Uang Tumbal

Mendengar penjelasan Pak Risman, Hilman merasa lega. Kekesalannya terhadap pengirim uang dari perusahaan Pak Jumadi tadi pagi, seketika terobati oleh kedatangan koper yang dibawa Pak Risman. Senyum semringah tergambar di wajah Hilman saat menerima koper itu.

"Terima kasih sudah mengantarkan uang ini, Pak. Perkenalkan, nama saya Hilman, adiknya Pak Burhan," katanya sambil menjulurkan tangan

"Saya Risman. Ngomong-ngomong, Pak Burhannya di mana?"

Hilman termenung sesaat, teringat pada sang kakak yang sudah tiada kemarin malam. Dengan mata berkaca-kaca, ia menatap Pak Risman sembari berkata, "Dia ... dia sudah tiada, Pak."

"Innalillahi wa innailaihi roji'uun. Maaf kalau saya sudah membuat Anda sedih, Pak."

"Tidak apa-apa. Setidaknya uang ini dapat menutupi kekurangan biaya operasional perusahaan."

Pak Risman mengangguk pelan.

"Oya, Bapak tinggal di mana? Mari saya antar sampai ke rumah Bapak."

"Ah, tidak, terima kasih, Pak. Saya ke sini cuma mau mengantarkan uang itu."

"Tak usah sungkan, Pak. Anggap saja ini sebagai kemurahan hati saya karena Bapak sudah jujur dan mengembalikan uang ini."

"Tapi, Pak, saya ...."

"Sudah, Pak. Sebaiknya saya antar Bapak sampai ke rumah. Kelihatannya Bapak sudah capek mencari-cari alamat pabrik ini. Ayo!" ajak Hilman menggandeng tangan Pak Risman untuk masuk ke mobilnya.

Tanpa banyak berkata-kata lagi, Pak Risman menuruti Hilman dan naik ke mobil. Hilman pun tak keberatan jika Pak Risman membawa hasil memulungnya. Selanjutnya, adik dari Pak Burhan itu melajukan mobil dan meninggalkan pabrik.

"Aduh, Pak. Saya jadi tidak enak," kata Pak Risman diselingi senyum pahit.

"Tidak apa-apa, Pak. Bapak sudah berbuat baik, saya harus ngasih imbalan sama Bapak," jelas Hilman dengan santai. "Oya, Pak. Bapak sudah punya anak berapa?"

"Dua. Yang satu usianya tiga tahun, yang kecil baru lahir."

"Oh, terus setiap harinya Bapak kerjanya memulung, gitu? Ya Allah, Pak, kasihan sekali."

"Habis ... mau bagaimana lagi, Pak? Nyari kerja susah, buka usaha nggak punya modal. Kalaupun mau kerja di pabrik, saya nggak punya uang banyak buat bayar calo. Jadi, saya kerja apa saja lah, Pak, yang penting saya dan keluarga masih bisa makan," jelas Pak Risman.

Terenyuh hati Hilman mendengar penuturan Pak Risman. Pada masa modern seperti sekarang, jarang sekali ada orang miskin yang terdesak kebutuhan ekonomi, mau bertindak jujur saat menemukan uang banyak. Atas rasa prihatinnya, Hilman punya ide untuk membantu Pak Risman memulihkan ekonominya.

"Pak, saya butuh tukang kebun buat mengurus taman di rumah. Mulai besok Bapak nggak usah memulung lagi, mending kerja di rumah saya saja. Nanti saya bayar Bapak seratus ribu per hari. Bapak mau, ya?"

"Wah, yang benar, Pak?! Aduh, saya jadi makin nggak enak sama Bapak."

"Tidak usah sungkan, Pak. Saya cuma mau membantu perekonomian keluarga Bapak. Kalau bisa, bawa saja sekalian keluarga Bapak. Saya punya paviliun kosong, biar Bapak tidak boros ongkos bolak-balik dari rumah ke tempat kerja. Bagaimana, Pak?"

