Makhluk gaib yang menghuni kamar kekuarga Pak Risman, tiba-tiba muncul di samping Sukma. Gadis kecil yang merasakan kehadirannya, perlahan menoleh. Wanita tua itu menyeringai ketika ditatap oleh Sukma. Gigi-giginya yang runcing seakan mampu mencabik daging makanannya.
Dalam ketidakberdayaannya, Sukma terperanjat, lalu berusaha beringsut menjauhi wanita tua itu. Dengan napas memburu, Sukma menatap waspada pada sosok makhluk pengganggu yang berada di kamarnya sejak masih bayi.
"M-mau apa kamu?" tanya Sukma gemetar.
"Tidak usah takut, Anak Kecil. Aku hanya ingin membawamu ke alamku," kata wanita tua itu menyentuh pipi Sukma menggunakan kukunya yang panjang.
"Tidak! Aku tidak akan ikut denganmu. Pergi! Jangan dekati aku!" bentak Sukma memukul tangan wanita tua itu.
"Jangan takut, Nak. Di alamku, kamu bisa dapatkan semua yang kamu mau," bujuk si wanita tua, berusaha meluluhkan hati Sukma.
"Tidak! Aku tidak mau! Pergi!"
Wanita tua itu membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, seperti hendak menggendong tubuh Sukma yang masih kecil. Sukma yang gemetaran, berusaha menjauhi wanita tua itu. Secepatnya ia menjatuhkan diri ke lantai, berusaha bangkit, lalu melangkah gontai menuju pintu ke luar kamar.
Sukma menjerit sekencang-kencangnya, meminta pertolongan dari teras rumah. Sementara itu, Atikah yang baru saja pulang membeli bubur, langsung berlari ke paviliun. Wajahnya tampak cemas melihat adiknya yang berdiri ketakutan di depan teras paviliun.
"Dedek! Dedek kenapa?" tanya Atikah menyentuh kedua pipi Sukma.
"Itu, di dalam ... di dalam ada nenek-nenek. Mukanya serem banget. K-katanya, dia mau bawa aku ke alam lain," jelas Sukma dengan mata melotot dan bibir yang gemetar, lalu memeluk tubuh Atikah erat-erat.
"Nenek-nenek? Nenek-nenek yang suka merayap kayak cicak itu, Dek?" tanya Atikah penasaran.
"I-iya ... dia senyum ke aku, mulutnya bau banget. Pokoknya nyeremin, Teh."
"Baiklah, sekarang Teteh temenin kamu di dalam. Sehabis makan bubur, kamu tidur bareng Teteh, ya?" bujuk Atikah, melepaskan pelukan Sukma.
"Nggak mau. Aku mendingan bobo di kamarnya Bi Reni. Di sini nyeremin," rajuk Sukma, matanya berkaca-kaca.
"Tapi nanti Bi Reni ngerasa keganggu kalau kamu bobo di sana. Belum lagi Ibu, suka khawatir kalau kamu kelihatan sakit. Muka kamu pucat begini, kayak mayat hidup."
"Pokoknya aku nggak mau, Teh. Di kamar nyeremin."
"Kalau begitu, Dedek bobonya di ruang tengah aja, ya?"
Sukma masih menggeleng.
"Kalau sambil didongengin Timun Mas, gimana? Dedek dari kecil suka sama dongeng itu, 'kan?"
Sukma merenung sejenak. Mungkin dengan diceritakan dongeng kesayangannya, ia akan tidur pulas tanpa memikirkan wanita tua yang sudah mengganggunya tadi. Ditatapnya kembali sang kakak yang masih berusaha membujuk.
"Gimana? Dedek mau, ya?"
"Tapi Teteh jangan tinggalin aku lagi. Nanti nenek itu membawa aku ke alam lain."
"Enggak, kok. Teteh bakalan temenin kamu. Ayo kita masuk! Teteh bawain dulu bantal, selimut, sama buku dongengnya, ya."
"Jangan lama-lama!"
"Iya."
Kedua kakak beradik itu masuk ke paviliun. Sukma duduk di karpet, menunggu Atikah membawa bantal dan selimut dari kamar. Selanjutnya, sang kakak membawa mangkuk dan sendok dari dapur, lalu menyuapi adiknya.
"Teteh, kapan bacain dongengnya?"
"Nanti kalau buburnya sudah habis, Teteh bacain."
Sukma yang penurut, terus melahap bubur yang disodorkan Atikah. Kendati lidahnya terasa pahit, ia terus memaksa mulutnya untuk memakan bubur supaya dongeng kesayangannya dibacakan oleh sang kakak. Setelah bubur di mangkuk habis, Atikah mulai membaca buku dongeng usang tentang Timun Mas.
"Ayo, bacain, Teh!" seru Sukma tidak sabar. Matanya berbinar-binar, menggambarkan rasa antusiasnya mendengarkan dongeng.
Atikah mulai membaca buku dongeng itu. Diawali dari kisah sepasang suami-istri tua renta, yang mendambakan kehadiran seorang anak. Suatu ketika, mereka bertemu dengan seorang raksasa dan diberi benih pohon timun. Cukup lama timun itu tumbuh hingga berbuah. Saat waktunya tiba, buah timun berwarna emas pun dibelah oleh kedua suami-istri itu dan muncullah seorang anak perempuan yang sangat cantik. Mereka menamainya Timun Mas.
