pasar.
Anak itu sedikit terluka di kepala dan berdarah sedikit di ujung bibirnya. Beberapa orang di pasar membawanya ke Polsek setelah menamparnya beberapa kali.
Ponsel dikembalikan kepada pemiliknya dan anak tersebut mendapatkan wejangan dari seorang polisi tua yang duduk memberinya sebotol minuman ringan.
Bara mengamati sekujur tubuh kotor anak itu. Pakaiannya bersih dan tidak compang-camping. Artinya ia bukanlah gelandangan yang biasa tidur di kolong jembatan atau tepi ruko pada malam hari.
Setelah mendengarkan pengakuan dari anak tersebut yang mencuri hanya karena ingin punya ponsel seperti milik teman-temannya karena tak tahan diejek miskin, Bara mencampakkan alat perekamnya ke dalam ransel.
Ini bukan berita pikirnya. Kejahatan karena tekanan gaya hidup dan kelaparan sudah hal yang lumrah dan terlalu umum untuk diselipkan di sebuah sudut kolom surat kabar.
Sebagai wartawan baru, Bara merasa sedikit suntuk. Ia harus menjadi wartawan yang mengejar berita sekaligus seorang mahasiswa S2 yang sedang mengerjakan tesisnya di usia 28 tahun.
Dalam tesisnya ia mengangkat topik tentang kekerasan terhadap perempuan. Narasumbernya belum jelas siapa. Kemarin sudah bertemu dengan seorang calon narasumber tapi sepertinya agak susah didekati.
Langit nyaris gelap dan ia telah duduk di atas motornya membuka-buka ponsel. Melihat rentetan pesan dari grup chat maupun pribadi.
Ada pesan dari ayahnya yang bertanya jam berapa ia akan pulang nanti malam. Biasanya Ayah Bara, Pak Wirya menanyakan puteranya pasti karena ingin mengajak bermain catur. Orang tua Bara keduanya adalah seorang dosen. Adik perempuannya yang hanya terpaut dua tahun darinya sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Bara tinggal bersama kedua orangtuanya bagai seorang anak tunggal.
Nama Joana tertera paling atas di antara rentetan pesan itu. Ada 25 pesan yang belum terbaca. Bara bahkan tak menyadari sejak pukul berapa wanita itu mencarinya. Ia menyisir rambutnya dengan tangan dan mulai membuka pesan dari wanita yang sedang melakukan pendekatan padanya.
Bara menyadari bahwa Joana menaruh hati padanya dan beberapa waktu terakhir ini lebih gencar mengajaknya keluar. Joana adalah dosennya di kampus. Mereka seumuran, tapi Joana telah menamatkan pendidikannya lebih dulu di luar negeri.
Wanita cantik dan... kaya. Tak mungkin Bara tak suka padanya. Pria manapun pasti dengan mudah menyukai Joana yang supel dan gampang bergaul, berpendidikan, serta berasal dari keluarga terpandang dalam bidang pendidikan. Ayahnya adalah seorang rektor universitas tempat Bara menuntut ilmu.
Bara sudah lama tak berpacaran. Ia terlalu santai dalam urusan percintaan karena masih nyaman dengan kesendiriannya ke sana kemari. Tapi saat Joana mendekatinya, Bara tak kuasa menepis. Ia mulai sedikit menaruh hati pada perempuan yang gigih sering mengirimkan makan siang dan perhatian-perhatian kecil padanya.
'Entar malem kamu ke mana?'
'Aku jemput ke rumah terus kita makan yuk, gimana? Ga usah naik motor'
'Aku mau ngirim makan siang tapi kamu ga bales chat. Kamu lagi ngapain sih?'
'Bara...'
'Kamu ga ada nyariin aku ya'
Itu adalah beberapa pesan yang dikirimkan Joana pada Bara sejak pukul 11 siang tadi.
Malam Sabtu, tubuhnya letih dan terasa lengket karena seharian berada di jalanan. Rebahan di kasur atau menonton televisi bersama ayahnya terlihat lebih menggoda ketimbang berkeliaran di luar sana.
Bara kembali membuka ponselnya dan mengetikkan balasan untuk Joana.
