Tak butuh waktu lama untuk Maurin mengetahui tempat tinggal Sukma. Selagi boneka Susan dipegang oleh anak yang ditujunya, maka ia akan mudah mendatangi kediamannya pula. Rupanya sejak Susan diberikan pada Sukma, Maurin sudah duduk di teras paviliun.
Dari dekat rumah utama, tampak Sukma datang bersama ibunya. Raut wajah gadis kecil itu tampak semringah, tatkala mendapati Maurin sedang menunggu di teras paviliun. Sukma melompat-lompat kegirangan. Secepatnya ia menarik tangan sang ibu, lalu berlari menuju rumahnya tanpa sabar.
"Ibu, ayo! Maurin sudah nungguin kita di sana!" seru Sukma menarik tangan ibunya.
"Dia nungguin di mana, Dek?"
"Itu! Di teras rumah kita," tunjuk Sukma sambil berlari.
Bu Inah mengerutkan dahi, tak melihat ada anak kecil sama sekali di teras paviliun. "Mana, Dek? Di sana nggak ada siapa-siapa."
Sukma tak menjawab pertanyaan ibunya. Ia justru berlari lebih cepat agar bisa menunjukkan temannya itu. Akan tetapi, setibanya di sana, Bu Inah tetap tak mendapati gadis kecil sama sekali di depan paviliun.
Sukma berbicara sendiri di paviliun. Tangannya seperti memegang sesuatu, lalu berjalan mendekati Bu Inah. Wajahnya begitu ceria, seperti tak sabar memperkenalkan temannya pada sang ibu.
"Nah, Bu. Ini Maurin, temen aku," jelas Sukma tersenyum lebar.
Tak ingin membuat anaknya kecewa, Bu Inah membalas senyum Sukma dengan tawa kecil. Ia mengusap kepala Sukma dan berkata, "Kamu ini senang sekali berkhayal, ya. Sekarang kita masuk dulu ke rumah. Sebelum main, kamu ganti baju dulu."
"Tapi aku nggak berkhayal, Bu. Lihat! Maurin minta salaman sama Ibu," tegas Sukma, berusaha meyakinkan.
Bu Inah hanya tersenyum-senyum, tak menghiraukan ucapan putrinya. Ia menuntun putrinya masuk ke paviliun setelah membuka pintu. Diambilnya boneka Susan dari tangan Sukma, kemudian melenggang ke kamar mandi.
Sebelum Bu Inah benar-benar pergi ke kamar mandi, Sukma menahan ibunya. Dipegangnya tangan sang ibu erat-erat, dengan menunjukkan mengernyitkan kening.
"Bu, mau dibawa ke mana Susan-nya?"
"Mau Ibu cuci dulu. Tuh lihat! Bonekanya kotor, nanti tangan kamu kena kuman. Kamu nggak mau sakit lagi, 'kan?"
"Tapi, Bu ...."
"Dicucinya sebentar aja, kok. Nanti juga cepat kering. Mendingan sekarang kamu ganti baju dulu. Setelah bonekanya kering, kamu boleh main," kata Bu Inah membujuk Sukma, lalu bergegas ke kamar mandi.
Maurin tampak geram melihat bonekanya yang usang akan dicuci. Ia menatap tajam ke arah pintu, lalu menoleh pada Sukma. Sementara itu, Sukma terkejut melihat kemarahan di wajah pucat Maurin. Ia hanya tertegun, menahan ketakutan yang menyerang benaknya.
"Sukma, ambil lagi bonekanya! Aku nggak suka kalau bonekanya dicuci," suruh Maurin berang.
"Loh, kenapa nggak suka? Nanti bonekanya bersih kayak baru lagi kalau udah dicuci."
"Pokoknya aku nggak mau bonekanya dicuci. Ambil lagi sana! Kalau enggak, aku nggak mau main lagi sama kamu!" bentak Maurin memelototi Sukma.
Tak mau kehilangan teman bermainnya, Sukma menyusul ibunya ke kamar mandi. Beruntung, Bu Inah masih menunggu embernya terisi air setengahnya. Sukma bergegas masuk ke kamar mandi, lalu merebut boneka Susan dari tangan ibunya.
