Like dulu,
baru membaca kemudian XD.
By the way, part ini sedikit tidak aman jika dibaca sebelum berbuka puasa.
************
"Jah... Aku mau cerita, tapi kamu jangan marah ya." Bara mengusap punggung Dijah yang masih dipeluknya erat.
"Hmmm" jawab Dijah dalam gumaman.
"Sebenernya aku nggak nge-kost. Aku tinggal dengan orangtuaku. Masih lengkap. Dua-duanya dosen di universitas yang berbeda. Aku punya adik perempuan yang udah nikah, anaknya dua. Jadi kalo bisa dibilang, aku ini sekarang anak tunggal di rumah."
Dijah bangkit dan duduk menatap Bara.
"Pulang, nanti orangtuamu nyariin. Aku nggak mau disalahkan orang lagi. Keadaanku aja udah cukup sulit sebenarnya." Dijah memalingkan tubuhnya menghadap dinding.
"Aku dah gede lo Jah, udah dewasa. Siapa yang nyalahin kamu? Semua tindakanku ya itu tanggung jawab aku. Bukan orang lain," ujar Bara pelan.
Dijah hanya diam masih memandang dinding abu-abu yang digantungi kalender bergambar artis tempo dulu yang rambutnya disasak tinggi disemprot Barbara.
"Banyak yang harus aku khawatirkan. Hidupku juga nggak mudah. Aku nggak mau nyeret-nyeret kamu."
"Panggil aku Mas Jah..."
"Aku nggak bisa. Aku belum bisa," potong Dijah cepat.
"Oke--oke. Aku nggak maksa. Maaf." Bara duduk di ranjang dan meraih bahu Dijah untuk menghadap ke arahnya.
"Aku suka kamu Jah, awalnya memang sebagai narasumberku bikin tesis. Tapi aku memang suka kamu." Bara memandang Dijah yang kini menunduk menatap jemarinya.
"Kamu cuma kasian. Sekarang kamu masih bingung dengan apa yang kamu rasain," ujar Dijah. "Kayak aku yang bingung dengan sikap kamu. Harusnya kamu tau kalau perempuan itu tetap selalu lemah dalam hal perasaan. Harusnya aku juga nggak ngeladeni kamu karena aku nggak punya waktu untuk yang gini-gini." Dijah memberanikan dirinya menatap Bara.
"Kalo aku cuma mau enak-enak sama kamu, di luar sana masih banyak perempuan yang mau aku deketin dengan mudah. Nggak mesti kamu."
"Ya makanya, kenapa aku?"
"Karena aku suka kamu, aku suka dengan Dul. Jangan bilang aku cuma kasian, yang tau perasaanku ya cuma aku Jah," tukas Bara sedikit tersinggung dengan kata-kata pesimis yang dilontarkan Dijah seolah dirinya tak patut disukai oleh seseorang.
"Kamu cuma kasian, belum bisa bedainnya."
"Enggak," jawab Bara cepat.
"Harusnya kalau masuk angin kamu pulang ke rumah, bukannya malah ke sini."
"Jadi kamu nyesel ngerokin aku tadi?"
"Ya nggak," jawab Dijah.
"Trus ngomongnya kok kayak gitu? Aku kan ke sini mau ketemu kamu. Masak kamu nggak ngerti," ujar Bara.
"Tapi kamu nggak baik kalau nginep di sini," sahut Dijah lagi.
"Kamu nyuruh aku pulang? Aku nggak boleh di sini?"
"Nanti ibu kamu nanya, kamu dari mana? Terus kamu jawab apa? Nginep di rumah Dijah, yang janda itu. Gitu?" sergah Dijah.
"Nggak ada hubungannya dengan status janda itu Dijah. Nggak ada bedanya. Sama aja."
"Tetep beda," sahut Dijah kembali memalingkan wajahnya.
"Sama."
"Beda."
"Aku yang rasa, mau aku buktiiin? Sekarang? Kamu mau?" tanya Bara kembali meraup wajah Dijah dengan kedua tangannya.
