Bu Inah tampak cemas tatkala Sukma diperiksa oleh dokter. Tangisannya yang begitu nyaring membuat hatinya terasa tersayat. Ia memang memiliki perasaan yang sangat sensitif, terlebih ketika anak-anaknya jatuh sakit. Sempat ia menangis bahkan tak bisa tidur siang dan malam ketika Atikah demam tinggi disertai diare. Pak Risman kerap menegurnya untuk tidak bersikap berlebihan, tapi sifat penyayang Bu Inah seolah mengabaikan ucapan suaminya.
Setelah selesai diperiksa oleh bidan, Bu Inah diberikan beberapa saran agar demam Sukma cepat menurun. Menurut bidan, selama susu yang diberikan pada Sukma cukup, maka kesehatan bayi itu akan berangsur membaik. Bu Inah yang masih khawatir dengan keadaan putrinya, mulai bertanya, "Bagaimana, Bu? Apa anakku bisa sembuh?"
"Iya, Bu. Tenang saja. Dia hanya demam biasa," kata bidan itu.
"Kalau begitu, terima kasih, Bu."
"Semoga adeknya cepat sembuh, ya."
Bu Inah membalasnya dengan anggukan. Bergegas ia membawa anak-anaknya pulang. Wanita itu berharap, Sukma cepat tenang dan sembuh.
Selama perjalanan menuju rumah Hilman, perlahan Sukma mulai tenang. Mungkin ia kelelahan setelah menangis sejak subuh. Bu Inah merasa lega. Disentuhnya kening bayinya itu, lalu menatap heran. Suhu badan Sukma sudah turun seiring dengan tangisannya yang mereda.
"Bu, kenapa lihat si dedek begitu?" tanya Atikah.
"E-enggak. Ibu heran aja, kenapa Sukma bisa cepat sembuhnya, ya?"
"Wah, Dek Sukma sudah sembuh?! Asyik! Aku bisa main lagi sama Dedek."
"Nanti saja mainnya. Kalau adikmu sudah ceria lagi, kamu boleh main sama dia. Bukannya sekarang kamu punya teman baru?"
"Oh, iya. Tapi Albi hari ini harus sekolah, Bu. Jadi nggak bisa main, deh."
"Ya sudah, nanti Ibu temenin kamu kalau Dek Sukma sudah tidur, ya."
"Iya."
Sukma masih tertidur lelap saat tiba di paviliun. Ternyata ketenangannya itu datang bersama dengan kepergian Bu Ratmi meninggalkan Kota Bandung. Kendati demikian, kasih sayang Bu Inah padanya yang sangat besar, mengalahkan rasa sakit atas ditinggalkan oleh ibu kandung. Wajar saja bila demamnya cepat turun.
Farah yang mengetahui kedatangan Bu Inah, segera menghampiri paviliun. Tanpa permisi, ia memasuki kediaman keluarga Pak Risman dengan melangkah angkuh. Dilihatnya Bu Inah sedang membaringkan putrinya di kasur.
"Habis dari mana saja kalian?" tanya Farah bernada ketus.
"Ini, Bu. Anak saya sejak subuh menangis terus. Badannya demam tinggi, jadi tadi berobat dulu ke puskesmas," jelas Bu Inah.
"Oh, pantesan tadi berisik melulu." Farah mendelik sambil melipat kedua tangan. "Nanti kalau kamu sudah beres dengan urusan bayi itu, tolong datang ke dapur bantuin Bi Reni, ya. Hari ini teman-teman arisanku datang ke rumah."
"Baik, Bu."
Farah melenggang keluar paviliun. Sebelum benar-benar pergi ke rumah utama, langkahnya tertahan oleh genggaman tangan Atikah. Ia menoleh pada anak berusia tiga tahun itu, lalu melepaskan genggamannya.
"Tante, Albi sudah pulang belum?"
Farah menengok ke dalam paviliun dan berteriak. "Bu Inah, jaga baik-baik anakmu ini! Jangan sampai dia dekat-dekat dengan Albi."
Secepatnya Bu Inah keluar dari kamar, menemui Farah yang sudah terlihat sangat kesal. Digenggamnya tangan Atikah, kemudian berkata, "Iya, Bu. Akan saya nasihati Atikah."
Tanpa berkata-kata, Farah meninggalkan paviliun itu. Bu Inah mendelik pada Atikah, sehingga membuat bocah perempuan itu ketakutan melihat kekesalan di wajahnya.
"Ibu, jangan hukum aku. Aku cuma pengin main sama Albi," kata Atikah memelas.
"Kamu boleh main sama siapa saja, tapi tidak dengan Albi. Nanti kamu dimarahi sama ibunya."
