Waktu merangkak menuju tengah malam. Jam dinding menunjukkan pukul dua belas tepat. Dari sebuah trotoar yang diterangi sedikit lampu jalanan, tampak Pak Subekti baru pulang dari warung remang-remang sambil berjalan sempoyongan. Sebotol tuak dihabiskannya sendirian. Selain itu, ia habiskan sisa uang yang dipinjamnya untuk berjudi, tapi nasib mujur belum berpihak padanya. Lagi-lagi ia harus menelan kekalahan dan pulang dengan tangan hampa.
Ketika hendak memasuki gang rumah, samar-samar terlihat sosok makhluk tinggi besar sedang menantinya. Ini cuma halusinasi, pikir Pak Subekti. Akan tetapi, anggapannya itu terpatahkan setelah mendengar geraman semakin mendekat. Pak Sukbeti yang panik segera berbalik arah dan berlari dengan tersaruk-saruk. Napasnya tersengal-sengal tatkala meminta pertolongan warga sekitar.
Di belakangnya, makhluk berkepala anjing dengan mata merah menyala dan memiliki gigi taring yang runcing, sedang mengejar Pak Subekti. Ia tak sabar ingin melahap mangsanya secepat mungkin untuk menuntaskan rasa laparnya. Tak mau kehilangan sang korban, makhluk itu berjalan dengan langkah yang sangat lebar. Tentu saja, hal ini membuat Pak Subekti gemetar ketakutan setengah hingga lututnya melemas.
Ketika tiba di sebuah taman yang gelap, Pak Subekti bersembunyi. Ia berpikir, bahwa makhluk aneh dan mengerikan itu tidak mungkin menemukannya di tempat segelap itu. Untuk sejenak, lelaki itu mengatur napas sembari mengumpulkan tenaga agar kuat berlari kembali menuju rumahnya. Kendati kepalanya masih pening, Pak Subekti berusaha untuk berdiri dan menebarkan pandangan. Ternyata tanda-tanda kehadiran makhluk itu tidak ada sama sekali. Berbekal keyakinan penuh, Pak Subekti berjalan perlahan-lahan dan memandang ke segala arah demi memastikan keadaannya untuk kabur benar-benar aman.
Langkah demi langkah mengantar lelaki paruh baya itu keluar dari taman yang dipenuhi oleh pepohonan rindang. Ketika ia hendak keluar dari sana, kembali terdengar suara geraman yang entah dari mana asalnya. Pak Subekti tidak peduli. Langkah kakinya semakin dipercepat, tapi kesadarannya yang belum pulih benar, justru membuatnya tersungkur berkali-kali. Pak Subekti berusaha bangkit, lalu berlari kecil. Namun, sebuah tangan berukuran besar telah mencengkeram kakinya lebih dulu, lalu menyeret tubuhnya masuk kembali ke taman yang gelap itu.
"Tolooong! Tolooong!" teriak Pak Subekti panik bercampur takut. Suaranya yang melengking tak terdengar oleh siapa pun.
Tak peduli dengan teriakan mangsanya, makhluk itu mengeluarkan kuku-kuku tajam dari jemarinya. Dicakarnya tubuh Pak Subekti tanpa ampun. Lelaki paruh baya itu memekik keras tatkala luka-luka di badannya mengeluarkan darah segar. Makhluk itu mencabik-cabik Pak Subekti, lalu memakan dagingnya dengan lahap. Gelapnya malam dan embusan angin yang dingin menusuk, mejadi saksi bisu atas tewasnya Pak Subekti. Makhluk kiriman Pak Jumadi telah tuntas memakan tumbalnya. Selanjutnya, ia pergi meninggalkan seorang lelaki paruh baya yang terkapar tak bernyawa di taman.
...****************...
Hari berganti, mentari kian meninggi. Tak biasanya Pak Risman memakai kemeja berlengan pendek yang dipadukan dengan celana katun panjang berwarna hitam. Panampilannya yang rapi membuat Bu Inah tersenyum-senyum, membawa segelas kopi.
"Nah, begitu dong, Pak. Sebentar lagi Bapak kerja di rumah orang kaya. Biarpun jadi tukang kebun, setidaknya penampilan Bapak harus rapi," puji Bu Inah menaruh kopi di depan Pak Risman.
"Ah, Ibu ini bisa saja." Pak Risman tersipu-sipu. "Terima kasih, ya, Bu, sudah setuju kalau Bapak kerja di rumah Pak Hilman."
