Mendengar penjelasan Pak Risman, Hilman merasa lega. Kekesalannya terhadap pengirim uang dari perusahaan Pak Jumadi tadi pagi, seketika terobati oleh kedatangan koper yang dibawa Pak Risman. Senyum semringah tergambar di wajah Hilman saat menerima koper itu.
"Terima kasih sudah mengantarkan uang ini, Pak. Perkenalkan, nama saya Hilman, adiknya Pak Burhan," katanya sambil menjulurkan tangan
"Saya Risman. Ngomong-ngomong, Pak Burhannya di mana?"
Hilman termenung sesaat, teringat pada sang kakak yang sudah tiada kemarin malam. Dengan mata berkaca-kaca, ia menatap Pak Risman sembari berkata, "Dia ... dia sudah tiada, Pak."
"Innalillahi wa innailaihi roji'uun. Maaf kalau saya sudah membuat Anda sedih, Pak."
"Tidak apa-apa. Setidaknya uang ini dapat menutupi kekurangan biaya operasional perusahaan."
Pak Risman mengangguk pelan.
"Oya, Bapak tinggal di mana? Mari saya antar sampai ke rumah Bapak."
"Ah, tidak, terima kasih, Pak. Saya ke sini cuma mau mengantarkan uang itu."
"Tak usah sungkan, Pak. Anggap saja ini sebagai kemurahan hati saya karena Bapak sudah jujur dan mengembalikan uang ini."
"Tapi, Pak, saya ...."
"Sudah, Pak. Sebaiknya saya antar Bapak sampai ke rumah. Kelihatannya Bapak sudah capek mencari-cari alamat pabrik ini. Ayo!" ajak Hilman menggandeng tangan Pak Risman untuk masuk ke mobilnya.
Tanpa banyak berkata-kata lagi, Pak Risman menuruti Hilman dan naik ke mobil. Hilman pun tak keberatan jika Pak Risman membawa hasil memulungnya. Selanjutnya, adik dari Pak Burhan itu melajukan mobil dan meninggalkan pabrik.
"Aduh, Pak. Saya jadi tidak enak," kata Pak Risman diselingi senyum pahit.
"Tidak apa-apa, Pak. Bapak sudah berbuat baik, saya harus ngasih imbalan sama Bapak," jelas Hilman dengan santai. "Oya, Pak. Bapak sudah punya anak berapa?"
"Dua. Yang satu usianya tiga tahun, yang kecil baru lahir."
"Oh, terus setiap harinya Bapak kerjanya memulung, gitu? Ya Allah, Pak, kasihan sekali."
"Habis ... mau bagaimana lagi, Pak? Nyari kerja susah, buka usaha nggak punya modal. Kalaupun mau kerja di pabrik, saya nggak punya uang banyak buat bayar calo. Jadi, saya kerja apa saja lah, Pak, yang penting saya dan keluarga masih bisa makan," jelas Pak Risman.
Terenyuh hati Hilman mendengar penuturan Pak Risman. Pada masa modern seperti sekarang, jarang sekali ada orang miskin yang terdesak kebutuhan ekonomi, mau bertindak jujur saat menemukan uang banyak. Atas rasa prihatinnya, Hilman punya ide untuk membantu Pak Risman memulihkan ekonominya.
"Pak, saya butuh tukang kebun buat mengurus taman di rumah. Mulai besok Bapak nggak usah memulung lagi, mending kerja di rumah saya saja. Nanti saya bayar Bapak seratus ribu per hari. Bapak mau, ya?"
"Wah, yang benar, Pak?! Aduh, saya jadi makin nggak enak sama Bapak."
"Tidak usah sungkan, Pak. Saya cuma mau membantu perekonomian keluarga Bapak. Kalau bisa, bawa saja sekalian keluarga Bapak. Saya punya paviliun kosong, biar Bapak tidak boros ongkos bolak-balik dari rumah ke tempat kerja. Bagaimana, Pak?"
"Saya akan membicarakan dulu dengan istri saya."
