Bu Ratmi menatap Hilman cukup lama. Keraguan masih menggerayangi hatinya. Kendati demikian, pengalaman mendapat uang dari Pak Jumadi, mengalahkan segala kebaikan yang ditunjukkan oleh Hilman. Segera ia mengambil koper itu, lalu melemparkannya ke halaman.
Melihat reaksi keras yang ditunjukkan kakak iparnya, Hilman terperangah. "Kenapa dibuang, Teh?"
"Berikan saja uang itu ke RSJ! Saya nggak sudi menerima uang dari tukang ngipri itu!" sungut Bu Ratmi menatap tajam Hilman.
"Tapi, Teh. Teteh juga butuh uang buat biaya tahlilan Mas Burhan," bujuk Hilman dengan wajah memelas, lalu memungut koper hitam berisi uang itu.
"Saya masih banyak uang peninggalan dari suami, kok. Saya bisa pakai itu. Lagi pula, apa pantas orang-orang yang menyekutukan Tuhan seperti kami mengadakan acara tahlilan? Sudah jelas nyawa setiap pelaku pesugihan akan diperbudak di alam gaib, percuma saja meminta pertolongan Tuhan untuk orang yang sudah tiada," kata Bu Ratmi bernada ketus sambil melipat kedua tangan.
"Teh, setidaknya doa kita akan meringankan Mas Burhan. Mudah-mudahan Tuhan mengampuninya."
"Tidak, tidak! Saya malu untuk meminta pertolongan-Nya setelah bersekutu dengan iblis." Bu Ratmi tertunduk lesu, mengepalkan kedua tangannya. "Sudahlah, kau tak perlu membujuk saya lagi. Bawa uang itu pergi dan tinggalkan saya sendiri."
"Baiklah, aku nggak akan maksa, Teh. Kalau Teteh nggak percaya, saya udah ngasih uang ini ke pemulung. Alhamdulillah, dia tidak kenapa-kenapa, Teh. Justru hari ini pemulung itu kerja di rumah kami," jelas Hilman berusaha meyakinkan sang kakak ipar.
Mendengar penjelasan Hilman, Bu Ratmi tercengang dan menoleh pada adik iparnya. "Benarkah? Bagaimana bisa?"
"Entahlah, Teh. Mungkin memang benar uang ini tidak ada jampi-jampinya. Makanya dia baik-baik saja." Hilman mengembuskan napas panjang.
Bu Ratmi berdiri, lalu melangkah ke depan teras. Ditatapnya lagi koper hitam itu, memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi pada si pemulung. Ia kemudian memandang jauh, mengingat kembali perkataan dukun langganannya.
"Saya masih ingat betul perkataan Mbah Kasiman tentang seseorang yang bisa selamat dari sihir."
"Selamat dari sihir?"
"Ya. Ada dua kemungkinan pemulung itu bisa selamat. Pertama, bisa jadi uang itu tidak diguna-guna. Kedua, mungkin si pemulung tekun beribadah dan imannya pada Tuhan sangatlah kuat, wajar jika uang itu tidak berpengaruh apa-apa."
"Jadi, menurut kesimpulan Teteh, pemulung itu punya iman yang kuat, begitu?"
"Saya tidak tahu. Saya hanya mengatakan sesuatu yang pernah diucapkan oleh Mbah Kasiman. Sebaiknya sumbangkan saja uang itu. Saya tidak mau menerimanya."
"Kalau itu keputusan Teteh, baiklah, aku akan sumbangkan uang ini saja. Tapi ... bagaimana dengan kehidupan Teteh selanjutnya? Apa Teteh akan tetap di sini bersama anak ...."
"Jangan bahas anak saya! Saya sudah membuang anak itu," bentak Bu Ratmi.
"Astagfirullah, Teh! Kenapa Teteh buang? Teteh sama Mas Burhan menantikannya bertahun-tahun, tapi sekarang ...."
"Anak itu lebih mirip setan ketimbang saya dan Mas Burhan. Saya tidak mau terbebani oleh kehadiran anak setan itu!" kata Bu Ratmi menyela.
"Lalu sekarang, Teteh mau bagaimana? Hidup sebatangkara saja? Lebih baik Teteh ikut tinggal sama aku saja, ya?"
"Tidak. Saya tidak mau membebani orang lain. Saya bersama Sari dan Minah akan pindah ke Kuningan, ke kampung halaman saya. Setidaknya saya bisa melupakan semua kenangan manis dan tragedi buruk di tempat ini."
"Sayang sekali kalau harus pindah, Teh. Lalu, bagaimana dengan perusahaan Mas Burhan? Teteh nggak mau urus pabrik tekstilnya?"
"Untuk masalah itu, nanti akan saya bantu pindahtangankan kepemilikan pabrik tekstil Mas Burhan ke kamu. Kami tidak punya anak, jadi cuma kamu satu-satunya yang berhak memegang perusahaan itu. Saya pesan, jaga baik-baik pabrik tekstil peninggalan Mas Burhan. Dia membangun usahanya benar-benar dari nol. Sayang jika harus gulung tikar."