"Iya, Pak. Pekerjaan yang baik jangan ditolak, 'kan? Mudah-mudahan ini awal dari perubahan nasib kita, Pak."
"Aamiin, Bu. Oya, nanti Bapak akan sekalian minta izin pada Pak Hilman supaya Ibu juga dapat bekerja membantu istrinya menyiapkan makanan di rumahnya."
Bu Inah termenung sesaat, lalu berkata, "Tapi, Pak, anak-anak kita masih kecil, butuh bimbingan dari Ibu juga. Mungkin sebaiknya, untuk saat ini Bapak saja yang bekerja. Nanti kalau anak-anak sudah cukup besar dan memahami keadaan kita, insya Allah Ibu akan ikut Bapak kerja di sana."
"Benar juga, Bu." Pak Risman mengangguk. "Ya sudah, kalau begitu Bapak pergi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Berangkatlah Pak Risman menjemput rezeki ke tempat yang baru. Di pinggir jalan, tampak mobil Pak Hilman sudah menunggu. Sang supir keluar dari mobilnya, lalu menyapa Pak Risman untuk memastikan bahwa orang yang dijemputnya sudah benar. Setelah yakin, supir itu mengajak masuk Pak Risman ke dalam mobil, lalu membawanya ke rumah Pak Hilman.
Seiring mobil Pak Hilman melaju, sebuah ambulans datang ke gang menuju rumah Pak Subekti. Tampak empat orang mengangkat peti jenazah berisi tubuh Pak Subekti yang sudah tak berbentuk. Begitu mereka tiba di halaman rumah pria paruh baya itu, Bu Sukiyem menangis histeris. Sungguh ia tak mampu memercayai hal buruk yang dilihatnya pagi ini. Akibat tak mampu menerima kenyataan, kesadarannya perlahan menghilang, kemudian pingsan.
Bu Inah mengetahui kabar duka itu dari tetangga sekitar rumahnya. Beberapa orang mengajaknya melayat, tapi ia memilih untuk menundanya. Keselamatan dua putrinya lebih baik didahulukan ketimbang ikut berduka ke rumah Pak Subekti. Ia mendatangi dulu Neng Putri, gadis abg yang dipercaya olehnya untuk menjaga kedua putrinya.
Setelah selesai dengan urusan menitipkan kedua anaknya, Bu Inah pergi melayat bersama tetangga lain. Sepanjang perjalanan, beberapa ibu-ibu membicarakan tentang keburukan Pak Subekti. Tak sedikit pula yang menganggap kejadian naas yang dialami pria culas itu merupakan azab dari Yang Maha Kuasa.
"Ibu-ibu, jangan ngomongin hal-hal jelek orang yang udah meninggal! Seharusnya kita doakan saja, semoga arwah Pak Subekti diterima di sisi-Nya," tegur Bu Inah.
"Nggak usah naif, Bu Inah. Memang kenyataannya begitu, 'kan? Selain tak pernah mengembalikan uang yang dipinjamnya, dia suka bertindak semena-mena sama orang miskin," kata seorang wanita paruh baya berbadan tambun.
"Benar. Saya juga dengar dari tetangga lain, kalau dia mati diterkam hewan buas," timpal seorang ibu yang lainnya.
"Diterkam hewan buas? Ah, yang benar saja?! Ini perkotaan, mana ada hewan buas berkeliaran di kota," sungut Bu Inah tak percaya.
"Kata yang pada sudah melayat, memang begitu, Bu Inah. Tangannya penuh luka bekas cakaran, belum lagi anggota tubuh yang lainnya. Sudah tidak berbentuk, Bu!" jelas wanita bertubuh tambun.
Tercengang para ibu yang mendengar pernyataan si wanita tambun. Memang mustahil jika ada orang tewas diterkam hewan buas di perkotaan, keculai jika dia bekerja di kebun binatang. Namun, pada kenyataannya jenazah Pak Subekti ditemukan di taman pinggir kota. Jadi, aneh juga rasanya jika pria itu diterkam hewan buas di taman.
Setibanya di rumah Pak Subekti, tampak banyak orang melayat. Ada pula jajaran laki-laki salat jenazah secara berjamaah, di depan peti mati. Sementara itu, Bu Sukiyem masih menangis di kamarnya. Tubuhnya lunglai tak berdaya, menerima kenyataan bahwa suami yang sangat dicintainya telah tiada. Menyaksikan semua itu, Bu Inah jadi teringat pada kejadian kemarin malam tatkala Pak Subekti meminjam uang dari suaminya. Tertegun Bu Inah saat menyadari uang pemberian orang kaya itu. Di dalam benaknya terlintas, bahwa uang itulah yang membawa malapetaka bagi Pak Subekti. Sambil mengembuskan napas, Bu Inah mengucapkan rasa syukur pada Tuhan sebanyak mungkin. Ia dan keluarganya telah selamat dari bahaya uang tumbal.