"Saya akan membicarakan dulu dengan istri saya."

"Semoga istri Bapak setuju. Besok pagi saya akan menyuruh supir untuk menjemput Bapak ke rumah saya."

Tak terasa mereka sudah tiba di pinggir jalan, yang menuju rumah Pak Risman. Sambil berpamitan, Pak Risman mengambil hasil memulungnya hari ini untuk diserahkan ke bandar rongsokan. Sebelum bergegas pergi, Hilman menyerahkan uang sebanyak lima ratus ribu rupiah dari koper yang dibawa Pak Risman.

"Ini untuk Bapak," kata Hilman menyerahkan lima lembar uang seratus ribu ke tangan Pak Risman.

"Tidak usah, Pak. Saya sudah terlalu banyak merepotkan Bapak."

Hilman menggeleng. "Tidak baik menolak rezeki, Pak. Anggap saja ini rezeki buat anak Bapak, buat beli susu dan pampers."

"Kalau begitu, terima kasih banyak, Pak. Atas semua kebaikan Bapak hari ini, insya Allah besok saya usahakan mulai bekerja di rumah Bapak."

Hilman tersenyum lebar seraya mengangguk. "Saya pamit dulu, Pak Risman. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Mobil Hilman melaju perlahan meninggalkan Pak Risman. Sementara itu, Pak Risman menghitung-hitung jumlah uang di tangannya dengan mata berbinar-binar. Tidak biasanya ia mendapatkan uang sebanyak itu. Kalaupun ada penghasilan dari memulung, uang yang didapatkannya hanya sekitar dua puluh ribuan, dan paling banyak pun lima puluh ribu.

Sebelum ke rumah, Pak Risman mendatangi bandar rongsok. Di sana hasil memulungnya ditimbang. Ternyata lebih banyak dari biasanya. Pak Risman mendapatkan lima puluh ribu untuk hasil memulungnya dari pagi hingga menjelang Isya.

Setelah mendapatkan banyak uang, Pak Risman pulang menuju rumah bedengnya dengan raut semringah. Namun, sebelum tiba menemui istri dan kedua anaknya, ia dicegat oleh Pak Subekti. Dengan heran, Pak Risman menatap pria berusia enam puluhan itu. Selama ini Pak Subekti dikenal culas dan tak suka jika Pak Risman bahagia.

"Eh, Pak Bekti. Ada apa, Pak?" tanya Pak Risman ramah.

"Pak Risman, saya boleh minta tolong, nggak?" tanya Pak subekti dengan raut memelas.

"Minta tolong apa, Pak?"

"Istri saya sedang sakit keras. Saya butuh biaya untuk berobatnya."

" Memang berapa biayanya, Pak Bekti?"

"Lima ratus ribu. Saya sudah meminjam ke banyak tetangga, tapi tidak ada yang kasih. Kalau Pak Risman nggak keberatan, saya pinjam uangnya, ya? Nanti kalau istri saya sudah sembuh, akan saya kembalikan."

Pak Risman merasa bimbang. Diliriknya saku celana sebelah kiri, lalu mengusap-usapnya. Sementara itu, Pak Subekti yang sejak tadi memperhatikan Pak Risman turun dari mobil mewah, menyunggingkan senyum licik. Ia yakin betul, bahwa lelaki miskin di hadapannya telah mendapat banyak uang dari si pemilik mobil.

"Kalau Bapak tidak punya, sebaiknya saya pinjam ke orang lain saja." Pak Subekti membalikkan badan, lalu melenggang pergi.

"Tunggu dulu, Pak!" seru Pak Risman menahan Pak Subekti.

Sebuah senyum kembali merekah di bibir Pak Subekti, tapi segera disembunyikannya tatkala menoleh pada Pak Risman.

"Ini, Pak. Saya kebetulan dapat rezeki lebih, mungkin bisa buat bantu pengobatan istri Bapak." Pak Risman mengambil uang dari saku celananya, kemudian menyerahkannya pada tangan Pak Subekti.

