"Ayo, Dek. Kita ulangi lagi. A'uzubillahiminasysyaitonirrojiim."
"Ibu, bisa nggak kalau nggak pakai ta'awuz atau basmalah dulu?"
"Dek, ta'awuz dan basmalah itu sebagai awal buat membaca al-qur'an. Ta'awuz untuk melindungi diri kita dari gangguan setan ketika hendak membaca al-qur'an, sedangkan basmalah untuk mengawali setiap bacaan al-qur'an."
"Tapi aku nggak bisa-bisa melulu, kenapa, ya? Tenggorokan aku terasa kering. Pokoknya susah, deh."
"Ya sudah, besok-besok setiap mau menghafal al-qur'an, banyak minum dulu biar tenggorokannya nggak kering."
"Iya, Bu. Kalau lidah aku yang mendadak kelu, gimana?"
"Itu karena kamu belum terbiasa menghafal surat-surat pendek. Nanti juga kamu bisa, kok."
"Tapi aku belajar dari kecil, sampai sekarang susah banget menghafalnya."
Bu Inah termenung sejenak. Jika diingat-ingat lagi, Sukma memang berbeda dari anak yang lain. Biasanya anak berusia sekitar tiga atau empat tahunan, lebih mudah hafal dengan cara mendengar dan meniru. Akan tetapi, Sukma selalu kesulitan untuk meniru bacaan surat pendek dari keluarganya, meski dicoba berkali-kali. Tekadnya untuk belajar juga masih tak cukup. Usahanya yang sangat keras pun dirasa masih kurang.
Akhirnya, Bu Inah tak mau memaksakan Sukma untuk menghafal. Kondisi putrinya yang masih lesu, membuatnya khawatir akan menjadi lebih buruk. Bu Inah menyuruh Sukma untuk tidur lagi, lalu menyudahi bacaan al-qur'an.
"Besok kita coba lagi, ya."
"Iya, Bu."
Sukma memejamkan mata, sedangkan Bu Inah pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Bu Inah masih memikirkan Sukma dalam benaknya. Ketika melewati ruangan tengah, Pak Risman memanggilnya dengan wajah penasaran.
"Bu, ada apa? Kok melamun begitu?"
"Ibu nggak ngerti sama si Dedek. Dia belajar menghafal al-qur'an, tapi nggak bisa melulu."
"Coba ajarinnya dari cara membaca al-qur'an. Dedek bisa baca-tulis huruf hijaiyah, 'kan?"
"Entahlah, Pak. Dedek memang pandai baca-tulis huruf hijaiyah, bahkan lulus iqro dengan mudah. Tapi untuk menghafal al-qur'an, sepertinya dia benar-benar kesulitan, Pak."
"Ya sudah, kalau begitu, Ibu sabar saja. Mungkin kemampuan Dek Sukma memang segitu. Jangan menyerah buat mengajarinya, ya."
Bu Inah mengangguk, lalu pergi ke dapur. Sementara itu, Sukma yang cepat tertidur lelap, mulai gelisah. Keringat dingin meluncur dari dahinya. Mulutnya gemetar, napasnya tersengal-sengal. Di matanya ia melihat sosok wanita tua yang mendatanginya tadi pagi.
Wanita tua itu menyeringai pada Sukma, hingga membuat bocah berusia enam tahun itu ketakutan. Dalam mimpinya, Sukma kesulitan untuk bangkit. Badannya seperti ditahan oleh batu yang sangat besar.
"Hahaha ... kamu tidak akan pernah bisa menghafal ayat dari kitab suci, Nak," kata wanita tua itu, disusul dengan tawanya yang melengking.
"T-tidak! A-aku pasti ak-kan b-bisa kalau ... k-kalau berusaha!" elak Sukma dengan terbata-bata. Ketakutan yang menyergap batinnya, membuat bibirnya sulit berkata-kata.
"Itu tidak akan pernah berhasil, Anak Kecil. Kau ini anak setan, bukan anak manusia hahaha ...."
"Aku anak bapak dan ibu! Bukan anak setan!" bentak Sukma tak terima.
"Percuma saja kamu memungkirinya, Anak Kecil! Aku tahu, kau itu anak siapa dan berasal dari mana."
"Kamu bohong! Kamu pembohong! Aku tidak akan percaya sama nenek-nenek jelek kayak kamu!"
Belum sempat wanita tua itu menamparnya, Sukma telah terbangun lebih dulu saat badannya digoyang-goyang oleh Pak Risman. Gadis itu terperanjat, lalu bangkit. Ditatapnya sang ayah cukup lama, air matanya menggenang hingga jatuh membasahi pipi.