'Aku lagi bareng ayah ni, ayah minta temenin ke suatu tempat. Kita besok-besok aja keluarnya. Ga apa-apa kan?'
Bara yang merasa belum perlu izin mau apa dan ke mana dari siapapun langsung mengantongi ponsel dan menyalakan motor besar berwarna merah miliknya.
Tapi masih beberapa meter keluar dari lahan parkir di sisi kiri Polsek, Bara melihat sosok Dijah sedang berjalan menggandeng seorang anak kecil.
"Kebetulan," gumam Bara sendirian. Ia cepat-cepat kembali mematikan mesin motornya dan memarkirkannya di tempat semula. Setelah mengantongi kuncinya Bara sedikit berlari keluar dari halaman Polsek untuk menyusuri jalan raya yang berdebu.
"Mau ke mana itu si Dijah," gumamnya lagi. Dijah terus berjalan melewati sebuah SPBU kemudian berbelok ke kiri.
"Ooohh..." ucap Bara kemudian saat melihat Dijah masuk ke sebuah outlet fast food burger dan ayam goreng. Dari luar kaca, Ia melihat Dijah sedang mengantri di depan sebuah kasir untuk membayar pesanannya.
DRRRRT
DRRRRT
Ponsel di kantong celananya bergetar. Dengan tatapan tak lepas dari Dijah, Bara buru-buru merogoh kantong.
Ternyata Joana.
"Halo?" sahut Bara.
"Bara, kamu di mana?" tanya Joana di seberang telepon.
"Aku lagi di luar."
"Di mana? Aku ke sana ya sekarang."
"Jangan, ada urusan penting nih. Aku tutup sekarang ya, entar aku telfon lagi." Bara tak sempat mendengar jawaban Joana karena ia perlahan berjalan ke dekat pintu kaca seraya memandang Dijah yang tengah menunduk menyobek kemasan saus.
Kenapa cuma beli sekotak saja, pikir Bara. Itu sudah waktu makan malam, tapi Dijah begitu romantis hanya duduk menemani anaknya makan.
Bara mendorong pintu kaca dan masuk ke dalam outlet ayam goreng dengan niat membeli dua paket dan ikut makan bersama Dijah dan anaknya.
Dalam beberapa menit kemudian Bara telah berdiri di dekat meja ibu dan anak itu dengan sebuah nampan penuh di tangannya.
Dijah tak menyadari kehadirannya di sana. Sekilas Bara mendengar percakapan Dijah yang sedang menenangkan hati anaknya. Bocah itu menagih sepasang sepatu.
Bara menelisik penampilan bocah laki-laki itu. Jika ia menemui bocah itu di simpang jalan, Bara pasti mengeluarkan recehan karena mengira anak manis itu pengemis.
Bocah itu pasti anak Dijah pikirnya. Wajahnya oval manis dengan mata tajam mirip ibunya. Bocah itu menyuapkan sepotong kecil ayam ke mulut ibunya. Dijah sangat berbeda saat sedang bersama anaknya, pikir Bara.
Bara kemudian melangkah mendekati meja dan meletakkan nampannya di depan Dijah.
"Ibunya Dul nggak ikut makan? Ayo makan sama-sama. Om juga hari ini lagi pengen makan ayam goreng."
Bara tersenyum memperlihatkan giginya dan mengerjapkan mata karena tatapan terkejut Dijah dan Dul.
"Ayo makan," ajak Bara menyodorkan nampan ke arah Dijah.
"Aku kenyang. Kamu ngapain di sini?" tanya Dijah curiga. Ia tak ingin Dul mengira yang bukan-bukan saat melihatnya dengan seorang laki-laki.
"Aku kebetulan dari Polsek sebelah, laper. Mau makan. Kamu ngira aku ngikutin kamu? Ada-ada aja," ujar Bara.
"Kayak nggak ada meja kosong lain aja," gumam Dijah.
"Memang nggak ada, kamu liat sendiri." Bara menoleh ke sekeliling meja mereka kemudian mengangkat bahu karena berhasil membuktikan ucapannya.
Dijah diam kemudian mencolek lengan Dul yang terpukau menatap Bara agar anaknya itu melanjutkan makan.
