Mohon ikhlaskan satu vote tiap hari Senin :D
Doakan agar penulis baru seperti kami, bisa memiliki kesempatan agar karyanya dibaca lebih banyak orang dan tak tertutup di bawah nama penulis hebat lainnya.
Dukungan kalian adalah semangat untuk kami.
Sayang kalian semua :*
*************
"Kamu mau pindah kost-kostan?" tanya Bara.
"Memangnya di sana kenapa?" tanya Dijah lagi.
"Ya nggak apa-apa, aku cariin yang lebih bagus dan nyaman untuk sementara ini."
"Enggak ah, itu salah satu tempat tinggalku paling lama. Mak Robin, Tini dan Asti udah kayak saudara. Meski tempatnya begitu aku betah."
"Biar kamu nyaman," ujar Bara.
"Enggak usah, lagian siapa yang bayar..." gumam Dijah.
"Aku Jah, makanya aku yang mau nyariin untuk kamu."
"Kalau kamu masih deket aku, kalau nggak aku harus pindah lagi cari kos yang murah," tukas Dijah.
"Kamu kok gitu sih?" tanya Bara sedikit tersinggung.
"Aku nggak mau muluk-muluk. Orang kayak aku nggak bisa berharap banyak-banyak."
"Orang kayak kamu gimana maksudnya?"
"Enggak apa-apa, ya udah. Aku nyari barang bekas dulu. Mbok Jum udah nunggu." Dijah meletakkan helm yang sejak tadi dipegangnya.
"Nggak usah mulung lagi," pinta Bara. "Aku belum bisa janji apa-apa sekarang. Tapi aku mampu gantiin pendapatan kamu dan ngasi jajan Dul."
"Aku dan anakku bukan tanggungjawab kamu," sahut Dijah. Jawaban Dijah terasa bagai sebuah tamparan untuknya. Sedikit mengusik harga dirinya, tapi juga terasa benar di telinga.
Bara menarik nafas panjang. Apalagi yang bisa dikatakannya pada Dijah sekarang? Dia saja belum membereskan urusannya. Kuliahnya belum selesai dan karirnya belum terasa lebih mantap.
Membawa Dijah untuk dibawa ke rumah bukan hal yang ditakutkannya membuat orangtuanya marah, tapi lebih ke rasa malu karena belum menyelesaikan tanggungjawab soal pendidikannya.
Bagi orangtuanya, pendidikan adalah nomor satu. Tak mengherankan karena mengingat bahwa kedua orangtuanya berasal dari dunia pendidikan.
"Aku kasihan dengan Mbok Jum, dia nggak ada temen kalo aku nggak dateng." Dijah menoleh pada Mbok Jum yang telah duduk di depan pondoknya.
"Kapan mulai kerja jadi SPG rokok itu?" tanya Bara kemudian.
"Jumat malam," jawab Dijah.
"Tiga malem seminggu?"
"Iya, awalnya sebulan dulu."
"Aku juga nggak suka. Mau malem mingguan juga udah kemaleman," ujar Bara.
"Maaf, tapi aku cari makan untuk anakku." Dijah tersenyum kecut. Bara hanya mampu memandang wajah Dijah yang berkilau di bawah matahari pagi. Ia tak mampu menjawab perkataan wanita itu.
"Minta nomor hape kamu." Bara merogoh kantongnya dan menyerahkan ponselnya pada Dijah. Dijah langsung mengambil ponsel itu sedikit tergesa karena matahari dirasanya sudah semakin tinggi. Memulung di bawah terik matahari akan cepat melelahkan dan membuat kulitnya terbakar.
Saat hendak mengetikkan nomor, ponsel Bara bergetar di telapak tangannya. Nama 'Joana Dosen' memenuhi layar.
"Ada telfon," ujar Dijah menyodorkan ponsel itu pada Bara.
"Tolak aja, cepet masukkan nomor hape kamu." Bara berbicara dari balik helmnya.
