Albi dan Atikah baru saja pulang dari menuntut ilmu agama. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol banyak tentang teman-teman dan pengalaman baru Albi hari ini. Putra semata wayang Hilman itu sangat senang menemukan hal-hal yang baru ditemukannya di luar kegiatan les privat.
Tak terasa, setelah lama mengobrol, keduanya sudah tiba di rumah. Atikah berpamitan pada Albi, tapi bocah laki-laki itu menahannya sebentar.
"Atikah, besok kita ngaji lagi, 'kan?"
"Tentu saja."
"Besok aku tungguin kamu di teras rumah. Kalau aku belum ada, panggil saja."
"Tapi, kalau nanti Tante Farah datang sambil marah-marah, gimana?"
"Mama nggak bakalan marah kok. Ada Papa yang bakal tenangin dia."
"Baiklah. Kalau begitu, aku pulang dulu, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Selepas Atikah pergi, Albi bergegas masuk ke rumah. Ketika hendak menaiki tangga, samar-samar terdengar suara bentakan Hilman dari kamar kedua orang tuanya. Albi merasa cemas. Untuk melenyapkan rasa penasarannya, ia mencoba mencari tahu.
Dari celah pintu kamar, bocah laki-laki itu mengintip. Tampak Hilman begitu berang pada Farah, yang menurutnya tidak becus menjadi seorang ibu. Albi yang ingin mengetahui penyebab orang tuanya bertengkar pun, perlahan membuka pintu dan masuk ke kamar. Sontak, Hilman dan Farah menghentikan perdebatannya tatkala mendapati Albi masuk ke kamar mereka.
"Eh, Albi. Kamu sudah pulang ternyata," sapa Hilman dengan wajah yang berubah semringah, menyambut Albi di dekat pintu.
"Pa, kenapa tadi Papa bentak-bentak Mama? Mama salah apa sama Papa?"
Hilman tertegun sejenak, menyadari suaranya yang lantang membentak sang istri diketahui oleh Albi. Farah yang sejak tadi terdiam, mendelik pada Hilman.
"Ayo jawab pertanyaan Albi itu! Apa salah aku sama Papa sampai dibentak segala?" celetuk Farah bersungut-sungut.
Hilman berusaha meredam amarahnya pada sang istri. Sesaat, ia menghela napas panjang dan mengembuskannya. Setelah hatinya sedikit lega, ia menuntun Albi ke kamar sang anak. Ia tak mau jika kekesalannya pada Farah tumpah begitu saja, terlebih di hadapan Albi.
Farah yang masih merasa kesal, bergegas pergi ke dapur. Amarahnya ia luapkan dengan cara memanggil Bi Reni keras-keras. Kedatangan pembantu rumah yang terlambat, semakin membakar hatinya. Akan tetapi, kearahan yang masih bergejolak itu belumlah reda saat Bi Reni datang.
"Kamu ini lelet banget, sih! Cepat bikinin jus jeruk!"
"Baik, Non."
"Jangan pakai lama!" Farah memelototi.
"Akan segera saya siapkan."
"Nanti antar ke taman belakang dekat kolam, ya."
Bi Reni mengangguk, lalu segera mengambil jeruk dari kulkas. Ia memang selalu menjadi sasaran setiap kali Farah kesal. Tentu saja, hal ini selalu membuat Bi Reni berbalik jengkel, sehingga tidak segan-segan mengumbar aib rumah tangga majikannya pada semua orang.
Sementara itu, Hilman menyuruh Albi duduk di kasur. Ditatapnya putra semata wayangnya yang masih polos itu. Ada rasa penyesalan di lubuk hatinya yang terdalam. Sesuatu yang mengganjal di dadanya sejak keluar dari kamarnya, akhirnya meluap menjadi derai air mata.
"Pa, Papa kenapa? Papa sedih gara-gara pertanyaan aku di kamar Papa tadi?" tanya Albi mengernyitkan kening.
"Enggak, Bi. Papa ... Papa cuma kesal sama diri sendiri."
"Kesal? Kesal kenapa, Pa?"
Hilman menggeleng sambil menyeka air mata di pipinya. "Oya, tadi di pengajian gimana aja? Kamu ketemu teman-teman baru, ya?"
"Iya, Pa. Tadi aku ketemu sama teman-teman baru. Mereka menyenangkan sekali. Selain itu, gurunya juga baik. Dia mau ngajarin aku baca iqro untuk pertama kalinya. Walaupun teman-teman di sana ngetawain aku, setidaknya aku dapat ilmu baru."
Hilman mengelus kepala Albi dan berkata, "Bagus, Albi. Tekad kamu memang kuat untuk menuntut ilmu."
"Pa, lain kali kita salat bareng, yuk! Kata Bu Rahma, salat berjamaah itu pahalanya banyak."
