Bidan Ana merasa bingung. Perkataan Bu Ratmi yang menyuruhnya untuk membuang si jabang bayi, terus terngiang di telinganya. Di satu sisi, ia merasa kasihan dengan bayi yang ditolak, bahkan tak diberi ASI sedikit pun oleh ibunya. Namun di sisi lain, ia juga membutuhkan uang untuk biaya kuliah sekaligus mencukupi gaya hidupnya. Ketika hendak memasuki ruangan bidan, ia menengok sejenak ke kamar bayi. Beberapa bayi yang disimpan di sana masih tidak tenang, suara tangisnya membuat hati Bidan Ana tersayat.
Batal memasuki ruangannya, Bidan Ana kembali ke ruangan ibu melahirkan untuk menemui Bu Ratmi. Secepatnya ia memasuki bangsalnya, lalu mendapati Bu Ratmi sedang memandang kosong ke sudut kamar. Dihampirinya istri Pak Burhan itu sambil tersenyum pahit.
"Bu Ratmi," sapa Bidan Ana, berbisik. Ia berusaha untuk berhati-hati agar Mak Asih tidak terbangun.
"Bu Bidan!" sahut Bu Ratmi terkejut.
"Ssst ... Ibu tenang dulu, ya. Pelankan suaranya."
Bu Ratmi mengangguk. "Ada apa Ibu datang kemari?"
"Saya ... saya mau tanya. Apa benar Ibu ingin membuang putri Ibu? Kasihan dia, masih sangat kecil untuk jauh dari ibunya."
"Kenapa harus dipertanyakan lagi? Saya benar-benar tidak menginginkannya. Lebih baik tak memiliki anak sama sekali daripada mengurus anak setan."
Bidan Ana termenung. "Apa Ibu tidak mau bertemu dengan psikolog dulu? Mungkin Ibu berhalusinasi."
"Untuk apa bertemu dengan psikolog? Tidak ada gunanya. Saya dan suami sudah membuat perjanjian dengan 'dia' sebelum mengandung bayi itu. Saya kira anak yang dilahirkan akan seperti manusia pada umumnya, tapi ternyata ...."
"Tunggu dulu. Apa yang Ibu maksud dengan 'dia'? Saya tidak mengerti."
"Bu Bidan tidak akan mengerti. Pokoknya buang saja anak itu. Jika dia tidak memiliki ikatan dengan saya, maka suami saya akan selamat."
"Jadi, Ibu benar-benar ingin membuang bayi itu?"
"Tentu saja." Bu Ratmi menatap Bidan Ana dengan keyakinan penuh. "Cepat buang bayi itu sekarang juga! Nanti akan saya transfer uangnya, berapa pun jumlahnya yang Ibu mau."
"Apa Ibu tidak ingin melihatnya sebentar saja?"
"Tidak. Saya sudah tidak mau mengakuinya sebagai anak saya lagi."
Melihat keyakinan di mata Bu Ratmi, Bidan Ana pun mengerti. Keraguan dalam hatinya sirna, sehingga membuatnya nekat melakukan hal yang salah. Ia berpamitan pada Bu Ratmi, lalu pergi menuju kamar bayi. Sementara itu, Mak Asih yang mendengar separuh dari percakapan mereka, tak bisa berbuat banyak.
Setibanya di kamar bayi, Bidan Ana membawa putri Bu Ratmi ke ruangannya. Seketika bayi-bayi di sana tidur kembali. Bidan Ana memberi susu formula agar putri Bu Ratmi tak kelaparan. Ditatapnya lekat-lekat mata sang bayi, laku bulu kuduknya mulai merinding. Sekarang Bidan Ana yakin, ada sesuatu yang tidak beres dengan putri Bu Ratmi.
"Kasihan sekali kamu, Dek. Ibumu tidak menginginkanmu, bahkan aku pun tak mau mengurusmu. Kamu ini sangat merepotkan bagi perawat di sini. Teman-temanmu di kamar bayi pun tidak tenang oleh kehadiranmu. Tapi ... kamu ternyata mampu membawa keberuntungan untukku. Dengan membuangmu, aku bisa dapat banyak uang dan cepat kaya ha ha ha." Bidan Ana tertawa, membayangkan banyaknya uang yang akan diberikan Bu Ratmi setelah membuang bayi itu.
