Raksasa itu masih menatap Bu Inah. Ia melemparkan bayi di tangannya hingga mendarat tepat di tangan wanita itu. Wujud Sukma yang semula buruk rupa dan mengerikan, berubah menjadi bayi lucu di gendongan Bu Inah.
"Jaga baik-baik bayi itu. Selama dia tak dicelakai, keluargamu akan mendapatkan keberuntungan secara terus menerus."
Belum sempat Bu Inah mengucapkan sepatah kata pada raksasa itu, seseorang menggoyang-goyangkan badannya lebih dulu hingga membuatnya terbangun. Tampak Pak Risman dan Atikah memandang heran padanya. Belum lagi Sukma, yang ikut terbangun tatkala Bu Inah menjerit dari tidurnya.
"Bu, Ibu habis mimpi apa?" tanya Pak Risman mengerutkan dahi.
"S-Sukma. Di mana Sukma? Sukma!" Suara Bu Inah terdengar gemetar. Ketika menoleh dan menemukan Sukma, ia langsung memeluk bayinya itu.
"Bu, habis mimpi apaan, sih? Nggak biasanya Ibu tidur sampai gemetaran dan teriak-teriak segala," tanya Pak Risman penasaran.
Dalam kesadarannya, Bu Inah mengingat-ingat kembali mimpinya itu. Samar-samar, bayangan iblis di dalam mimpinya muncul di pelupuk matanya. Segera Bu Inah memejamkan mata, napasnya terengah-engah.
Melihat tingkah aneh istrinya, Pak Risman semakin bertanya-tanya. "Ada apa, Bu?"
"Raksasa itu, Pak! Raksasa itu ngambil Sukma, terus melemparnya lagi ke tangan Ibu. Ibu takut dia ngambil anak kita ini, Pak."
"Sudahlah, Bu. Nggak usah dipikirkan. Itu cuma bunga tidur. Sebaiknya Ibu kasih susu dulu pada Sukma. Kasihan dia, sepertinya kelaparan," bujuk Pak Risman, lalu melanjutkan tidurnya bersama Atikah.
Sambil menggendong bayinya, Bu Inah pergi ke dapur dan membuat susu ke dalam dot berukuran kecil. Ditenangkannya Sukma terlebih dahulu, lalu mengganti popoknya yang basah. Setelah itu, Bu Inah memberikan susu pada Sukma dan menidurkannya kembali.
Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Kantuk belum kunjung datang pada Bu Inah. Bayangan raksasa di atas gunung sampah, membuatnya tidak tenang. Sambil melihat Sukma yang sudah tidur pulas, Bu Inah beranjak dari kasur busa. Ia berjalan menuju WC untuk berwudu, berharap hatinya tenang dan melupakan mimpi buruknya malam itu.
...****************...
Kinerja Pak Risman di rumah Hilman semakin membaik dari hari ke hari. Bahkan, hubungan di antara ia dan Hilman bukanlah seperti majikan dan pembantu, melainkan kakak dan adik. Hilman yang sudah seminggu kehilangan kakaknya, merasa tergantikan oleh kehadiran Pak Risman. Selain itu, sikap Pak Risman yang jujur dan bersahaja, membuat Hilman ingin berbuat baik lebih banyak pada pekerja kesayangannya itu.
Kendati sulit mendapatkan izin dari Farah, Hilman akhirnya tetap memboyong keluarga Pak Risman ke paviliunnya, satu hari setelai acara syukuran pemberian nama Sukma selesai. Bu Inah merasa canggung untuk tinggal di sana bersama anak-anaknya, terlebih melihat sikap Farah yang tidak begitu ramah. Akan tetapi, Hilman yang bersikap lebih baik dari istrinya itu, akhirnya dapat memberi kenyamanan pada Bu Inah.
"Nah, Pak, Bu, sekarang kalian tinggal di sini. Tinggal dibersihkan sedikit-sedikit, nanti juga nyaman untuk kalian berempat," kata Hilman ramah.
"Aduh, Pak. Terima kasih banyak atas semua kebaikan Bapak. Rasanya kami tidak akan mungkin membalas semua kebaikan yang Bapak berikan di sini," ucap Bu Inah merasa segan.
"Tidak perlu berkata begitu, Bu. Bagaimanapun juga kami membutuhkan tenaga kalian. Justru kalian mesti diberi penghargaan lebih."
"Bapak ini, membuat kami merasa sungkan saja," kata Pak Risman.
"Tak usah sungkan, Pak. Saya sudah menganggap Bapak dan Ibu seperti kakak sendiri. Jadi, santai saja," ucap Hilman tertawa kecil. "Oya, Bu. Saya permisi dulu. Hari ini mau bawa Albi ke taman bermain."
"Silakan."
Maka pergilah Hilman meninggalkan keluarga kecil Pak Risman di paviliun. Sepeninggalnya, Atikah merengek di teras paviliun. Bu Inah dan Pak Risman yang memperhatikan sikap aneh Atikah, merasa kasihan pada putrinya itu.
