Jangan lupa di-like.
Selamat Membaca XD
************
"Harus jadi SPG ya Jah?" tanya Bara.
"Iya," jawab Dijah.
"Berapa lama?" tanya Bara.
"Belum tau, kan besok wawancaranya. Kalau diterima kerjanya mulai Minggu depan," tukas Dijah.
"Kalo nggak diterima?"
"Aku kerja di cafe dulu sementara waktu." Dijah menunduk kembali memandangi ponsel bututnya.
"Kan aku masih perlu ke kamu, masih banyak yang harus aku tanya-tanya."
"Masih ada waktu sampai akhir Minggu kan? Masak sampe akhir Minggu juga nggak selesai-selesai yang mau ditanya," ujar Dijah.
Iya juga sih, pikir Bara. Masa satu Minggu dia tak bisa menyelesaikan wawancaranya dengan Dijah. Bahan tesisnya saja sudah mau selesai sebenarnya. Kemarin ia sudah kembali memasukkan bab baru ke dosennya. Joana mempermudah proses tesisnya itu di kampus.
Tesis saja sepertinya tak cukup jika ia terus-menerus menggunakannya sebagai alasan.
Bara bingung hendak mengatakan apa lagi pada Dijah. Mau melarang pun rasanya dia belum berhak. Atas dasar apa pula pikirnya. Dijah sedikit banyak sama sepertinya, bebas. Tak ada yang bisa melarangnya. Jika melarang, harus ada alasan tepat.
Malam itu Bara pulang dengan hati senang dan kedinginan. Jaket yang masih bersih dan baru dipakainya tadi, terpaksa ditinggalkannya untuk dicuci Dijah sebagai alasan.
Bara tersenyum, Dijah mau dengannya. Masih dengan senyum yang tersungging di balik helmnya, Bara mengepalkan, mengangkat dan memandang tangan kanannya sekilas.
Tangan kanan yang tadi sempat menyentuh sedikit dada Dijah langsung. Bayangan romantisme erotis bersama Dijah tak bisa dihindari diam-diam masuk dan meracuni otak perjakanya.
Tapi ada sedikit ganjalan tentang Dijah yang dibayangkannya akan memakai rok mini ketat dengan stocking yang membalut kakinya. Bara tak suka sekaligus penasaran dengan penampilan Dijah nantinya. Bagaimana rupa Dijah sebagai SPG rokok yang selalu melekat dengan imej seksi.
************
Tini keluar dari kamarnya setelah tangan Dijah terasa sakit karena mengetuk pintu kamar itu hingga nyaris rubuh.
Tini masih menguap bersandar di bingkai pintu, dengan sebuah tank top dan sebuah sarung yang diikat asal. Rambut merahnya mengembang seperti singa. Dijah membayangkan Tini sekarang memang mirip seekor singa yang baru keluar kandang.
"Tin, alamat kantornya di mana? Aku berangkat sendiri aja deh. Ketemu sama siapa di sana?" tanya Dijah yang pagi itu memakai rok hitam selutut dan kemeja putih yang terselip rapi ke dalam roknya.
Itu adalah seragam melamar satu-satunya milik Dijah. Setiap kali akan berpindah perusahaan, Dijah kembali mengeluarkan seragam itu untuk dikenakan.
Rambut Dijah digerai dan tersisir rapi. Wajahnya tertutup bedak sewarna kulit dan bibirnya dipoles lipstik merah jambu tipis. Sepasang sepatu hitam dengan tinggi 5 senti membungkus kakinya.
Tini mengamati Dijah dari atas ke bawah.
"Kamu kayak mau ngelamar jadi pegawai rumah makan," tukas Tini.
"Masak sih? Aku nggak ada baju lain, adanya ini. Ya udah nggak apa-apa. Kalau keterima kan mereka pasti ngasi seragam. Ya udah buruan, aku harus ketemu siapa? Aku mau ngeliat Dul ke rumah, dari pagi hape bapakku ditelfon nggak ada jawaban. Dul hari ini pentas seni." Dijah bertanya tak sabar pada Tini.
"Ya udah, ke sana langsung. Ketemu Pak Heri. Bilang aja kamu temennya Tini Montok. Semua orang pasti tau. Paling lama nyampe sana jam 9 ya Jah. Jam 10 mereka biasanya meeting masuk ke ruangan. Nanti kamu terpaksa nunggu lama ke jam makan siang. Lagian baru mau wawancara, baiknya jangan telat," tukas Tini. Dijah mengernyit.
"Memang itu panggilan kamu di sana?" tanya Dijah ragu. Dia khawatir kalau bertanya soal Tini dengan mencantumkan kata montok malah akan mempersulitnya.
"Ya iya! Kamu kira aku keterima kerja karena aku pinter? Ya enggak Jah! Karena aku montok." Tini tertawa terbahak-bahak.