"Iya, Bi. Nanti Papa usahakan buat salat bareng kamu."
"Jangan lupa ajak Mama juga."
Sejenak Hilman termenung ketika mendengar ucapan Albi. Sifat Farah yang keras kepala, membuatnya merasa gagal menjadi seorang suami. Terlebih saat hendak melaksanakan salat Isya beberapa saat lalu. Alih-alih beribadah bersama, mereka justru bertengkar hanya gara2 masalah putranya menuntut ilmu.
Ditatapnya lagi putranya, kemudian berkata. "Albi, maafkan Papa, ya."
"Maaf? Maaf buat apa?"
"Selama ini Papa terlalu sibuk kerja, jadi nggak bisa ngajarin ilmu agama sama kamu. Seandainya keluarga kita paham agama seperti keluarganya Pak Risman, mungkin hidup kita akan lebih tentram."
"Nggak apa-apa, Pa. Sekarang, 'kan, ada Atikah yang ngajakin aku pergi ke masjid buat belajar agama. Aku bakal sering-sering ngaji di sana."
"Beneran, Bi?"
Albi mengangguk. Hilman segera memeluk putranya itu, dengan rasa bahagia yang meletup-letup. Hatinya tak berhenti bersyukur. Atas kehadiran keluarga Pak Risman, satu problematika yang dipikirkannya tentang Albi, akhirnya terselesaikan. Ia juga merasa tersadarkan, bahwa selama ini sudah jauh dari Tuhan yang memberikan semua kekayaan padanya.
...****************...
Hari telah berganti. Seiring mentari yang kian meninggi, Bu Inah mengantar Sukma ke taman kanak-kanak. Kendati tubuh Sukma masih demam dan lesu, bocah perempuan itu memaksa ibunya untuk tetap pergi menuntut ilmu. Ada teman baru, katanya. Namun, setiap Bu Inah menanyakan namanya, Sukma tak bisa menjawabnya.
Setibanya di sekolah, Sukma berpamitan pada ibunya. Bergegas ia masuk ke kelas, kemudian duduk di bangku paling belakang. Baginya, bangku belakang paling nyaman ditempati karena jarang terpantau oleh guru. Selain itu, kehadiran si 'teman baru' membuatnya semakin nyaman duduk di sana.
Cukup lama gadis kecil itu duduk-duduk sambil memandangi pintu masuk. Hanya ada anak-anak seusianya yang sedang bermain sambil bercanda dengan teman-temannya. Dalam kesendirian Sukma di pojok kelas, Giska tiba-tiba duduk di sebelahnya.
"Sukma, kamu nungguin siapa?" tanya Giska menatap Sukma lamat-lamat.
"Itu ... teman aku yang baru. Dia suka jongkok di sini. Di sebelah aku," jelas Sukma sambil menunjuk sudut dinding.
"Siapa? Kok aku nggak pernah lihat?" tanya Giska, masih penasaran.
"Namanya ... namanya ... aku lupa lagi namanya. Mau ... Mau ... Mau apa, ya?" kata Sukma, berusaha berpikir. "Pokoknya dia suka jongkok di sini sambil bawa boneka bayi perempuan."
Merasa ingin tahu, Giska mengintip ke sudut kanan Sukma duduk. Di tempat yang lumayan sempit itu, tak pernah terlihat ada siapa pun di sana. Selama duduk bersama Sukma, gadis kecil berambut pendek itu belum pernah melihat ada anak lain di sana.
"Kamu kebanyakan melamun, Sukma. Mungkin itu cuma khayalan kamu aja."
"Enggak, Giska. Dia beneran ada, kok," tegas Sukma meyakinkan. "Tapi dia nggak pernah pakai baju kayak kita. Bajunya putih, kotor, kayak nggak pernah dicuci."
Giska mencoba mengingat-ingat lagi, tapi sosok anak dengan ciri-ciri yang Sukma sebutkan tadi tak pernah terlihat ada di pojok kelas. Ia hanya teringat pada sosok anak kecil dengan ciri-ciri yang sama, pernah memberikan boneka bayi perempuan padanya. Namun, pertemuannya dengan gadis kecil itu, sudah cukup lama.
"Giska, lihat! Dia datang!" tunjuk Sukma ke arah pintu masuk, dengan mata berbinar-binar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Kayak nya ada hubungan nya sama Giska teman Dunia lain kamu Sukma😑
2024-04-03
0
Berdo'a saja
teman dunia lain
2023-05-08
0
Gusty Ibunda Alwufi
sukma indigo bisa lihat dan bicara pada mahluk gaib. dulu pernah jg anak ku waktu tk ngqk mau masuk sekolah ktnya setiap hr diikuti anak kecil ngak pakai baju kepala nya botak ..ih jd serem deh kalo ingat itu🤔🤭
2021-11-15
1