"I-ini serius, Pak?" tanya Pak Subekti.

"Iya, Pak. Semoga istri Bapak cepat sembuh, ya."

"Terima kasih banyak, Pak Risman. Kalau begitu, saya pamit dulu."

Bergegas Pak Subekti meninggalkan Pak Risman yang tertunduk lesu. Ia tampak tersenyum-senyum menghitung uang dari Pak Risman, kemudian memasukkannya ke saku celana. Dalam hatinya, tak sedikit pun niatan untuk mengembalikan uang itu pada Pak Risman. Lelaki paruh baya itu memang ingin tertawa di atas kesengsaraan orang lain.

Dari depan rumah Pak Risman, Bu Inah rupanya telah memperhatikan tingkah keduanya. Merasa penasaran, Bu Inah pun menghampiri suaminya yang sedang berjalan dengan lesu ke rumahnya.

"Tadi Pak Subekti bicara apa saja sama Bapak?" tanya Bu Inah dengan nada tergesa-gesa.

"Tadi dia bilang, istrinya sedang sakit keras. Pak Bekti butuh biaya untuk berobat istrinya," jelas Pak Risman sambil berjalan memasuki rumahnya.

"Istrinya sakit? Lho? Tadi siang Ibu masih lihat Bu Sukiyem baik-baik saja, kok. Malah dia pamer gelang emas barunya."

"Begitukah?"

"Iya, Pak." Angguk Bu Inah. "Terus, Pak Bekti bilang apa lagi sama Bapak?"

"Dia pinjam uang lima ratus ribu buat biaya berobat istrinya. Karena kasihan, Bapak kasih pinjam saja uangnya. Padahal tadi Bapak dapat rezeki lebih buat beli susu Sukma."

Bu Inah menghela napas panjang sembari menepuk jidatnya. "Ya Allah, Pak! Jadi orang jangan terlalu baik, kenapa? Begini, nih, jadinya. Kalau saja Bapak tidak meminjamkan uang itu pada Pak Bekti, pasti uang itu akan Ibu pakai buat beli semua kebutuhan Sukma, sekalian menabung untuk selamatan dia. Ah, Bapak ini. Ibu yakin, pasti Pak Bekti tidak akan mengembalikan uang itu sama Bapak. Dia orangnya culas, nanti pas ditagih utang malah galakan dia daripada Bapak."

"Sudahlah, Bu. Kenapa jadi menyalahkan Bapak, sih? Mungkin itu belum rezeki kita. Oya, Bu. Hari ini Bapak dapat lima puluh ribu dari hasil memulung. Semoga cukup untuk beli kebutuhan Sukma."

"Syukurlah masih ada gantinya." Bu Inah mengembuskan napas lega. "Baiklah, nanti Ibu atur-atur uangnya. Semoga cukup, Pak."

"Eh, Bu. Bapak mau ngasih tahu sesuatu."

"Apa?"

"Nanti saja ceritanya, Bapak mau mandi dulu."

Pak Risman meninggalkan Bu Inah, lalu mengambil handuk dari kamar. Sementara Bu Inah memandang kosong, sambil terduduk memikirkan kelakuan suaminya yang terlalu baik. Baginya, memang tak ada salahnya menolong orang yang kesusahan, tapi jika Pak Subekti meminta bantuan, maka itu patut dipertanyakan. Sudah berkali-kali keluarga Pak Subekti meminjam uang pada Pak Risman, tapi tak ada sepeser pun yang dibayar. Terakhir kali Pak Subekti meminjam seratus ribu, sekarang jumlahnya justru lebih banyak, terlebih itu rezeki paling besar yang didapat suaminya hari ini. Bu Inah kini hanya bisa berlapang dada dan mengikhlaskan uang yang dipinjam Pak Subekti. Ceramah Pak Ramlan yang sering didengarnya diam-diam dari luar mesjid, masih diterngiang di telinga, bahkan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, Hilman baru saja tiba di rumahnya yang mewah. Kedatangannya disambut oleh Albi, putra semata wayangnya yang berusia lima tahun. Bocah kecil itu tampak girang saat bertemu dengan ayahnya. Seperti biasa, ia menagih permen cokelat kesukaannya pada Hilman.