"Mau? Boleh?" Bara mengulang pertanyaannya. Dijah terdiam menatap Bara yang menusuknya dengan pandangan.
Kemudian terdengar lagi ketukan di pintu kamar sebelah. Sepertinya Tini kedatangan tamu. Bara dan Dijah terdiam.
"Maasss... Aku kangen. Kok lama?" Suara Tini tak lama kemudian terdengar menyambut tamunya. Ternyata malam itu pacar Tini kembali menyambangi.
"Kayaknya aku emang nggak bisa tidur," ujar Bara pelan.
"Makanya kamu pulang, udah malem. Aku ngantuk. Aku mau ganti baju, mau tidur." Dijah bangkit dan Bara dengan cepat menahan tangan wanita itu.
"Aku nggak mau pulang Jah, malem ini aku mau di sini. Kamu kalo mau ganti baju, ganti aja. Aku nggak bakal ngeliat." Bara kemudian kembali merebahkan tubuhnya di ranjang.
"Memutuskan sesuatu itu memang mudah, tapi menjalaninya itu perkara yang beda. Kamu jangan gegabah, hidupmu terlalu baik." Dijah kemudian berjalan ke sudut kamar mengangkat kaos yang digunakannya hingga lolos melewati kepala dan menjatuhkan kaos itu di kakinya.
Bara tak lepas memandang garis punggung Dijah yang melengkung indah dan berakhir di balik celana jeans. Dijah kemudian membuka pintu lemarinya. Bara melipat kedua tangannya di bawah kepala untuk bisa melihat Dijah dengan jelas.
Dada dijah terlihat penuh dan menantang di balik bra-nya. Wanita ini sebentar lagi bisa membunuhnya pikir Bara. Ini bukan salah Dijah, jelas-jelas wanita ini telah memintanya pulang.
Bara melihat Dijah mengambil sebuah pakaian berwarna kuning polos dan mulai mengalungkannya melewati kepala. Mungkin itu daster pikir Bara menebak-nebak. Setelah pakaian itu terjulur sampai ke bawah lututnya, Dijah melepaskan jeans yang sejak tadi dipakainya.
Tatapan Bara sudah turun mengawasi tungkai kaki Dijah yang ternyata terlihat panjang dan langsing. Angan erotis Bara langsung membayangkan bagaimana rasanya jika ia merentangkan sepasang kaki itu di depannya.
"Aduh," gumam Bara pelan kemudian berguling menutup wajahnya dengan guling. Bara merasa Dijah sedang berusaha mengusirnya dengan menyiksanya terlebih dahulu.
Mata perjaka Bara kini benar-benar sudah teracuni dengan hal sederhana yang biasa bisa di dapatkannya di daerah pantai.
"Hei! awas... Aku mau tidur," ujar Dijah mencolek punggung Bara. "Pulang kamu sana!" pinta Dijah.
"Aku nggak mau..."
"Udah ah, serius. Aku mau tidur." Dijah kembali menepuk bahu Bara dengan sedikit tak sabar.
"Mas buka juga, cepet! Aku udah telanjang dari tadi, Mas main hape terus," ujar Tini dari sebelah.
"Sabar Tin, kamu tiduran aja. Nanti aku langsung," jawab pacar Tini.
"Katanya nanti langsung Jah," ucap Bara.
"Langsung apa? Ditabok? Minggir!" sergah Dijah.
"Jangan usir aku, aku mau di sini. Ngomong ke ibuku besok itu urusanku." Bara memandang Dijah yang berdiri di sisi ranjang mengenakan sebuah terusan kaos dengan tali satu yang panjangnya di bawah lutut.
"Pakaian kamu Jah," ucap Bara yang masih mendongak memandang Dijah. Ia harus mampu mempertahankan ranjang itu agar Dijah menyerah dan menerimanya malam itu.
"Panas, kipas anginku cuma segitu anginnya. Lagian ini kamarku, mau telanjang juga itu urusanku sebenarnya," sahut Dijah sedikit ketus.