"Bapak!" kata Sukma sembari merengek dan memeluk ayahnya. Air matanya tumpah begitu saja ketika merasa lega sudah ada yang menemani.
"Ada apa, Dek? Kok kamu dari tadi gelisah melulu tidurnya?" tanya Pak Risman, membelai kepala Sukma.
"Aku ... aku tadi ketemu nenek-nenek jelek, Pak. Aku takut sekali," jelas Sukma melepaskan pelukannya.
"Makanya, sebelum tidur baca doa dulu, biar nggak diganggu nenek-nenek," kata Pak Risman.
"Tapi aku nggak bisa-bisa, Pak. Terus, tadi nenek itu juga bilang kalau aku nggak bakalan pernah bisa menghafal ayat kitab suci karena aku bukan anak Ibu dan Bapak, tapi anak setan."
Tersentak Pak Risman mendengar penuturan putrinya. Ia merasa heran, bagaimana wanita tua di dalam mimpi Sukma bisa tahu kalau putri bungsunya bukanlah anak kandungnya. Akan tetapi, pria parih baya itu segera membuang pertanyaan itu jauh-jauh. Mimpi hanyalah bunga tidur. Tak baik jika sampai kehidupan nyata terpengaruh oleh mimpi.
"Nenek-nenek di dalam mimpimu itu cuma setan yang mengganggu, makanya bilang begitu sama Dedek. Yang sabar aja, ya, kalau masalah menghafal doa-doa dan surat pendek, Bapak akan bantu."
"Tapi kalau aku tetap nggak bisa, gimana?"
"Manusia tidak akan pernah bisa kalau enggan belajar dan berusaha. Yakinlah pada dirimu sendiri, nanti Allah akan mempermudah usaha Dedek. Jangan pantang menyerah! Setan itu lebih suka sama anak yang mudah putus asa. Dedek mau, kalau nenek-nenek itu datang lagi?"
Sukma menggeleng cepat sambil bergidik. "Enggak mau, Pak. Mukanya aja nyeremin. Belum lagi kalau dia ngomong, mulutnya bau banget!"
Pak Risman mengusap kepala Sukma sambil tersenyum simpul. "Besok Dedek belajar lagi, ya. Insya Allah, setelah sembuh nanti, kamu bakal mudah menghafal doa-doa dan surat-surat pendek al-qur'an."
Sukma memeluk lagi ayahnya. Ia sangat bersyukur mendapatkan ayah yang baik seperti Pak Risman. Tak lupa, Bu Inah yang sabar mengajar di waktu senggang, merupakan anugerah terindah bagi Sukma.
Sementara itu, kedamaian dalam keluarga Pak Risman, rupanya belum menghampiri Hilman. Farah yang rewel, tidak biasanya menyentuh kembali mukena setelah sekian lama tak salat. Ketika azan Isya berkumandang, ia segera berwudu, kemudian menggelar sajadah menghadap kiblat. Hilman merasa heran dengan sikap istrinya itu.
"Tumben mau salat," sindir Hilman mendelik.
"A-aku juga pengin belajar salat dan baca al-qur'an lagi, Pa," jawab Farah terbata-bata, mengenakan mukena.
"Bagus, deh, kalau begitu. Aku juga mau ikut salat, sekalian mengimami kamu." Hilman melipat celana panjangnya sampai di bawah lutut, lalu bergegas ke kamar mandi.
"Beneran, Pa? Kalau begitu, Papa aja yang salat."
Hilman tertegun, kemudian menoleh dan mengernyitkan kening. "Idih, kenapa begitu?"
"Setidaknya di rumah ini ada satu orang yang bisa ngajarin ilmu agama ke Albi. 'Kan kalau Papa rajin salat dan mengaji, aku bakalan tetap fokus ngurus yayasan sambil ngerumpi sama ibu-ibu sosialita. Albi juga nggak perlu pergi ke masjid dan bergaul sama anak-anak orang miskin di luaran sana," tutur Farah dengan wajah semringah.
"Astagfirullah! Jadi, cuma karena nggak mau Albi belajar ilmu agama di luar, kamu mau salat, begitu?"
"Memangnya kenapa? Masalah?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Sudah mau berfikir Positif mau kirain Farah berubah ternyata Prank🙄🙄
2024-04-03
0
EVI SILVIANI
ibu farah yg sombong pada. kaum yang ekonomi rendah
2023-10-30
0
Berdo'a saja
🤦🤦🤦🤦🤦 Farah kirain taubat ternyataaaa
2023-05-08
0