Bu Inah merasa heran dengan tingkah Sukma. Setelah merebut boneka darinya, Sukma segera berlari ke kamar tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Wanita paruh baya itu mengikuti putrinya ke kamar, kemudian memperhatikan sikapnya dari balik pintu.
Rasa lega tergambar jelas di wajah Sukma. Kecemasan di dalam hatinya menghilang setelah Susan tak jadi dicuci oleh ibunya. Ia menunjukkan boneka yang masih usang itu pada Maurin.
"Syukurlah, bonekanya belum dicuci oleh Ibu," kata Sukma menaruh Susan di lantai.
"Lain kali, jaga bonekanya baik-baik. Aku nggak suka kalau dicuci," ketus Maurin.
"Baiklah, tapi kenapa bukan kamu saja yang merebut bonekanya dari ibuku?"
"Apa kamu nggak sadar? Ibu kamu dari tadi nggak bisa lihat aku. Mana mungkin aku ngerebut boneka itu."
"Loh, kok gitu? Giska nggak ngelihat kamu, Ibu nggak ngelihat kamu. Sebenarnya kamu itu siapa?"
"Aku Maurin. Mereka nggak bisa melihat aku karena bodoh."
"Tapi Giska nggak bodoh, kok. Ibu aku juga. Buktinya Ibu bisa mengajari aku baca ayat suci."
"Terserah kamu saja. Sekarang kita main, yuk."
"Tunggu dulu, ya. Aku mau ganti baju sebentar."
Maurin mengangguk, sambil melihat bonekanya yang terbaring di lantai. Sementara Bu Inah yang masih memperhatikan sikap Sukma, diam-diam masuk ke kamar. Untuk sesaat matanya tertuju pada boneka lusuh bernama Susan itu. Ia merasakan ada hal yang berbeda dari boneka itu. Namun, pikiran Bu Inah yang logis membuatnya tak mau berlarut-larut dalam firasat buruk.
Bu Inah menghampiri Sukma dan mengambilkan bajunya. Sukma terkejut melihat ibunya tiba-tiba datang ke kamar. Ia mundur sedikit dari lemari, kemudian melepas seragam sekolahnya satu per satu.
"Ibu, sejak kapan datang ke sini?"
"Sejak tadi. Dedek kebanyakan lihatin bonekanya, sih. Lagian, kenapa Dedek rebut bonekanya dari Ibu? Padahal bonekanya bakal lebih bagus kalau dicuci."
"Maurin nggak suka kalau bonekanya dicuci. Maaf, ya, tadi aku merebut bonekanya dari tangan Ibu. Soalnya kalau boneka itu dicuci, Maurin nggak mau main lagi sama aku."
"Nggak apa-apa. Ayo sini! Ibu pakaikan dulu bajunya ke kamu."
Bu Inah memakaikan baju ke badan Sukma. Setelan kaus dan rok katun, tampak lucu di tubuh gadis kecil itu. Selesai memakai baju dan menyisir rambut, Sukma mengambil boneka Susan dan mengajak Maurin bermain di teras rumah.
Melihat keceriaan di wajah anak bungsunya, Bi Inah merasa tenang. Ia berpamitan pada Sukma, kemudian pergi ke rumah Hilman untuk membantu Bi Reni menyiapkan makan siang. Sebentar lagi Albi dan Farah akan segera pulang. Maka dari itu, makanan harus sudah siap dihidangkan di meja makan.
Sukma merasa senang ditemani oleh Maurin di rumah. Sesekali mereka bercanda tawa, sambil memainkan boneka Susan sebagai bayinya Sukma. Keduanya tampak akrab seperti teman lama.
Sementara itu di area perumahan lain, tampak Atikah sedang berjalan bersama Ani dan Intan menuju ke rumah. Seperti biasa, mereka berbincang-bincang tentang segala hal. Kali ini topiknya cukup menakutkan. Ani menceritakan tentang pengalamannya sewaktu tinggal di perkampungan yang lain.
"Dulu temen aku yang namanya Wulan pernah dikasih boneka kotor sama anak perempuan di sebuah perkomplekan. Awalnya dia seneng banget, bahkan bawa-bawa boneka itu tiap kami main bareng," tutur Ani dengan wajah serius.
"Wah! ngomong-ngomong, siapa yang ngasih boneka itu?" tanya Intan penasaran.
"Aduh! Kalau itu aku nggak ingat," jawab Ani menyengir.