Setelah putri Bu Ratmi cukup tenang dan tertidur pulas, Bidan Ana beranjak dari meja kerjanya, kemudian bergegas keluar ruangan. Ditengoknya ke kanan dan kiri koridor rumah sakit, tak ada satu orang pun yang melintas. Keberuntungannya bertugas malam hari, mempermudah jalannya untuk melakukan siasat buruk. Selain suasananya yang sunyi, banyak pegawai rumah sakit yang terkantuk-kantuk dan tertidur pulas, sehingga luput memperhatikan keadaan sekitar.
Mengendap-endap Bidan Ana menyusuri koridor. Dengan waspada, ia mengawasi keadaan sekitar. Takut kalau-kalau ada yang memergokinya membawa bayi pasien. Kali ini ia tidak menggunakan lift untuk mencapai pintu keluar rumah sakit. Sangat berbahaya baginya jika sampai bertemu dengan perawat lain.
Setibanya di lobi rumah sakit, ia buru-buru keluar dengan berlari kecil. Sungguh sepi suasana kala itu. Beberapa satpam tertidur di sudut ruangan, sementara yang lainnya masih terjaga di depan rumah sakit. Bidan Ana tak mau kehadirannya di ketahui oleh mereka. Secepatnya ia berlari dalam kegelapan, menuju pintu belakang rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, Bidan Ana merasa diawasi. Sesekali ia menengok ke belakang, tapi tak ada orang sama sekali. Bidan Ana berpikir, bahwa itu hanya sugesti saja. Namun, setelah beberapa langkah meninggalkan rumah sakit, rupanya memang ada sosok yang mengikutinya dari belakang. Makhluk itu masih sama seperti yang mengikuti Pak Burhan dan Bu Ratmi dari rumah, yaitu perempuan berdaster putih dan menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya. Bulu kuduk Bidan Ana semakin merinding tatkala jauh dari rumah sakit. Kakinya terasa melemas, ia berusaha untuk berlari secepat mungkin.
Ketika mencapai sebuah TPS, tubuh Bidan Ana tersungkur seperti ada yang mendorongnya dari belakang. Akan tetapi, saat ia menoleh, tak ada siapa pun di belakangnya. Ketakutan kian mencengkeram batin Bidan Ana. Tanpa memedulikan bayi yang ditinggalkannya di dekat TPS, ia berlari sekencang mungkin untuk kembali ke rumah sakit.
...****************...
Azan Subuh berkumandang. Malam yang mencekam telah lewat. Seperti biasa, setelah salat tahajud, Pak Risman pergi ke masjid untuk melaksanakan salat Subuh berjamaah. Kendati berprofesi sebagai pemulung, ia tetap memakai pakaian yang rapi dan bersih ketika menghadap Sang Pencipta. Lelaki itu percaya, bahwa rezeki akan datang lebih cepat jika bangun lebih pagi dan beribadah lebih awal. Bagaimanapun juga, ia yakin Tuhan akan memberikan kehidupan yang lebih baik, sebab rezeki dan takdir hanya Dia yang menentukan.
Setelah selesai salat, Pak Risman kembali ke rumah bedengnya. Segera ia mengganti pakaiannya, lalu mengambil setangkai besi dan karung yang biasa dipakainya setiap hari. Ketika hendak pergi memulung, istrinya yang bernama Bu Inah, menahannya sebentar.
"Nggak sarapan dulu, Pak?"
"Nanti saja di jalan. Biasanya suka ada pedagang yang ngasih makanan."
"Oh, ya sudah, hati-hati di jalan, Pak. Semoga rezeki yang didapat hari ini lebih banyak dari kemarin."
"Aamiin, Bu. Kalau begitu Bapak pergi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Maka berangkatlah Pak Risman menuju jalanan untuk mengais rezeki. Suasana mulai ramai seiring terbitnya Sang Surya. Dengan hati-hati, Pak Risman menyeberangi jalan, lalu memunguti kemasan air minum bekas dan memasukkannya ke dalam karung. Semua ini dilakukannya dengan ikhlas, terlebih ketika mengingat kehadiran putri semata wayangnya yang bernama Atikah. Ia menjadi lebih semangat bekerja setiap kali bayangan putrinya yang berusia tiga tahun melintas di pelupuk mata.
Ketika melintasi TPS, Pak Risman secara tidak sengaja merasakan sesuatu yang berbeda di tangkai besinya. Dilihatnya lebih dekat sesuatu yang mengenai besinya tadi. Betapa terkejut Pak Risman mendapati bayi yang masih merah tertidur pulas di TPS. Beruntung, tidak ada anjing yang datang mengganggunya.