Di tengah-tengah cerita, Atikah berhenti sejenak untuk melihat Sukma. Ternyata adiknya sudah tertidur lelap. Biasanya, Sukma tetap terjaga dan memintanya membacakan dongeng Timun Mas secara terus menerus sampai bosan. Beruntung, kondisi Sukma yang tidak fit, membuatnya mudah berhenti membacakan dongeng kesayangan adiknya itu. Atikah ikut berbaring di samping Sukma, menatap wajah lugu adiknya sambil tersenyum. Ia tidak menyadari, sedang diawasi oleh wanita tua yang mengincar Sukma dari celah pintu kamar.
...****************...
Langit kian gelap, seiring dengan tenggelamnya matahari. Biasanya, Atikah pergi ke masjid terdekat untuk belajar agama bersama teman-temannya, sedangkan Pak Risman dan Bu Inah baru pulang bekerja. Sebelum berangkat mengaji, ia mengecek kondisi adiknya. Suhu badannya masih panas seperti tadi pagi.
Bu Inah membawakan sebaskom kecil air hangat untuk Sukma. Dengan menggunakan saputangan, ia mengompres putri bungsunya.
"Ibu, Dedek nggak kenapa-kenapa kalau aku tinggalin, 'kan?" tanya Atikah cemas.
Senyum simpul mengembang dari bibir Bu Inah. "Nggak apa-apa. Sekarang ada Ibu yang merawatnya. Kamu pergi mengaji saja, tidak perlu mengkhawatirkan Dedek," kata wanita itu sambil mengelus kepala Atikah.
"Beneran, Bu?"
"Iya." Bu Inah merapikan kerudung Atikah. "Terima kasih sudah menjadi kakak yang baik buat Dek Sukma, ya. Ibu doakan semoga kamu mendapatkan ilmu yang bermanfaat malam ini."
"Iya, Bu. Kalau begitu, Atikah pergi dulu, ya. Assalamualaikum," kata Atikah mencium tangan ibunya.
"Waalaikumsalam."
Bergegas Atikah meninggalkan paviliun. Sesekali ia menengok ke belakang, menkhawatirkan kondisi adiknya yang belum kunjung sembuh. Dengan cepat ia pergi menuntut ilmu, sembari berharap guru mengajinya ikut mendoakan kesembuhan Sukma.
Ketika hendak keluar gerbang rumah, tak disangka Albi datang menghampiri Atikah. Sambil berlari, bocah laki-laki itu meraih pundak Atikah. "Kamu mau ke mana?"
Atikah menoleh. "Eh, A Albi. Aku mau pergi ngaji."
"Ngaji? Ngaji itu apa?" tanya Albi mengerutkan dahi sambil menggaruk kepala.
"Hm, apa, ya? Pokoknya ngaji lah. Belajar baca al-qur'an."
"Oh, aku boleh ikut nggak? Aku juga pengin tahu baca al-qur'an kayak gimana."
"Loh? Memangnya Om Hilman sama Tante Farah nggak pernah ngajarin ngaji, gitu?"
Albi menggeleng cepat. "Mama sibuk ngurus yayasan dan arisan, sedangkan Papa kecapekan tiap pulang kerja. Bi Reni sibuk ngurus rumah dan nggak ada waktu lagi buat main sama aku. Jadi, aku nggak tahu sama sekali cara baca al-qur'an."
"Oh, begitu, ya." Atikah mengangguk. "Tapi, kalau kamu ikut ngaji, mama kamu marah nggak?"
"Kayaknya enggak, deh. Kalau les matematika dan IPA diizinin, kenapa mamaku harus marah karena aku belajar ngaji?"
"Ah, benar juga, ya. Sebaiknya A Albi ganti baju dulu. Pakai baju koko sama celana panjang. Kita ngaji bareng, yuk."
"Tungguin aku sebentar, ya. Aku bakal ikut kamu ngaji," kata Albi tergesa-gesa.
"Iya, aku tungguin."
Segera Albi masuk ke rumah untuk berganti pakaian. Wajahnya tampak semringah, membayangkan pelajaran baru yang akan didapatnya malam ini. Tanpa disadarinya, Farah memperhatikan Albi dari kamar. Sungguh, kebenciannya pada Atikah masih sama seperti pertama kali keluarga Pak Risman menghuni paviliun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Kapan giliran Farah di datangin Hantu🙄
2024-04-03
0
Berdo'a saja
buat mereka yang mengutamakan kesuksesan dunia, matematika bahasa Inggris dan teman teman nya lebih di utamakan ketimbang belajar agama, bukan omong kosong tapi didunia nyata sudah lah banyak contoh nya dilingkungan kawasan elite, sebenarnya tidak semua nya seperti itu, tapi pada kenyataannya guru les matematika lebih tinggi dari pada guru mengaji
2023-05-08
0
Lynee
Farah kenapa sih gitu
2022-05-22
0