Sementara itu, Hilman belum berangkat ke pabrik. Ia masih menunggu kedatangan Pak Risman, memastikan bahwa pemulung yang ditunggunya datang. Namun, tak berapa lama kemudian terdengar suara klakson mobil dari depan gerbang rumahnya. Seorang satpam membuka gerbang, dan mobil pun masuk ke halaman depan rumah.
Setibanya di depan rumah Hilman, Pak Risman turun dari mobil dengan tatapan takjub. Rumah dua lantai bergaya Eropa, membuat pria paruh baya itu enggan mengedipkan mata. Hilman yang mengetahui kehadiran Pak Risman, akhirnya bisa bernapas lega. Penyesalan yang dirasakannya semalam, lenyap dari hatinya. Segera ia menghampiri Pak Risman, kemudian menepuk pundaknya.
"Pak. Pak Risman," sapa Hilman dengan santai.
Pak Risman terhenyak, lalu menoleh pada si pemilik rumah sambil tersenyum lebar. "Eh, maaf, Pak Hilman. Saya terlalu mengagumi rumah Anda."
"Nggak apa-apa. Oya, di mana keluarga Bapak yang lain? Mereka nggak ikut ke sini?"
"Enggak, Pak. Ibu katanya belum siap buat ikutan kerja, kasihan sama anak kami, masih kecil-kecil," jelas Pak Risman bernada sungkan.
"Begitu, ya. Baiklah ... besok atau lusa Bapak boyong mereka kemari, ya. Nggak apa-apa istri Bapak nggak ikut kerja juga. Setidaknya, paviliun kami ada yang menghuni nanti."
"Aduh, terima kasih banyak, Pak. Saya berutang budi sangat banyak sama Pak Hilman."
"Jangan bicara begitu, Pak. Saya juga kasihan kalau Bapak harus bolak-balik ngeluarin ongkos," ucap Hilman dengan iba. " Kalau begitu, Bapak sudah siap kerja di sini, 'kan?"
Pak Risman mengangguk cepat. "Tentu saja, Pak."
"Baiklah, sekarang ikut saya."
Hilman menunjukkan area depan rumahnya. Terdapat beberapa jenis bonsai dan semak yang harus ditata rapi oleh Pak Risman. Tak lupa, ia juga menjelaskan cara perawatannya agar tanaman itu tetap cantik. Selanjutnya, Hilman mengajak Pak Risman ke area belakang rumahnya. Di sana ada beberapa pot berisi tanaman hias, yang disimpan dekat teras dan kolam renang. Sisi halaman lainnya ditumbuhi rumput jepang, juga pohon mangga yang buahnya banyak.
Di tengah-tengah penjelasan Hilman tentang cara menata kebun, Albi datang menghampiri mereka. Bocah berusia lima tahun itu terheran-heran melihat Pak Risman.
"Papa, siapa bapak itu? Kok aku baru lihat?"
Hilman menggendong Albi, lalu menjelaskan. "Dia Pak Risman, pegawai baru di rumah kita. Ayo, Albi, salam dulu sama Pak Risman!"
Albi menuruti ucapan ayahnya, lalu mencium tangan Pak Risman. "Selamat bekerja di rumah kami, ya, Pak. Nanti main juga sama aku."
Hilman dan Pak Risman tertawa mendengar perkataan Albi. Suaranya yang mungil dan cempreng membuat keduanya gemas. Saking gemasnya, Pak Risman mencubit pipi Albi dan berkata, "Iya, nanti Pak Risman akan main juga sama kamu."
"Asyik!" Albi tertawa girang.
Tanpa mereka sadari, ternyata Farah memperhatikan dari ruang makan. Melihat putra semata wayangnya mencium orang miskin, wanita itu merasa tidak tahan. Secepatnya ia menghampiri mereka bertiga dengan wajah ditekuk. Tentu saja kedatangannya yang seperti itu membuat Hilman dan Pak Risman terheran-heran.
"Papa, ngapain, sih, nyuruh Albi cium tangan orang miskin segala? Harusnya Pak Risman yang cium tangan Albi!" sungut Farah sambil berbisik di telinga Hilman.