"Tapi aku salah apa?"
Bu Inah menghelas napas dalam-dalam, tak tahu cara menjelaskan ketidaksukaan Farah pada Atikah. Bocah di bawah usia lima tahun belum mengerti arti kebencian orang dewasa, maka wajar jika Bu Inah kebingungan untuk melarang anaknya bermain dengan Albi. Wanita paruh baya itu membawa Atikah ke dalam paviliun, lalu memberikan boneka beruang usang dan mainan masak-masakannya.
...****************...
Senja datang bersama langit yang kian memerah. Biasanya Sukma tidur pulas pada waktu ini. Namun, setelah demamnya reda, bayi itu menjadi sulit tidur. Atikah masih setia menemaninya bermain, kadang-kadang bayi itu tersenyum dengan candaan kakaknya. Suasana damai seperti itu membuat hati Bu Inah dan Pak Risman tenang. Setidaknya dengan melihat keakraban di antara kedua putrinya, rasa penat yang mereka rasakan bisa sirna.
Bu Inah memasak makanan untuk makan malam, sedangkan Pak Risman pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Ketiadaan mereka di dekat kamar, membuat makhluk-makhluk tak kasat mata nekat masuk ke rumah. Terlebih pintu yang lupa ditutup oleh Pak Risman, semakin memudahkan mereka masuk ke rumah.
Sukma yang sejak tadi asyik bermain bersama Atikah, menoleh ke arah pintu. Bayi itu menyadari ada hal ganjil terjadi di dalam rumahnya. Angin berembus begitu dingin, bahkan suasana yang semula tentram berubah menjadi mencekam. Tatapan bayi itu masih tertuju ke arah pintu, sehingga membuat Atikah menyadari ada yang aneh pada adiknya.
"Dedek ... lagi lihat apa kamu?"
Bayi itu berkedip sebentar. Atikah melambai-lambaikan tangan di depan mata adiknya itu, tapi Sukma tetap bergeming. Untuk sesaat, Atikah terdiam merasakan sesuatu yang aneh. Pandangannya terarah ke ruang keluarga, lalu memegang gagang pintu. Ketika hendak menutup pintu, sebuah tangan berkuku panjang menahannya. Atikah terkesiap dan berlari sambil menjerit ketakutan.
Secepatnya gadis kecil itu naik ke tempat tidur dan memeluk Sukma. Diambilnya selimut lebar, kemudian menutupi seluruh tubuhnya. Ternyata benar, seorang wanita tua berambut panjang sedang masuk ke kamar dengan cara merayap ke dinding. Sekujur tubuhnya dipenuhi borok dan nanah. Kuku-kukunya hitam dan panjang. Bibirnya tersenyum menyeringai saat mengetahui ada bayi di sana.
Samar-samar Atikah melihat ada bayangan berukuran besar sedang merayap di dinding. Melalui celah kecil di balik selimutnya, ia mengintip wanita tua yang sedang mendekat ke arahnya. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Didekapnya lagi adiknya yang mulai tidak nyaman dengan keadaan itu. Sukma merasa kegerahan, sampai menangis sekencang-kencangnya.
"Sst! Diam, Dedek! Nanti nenek itu datang ke sini," perintah Atikah berusaha mendiamkan tangisan adiknya.
Wanita tua itu semakin senang dengan kehadiran sang bayi. Dengan cepat ia merayap ke tempat Atikah dan Sukma bersembunyi. Setelah naik ke tempat tidur, ia merunduk di belakang Atikah. Kukunya yang panjang mulai menyingkap selimut perlahan-lahan. Atikah tak kuat lagi untuk menahan ketakutannya. Sambil berusaha menutup sisi selimut yang tersingkap, ia membekap mulutnya.
"Ibu ... tolong kami." katanya sembari berurai air mata.
Kendati merasa ketakutan, Atikah teringat pada perkataan ibunya. Katanya, setan akan takut jika dibacai doa-doa dan ayat suci al-qur'an. Segera Atikah merapal bacaan ayat suci yang diingatnya. Surat al-fatihah terucap jelas dari mulutnya yang mungil. Akan tetapi, wanita tua di belakangnya tak terpengaruh sama sekali. Ia terus menyingkap selimut yang menutupi tubuh Atikah dan Sukma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Amara
wiiiih nanti besar Atikah jadi pembasmi iblis ini,dibantu sang adik Sukma
2024-12-27
0
Maz Andy'ne Yulixah
Sukma tau orang yang tulus kepadanya😊
2024-04-03
0
Berdo'a saja
daaaaarrdrr
2023-05-08
0