"Maaf, Albi. Hari ini Papa nggak bawa permen cokelat. Besok aja, ya, Papa beliin," ucap Hilman bernada menyesal, sambil menggendong Albi.

"Kok nggak bawa permen cokelatnya, sih, Pa? Aku udah nunggu-nunggu dari pagi," rajuk Albi, mukanya cemberut dan bibirnya mengerucut.

Hilman mencium Albi dengan penuh kasih sayang dan berkata, "Kalau kamu keseringan makan permen cokelat, nanti giginya ompong. Muka kamu jadi jelek loh."

Tak lama kemudian, istri Hilman yang bernama Farah, datang menghampiri mereka. Pandangannya seketika tertuju pada koper yang ditenteng di tangan suaminya. Dengan tersenyum lebar, ia memegang tangan suaminya.

"Baru pulang, Mas? Itu apa?" tanya Farah, lirikan matanya masih mengarah pada koper yang dibawa Hilman.

Hilman menatap sinis, lalu menurunkan Albi dari gendongannya. "Albi, kamu main dulu sama Bi Reni. Nanti Papa beliin kamu kue pukis," bujuknya, memasang wajah ramah.

Albi melompat kegirangan, kemudian pergi ke dapur. Farah masih menatap Hilman, sambil tersenyum penuh makna. Tak butuh waktu lama bagi Hilman untuk memahami isyarat dari istrinya itu.

"Farah, sudah aku bilang, jangan banyak tanya soal ini," kata Hilman bernada kesal sambil menepuk-nepuk koper di tangannya. "Ini uang yang dipinjam Pak Jumadi dari Mas Burhan. Aku akan memberikan uang ini pada Teh Ratmi nanti."

"Ayolah, Mas! Aku juga butuh uang sebanyak itu untuk beli baju, kosmetik, dan perhiasan," keluh Farah.

"Memangnya uang yang kuberikan padamu masih kurang?"

Farah mendengus sebal, sambil mendelik.

"Dengar baik-baik, Farah. Kelakuan Pak Jumadi itu sebelas dua belas dengan Mas Burhan. Aku tidak mau keluargaku kehilangan nyawa gara-gara makan uang tumbal. Lagi pula, ini bukan uangku. Kita nggak berhak menggunakannya sama sekali," jelas Hilman berusaha memberi pengertian pada istrinya.

"Dari mana Mas tahu kalau Pak Jumadi itu tukang ngipri? Jangan gampang percaya sama omongan orang kalau nggak ada bukti!"

"Aku nggak asal percaya. Aku tahu dari Mas Burhan kalau Pak Jumadi memang begitu orangnya. Dulu, waktu Pak Jumadi mulai buka pabrik, dia juga menumbalkan pegawainya dengan cara memberinya nasi bungkus. Selain itu, Pak Jumadi sering meminjam uang dan mengembalikannya dengan uang yang sudah dijampi-jampi supaya usaha Mas Burhan bangkrut. Makanya, Mas Burhan sering menyumbangkan uang itu ke RSJ."

"Terus, sekarang uang ini mau disimpan saja di sini, begitu?"

"Sudah kubilang, 'kan? Uang ini akan aku berikan pada Teh Ratmi. Syukur-syukur kali ini tidak dijampi-jampi. Tadi aku sudah memberi sebagian uang dari koper ini ke pemulung. Kalau besok dia jadi datang ke sini dan bekerja menata tanaman di halaman rumah kita, berarti uang itu tidak dijampi-jampi."

"Apa? Tunggu dulu! Apa Mas bilang tadi pemulung itu bakal bekerja menata taman di rumah kita? Kenapa nggak diskusi dulu sama aku, sih, Mas?"