"Loh, kenapa kamu nangis, Atikah?" tanya Pak Risman.
"Aku pengin ikut main sama om itu," jawab gadis kecil itu sembari sesenggukan.
"Nanti saja, ya. Sekarang sebaiknya kita beres-beres rumah dulu. Dari dulu kamu pengin tinggal di rumah yang gede, 'kan?" bujuk Bu Inah, menuntun Atikah masuk ke paviliun.
Atikah mengangguk pelan, lalu berkata, "Tapi masih gedean rumah om itu daripada ini."
Bu Inah menghela napas panjang. Rasa syukur yang semula tertanam di hatinya, berubah menjadi kesabaran tak terbatas tatkala mendengar ucapan Atikah. Namun, kelapangan hatinya menerima kenyataan, masih dipertahankan Bu Inah. Bagaimanapun juga, kemajuan hidupnya saat ini patut disyukuri.
Tanpa banyak bicara, Bu Inah menuntun Atikah ke dalam paviliun. Rengekan putrinya itu perlahan berkurang saat menempati kamar yang diisi dengan lemari berkaca besar dan spring bed yang empuk. Kesedihan yang semula tergambar di wajah Atikah, perlahan memudar. Gadis kecil itu berjingkrak-jingkrak kegirangan di kasur.
Melihat keceriaan di wajah Atikah, hati Bu Inah terasa lega. Sambil menggenong Sukma yang masih tidur lelap, ia menata beberapa ruangan di paviliun itu. Bersama Pak Risman, paviliun itu dibersihkan sampai benar-benar seperti surga yang layak dihuni.
Sementara itu di taman bermain, Farah masih kesal dengan sikap suaminya yang terlalu baik pada Pak Risman. Sesekali matanya menatap sinis ke arah sang suami, sambil mendorong ayunan Albi. Hilman yang menyadari hal itu, tak sabar untuk memberi pengertian.
"Kenapa lagi, sih, kamu?" tanya Hilman berdiri di samping istrinya.
"Aku sebel sama tingkah Papa yang terlalu baik sama Pak Risman," jawab Farah ketus. "Papa itu harusnya waspada sedikit. Bisa aja, 'kan, mereka mencuri barang berharga kita, saking keenakan dibaikin sama majikan."
"Astagfirullah, Farah. Nggak baik suuzon kayak gitu. Bagaimanapun Pak Risman telah mengorbankan waktu dan tenaganya untuk bekerja di rumah kita. Bu Inah juga katanya janji mau bantu-bantu kamu di rumah."
"Bu Inah mau bantu-bantu aku di rumah? Bagaimana bisa? Anaknya aja masih kecil-kecil, mana bisa dia berkerja full time melayani kita."
"Untuk pekerjaan full time masih ada Bi Reni, 'kan? Kita bisa pekerjakan Bu Inah sebagai pengasuh Albi. Selain itu, Albi juga akan main sama putrinya Bu Inah, biar nggak kesepian."
"Baiklah, kalau begitu. Setidaknya kalau ada pengasuh, aku bisa ikutan lagi arisan sama ibu-ibu kompleks, sambil ngurus yayasan yang udah lama ditinggalin."
"Jadi, sekarang kamu setuju dengan keputusanku?"
"Iya, deh. Tadinya aku nggak kepikiran sampai sana."
Di tengah pembicaraan mereka, terdengar suara ponsel Hilman berdering. Ternyata dari Bu Ratmi. Diangkatlah telepon itu oleh Hilman.
"Halo, Teh. Ada apa telepon?"
"Hilman, besok kamu ada waktu senggang nggak? Saya mau pindah ke Kuningan besok. Barang-barangnya sudah dikemas, jadi besok tinggal berangkat aja."
"Besok, Teh? Nggak bulan depan aja?"
"Nggak. Saya pengin cepat-cepat menenangkan diri setelah mengurus semua peninggalan almarhum."
"Baiklah, Teh. Besok aku ke sana."
"Terima kasih, Hilman."
Bersamaan dengan kabar kepindahan Bu Ratmi yang datang pada Hilman, Sukma menangis sangat kencang di paviliun Hilman. Atikah berusaha menenangkannya, sementara Bu Inah masih sibuk memasak. Kewalahan mengurus adiknya yang tidak bisa diam, Atikah memanggil ibunya. Akan tetapi, kedatangan Bu Inah ke kamar yang cukup lama, membuat Atikah semakin gelisah.
"Cup cup cup ... berhenti nangisnya, Dek. Kasihan, Ibu sedang memasak," bujuk Atikah.
"Aku pengin ketemu Ibu," rengek Sukma dengan suara mungilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Amara
Diam aja kak atiqah nanti kamu dibilang berkhayal lagi🤭
2024-12-27
0
Maz Andy'ne Yulixah
Pasti Sukma nangis pengen ketemu Bu Ratmi kasihan😌
2024-04-03
0
Berdo'a saja
pingin ketemu Ratmi tuh
2023-05-08
0