Dengan hati-hati, Pak Risman menggendong bayi itu. Bayi yang tadinya tertidur pulas, seketika menangis sekencang-kencangnya tatkala berada di gendongan Pak Risman. Lelaki itu melihat-lihat keadaan sekitar, tak ada seorang pun yang menyadari kehadiran bayi itu. Pak Risman merasa kasihan padanya. Ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan membawa bayi itu.
Setibanya di rumah, Bu Inah menyambutnya dengan mengernyitkan kening. Melihat bayi yang berada di gendongan suaminya, ia pun tercengang sambil membekap kedua mulutnya. Pak Risman cepat-cepat menghampiri istrinya, sambil tersenyum semringah.
"Astagfirullah, Pak! Bapak bawa anak siapa?" tanya Bu Inah, terbelalak.
"Bapak menemukan bayi ini di dekat TPS. Kasihan dia, badannya masih sangat kecil dan kotor. Sepertinya dia baru dilahirkan, kulitnya masih merah."
Dengan penuh kasih sayang, Bu Inah mengambil bayi itu dari pangkuan Pak Risman. "Ya Allah, masih saja ada orang yang membuang bayinya. Kita butuh beberapa tahun untuk punya anak, sedangkan orang yang membuang bayi ini ... tega sekali dia."
"Sudahlah, Bu, tidak perlu mengumpat seperti itu. Mungkin ini anugerah Allah untuk kita. Dia menitipkan bayi ini agar kita memiliki kesempatan untuk merawatnya."
"Iya, Pak. Ibu juga sering dengar dari Ustaz Ramlan, katanya anak itu penarik rezeki. Mudah-mudahan bayi ini menjadi anak yang baik dan membanggakan orang tua kelak, ya, Pak."
"Aamiin, Bu."
Tak lama kemudian, putri mereka yang bernama Atikah datang. Sambil mengucek mata, ia menghampiri mereka. Ketika melihat bayi di pangkuan ibunya, anak berusia tiga tahun itu tercengang.
"Ibu, siapa dia? Apa sekarang aku punya adik?" tanya Atikah mendongak menatap bayi itu tanpa berkedip.
Untuk sesaat, Pak Risman dan Bu Inah saling tatap dan tersenyum. Pak Risman menggendong Atikah, lalu membiarkan putrinya menatap bayi itu.
"Kamu senang punya adik?" tanya Pak Risman tersenyum simpul.
Atikah mengangguk cepat, matanya berbinar-binar. "Iya dong, Pak. Kemarin 'kan aku bilang sama Ibu dan Bapak pengin punya adik. Eh, sekarang doaku dikabulin."
Pak Risman dan Bu Inah tampak lega dengan perkataan Atikah. Kini tak ada lagi kendala untuk mereka merawat bayi itu. Dibawanya bayi itu ke dalam rumah, lalu Bu Inah menyiapkan air hangat untuk mandi. Atikah begitu senang bermain dengan adik barunya, terlebih saat mengetahui bahwa bayi itu berjenis kelamin perempuan.
"Bu, kira-kira kita kasih nama dia apa, ya?" tanya Pak Risman setengah berteriak.
Bu Inah berjalan dari dapur menghampiri Pak Risman dan kedua putrinya. "Bagaimana kalau kita namai Sukma?"
"Nama yang bagus, Bu. Baiklah, nanti kita adakan selamatan kecil-kecilan untuk pemberian nama bayi ini."
"Semoga ada biayanya, ya, Pak."
"Insya Allah, Bu. Kalau begitu, Bapak pergi dulu buat kerja. Mudah-mudahan hari ini kita dapat rezeki lebih buat beli susu dan selamatan bayi ini."
"Silakan, Pak. Ibu doakan semoga dapat rezeki yang berkah."
Pak Risman mengangguk, lalu bergegas pergi sambil membawa karung dan besi untuk memulung. Semangatnya kian bertambah setelah Sukma hadir ke dalam hidupnya. Ia optimis, hari ini akan menjadi awal yang baik untuk menjemput rezeki.
Cuaca kian panas seiring mentari meninggi. Jalanan yang ramai dan berpolusi, tak jadi masalah bagi Pak Risman. Selama niat mencari nafkahnya tulus, berbagai rintangan pun dihadapinya tanpa ragu. Keyakinannya pada Tuhan akan pahala yang didapat, tak pernah luntur dari hatinya.