"Aku nggak punya waktu untuk itu. Lagi pula, kasihan dia, tinggal di lingkungan yang kumuh dan kedua anaknya masih kecil-kecil. Orang seperti itu harus dibantu. Kita juga butuh orang yang ngurus tanaman di halaman rumah, 'kan?"

"Iya juga, sih. Terus kalau misalkan dia meninggal karena uang tumbal dari Pak Jumadi, gimana?"

"Kita lihat saja besok. Kalau misalkan dia datang, berarti uang itu baik-baik saja. Tapi kalau misalkan supir kita ngasih kabar duka tentang pemulung itu, berarti uang di dalam koper ini harus disumbangkan ke RSJ dan SLB."

"Terserah kau saja lah, Mas. Aku nggak mengerti soal begituan. Kalau saja di dunia ini tidak ada pesugihan, maka tentram sekali hidupku ini."

"Sudahlah, tak usah memikirkan hal itu. Setidaknya kita tidak berbuat musyrik seperti mereka dan bisa kaya karena dari usaha sendiri. Lagi pula, kekayaan yang mereka dapat cuma sementara."

Tanpa meninggalkan sepatah kata, Farah meninggalkan Hilman. Tampaknya ia muak mendengar ceramah dari suaminya. Sementara itu, Hilman menggeleng kepala dan mengurut dahinya. Ia tak menyangka, istrinya sangat menyukai uang ketimbang dirinya. Di sisi lain, Hilman juga memikirkan nasib Pak Risman yang masih menjadi teka-teki baginya. Di dalam lubuk hatinya, ia juga menyesal telah menggunakan pemulung jujur itu sebagai bahan uji coba uang tumbal yang dikirimkan Pak Jumadi.

Terpopuler

Comments

Amara

Amara

wooww ...tadinya mau bilang bodoh kali pak risman ini, ...hahhh astaga ternyata ooh ternyata ,akibat kepolosan dan kebaikan hatinya mereka terhindar dari bencana

2024-12-26

0

Ririt Rustya Ningsih

Ririt Rustya Ningsih

TUHAN YG UDA ATUR SGALANYA

2024-10-07

0

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Untung uang nya gak dipakai pak Risman malah dipakai si Tuti tukang tipu🙄😏