"Diam, Farah! Nanti kalau kedengeran Pak Risman, gimana? Lagi pula, bukankah hal baik mengajarkan Albi memiliki sopan santun pada yang lebih tua?" balas Hilman berbisik.
Farah terdiam, lalu menatap Pak Risman. Raut mukanya yang cemberut berubah semringah demi formalitas di depan pegawai baru. Untuk melengkapi sandiwara di hadapan suaminya, Farah menjulurkan tangan sebagai tanda perkenalan.
"Perkenalkan, nama saya Farah, istrinya Pak Hilman," katanya tersenyum-senyum.
Pak Risman menyalami tangan Farah dan berkata, "Risman."
Merasa jijik, Farah melepas jabatan tangan Pak Risman sambil meringis.
"Oya, Pak. Sekarang Bapak boleh mulai bekerja. Tata halaman rumah kami serapi mungkin, ya, Pak. Semoga Bapak betah di sini," ucap Hilman.
"Baik, akan saya kerjakan."
Hilman beserta keluarga kecilnya masuk ke rumah, sementara Pak Risman mulai mengambil perkakas untuk merapikan halaman belakang. Farah yang melihat keadaan Pak Risman baik-baik saja, teringat pada uang dari Pak Jumadi.
"Pa, nanti beliin aku perhiasan dari uang itu, ya."
"Astaga, Farah! Bukankah sudah kubilang berkali-kali? Uang itu untuk Teh Ratmi. Acara tahlilan Mas Burhan juga butuh biaya yang tidak sedikit. Nanti saja beli perhiasannya. Aku juga masih bisa beliin."
"Tapi, Pa. Kalau nanti Papa kasih uang itu ke Teh Ratmi, pasti Papa juga kebagian, 'kan?"
"Kamu ini pamrih sekali, ya," kata Hilman menatap tajam. "Sudah ah, aku nggak mau debat sama kamu. Lama-lama aku stress duluan sebelum kerja."
Hilman bergegas pergi ke pabrik untuk memantau produksi kain. Tak lupa, ia membawa koper berisi uang puluhan juta rupiah, yang sudah dilengkapkan jumlahnya. Hari ini pria itu menggunakan jasa supir untuk mengantarnya ke dua tempat. Pertama ke rumah kakak iparnya, lalu ke tempat kerjanya.
Jarak antara rumah Hilman dan Pak Burhan tak begitu jauh. Cukup menempuh waktu selama lima belas menit saja, ia sudah tiba di rumah kakaknya. Saat tiba di sana, Hilman berjalan tergesa-gesa tatkala melihat Bu Ratmi sedang duduk termenung sendirian di teras rumah.
"Teh, Teteh!" seru Hilman dengan wajah semringah.
Bu Ratmi tak kunjung menyahut, matanya memandang jauh. Hatinya masih remuk redam mendengar kabar kematian suaminya dari Mak Asih ketika pulang dari rumah sakit. Rasa kehilangan dua orang terkasih menyelimuti jiwanya hingga hilang kewarasannya. Kini ia hanya bisa melamun dan melamun. Sesekali air matanya menetes, mengingat semua kenangan manis bersama Pak Burhan sebelum maut merenggut nyawa suaminya.
Hilman merasa cemas. Ia menggoyang-goyang bahu Bu Ratmi hingga tersadar. Wanita itu pun terhenyak, lalu menatap Hilman, sambil mengernyitkan kening.
"Hilman? Sejak kapan kamu ke sini?"
Mau tidak mau, Hilman harus memaklumi kondisi mental kakak iparnya yang belum stabil. Dengan sabar ia menghadapi Bu Ratmi dan berkata, "Aku baru saja datang, Teh."
"Sama siapa kamu ke sini?"
"Sendiri saja."
"Oh."
"Teh, aku bawa uang yang dipinjam Pak Jumadi. Siapa tahu Teteh butuh buat acara tahlilan Mas Burhan." Hilman menyerahkan koper hitam itu.
Bu Ratmi menatap lamat-lamat koper di tangan adik iparnya. Ia masih ingat betul, uang yang dikembalikan oleh Pak Jumadi tidaklah baik. Wanita itu pun ragu untuk menerima koper itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Kira2 Siapa yang bakal jadi Korban Uang tumbal itu lagi🤔
2024-04-03
0
Aksay Asyila
apakah akan diterima atau tidak uang dari pak jumadi yang ngipri kita ikuti cerita selanjutnya kaya film aja🤭🤭🙏🙏
2024-01-15
0
Berdo'a saja
sudah dapat korban satu apa masih berdampak
2023-05-08
0