"Semoga istri Bapak setuju. Besok pagi saya akan menyuruh supir untuk menjemput Bapak ke rumah saya."
Tak terasa mereka sudah tiba di pinggir jalan, yang menuju rumah Pak Risman. Sambil berpamitan, Pak Risman mengambil hasil memulungnya hari ini untuk diserahkan ke bandar rongsokan. Sebelum bergegas pergi, Hilman menyerahkan uang sebanyak lima ratus ribu rupiah dari koper yang dibawa Pak Risman.
"Ini untuk Bapak," kata Hilman menyerahkan lima lembar uang seratus ribu ke tangan Pak Risman.
"Tidak usah, Pak. Saya sudah terlalu banyak merepotkan Bapak."
Hilman menggeleng. "Tidak baik menolak rezeki, Pak. Anggap saja ini rezeki buat anak Bapak, buat beli susu dan pampers."
"Kalau begitu, terima kasih banyak, Pak. Atas semua kebaikan Bapak hari ini, insya Allah besok saya usahakan mulai bekerja di rumah Bapak."
Hilman tersenyum lebar seraya mengangguk. "Saya pamit dulu, Pak Risman. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Mobil Hilman melaju perlahan meninggalkan Pak Risman. Sementara itu, Pak Risman menghitung-hitung jumlah uang di tangannya dengan mata berbinar-binar. Tidak biasanya ia mendapatkan uang sebanyak itu. Kalaupun ada penghasilan dari memulung, uang yang didapatkannya hanya sekitar dua puluh ribuan, dan paling banyak pun lima puluh ribu.
Sebelum ke rumah, Pak Risman mendatangi bandar rongsok. Di sana hasil memulungnya ditimbang. Ternyata lebih banyak dari biasanya. Pak Risman mendapatkan lima puluh ribu untuk hasil memulungnya dari pagi hingga menjelang Isya.
Setelah mendapatkan banyak uang, Pak Risman pulang menuju rumah bedengnya dengan raut semringah. Namun, sebelum tiba menemui istri dan kedua anaknya, ia dicegat oleh Pak Subekti. Dengan heran, Pak Risman menatap pria berusia enam puluhan itu. Selama ini Pak Subekti dikenal culas dan tak suka jika Pak Risman bahagia.
"Eh, Pak Bekti. Ada apa, Pak?" tanya Pak Risman ramah.
"Pak Risman, saya boleh minta tolong, nggak?" tanya Pak subekti dengan raut memelas.
"Minta tolong apa, Pak?"
"Istri saya sedang sakit keras. Saya butuh biaya untuk berobatnya."
" Memang berapa biayanya, Pak Bekti?"
"Lima ratus ribu. Saya sudah meminjam ke banyak tetangga, tapi tidak ada yang kasih. Kalau Pak Risman nggak keberatan, saya pinjam uangnya, ya? Nanti kalau istri saya sudah sembuh, akan saya kembalikan."
Pak Risman merasa bimbang. Diliriknya saku celana sebelah kiri, lalu mengusap-usapnya. Sementara itu, Pak Subekti yang sejak tadi memperhatikan Pak Risman turun dari mobil mewah, menyunggingkan senyum licik. Ia yakin betul, bahwa lelaki miskin di hadapannya telah mendapat banyak uang dari si pemilik mobil.
"Kalau Bapak tidak punya, sebaiknya saya pinjam ke orang lain saja." Pak Subekti membalikkan badan, lalu melenggang pergi.
"Tunggu dulu, Pak!" seru Pak Risman menahan Pak Subekti.
Sebuah senyum kembali merekah di bibir Pak Subekti, tapi segera disembunyikannya tatkala menoleh pada Pak Risman.
"Ini, Pak. Saya kebetulan dapat rezeki lebih, mungkin bisa buat bantu pengobatan istri Bapak." Pak Risman mengambil uang dari saku celananya, kemudian menyerahkannya pada tangan Pak Subekti.