2024-04-03

0

lihat semua
Episodes
1 Kelahiran Putri Iblis
2 Penolakan Bu Ratmi
3 Anak yang Dibuang
4 Uang Tumbal
5 Dibayar Nyawa
6 Rencana Pindah Rumah
7 Mimpi Bu Inah
8 Penerimaan Hilman
9 Sakit
10 Kasih Sayang Ibu
11 Didekati Dedemit
12 Berusaha Bertahan
13 Potong Rambut
14 Dongeng Kesayangan
15 Mengaji
16 Meniti Jalan Lurus
17 Teman Baru
18 Boneka Maurin
19 Susan Pembawa Kesembuhan
20 Bermain
21 Kenakalan Albi
22 Teror Malam
23 Penyerap Energi
24 Janji Tak Ditepati
25 Mencari Solusi
26 Saran Pak Risman
27 Pertemanan yang Kandas
28 Amarah Tak Terbendung
29 Orang Tua Idaman
30 Kediaman Farida
31 Pencarian Sukma
32 Firasat
33 Ketika Mata Terbuka
34 Kedatangan Arini
35 Masa Lalu yang Dikubur
36 Arisan
37 Spesialis Kulit
38 Menjahili Kera Kiriman
39 Bara Dendam
40 Masalah Pelik
41 Terusir
42 Rezeki Tak Ke Mana
43 Kemudahan Hidup
44 Kontrakan Haji Gufron
45 Retrokognisi
46 Peliharaan Baru
47 Kelawuk
48 Jatuhnya Harga Diri
49 Rahasia Yang Terungkap
50 Pembersihan
51 Menaklukkan Wanara
52 Tewasnya Mbah Suro
53 Penglaris
54 Menutup Mata Batin
55 Ketakutan Sere
56 Bu Inah Gelisah
57 Naik Kelas
58 Sebuah Pertanyaan
59 Keguguran
60 Sandekala
61 Menangkap Pak Beni
62 Nasihat Kyai Soleh
63 Percobaan Kedua
64 Meredam Amarah
65 Menjemput Ajal
66 Jalan Keluar
67 Memusnahkan Mantra
68 Api Banaspati
69 Kesepian
70 Memilih Sendirian
71 Dendam Bu Lastri
72 Melawan Ki Purnomo
73 Santet
74 Pemakaman
75 Kala Ramadhan Tiba
76 Mencari Albi
77 Sukma Hilang
78 Tragedi Di Gedung Terbengkalai
79 Kera vs Buta
80 Pulang
81 Berita Buruk
82 Keterangan Sukma
83 Mudik
84 Kumpul Keluarga
85 Menginap di Rumah Abah
86 Akal Busuk
87 Pengaruh
88 Sebuah Peringatan
89 Silaturahmi
90 Gagal
91 Malam Berdarah
92 Adu Ilmu
93 Warisan Emak
94 Pertemuan Terakhir
95 Anak yang Mengutuk
96 Mengantar Jenazah
97 Kesepakatan
98 Acara Perpisahan
99 Menuju Lingkungan Baru
100 Visual
101 Pendaftaran Sekolah
102 Rasa Penasaran
103 Berkenalan
104 Antisipasi
105 Ritual Pemanggilan Arwah
106 Meraga Sukma
107 Kegaduhan
108 Dimensi Lain
109 Kembali ke Raga
110 Kesurupan Massal
111 Menyusun Strategi
112 Iblis dalam Diri
113 Pengumuman
114 Pesan dari Alam Gaib