"Gimana?" tanya Dijah yang tak mengerti cara menolak panggilan itu. Bara menggambil ponsel itu dari tangan Dijah dan langsung menggeser icon telepon masuk ke arah berlawanan.
"Udah nih, cepet. Itu jadi SPG di mana lokasinya?" tanya Bara.
"Kata Tini kemarin di kampus Politeknik Negeri," sahut Dijah sambil memasukkan nomor ponselnya kemudian mengembalikannya pada pria itu.
"Kampus Poltek pula..." gumam Bara.
"Kenapa emangnya?" tanya Dijah menyipitkan mata karena silau.
"Nggak apa-apa--Jah!" Bara menarik tangan Dijah dan mencium bibir wanita itu sekilas.
PLAKK
"Aduh!"
"Diliat Mbok Jum," tukas Dijah menoleh ke arah Mbok Jum yang masih mengawasinya.
"Selesainya jam berapa? Kerjanya?" tanya Bara lagi.
"Belum juga berangkat, masih besok."
"Ya siapa tau aku pengen masuk angin lagi," sahut Bara terkekeh.
PLAKK
"Aduh!"
"Udah ah, aku pergi." Dijah meletakkan helmnya di pangkuan Bara kemudian berbalik menjauhi laki-laki itu.
"Jah!" panggil Bara. Dijah yang dipanggil menoleh ke belakang.
"Apa?" sahutnya menghentikan langkah.
"Kita udah pacaran kan?" tanya Bara. Dijah tak menjawab. Ia hanya mencibir kemudian melanjutkan langkahnya.
"Jah!" panggil Bara lagi. Dijah sudah tiba di dekat Mbok Jum.
"Apa sih?" seru Dijah dari kejauhan.
"Kita udah pacaran kan???" teriak Bara. Mbok Jum tertawa melihat Bara yang dengan noraknya meletakkan kedua tangannya di mulut dan meneriakkan hal konyol dari jauh.
"Jawab Jaaaahhh" teriak Bara lagi.
Dijah duduk di dekat Mbok Jum masih memandang pria tampan yang belum mau pergi itu.
"Kita sekarang udah pacaran kaaaann???!!" Bara kembali berteriak dari atas motornya.
Beberapa pemulung melihat ke arah sepeda motor besar berwarna merah yang terparkir mencolok di lokasi pembuangan sampah yang mengeluarkan bau komplit seisi dunia.
"Jawab Jah! Nanti dia seharian nungguin kita. Aku risih, dia terlalu berkilau di antara kita yang gembel ini." Mbok terkekeh. "Cepat jawab! Nggak rugi juga. Guanteng!"
Dijah masih meringis dan menyipitkan mata memandang Bara.
"Jaaahhh... Kita sek--"
"Iya...!! Sekarang kita pacaran!!" teriak Dijah membalas perkataan Bara. Bara kemudian menjawab dengan mengacungkan jempolnya dan langsung mengenakan helm. Pria itu berlalu dari tempat pembuangan sampah sambil melambaikan tangannya.
"Udah pergi Mbok," ujar Dijah.
"Sebelum kamu jawab, laki-laki kayak gitu nggak akan pergi. Keras kepala," ujar Mbok Jum.
"Iya, memang. Keras kepala." Dijah mengangguk.
"Sama kayak kamu sebenarnya. Kalau sama-sama harus ada yang mengalah. Kemauan kamu juga sama kerasnya. Kalau sudah pacaran sama dia, harus bisa membawa diri. Itu kalau kamu mau langgeng," ujar Mbok Jum.
"Langgeng. Langgeng sampe mana Mbok? Aku nggak ada mikir yang aneh-aneh," tukas Dijah.
"Mikir mau kawin lagi itu bukan hal yang aneh Jah." Mbok Jum menatap wajah Dijah yang seketika terdiam mendengar perkataannya.
*******
Pukul tiga sore di hari Jumat, Tini sudah heboh dengan sekotak make up-nya duduk di sebuah kursi plastik di depan pintu kamarnya. Ia tengah mematut-matut wajah Dijah untuk diberikannya sentuhan make up dalam rangka hari pertama temannya bekerja.