"Aku nggak apa-apa kalo kamu mau telanjang kayak Tini, ini kamar kamu. Kamu berhak. Aku nggak apa-apa. Tapi aku tetap mau di sini," ucap Bara pelan.
"Dibasahin dulu Mas, sakit!" ujar Tini pelan dari kamar sebelah.
Bara kemudian menarik tangan Dijah sampai wanita itu setengah tersungkur ke atas tubuhnya. Dengan cepat Bara memeluk tubuh Dijah dan berguking ke arah kanan untuk meletakkan tubuh Dijah bersisian dengan dinding.
"Kita mencoba tidur aja. Kalo Tini sering begitu, aku nggak tau udah seberapa banyak kamu melewati malam-malam penuh siksaan karena suaranya itu," bisik Bara di depan wajah Dijah yang tubuhnya sudah dikunci dalam pelukan erat.
"Aku udah biasa," jawab Dijah memandang mata Bara.
"Aku nggak bakal gituin kamu, kalo kamu nggak mau. Tapi kalo kamu mau, aku siap. Kapan aja..." ucap Bara membelai pipi Dijah.
"Aku belom pernah Jah..." sambung Bara lagi. Perkataan Bara itu membuat Dijah semakin tertarik untuk menelusuri tiap senti wajah pria itu.
Telapak tangan Dijah masih berada di dada tempat jantung Bara berdetak. Bara baru saja mengatakan dia belum pernah. Apa maksud Bara belum pernah melakukan seperti yang sedang dilakoni Tini di sebelah?
Perkataan Bara membuat perasaan Dijah semakin gelisah. Harusnya Bara yang terlihat dari keluarga baik-baik ini tak berada di kamar seokost-kostan
Suara desahan lirih bersahutan terdengar dari langit-langit. Bara yang masih memeluk Dijah di atas tempat tidur berukuran tiga kaki mulai gelisah. Bibir mereka sedikit lagi bersentuhan, dan Bara mulai kembali mengecup pelan bibir Dijah.
Dijah masih membuka mata memandanginya, Bara tak takut. Ia kembali menempelkan bibirnya dan menyesap bibir Dijah yang perlahan membuka untuknya.
Tanpa disadari oleh dirinya sendiri, Dijah mulai memejamkan mata dan tangannya bergerak perlahan ke belakang leher Bara dan mengacak rambut belakang pria itu.
Ciuman ini begitu memabukkan, pikir Dijah. Sejak usia sekolahnya, ia belum pernah berciuman seperti itu. Setiap gerakan kecil yang dilakukannya seolah mengirim getaran yang menghasilkan Medan magnet.
Dijah tak kuasa menolaknya. Bara mengecupnya berpindah-pindah. Menghujani bagian telinga, leher, pipi dan bibirnya. Dijah bahkan tak sempat menarik nafas saat menarik turun tali pakaian yang melekat dibahunya.
Dijah membuka matanya dan menatap Bara. "Ini nggak bener..." lirih Dijah di antara nafas dan debaran jantungnya yang terasa cepat.
"Aku nggak bakal ngapa-ngapain. Aku pengen liat aja," gumam Bara dengan mata sayu yang sudah dikuasai nafsu.
Perlahan namun pasti jemari Bara menurunkan dua tali sekaligus dari bahu Dijah. Menarik turun terus sampai matanya menemukan pemandangan yang ingin dilihatnya.
Sedetik saja dan Bara tak sempat bertanya pada pemilik tubuh itu. Ia langsung mengecup dada yang dirasakannya telah meracuni otaknya sejak kali pertama bertemu dengan Dijah.
Bara berdiam di sana. Menyapukan lidahnya, menyesap lembut puncak dada itu sampai suara desahan halus keluar dari bibir Dijah yang mencengkeram kepalanya.
Habislah ia sekarang, pikir Bara. Keadaannya seperti tak ada jalan keluar. Ia telah melangkah masuk ke dalam hidup perempuan itu dan kini ia seperti tersihir oleh kenikmatan yang ingin terus digalinya.
Tak puas dengan satu sisi, Bara kembali menurunkan sisi pakaian Dijah yang lain.