Ketika memungut sampah di trotoar, tak sengaja Pak Risman menemukan sebuah koper tergeletak di pinggir jalan. Diambilnya koper hitam itu, lalu membukanya perlahan. Kedua mata Pak Risman terbelalak tatkala mengetahui isi dari koper itu. Banyak sekali uang di dalamnya. Lelaki itu menengok ke kiri dan kanan, mencari tahu siapa yang sudah membuang uang sebanyak itu. Akan tetapi, tak ada satu pun orang yang sempat melintas di sekitarnya. Ada kemungkinan koper itu terjatuh dari sebuah mobil.
Di antara tumpukan uang, terdapat secarik kertas di dalamnya. Pak Risman mengambil kertas itu, lalu membaca isinya. Terdapat kalimat yang mengucapkan terima kasih atas pinjaman dari sebuah perusahaan. Pak Risman yang berhati bersih dan jujur, tak ingin membawa koper itu ke rumah. Ia masukkan benda itu ke dalam karungnya, lalu menyelusuri alamat yang tertera di dalam surat.
Pak Risman tak memiliki cukup ongkos untuk naik angkot. Sambil memulung, ia mencari-cari alamat itu. Kendati kakinya terasa pegal menyusuri jalanan berkilo-kilometer jauhnya, tekadnya mencari alamat penerima koper itu masihlah kuat. Tak peduli seberapa terik mentari menyengat, Pak Risman terus berjalan sambil sesekali berteduh di bawah pohon dan meminum air sejenak.
Tak terasa mentari bergulir ke ufuk barat begitu cepat. Niat Pak Risman mengembalikan koper itu tidaklah padam. Ia memasuki sebuah kawasan industri. Satu per satu pabrik ditelusurinya, hingga akhirnya tiba di sebuah pabrik tekstil yang namanya sesuai dengan alamat di dalam surat. Segera Pak Risman memasuki pabrik itu. Namun, belum juga memyentuh gerbang, seorang satpam mengadangnya.
"Siapa kau? Mau apa ke sini?" tanya satpam pria itu bersungut-sungut.
"Saya ingin bertemu dengan Pak Burhan, pemilik perusahaan ini. Apakah dia ada di dalam?"
"Tidak, tidak. Dia tidak ada di dalam. Pulang sana! Untuk apa pemilik perusahaan besar punya urusan denganmu?"
"Saya mohon, Pak. Saya cuma mau memberikan uang dari Pak Jumadi. Dia pernah pinjam uang pada Pak Burhan."
"Kalau begitu, serahkan saja koper itu padaku! Aku akan memberikannya pada Pak Burhan."
"Tidak, Pak. Akan lebih baik kalau saya saja yang memberikan uangnya pada Pak Burhan."
Satpam itu mendorong Pak Risman hingga tersungkur. "Lancang sekali kau! Kau pikir, kau itu pahlawan, apa?"
Dari dalam area pabrik, sebuah mobil melaju menuju gerbang. Hilman, pengendara mobil sekaligus adik Pak Burhan, penasaran dengan kejadian di depan gerbang. Secepatnya ia melajukan mobil hingga gerbang, lalu turun menghampiri satpam dan Pak Risman.
"Ada apa ini?" tanya Hilman membentak.
"A-anu, Pak. Pemulung ini memaksa masuk ke dalam, makanya saya usir," jelas si satpam.
"Tapi nggak gitu juga caranya. Kamu pikir, kamu itu bos di pabrik ini?"
Satpam itu tertunduk.
Hilman membantu Pak Risman untuk bangkit. "Maafkan kami, Pak. Satpam itu tidak bermaksud berbuat kasar pada Bapak."
"Tidak apa-apa, Pak," kata Pak Risman meringis.
"Oya, ada kepentingan apa Bapak datang ke sini sampai memaksa untuk masuk segala?"
Pak Risman menaruh karung ke tanah, lalu mengambil koper berisi uang di dalamnya. Diserahkannya koper itu pada Hilman, hingga membuat mata satpam membelalak. Hilman pun terkejut dengan barang yang diserahkan oleh pemulung seperti Pak Risman.
"Saya menemukannya di jalan, Pak. Sepertinya itu terjatuh. Beruntung di dalamnya ada nama pengirim dan penerima, ditambah ada alamat perusahaan. Jadi, saya bisa mengembalikannya ke sini," jelas Pak Risman, merasa sungkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Masih teka teki,ternyta Sukma nama si bayi to😊
2024-04-03
0
Aksay Asyila
masih banyak teka-teki lanjut lagi baca biar nyambung 🤭🤭
2024-01-15
0
Berdo'a saja
kok bisa uangnya jatuh
2023-05-04
0