Selesai memasak, Bu Inah tergopoh-gopoh menuju kamar. Dilihatnya Atikah yang mulai menangis di depan adiknya. Segera ia menggendong Sukma, berusaha menenangkan kerewelannya.
"Atikah, kamu apakan Sukma?"
Atikah menyeka air matanya dan menjelaskan, "Aku nggak ngapa-ngapain Dek Sukma, Bu. Dianya aja yang tiba-tiba nangis."
Untuk mengetahui penyebabnya, Bu Inah menyentuh popok Sukma. Ternyata masih kering. Jika diingat lagi, ia juga sudah memberinya susu.
"Bu, tadi Dek Sukma bilang 'pengin ketemu Ibu' lagi," tutur Atikah menatap ibunya yang gelisah.
"Beneran dia bilang begitu? Bukan cuma khayalanmu saja?"
"Aku dengar sendiri, Bu."
Tertegun Bu Inah mendengar penuturan Atikah. Ia masih tidak percaya, bayi yang umurnya belum genap satu bulan, dapat berbicara seperti orang dewasa. Kendati demikian, Bu Inah berpikir, bahwa anak kecil seumuran Atikah masih polos dan berbicara jujur apa adanya. Menurutnya, mustahil jika bocah berusia tiga tahun itu sanggup berbohong pada orang tua.
"Ya sudah, sekarang kamu main dulu di luar. Nanti kalau Sukma sudah tenang, Ibu akan menyusul."
Atikah berlari ke luar kamar sambil membawa boneka beruangnya, sementara tangisan Sukma semakin nyaring saja. Tak seperti di hadapan kakaknya tadi, bayi kecil itu memang belum bisa bicara. Akan tetapi, di balik tangisannya itu ada kata-kata yang ingin diungkapkannya lagi. Sesuatu yang mengganjal di hati Sukma semakin besar, sehingga membuat bayi itu sulit berhenti menangis.
Cukup lama Bu Inah menenangkan Sukma di dalam paviliun, tapi bayi itu masih saja menangis. Ia pun membawa bayinya keluar, menikmati pemandangan di taman belakang rumah Hilman. Ditunjukkannya beberapa hewan piaraan majikannya pada Sukma, lalu bayi itu perlahan-lahan mulai tenang ketika melihat burung jalak hitam di sebuah kandang.
Dari rumah utama, datanglah Farah yang baru saja pulang bersama anak dan suaminya. Tangisan Sukma yang nyaring membuat wanita berparas cantik itu terganggu. Dengan tergesa-gesa ia menghampiri Bu Inah, meski bayi itu sudah berhenti menangis.
"Bu, kalau kewalahan mengurus bayi, nggak usah punya anak lagi, kenapa? Tangisannya itu berisik banget, tahu nggak?" Farah mengomel.
"Maafkan saya, Bu. Tadi anak saya pengin main, makanya menangis," jelas Bu Inah.
"Sudah, sudah! Aku nggak mau dengar alasan kamu! Pokoknya, kalau nggak bisa tenangin bayi kamu sendiri, mendingan nggak usah tinggal di sini," bentak Farah bersungut-sungut.
Mendengar ucapan Farah, Hilman pun marah. Sikap Farah yang berlebihan pada Bu Inah, membuatnya jengkel sekaligus malu. Secepatnya ia menghampiri mereka dengan raut wajah kesal.
"Jaga mulutmu, Farah!" bentak Hilman memelototi istrinya. "Kamu itu sama orang yang lebih tua harus sopan."
"Ngapain harus sopan segala, sih, sama pembantu? Mereka itu dapat uang dari kita," cetus Farah seraya mendelik.
"Cukup, Farah! Sebaiknya kita ke rumah. Ayo!" Hilman menarik tangan Farah, laku berjalan menuju rumah.
Melihat pertengkaran di antara Hilman dan Farah, Bu Inah semakin merasa tidak enak. Ia kembali membawa Sukma masuk ke paviliun. Sementara itu, Atikah masih asyik bermain di teras bersama boneka beruangnya. Sesekali ia mengambil cangkir kecil mainannya, untuk memberi minum pada boneka.
Ternyata kehadiran Atikah di paviliun itu, disadari oleh Albi. Bocah laki-laki itu berlari ke paviliun, lalu tersenyum melihat Atikah yang sedang asyik bermain sendirian.
"Kamu main apa?" tanya Albi, duduk di depan Atikah.
"Lagi main masak-masakan," jawab Atikah menatap Albi. "Kamu siapa?"
Albi mengulurkan tangan. "Namaku Albi."
Atikah menyambut uluran tangan dari Albi dan berkata. "Aku Atikah."
"Kita main bareng, yuk! Aku juga punya banyak mainan," ajak Albi, menuntun Atikah menuju rumahnya.