Di bawah tatapan mata Asti dan Mak Robin, Dijah sedang memejamkan mata saat Tini mengoleskan beberapa tetes primer ke kulit wajahnya.
"Si Dijah udah cantik, jangan tebal-tebal kali kau buat kayak make up kau dinas malam ya Tini." Mak Robin berbicara dari kursi plastiknya.
"Berisik!" balas Tini.
"Mbak Tini lipstiknya banyak banget, aku minta satu ya..." ujar Asti yang sedang mengaduk-aduk kotak make up Tini.
"Nggak boleh. Aku belinya pake acara ngangkang dulu itu."
"Mbak Tini pelit ih!" ujar Asti. "Orang pelit kuburannya sempit," sambung Asti lagi.
"Nggak apa-apa. Nanti kalo kuburanku luas, orang pada mau numpang juga. Di dalem kuburan aku nggak mau pusing-pusing. Kamu aja kalo ngomong kayak gitu. Mau masuk surga tapi disuruh berangkat sekarang juga nggak mau! Lagakmu!" ujar Tini yang sekarang menotolkan foundation ke wajah Dijah.
Asti yang mendengar perkataan Tini terkekeh-kekeh dengan ekspresi lugunya.
"Mbak Dijah pasti cantik banget, bisa jual rokok banyak nanti malem," ucap Asti kemudian.
"Cowok kau mana? Biasa tiap hari datang..." tanya Mak Robin pada Asti.
"Nggak tau ni Mak... Dichat jawabannya oke terus. Ditanya apa, jawabannya oke. Pusing aku," sahut Asti memberengut.
"Bah! Udah kayak RCTI kau dibuatnya!" seru Mak Robin.
"Padahal udah lama, pengennya serius dan langsung nikah. Tapi kayaknya tiap ditanya jawabannya ngambang terus."
"Aku heran liat orang kok pengennya nikah. Aku sih pengennya kaya," ucap Tini datar.
"Jangan kau samakan semua otak orang kayak otak kau itu," jawab Mak Robin.
Tini berhenti sejenak dari kegiatannya yang sedang menepukkan bedak ke wajah Dijah untuk tertawa terbahak-bahak.
"Ditanya aja As, mau pacarmu apa. Jangan buang-buang waktu. Mumpung kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang." Dijah yang sedang melankolis karena ajakan pacaran dari Bara kemarin, menyahuti Asti dengan bijaksana.
"Tapi aku nggak enak kalo nanya langsung. Aku jaga perasaannya," tukas Asti lagi.
"Udah kayak satpam aja kau Asti. Sibuk menjaga perasaan orang."
"Tau nih Asti. Kadang-kadang gobloknya unlimited 24 jam," potong Tini. Asti yang mendengar perkataan Mak Robin dan Tini hanya meringis dan memukul paha Tini dengan sebuah kuas.
Tak lama kemudian Tini telah menyemprotkan setting spray ke wajah Dijah pertanda kegiatannya telah berakhir.
"Liat aku Mba Dijah!" seru Asti dari kursinya. Dijah lalu menoleh pada mahasiswi muda itu.
"Cantik banget..." ujar Asti.
"Amang Oiii... Cantik kali kau Dijah! Pening la kepala si Bara nengok kau nanti. Tengah malem pasti masuk angin lagi dia!" seru Mak Robin tertawa.
"Tini gitu looooh... Kalo kamu begini tiap hari, Mas-mu dijamin angkat koper pindah ke sini Jah!" Tini melipat tangannya di depan dada seraya memandang Dijah dengan wajah puas.
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
jumirah slavina
tiga kata sakti Bara'Bere
1. Aduh
2. Astaga
3. Ya ampun
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2025-02-02
2
dyul
gak dandan aja betah, apalagi dandan
2025-02-27
0
dyul
ada yg ketagihan minyak anying🤭
2025-02-27
0