"I-ini serius, Pak?" tanya Pak Subekti.
"Iya, Pak. Semoga istri Bapak cepat sembuh, ya."
"Terima kasih banyak, Pak Risman. Kalau begitu, saya pamit dulu."
Bergegas Pak Subekti meninggalkan Pak Risman yang tertunduk lesu. Ia tampak tersenyum-senyum menghitung uang dari Pak Risman, kemudian memasukkannya ke saku celana. Dalam hatinya, tak sedikit pun niatan untuk mengembalikan uang itu pada Pak Risman. Lelaki paruh baya itu memang ingin tertawa di atas kesengsaraan orang lain.
Dari depan rumah Pak Risman, Bu Inah rupanya telah memperhatikan tingkah keduanya. Merasa penasaran, Bu Inah pun menghampiri suaminya yang sedang berjalan dengan lesu ke rumahnya.
"Tadi Pak Subekti bicara apa saja sama Bapak?" tanya Bu Inah dengan nada tergesa-gesa.
"Tadi dia bilang, istrinya sedang sakit keras. Pak Bekti butuh biaya untuk berobat istrinya," jelas Pak Risman sambil berjalan memasuki rumahnya.
"Istrinya sakit? Lho? Tadi siang Ibu masih lihat Bu Sukiyem baik-baik saja, kok. Malah dia pamer gelang emas barunya."
"Begitukah?"
"Iya, Pak." Angguk Bu Inah. "Terus, Pak Bekti bilang apa lagi sama Bapak?"
"Dia pinjam uang lima ratus ribu buat biaya berobat istrinya. Karena kasihan, Bapak kasih pinjam saja uangnya. Padahal tadi Bapak dapat rezeki lebih buat beli susu Sukma."
Bu Inah menghela napas panjang sembari menepuk jidatnya. "Ya Allah, Pak! Jadi orang jangan terlalu baik, kenapa? Begini, nih, jadinya. Kalau saja Bapak tidak meminjamkan uang itu pada Pak Bekti, pasti uang itu akan Ibu pakai buat beli semua kebutuhan Sukma, sekalian menabung untuk selamatan dia. Ah, Bapak ini. Ibu yakin, pasti Pak Bekti tidak akan mengembalikan uang itu sama Bapak. Dia orangnya culas, nanti pas ditagih utang malah galakan dia daripada Bapak."
"Sudahlah, Bu. Kenapa jadi menyalahkan Bapak, sih? Mungkin itu belum rezeki kita. Oya, Bu. Hari ini Bapak dapat lima puluh ribu dari hasil memulung. Semoga cukup untuk beli kebutuhan Sukma."
"Syukurlah masih ada gantinya." Bu Inah mengembuskan napas lega. "Baiklah, nanti Ibu atur-atur uangnya. Semoga cukup, Pak."
"Eh, Bu. Bapak mau ngasih tahu sesuatu."
"Apa?"
"Nanti saja ceritanya, Bapak mau mandi dulu."
Pak Risman meninggalkan Bu Inah, lalu mengambil handuk dari kamar. Sementara Bu Inah memandang kosong, sambil terduduk memikirkan kelakuan suaminya yang terlalu baik. Baginya, memang tak ada salahnya menolong orang yang kesusahan, tapi jika Pak Subekti meminta bantuan, maka itu patut dipertanyakan. Sudah berkali-kali keluarga Pak Subekti meminjam uang pada Pak Risman, tapi tak ada sepeser pun yang dibayar. Terakhir kali Pak Subekti meminjam seratus ribu, sekarang jumlahnya justru lebih banyak, terlebih itu rezeki paling besar yang didapat suaminya hari ini. Bu Inah kini hanya bisa berlapang dada dan mengikhlaskan uang yang dipinjam Pak Subekti. Ceramah Pak Ramlan yang sering didengarnya diam-diam dari luar mesjid, masih diterngiang di telinga, bahkan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, Hilman baru saja tiba di rumahnya yang mewah. Kedatangannya disambut oleh Albi, putra semata wayangnya yang berusia lima tahun. Bocah kecil itu tampak girang saat bertemu dengan ayahnya. Seperti biasa, ia menagih permen cokelat kesukaannya pada Hilman.