"Terus, terus, ceritanya gimana lagi?" tanya Atikah penasaran.
"Kata Wulan, temannya itu suka main sama kami tiap bawa boneka bayi yang dikasihnya. Tapi selama kami main bareng, aku nggak ngelihat temannya itu sama sekali."
"Loh, kok bisa begitu?" tanya Intan mengerutkan dahi.
"Aku juga nggak ngerti. Di antara kami, cuma Wulan yang bisa ngelihat anak yang ngasih boneka. Selain itu, Wulan juga sering bilang kalau temannya suka nginep di rumahnya," jelas Ani memandang serius.
"Nginep? Memangnya orang tua Wulan mengizinkan temannya buat nginep di rumahnya? Aku aja selalu dilarang buat ngajak kalian nginep di rumah," kata Atikah.
"Nah, untuk hal itu, sih, aku inget sedikit-sedikit, kalau orang tuanya Wulan nggak pernah melihat ada anak kecil seusia kami datang ke rumah mereka," terang Ani, dahinya berkerut seakan-akan sedang berpikir keras untuk mengorek ingatannya di masa lalu.
"Kalau orang tua Wulan nggak pernah lihat ada anak kecil lain yang nginep di rumahnya, berarti temannya bukan orang dong," cetus Atikah menyimpulkan.
"Ah, benar juga!" Intan setuju dengan kesimpulan Atikah.
"Sepertinya begitu. Soalnya, kalau temannya sering nginep, Wulan jadi sakit-sakitan terus. Saat dia sakit, boneka bayi itu selalu dia pegang. Cukup lama juga, sih, Wulan sakit. Sampai berbulan-bulan lamanya malahan. Ibu dan bapaknya juga pernah bawa dia ke rumah sakit, tapi sayang, nyawanya nggak tertolong lagi," kata Ani dengan wajah sendu.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Atikah dan Intan berbarengan.
"Nah, waktu tahlilan, ada ustaz yang bilang kalau arwah Wulan dibawa oleh makhluk gaib. Kata ustaz, penyebabnya adalah boneka pemberian anak komplek itu. Boneka itu berisi jin yang bisa menyerap energi manusia sampai meninggal dunia. "
Tercengang Intan dan Atikah mendengarnya. Mereka tak menduga kalau boneka usang pemberian anak tak dikenal, dapat membawa maut. Ketiga anak itu cukup lama termenung, memikirkan kejadian mengerikan yang menimpa temannya Ani.
Katika melewati belokan, Atikah berpamitan dari kedua temannya. Tak lupa, ia juga mengingatkan bahwa malam ini jadwalnya mengaji. Intan dan Ani mengangguk, kemudian lanjut berjalan.
Setibanya di rumah Hilman, Atikah bergegas menuju paviliun. Sambil berjalan, pikirannya masih teringat pada cerita menyeramkan dari Ani. Ketika beberapa langkah lagi tiba ke paviliun, mata Atikah tertuju pada Sukma yang sedang asyik bermain sendirian.
Dihampirinya sang adik, lalu duduk di sebelahnya sambil melepas sepatu. Atikah memandangi boneka bayi usang yang dipegang oleh Sukma. Merasa penasaran, ia mulai bertanya pada adiknya.
"Dedek, itu boneka dari mana? Kenapa nggak dicuci dulu?"
"Eh, Teteh. Ini bonekanya Maurin, namanya Susan. Maurin nggak suka kalau bonekanya dicuci."
"Maurin? Siapa dia?"
Sukma memandang ke depan, kemudian menoleh pada Atikah. "Perkenalkan, dia Maurin," katanya sambil menunjuk orang yang dimaksud.
Atikah menyipitkan mata. Tak ada seorang pun selain Sukma di tempat itu. Cukup lama ia mencari-cari orang yang dimaksud, hingga akhirnya sebuah jawaban mencengangkan melintas di pikirannya.
Maurin bukanlah manusia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Kayak nya si Maurin ngincer Sukma,semoga Sukma gak kenapa2😌
2024-04-03
0
Berdo'a saja
kan Sukma bukan anak manusia apa dia juga akan ...
2023-05-13
0
Lynee
kurasa Sukma agak bodoh dikit ya kalok soal hal ghoib 😆
2022-05-26
0