"Cepat makan, ibu mau kerja nanti terlambat." Dijah berkata pelan pada anaknya. Dul mengangguk kemudian melanjutkan makannya.
"Makan Jah." Bara kembali mengajak Dijah makan. Tangan wanita itu terlipat di atas meja. Sesekali ia membersihkan butiran nasi yang menempel di pipi anaknya karena makan terlalu tergesa.
"Aku kenyang," jawab Dijah lagi.
"Dul, ibu kamu nggak mau makan. Padahal om udah beli banyak biar bisa makan bareng-bareng. Kamu bilangin dong ke ibu kamu." Bara kembali tersenyum pada Dul.
"Ibu makan, kita nggak tiap hari bisa makan ini. Mubazir Bu kalau nggak dimakan. Ibu sering ngomong gitu." Dul berkata seraya mendongak wajah ibunya yang masih menatap kosong kertas nasi Dul yang nyaris habis.
Dijah mengangguk kemudian bangkit menuju wastefal yang terletak di bagian dalam restoran.
"Tos! Dul pinter," ujar Bara mengangkat tangan kiri ke arah Dul yang menyambut tangannya.
Dijah memang lapar. Di rumahnya hanya tersisa semangkuk nasi putih dingin karena pagi tadi ia melepaskan colokan penanak nasi untuk menghemat listrik. Biasanya sebelum pergi kerja ia kembali mendadar sebutir telur untuk bertahan hingga pukul satu dini hari di cafe.
"Aku juga jarang makan beginian Jah, mahal. Mending aku makan di rumah. Jadi jangan sampe kamu nolak, mubazir kayak kata Dul." Bara mulai membuka kertas nasi dan makan dengan santai.
Sebisa mungkin Bara membuat Dijah merasa nyaman dengan kehadirannya di sana. Sekali lagi, Bara merasa Dijah kelihatan berbeda saat sedang bersama anaknya. Wanita itu terlihat lebih... beradab.
Jiwa keibuan Dijah yang meski tidak lemah lembut, tapi terdengar hangat. Bara bisa merasakan kalau Dijah sangat menyayangi anaknya itu. Terbukti dari Dijah yang rela melacurkan dirinya demi memberi nafkah pada Dul. Ah, kasihan Dul pikirnya. Bocah itu tak tahu kalau ibunya harus menjual diri hanya demi sepasang sepatunya.
Hampir sejam berada di restoran ayam goreng itu, setelah mengucapkan terimakasih atas sepaket ayam goreng yang dimakannya, Dijah pamit pada Bara dan cepat-cepat menggandeng anaknya itu kembali menuju rumah orangtuanya.
Secepat kilat juga Bara kembali ke Polsek untuk mengambil motornya. Ia bertekad untuk mem-booking jasa Dijah selama seminggu ini. Kalau hanya semalam cuma 50 ribu rupiah, sebulan pun ia masih sanggup pikir Bara.
Bara sengaja menyalakan motornya di sisi gang agar ia tak kecolongan jika Dijah tiba-tiba menyetop angkutan kota.
Dijah berjalan santai keluar dari gang. Sebuah jeans kusam dan kaos oblong berwarna hitam membuat Dijah tampak seperti seorang wanita single tanpa anak. Dari kejauhan Bara memandangi wanita itu. Dijah bersih pikirnya.
Walaupun pagi hari memulung sampah, tapi penampilan Dijah jauh dari kesan seorang pemulung. Dijah hanya kusam. Sandal karetnya yang berupa sandal KW bermerek pasti hanya seharga 25 ribu saja di pasar.
"Jah, aku anter yuk." Bara kembali melontarkan senyum serupa seperti di restoran ayam goreng tadi.
"Ngapain situ masih ngikutin aku?" sergah Dijah.
"Astaga..." gumam Bara memegang dadanya. Dijah tanpa Dul kembali menjadi singa pikirnya.
"Aku mau pulang, mau kerja."
"Jah, tunggu." Bara melajukan motornya pelan menjajari langkah wanita itu.
"Apa?" tanya Dijah sedikit frustasi. "Aku nggak sempet untuk main-main. Aku mau kerja, aku perlu uang." Dijah memberanikan dirinya memandang langsung wajah Bara.