115 Persaingan
116 Petunjuk Paranormal
117 Mengunjungi Gunung Ciremai
118 Datangnya Malapetaka
119 Kasarung
120 Kembali ke Alam Manusia
121 Pengakuan Bu Ratmi
122 Jin Kiriman Mbah Kasiman
123 Permintaan Pak Jaka
124 Derita Belum Berakhir
125 Kasiman, Mbah Kasiman
126 Gosip
127 Menuntut Kejujuran
128 Biang Keladi
129 Di Luar Dugaan
130 Satu Lawan Satu
131 Kritis
132 Petunjuk dari Sawitri
133 Penebusan Dosa
134 Teror Dimulai
135 Pak Risman Tumbang
136 Rencana Sukma
137 Diskusi
138 Doa Restu Ibu
139 Menunggu Waktu
140 Saatnya Tiba
141 Pertarungan Sengit
142 Akhir Penyesalan
143 Usik
144 Nilai Harga Diri
145 Membela Teman
146 Playing Victim
147 Elegi
148 Sebuah Ikatan
149 Pilihan Fatma
150 Kepastian
151 Cakra Menggoda
152 Dedemit Berulah
153 Menyatakan Perasaan
154 Obsesi
155 Jamuan Makan Malam
156 Ratu Pengasihan
157 Pengintaian
158 Introgasi
159 Pantangan
160 Melepuhnya Susuk
161 Pertaruhan Verina
162 Sumpah Serapah
163 Mantra Pemikat
164 Hilang Kendali
165 Ilmu yang Dicabut
166 Demi Konten
167 Memperoleh Izin Bapak
168 Rumah Tua
169 Diikuti
170 Dusta
171 Ereup-Ereup
172 Mengantar Pulang
173 Bidan Ana
174 Video Perdana
175 Sisi Lain
176 Kencan Rahasia
177 Over Dosis
178 Bayang-Bayang
179 Verina Menyerah
180 Rumah Duka
181 Tantangan
182 Perlindungan
183 Cinta dan Benci
184 Ketulusan
185 Menolak Mati
186 Pengaruh Mimpi
187 Murka Pak Risman
188 Pergi
189 Penghinaan
190 Cakra Adikara
191 Bertukar Nasib
192 Kebal
193 Mengungkap Kebenaran
194 Hasutan
195 Koma
196 Bertemu Kembali
197 Pelukan Hangat
198 Pecundang
199 Ibu Kandung
200 Keji
201 Ulang Tahun Ketujuh Belas
202 Hasrat Pemburu
203 Pembunuhan
204 Curiga
205 Serangan Gaib
206 Incaran Selanjutnya
207 Waspada
208 Sirep
209 Mencari Kelemahan
210 Undangan
211 Ancaman Serius
212 Fitnah
213 Wasiat Pak Risman
214 Beristirahatlah dengan Tenang
215 Muram
216 Alam Bawah Sadar
217 Celah
218 Menculik Tatang
219 Umpan
220 Sarang Iblis
221 Merebut Jiwa Tatang
222 Melarikan Diri
223 Menuju Tempat Lain
224 Menghela Napas Sejenak
225 Bersembunyi di Balik Senja
226 Dikepung Api
227 Menarik Iblis
228 Di Ambang Maut
229 Surga Asmaraloka
230 Visual 2
Episodes