"Teteh nggak keberatan?"
"Untuk apa saya merasa keberatan? Kau juga adik saya. Sudah seharusnya pabrik itu ditangani oleh orang yang terampil mengembangkan produksinya."
"Kalau begitu, baiklah. Aku akan berusaha untuk terus memajukan perusahaan Mas Burhan." Hilman tersenyum pahit memandangi Bu Ratmi. "Aku pamit dulu, Teh. Nanti kalau mau pindah ke Kuningan, jangan lupa kabari aku. Dengan senang hati aku akan membantu Teteh buat pindahan."
"Iya, tentu saja."
Bergegas Hilman pergi meninggalkan Bu Ratmi sendirian. Wanita itu kembali duduk di kursinya, menghela napas panjang. Tak terbayangkan olehnya semua yabg terjadi saat ini sangatlah menyiksanya. Sepeninggal Hilman, ia melamun lagi. Pikirannya mengawang, membayangkan suami tercinta yang telah tiada.
Di tempat lain, Bu Inah baru pulang dari rumah Pak Subekti. Betapa terkejutnya ia melihat rumahnya berantakan bagaikan kapal pecah. Tak lama kemudian, gadis belia yang mengurus kedua putrinya yang masih kecil, datang dengan terengah-engah.
"Bu Inah! Bu Inah! Si dedek kecil lari-lari! Aku kewalahan mengurusnya," pekik Neng Putri, mengatur napas.
"Lari-lari?! Gimana ceritanya bayi baru lahir bisa lari-lari?" tanya Bu Inah mengernyitkan kening.
"Aku juga nggak tahu, Bu. Aku sampai capek ngejar-ngejar dia," kata Neng Putri mengusap peluh di dahinya.
"Ah, kamu ini kebanyakan nonton film horor, jadi ngebayangin yang enggak-enggak ke bayi baru lahir."
Beberapa menit berselang, terdengar suara rengekan bayi dari dapur. Tak salah lagi, itu pasti Sukma yang menangis. Bu Inah berlari kecil ke dapurnya dan bernapas lega. Atikah sedang menenangkan Sukma dalam gendongannya.
"Jangan menangis, Dek. Nanti Ibu pulang, kok. Cup cup cup," ucap Atikah menepuk-nepuk bokong adiknya dengan lembut.
Melihat putrinya baik-baik saja, Bu Inah segera memanggil Neng Putri. Gadis belia itu datang, lalu membelalakkan mata tatkala melihat bayi itu digendong oleh Atikah.
"Loh, kok?" Neng Putri tertegun.
"Masa kamu kalah sama anak kecil, Neng? Tuh lihat! Atikah aja bisa tenangin adiknya," sungut Bu Inah.
"Tapi seriusan, Bu. Tadi dedek bayinya lari-lari ke luar, terus ngomong pengin ketemu ibu," jelas Neng Putri berusaha meyakinkan.
"Kamu itu makin ngelantur aja. Mana mungkin bayi baru lahir bisa lari sambil ngomong," tampik Bu Inah kesal.
"Iya, Bu. Tadi si dedek bilang gitu," kata Atikah, yang membuat Bu Inah semakin tidak percaya.
Bu Inah menghampiri Atikah, lalu mengambil Sukma dari gendongannya. "Atikah, mungkin kamu sedang berkhayal tentang adikmu. Makanya merasa si dedek bisa ngomong."
Atikah menggeleng cepat. Tatapan matanya yang polos itu mustahil menyembunyikan kebenaran. "Aku nggak berkhayal, Bu. Tadi si dedek lari-lari ke luar, terus nangis-nangis pengin ketemu sama Ibu."
Bu Inah tidak mengacuhkan perkataan keduanya. Diambilnya dot bayi dari dipan, lalu menyodorkannya ke mulut Sukma. Bayi itu terdiam tatkala diberi susu oleh Bu Inah.
"Sekarang kamu boleh pulang, terima kasih udah jagain Atikah sama adeknya," ucap Bu Inah.
"Uang ngasuhnya mana, Bu?" tanya Neng Putri sambil menadahkan tangan.
Bu Inah memberinya selembar uang lima ribu. "Buat jajan kamu."
"Asyik! Terima kasih, Bu." Neng Putri bergegas keluar rumah Bu Inah sambil melompat kegirangan.
Atikah duduk di samping ibunya, melihat adik bayinya yang perlahan menutup mata. Mungkin Sukma kelelahan setelah bermain-main dengan kakaknya. Atikah menatap kembali ibunya, seolah ingin mengucapkan sesuatu yang penting dari lubuk hatinya. Akan tetapi, keraguan segera mengendap di benaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Weh masak bayi bisa ngomong sambil lari2🤣🤣
2024-04-03
0
Berdo'a saja
bayi berulah apa b.inah akan tau
2023-05-08
0
Gusty Ibunda Alwufi
ya karna sukma sdh ada perjanjian sm setan dr ke 2 ortunya
2021-11-15
0