"Udah," kata Dijah saat menyadari Bara melepaskan pelukan tangan kanannya dan mulai menunduk di atas dadanya.
"Belum Jah, aku masih pengen. Gini aja," sahut Bara kemudian menyesap puncak dadanya. Dijah memejamkan mata. Ia diam saja, artinya ia tak keberatan dengan apa yang dilakukan Bara padanya.
Dijah takut direndahkan, khawatir Bara mempermainkannya, tapi ia sekaligus khawatir Bara meninggalkannya. Dijah merasa dirinya murahan.
Ya, ia sudah menjadi murahan. Ia juga sudah egois tak memikirkan nasib Bara kemudian hari. Ia tak mau memikirkannya sekarang. Lidah Bara yang sedang menyapu puncak dadanya dan menyesap lama di seputar lingkaran gelap yang bahkan tak pernah dipakai menyusui anaknya terasa sangat memabukkan.
Bara menekankan tubuhnya hingga tubuh Dijah terpojok di dinding. Tak terkira berapa banyak bercak merah yang diakibatkan gigitan kecil dan sesapan keras yang dilakukan Bara di sekujur dada Dijah yang terekspose.
Sampai akhirnya Bara meremas bokong Dijah cukup keras dan membenamkan wajahnya di dada wanita itu sambil memekik pelan, "Ya ampun Jah..." nafasnya sudah terengah-engah.
Mereka tidur saling berhimpitan di atas ranjang kecil itu sampai pagi. Dijah meringkuk di pelukan Bara yang masih bertelanjang dada. Kipas angin yang terletak di atas lantai, masih berputar tanpa lelah mengeluarkan angin yang tak sejuk untuk memenuhi ruangan itu.
"Jah! Aku mau balik ke rumah, adikku hari ini dateng, aku mau jaga anaknya sebentar." Bara duduk di tepi ranjang memakai kaos kakinya.
"Ya terus kenapa?" tanya Dijah yang telah selesai mandi dan bersiap berangkat menemui Mbok Jum.
"Aku anterin kamu tempat Mbok Jum itu, tapi kamu keluar kamar duluan. Tini duduk di depan kamarnya, aku nggak berani. Dia pasti ada ngomong sesuatu, perasaanku nggak enak." Bara berbicara pelan sambil mengintip celah pintu yang terbuka sedikit.
"Ya udah, aku keluar duluan." Dijah meraih sebuah tas belanja plastik kemudian mencampakkan dompet dan ponsel bututnya ke dalam.
Benar saja, saat Dijah membuka pintu kamar, Tini langsung menoleh.
"Eh Jah! Dah mau berangkat aja, gimana kemarin? Enak? Mas-mu berapa kali? Mas-ku dua kali kemaren." Tini berbicara santai dengan sebuah cangkir kopi di tangannya.
Dasar Tini tukang fitnah pikir Bara. Masih enak kalau yang diucapkannya itu benar, masalahnya hal itu belum kejadian.
Bara kemudian buru-buru keluar kamar Dijah dan naik ke atas motornya serta mengenakan helm cepat-cepat. Tak lupa Bara langsung menutup kaca gelap helmnya untuk menghindari tatapan Tini yang terasa mengintimidasi.
"Aku berangkat Tin, tempat Mbok Jum!" ujar Dijah mendekati motor Bara.
"Mas-mu segeran ya Jah. Anginnya kemarin udah dikeluarin ya?" Tini terkikik geli karena perkataannya sendiri.
Dijah hanya melengos tak ingin meladeni perkataan Tini karena Bara telah menyalakan motornya.
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
Andri Yani
suketi biasa kali bikin orang terbungkam dengan semua celotehannya mas bara sampai ketakutan lho tin😄😄😄
2025-03-13
0
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
pulang sana Bara..🤭🤭🤭
bahaya, Tini mau hohohehe🤣
2025-02-02
0
Suharnani
Mulut Tini lemes😂
tapi Tini tidak munafik, blak"an
2024-12-13
0