Updated 230 Episodes

1
Kelahiran Putri Iblis
2
Penolakan Bu Ratmi
3
Anak yang Dibuang
4
Uang Tumbal
5
Dibayar Nyawa
6
Rencana Pindah Rumah
7
Mimpi Bu Inah
8
Penerimaan Hilman
9
Sakit
10
Kasih Sayang Ibu
11
Didekati Dedemit
12
Berusaha Bertahan
13
Potong Rambut
14
Dongeng Kesayangan
15
Mengaji
16
Meniti Jalan Lurus
17
Teman Baru
18
Boneka Maurin
19
Susan Pembawa Kesembuhan
20
Bermain
21
Kenakalan Albi
22
Teror Malam
23
Penyerap Energi
24
Janji Tak Ditepati
25
Mencari Solusi
26
Saran Pak Risman
27
Pertemanan yang Kandas
28
Amarah Tak Terbendung
29
Orang Tua Idaman
30
Kediaman Farida
31
Pencarian Sukma
32
Firasat
33
Ketika Mata Terbuka
34
Kedatangan Arini
35
Masa Lalu yang Dikubur
36
Arisan
37
Spesialis Kulit
38
Menjahili Kera Kiriman
39
Bara Dendam
40
Masalah Pelik
41
Terusir
42
Rezeki Tak Ke Mana
43
Kemudahan Hidup
44
Kontrakan Haji Gufron
45
Retrokognisi
46
Peliharaan Baru
47
Kelawuk
48
Jatuhnya Harga Diri
49
Rahasia Yang Terungkap
50
Pembersihan
51
Menaklukkan Wanara
52
Tewasnya Mbah Suro
53
Penglaris
54
Menutup Mata Batin
55
Ketakutan Sere
56
Bu Inah Gelisah
57
Naik Kelas
58
Sebuah Pertanyaan
59
Keguguran
60
Sandekala
61
Menangkap Pak Beni
62
Nasihat Kyai Soleh
63
Percobaan Kedua
64
Meredam Amarah
65
Menjemput Ajal
66
Jalan Keluar
67
Memusnahkan Mantra
68
Api Banaspati
69
Kesepian
70
Memilih Sendirian
71
Dendam Bu Lastri
72
Melawan Ki Purnomo
73
Santet
74
Pemakaman
75
Kala Ramadhan Tiba
76
Mencari Albi
77
Sukma Hilang
78
Tragedi Di Gedung Terbengkalai
79
Kera vs Buta
80
Pulang
81
Berita Buruk
82
Keterangan Sukma
83
Mudik
84
Kumpul Keluarga
85
Menginap di Rumah Abah
86
Akal Busuk
87
Pengaruh
88
Sebuah Peringatan
89
Silaturahmi
90
Gagal
91
Malam Berdarah
92
Adu Ilmu
93
Warisan Emak
94
Pertemuan Terakhir
95
Anak yang Mengutuk
96
Mengantar Jenazah
97
Kesepakatan
98
Acara Perpisahan
99
Menuju Lingkungan Baru
100
Visual
101
Pendaftaran Sekolah
102
Rasa Penasaran
103
Berkenalan
104
Antisipasi
105
Ritual Pemanggilan Arwah
106
Meraga Sukma
107
Kegaduhan
108
Dimensi Lain
109
Kembali ke Raga
110
Kesurupan Massal
111
Menyusun Strategi
112
Iblis dalam Diri
113
Pengumuman
114
Pesan dari Alam Gaib
115
Persaingan
116
Petunjuk Paranormal
117
Mengunjungi Gunung Ciremai
118
Datangnya Malapetaka
119
Kasarung
120
Kembali ke Alam Manusia
121
Pengakuan Bu Ratmi
122
Jin Kiriman Mbah Kasiman
123
Permintaan Pak Jaka
124
Derita Belum Berakhir
125
Kasiman, Mbah Kasiman
126
Gosip
127
Menuntut Kejujuran
128
Biang Keladi
129
Di Luar Dugaan
130
Satu Lawan Satu
131
Kritis
132
Petunjuk dari Sawitri
133
Penebusan Dosa
134
Teror Dimulai
135
Pak Risman Tumbang
136
Rencana Sukma
137
Diskusi
138
Doa Restu Ibu
139
Menunggu Waktu
140
Saatnya Tiba
141
Pertarungan Sengit
142
Akhir Penyesalan
143
Usik
144
Nilai Harga Diri
145
Membela Teman
146
Playing Victim
147
Elegi
148
Sebuah Ikatan
149
Pilihan Fatma
150
Kepastian
151
Cakra Menggoda
152
Dedemit Berulah
153
Menyatakan Perasaan
154
Obsesi
155
Jamuan Makan Malam
156
Ratu Pengasihan
157
Pengintaian
158
Introgasi
159
Pantangan
160
Melepuhnya Susuk
161
Pertaruhan Verina
162
Sumpah Serapah
163
Mantra Pemikat
164
Hilang Kendali
165
Ilmu yang Dicabut
166
Demi Konten
167
Memperoleh Izin Bapak
168
Rumah Tua
169
Diikuti
170
Dusta
171
Ereup-Ereup
172
Mengantar Pulang
173
Bidan Ana
174
Video Perdana
175
Sisi Lain
176
Kencan Rahasia
177
Over Dosis
178
Bayang-Bayang
179
Verina Menyerah
180
Rumah Duka
181
Tantangan
182
Perlindungan
183
Cinta dan Benci
184
Ketulusan
185
Menolak Mati
186
Pengaruh Mimpi
187
Murka Pak Risman
188
Pergi
189
Penghinaan
190
Cakra Adikara
191
Bertukar Nasib
192
Kebal
193
Mengungkap Kebenaran
194
Hasutan
195
Koma
196
Bertemu Kembali
197
Pelukan Hangat
198
Pecundang
199
Ibu Kandung
200
Keji
201
Ulang Tahun Ketujuh Belas
202
Hasrat Pemburu
203
Pembunuhan
204
Curiga
205
Serangan Gaib
206
Incaran Selanjutnya
207
Waspada
208
Sirep
209
Mencari Kelemahan
210
Undangan
211
Ancaman Serius
212
Fitnah
213
Wasiat Pak Risman
214
Beristirahatlah dengan Tenang
215
Muram
216
Alam Bawah Sadar
217
Celah
218
Menculik Tatang
219
Umpan
220
Sarang Iblis
221
Merebut Jiwa Tatang
222
Melarikan Diri
223
Menuju Tempat Lain
224
Menghela Napas Sejenak
225
Bersembunyi di Balik Senja
226
Dikepung Api
227
Menarik Iblis
228
Di Ambang Maut
229
Surga Asmaraloka
230
Visual 2

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!