Dari balik jendela ruang makan, Farah tak sengaja melihat keakraban antara putranya dan Atikah. Tanpa memedulikan suaminya yang berbicara panjang lebar, ia terus memperhatikan tingkah Albi dan Atikah dengan sinis. Sungguh, wanita itu tak suka jika putranya mudah akrab dengan anak orang miskin.
...****************...
Kesibukan tampak di rumah Pak Burhan. Beberapa orang mengangkut barang ke mobil pick up yang terpakir di halaman rumah. Mak Asih merasa kasihan pada Bu Ratmi. Ia datang ke rumah itu, lalu menemui sang pemilik rumah.
"Assalamualaikum, Bu Ratmi," sapa Mak Asih.
"Waalaikumsalam, Mak."
"Bu Ratmi, jadi benar mau pindah hari ini? Kenapa nggak bulan depan saja?"
"Enggak, Mak. Saya sudah pengin istirahat di kampung halaman."
"Tunggulah beberapa minggu lagi, Bu Ratmi. Kalau merasa kesepian, saya bersedia menemani."
"Bukan itu masalahnya, Mak. Sebenarnya di rumah saya masih ada Sari dan Minah, tapi ...."
"Tapi apa?"
Bu Ratmi termenung sejenak. Setelah suaminya tiada, gangguan makhluk halus di rumahnya semakin sering. Belum lagi ia selalu berhalusinasi, sehingga membuat kedua pembantunya kerepotan mengurusnya. Suara-suara tangisan bayi selalu terngiang di telinganya. Bersama itu pula, bayangan bayi setan yang digendongnya sewaktu di rumah sakit, terlintas lagi di matanya.
Sebenarnya sejak pulang dari rumah sakit, hati dan pikiran Bu Ratmi tidaklah tenang. Kebiasaannya melamun justru membawa malapetaka bagi alam bawah sadarnya. Sosok-sosok mengerikan kerap didapatinya di dalam rumah, sampai-sampai ia jatuh pingsan. Selain itu, terkadang Bu Ratmi mendadak menjerit-jerit di ruang tamu. Katanya ada nenek berkuku panjang sekali, sedang duduk di dekat pintu masuk sambil melambaikan tangan ke arahnya. Jelas, wanita paruh baya itu tidak tahan dengan semua gangguan dari makhluk gaib itu. Kendati demikian, Bu Ratmi berusaha bertahan, mengingat urusan harta peninggalan suami yang harus dituntaskan.
Di tengah lamunannya, Bu Ratmi terkejut oleh kehadiran Hilman dan Pak Risman yang mendadak muncul di hadapannya. Untuk sesaat, Bu Ratmi mengerjap dan mengurut kepala, lalu menatap dua tamunya dengan dahi berkerut.
"Eh, sejak kapan kamu ke sini, Hilman?" tanya Bu Ratmi mengembangkan senyum simpul di bibirnya.
Mak Asih yang sejak tadi menyadarkan Bu Ratmi, terheran-heran melihat sikap wanita itu. Yang benar saja kedatangan adik iparnya tidak diketahui sama sekali, pikirnya.
"Teh, saya bawa tukang kebun dari rumah buat bantu-bantu angkat barang. Semoga Teteh berkenan dengan kinerjanya," jelas Hilman menunjukkan Pak Risman.
"Ah, iya." Bu Ratmi menatap Pak Risman. "Langsumg saja ambil barang-barang dari kamar, ya."
Pak Risman mengangguk, lalu masuk ke rumah besar itu untuk melaksanakan tugasnya. Sementara itu, Hilman melanjutkan pembicaraan dengan Mak Asih dan Bu Ratmi. Hilman sangat menyayangkan kepergian Bu Ratmi yang begitu cepat. Pun dengan Mak Asih, merasa kehilangan tetangga yang baru dikenalnya saat kecelakaan di depan rumahnya. Namun, Bu Ratmi tetap bersikukuh untuk pergi ke Kuningan, sehingga permohonan Hilman dan Mak Asih agar tetap tinggal di rumah itu tidak dihiraukannya.
Rupanya kepindahan Bu Ratmi ke Kuningan, dapat dirasakan oleh Sukma. Bayi itu tak berhenti menangis sejak subuh. Suhu badannya yang panas tinggi, membuat Bu Inah merasa cemas. Ia pun digendong oleh ibu angkatnya menuju puskesmas bersama Atikah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Farah sombong banget ngomong gak dijaga,Hilman2 masih saja tahan sma Istri model kayak Farah🙄🙄
Bu Risma ingin punya anak dengan menyekutukan Allah,sudah diberi malah takut sendiri😌
2024-04-03
0
Berdo'a saja
ibunya sendiri ketakutan
2023-05-08
0
Dyon Alifahri prasetiyo
Farah farah... kau akan menjadi tumbal iblis cilik itu, hahahaha😈
2022-06-18
1