Dijah buru-buru berjalan ke depan gang dan menyetop angkutan untuk langsung menuju rumah orang tuanya. Sudah hampir pukul 8 pagi, harusnya Dul dan bapaknya sudah berangkat ke TK bocah laki-laki itu.
Tadinya Dijah sedikit bersantai saat masak dan mandi. Tapi saat berkali-kali menelepon bapaknya tak ada sahutan, Dijah menjadi sedikit khawatir. Aroma ringan dan segar splash cologne yang dikenakannya tadi sekarang sedikit hilang karena himpitan tubuh sesama penumpang di angkot.
25 menit kemudian Dijah tiba di seberang Polsek dan buru-buru menyeberangi jalan raya. Langkahnya terburu-buru dan sedikit tersandung karena rok yang sempit dan tinggi sepatu yang tak biasa ia kenakan.
Sampai di depan rumahnya, hatinya terasa mencelos. Dul duduk di atas sebuah batu masih lengkap dengan seragam dan tas beserta tempat bekal di luar pagar rumahnya.
Dari dalam rumah terdengar suara ibunya yang sedang mengomel.
"Kamu kok masih di sini? Nggak jadi berangkat? Kenapa?" Dijah berjongkok di dekat kaki anaknya.
"Mbah lanang terlambat bangun pagi. Itu masih dibanguni mbah wedok. Dari tadi aku udah siap mandi dan pake baju. Mbak lanang pulang hampir pagi dari warung, dibanguni katanya nanti-nanti terus. Aku terlambat Bu, teman-temanku pasti sudah berangkat naik bus." Dul menunduk memandang kotak nasi yang berada di pangkuannya. Air mata anak laki-laki itu jatuh ke atas tempat nasinya.
"Ya ampun, mau kayak mana lagi hidupku dibuat bapakku sendiri." Dijah bangkit dan mendorong pagar kayu.
"Pak...!" panggil Dijah. Hatinya terasa seperti ditusuk melihat anaknya yang tak dipedulikan di rumah orangtuanya sendiri.
Belum sampai di depan pintu rumahnya, bapak Dijah yang dipanggil muncul.
"Kok kayak gini sih Pak? Aku udah pesan minta tolong anterkan anakku. Jarang-jarang aku minta tolong ke bapak. Bapak nggak kasian liat dia udah bangun dari pagi mau ikut acara sekolahannya? Aku mau wawancara kerjaan baru untuk nyari makan anakku. Aku nggak pernah minta sama bapak. Aku nggak minta bantuan uang, aku bisa cari sendiri. Cuma minta tolong rawat anakku kalau aku nggak ada. Dul itu ada karena bapak juga. Bapak nggak kasian?" Dijah masih berdiri di depan pintu menghadapi bapaknya yang memasang wajah linglung.
"Aku ketiduran Jah," jawab bapaknya enteng.
"Ketiduran karena pulang dari warung hampir pagi. Hidup bapak mau kayak gimana? Hidupku udah kayak gini Pak. Harusnya anakku jangan kayak aku juga. Anter dia ke sekolah aja, aku yang cari biayanya. Aku nggak apa-apa capek, panas-panasan, aku nggak punya apa-apa. Nggak apa-apa. Semua untuk Dul."
"Yah sekarang jadi kayak mana?" Bapak Dijah balik bertanya.
Dijah menghentakkan kakinya, air matanya mulai menetes karena rasa kesal dan sakit hati dengan sikap orang tuanya sendiri yang dinilainya sepele terhadap hidup anaknya.
"Ya kayak gimana, aku mau pergi wawancara. Aduh Pak, capeknya aku. Bapak nggak tau aku capek kayak mana." Dijah terisak. Air mata telah menghapus bedaknya sebagian. Ia menunduk mengelap wajahnya berkali-kali sampai tak menyadari sejak tadi seorang pria duduk di atas motor besar menunggunya selesai bicara.
"Jah!" panggil Bara. "Maaf ikut nyela, khawatir Dul makin terlambat. Acaranya di mana? Aku aja yang anter Dul."
Dijah menoleh ke belakang dan mendapati Dul sedang naik ke atas boncengan motor Bara.
"Eh? Nanti gimana kalau..." Dijah memandang bapaknya dan Bara bergantian.
"Udah?" tanya Bara pada Dul. "Di mana acaranya?" tanya pria itu lagi pada Dul.
"Di taman wisata Om," jawab Dul.
"Ya udah, kita langsung ke sana. Jah kamu pergi ke kantor itu sendiri ya. Permisi Pak..." ucap Bara kemudian memutar motornya dan berlalu meninggalkan Dijah yang masih terperangah.
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
Andri Yani
pengen bantu nyekik sm ngracun bapak dijah biar koit gk jd beban 😡😡😡😡😡
2025-03-13
0
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Ya Allah ..
bapaknya Dijah keterlaluan 😭😭😭😭
2025-01-31
0
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
banyakin istighfar punya bapak kek gini
2025-01-31
0