Kemeja flanel kotak-kotak hitam yang terlihat mahal, kaos oblong putih, motor besar mahal, ransel bermerk, sepasang sneakers bergaris tiga yang pasti asli menempeli tubuh laki-laki itu.
Entah apa mau laki-laki di depannya ini, pikir Dijah. Ia minder. Tatapan Bara seperti menelanjanginya. Dijah sedikit menggeser letak kakinya saat Bara memandang ke bawah. Ia sadar sandalnya sangat lusuh.
"Ketimbang kamu kerja semaleman 50 ribu, gimana kalo aku aja yang nyewa jasa kamu? Seminggu? Cuma sampe jam 10 malem aja. Setelah aku pulang kerja, kamu nemenin aku. Ngobrol-ngobrol bantu kerjaan aku. Gimana?" tanya Bara berharap kalau Dijah menyanggupinya.
"Kerjanya di mana?" tanya Dijah mulai tertarik.
"Di mana aja. Aku bisa ke rumah kamu. Gimana?" tanya Bara lagi. Dalam pikirannya tentu sudah biasa jika para PSK itu menerima tamu di kos-kosan mereka.
"Boleh. Yang penting situ jangan terlalu rewel banyak mintanya. Jangan macem-macem pokoknya." Dijah melemparkan tatapan tajam.
"Aku biasa-biasa aja," jawab Bara cepat tapi hatinya penuh tanya. Seorang tamu yang macam-macam itu yang bagaimana? Bercinta dengan gaya macam-macam atau seperti yang pernah Dijah katakan padanya soal mantan suami yang mau menyo*dominya?
"Ada syaratnya juga, boleh?" tanya Bara lagi hati-hati.
"Apa? Kalau syarat dari situ sulit aku emoh."
"Ga sulit. Umur kamu berapa?" tanya Bara.
"23."
"Kalo gitu panggil aku Mas Bara," pinta Bara tersenyum.
"Emoh. Bara aja. Kalau ngomongnya udah selesai, aku pergi sekarang," kesal Dijah karena merasa Bara terlalu banyak permintaan.
"Dijah!" seru Bara spontan. Dijah menolehnya sedikit terkejut.
"Aku anter pulang ya, kerjanya mulai malem ini." Bara menepuk boncengan motor besarnya yang tinggi. Pria itu langsung memakai helm fullface-nya dan menguatkan tungkai kaki menunggu Dijah menginjak sadel boncengan.
Sesaat Dijah memandang motor besar Bara yang terlihat mahal. Kemudian ia berjalan mendekati boncengan dan berhasil naik tanpa menyentuh pria itu sedikit pun.
"Ya udah, jalan" tukas Dijah menepuk pundak Bara.
"Pegangan Jah, entar pinggang kamu sakit kalau maksa duduk tegak gitu. Kamu harus ngikutin condongnya badan aku ke depan." Bara mulai melajukan motornya pelan.
"Meluk situ sambil nempelin dadaku? Ya enak situ dapetnya empuk-empuk. Dasar laki-laki di mana-mana sama aja. Kalau nggak tegang nggak senang." Dijah mengomeli Bara sambil berpegangan pada tepi jok belakang.
"Ya ga gitu juga maksudnya Dijah..." ujar Bara heran. Aneh betul pikirnya. PSK tapi masih perhitungan hanya soal menempelkan dadanya saja. Jadi tarif 50 ribu itu layanannya cuma untuk masuk saja?
Bara berdecak pelan kemudian melajukan motornya berhati-hati untuk menjaga keseimbangan. Bara sekarang seperti membawa sebuah patung yang terikat kaku di pojok boncengan motornya. Dijah tak memperlakukannya seperti seorang pelanggan.
To Be Continued.....
Jangan lupa dilike ya...
Likemu, bahagiaku :*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
jumirah slavina
wwuuiiihhh....
udah tau aja nih nama calon Anak...
2025-02-02
2
dyul
hahaha.... 50 ribu... punten.....
sampurasun.... 50 ribu lagi, ngakak😝
2025-02-26
0
Nita Ria Nita
astaga pikiran mu mas bara😁
2024-10-30
1