"Maaf, Albi. Hari ini Papa nggak bawa permen cokelat. Besok aja, ya, Papa beliin," ucap Hilman bernada menyesal, sambil menggendong Albi.
"Kok nggak bawa permen cokelatnya, sih, Pa? Aku udah nunggu-nunggu dari pagi," rajuk Albi, mukanya cemberut dan bibirnya mengerucut.
Hilman mencium Albi dengan penuh kasih sayang dan berkata, "Kalau kamu keseringan makan permen cokelat, nanti giginya ompong. Muka kamu jadi jelek loh."
Tak lama kemudian, istri Hilman yang bernama Farah, datang menghampiri mereka. Pandangannya seketika tertuju pada koper yang ditenteng di tangan suaminya. Dengan tersenyum lebar, ia memegang tangan suaminya.
"Baru pulang, Mas? Itu apa?" tanya Farah, lirikan matanya masih mengarah pada koper yang dibawa Hilman.
Hilman menatap sinis, lalu menurunkan Albi dari gendongannya. "Albi, kamu main dulu sama Bi Reni. Nanti Papa beliin kamu kue pukis," bujuknya, memasang wajah ramah.
Albi melompat kegirangan, kemudian pergi ke dapur. Farah masih menatap Hilman, sambil tersenyum penuh makna. Tak butuh waktu lama bagi Hilman untuk memahami isyarat dari istrinya itu.
"Farah, sudah aku bilang, jangan banyak tanya soal ini," kata Hilman bernada kesal sambil menepuk-nepuk koper di tangannya. "Ini uang yang dipinjam Pak Jumadi dari Mas Burhan. Aku akan memberikan uang ini pada Teh Ratmi nanti."
"Ayolah, Mas! Aku juga butuh uang sebanyak itu untuk beli baju, kosmetik, dan perhiasan," keluh Farah.
"Memangnya uang yang kuberikan padamu masih kurang?"
Farah mendengus sebal, sambil mendelik.
"Dengar baik-baik, Farah. Kelakuan Pak Jumadi itu sebelas dua belas dengan Mas Burhan. Aku tidak mau keluargaku kehilangan nyawa gara-gara makan uang tumbal. Lagi pula, ini bukan uangku. Kita nggak berhak menggunakannya sama sekali," jelas Hilman berusaha memberi pengertian pada istrinya.
"Dari mana Mas tahu kalau Pak Jumadi itu tukang ngipri? Jangan gampang percaya sama omongan orang kalau nggak ada bukti!"
"Aku nggak asal percaya. Aku tahu dari Mas Burhan kalau Pak Jumadi memang begitu orangnya. Dulu, waktu Pak Jumadi mulai buka pabrik, dia juga menumbalkan pegawainya dengan cara memberinya nasi bungkus. Selain itu, Pak Jumadi sering meminjam uang dan mengembalikannya dengan uang yang sudah dijampi-jampi supaya usaha Mas Burhan bangkrut. Makanya, Mas Burhan sering menyumbangkan uang itu ke RSJ."
"Terus, sekarang uang ini mau disimpan saja di sini, begitu?"
"Sudah kubilang, 'kan? Uang ini akan aku berikan pada Teh Ratmi. Syukur-syukur kali ini tidak dijampi-jampi. Tadi aku sudah memberi sebagian uang dari koper ini ke pemulung. Kalau besok dia jadi datang ke sini dan bekerja menata tanaman di halaman rumah kita, berarti uang itu tidak dijampi-jampi."
"Apa? Tunggu dulu! Apa Mas bilang tadi pemulung itu bakal bekerja menata taman di rumah kita? Kenapa nggak diskusi dulu sama aku, sih, Mas?"
"Aku nggak punya waktu untuk itu. Lagi pula, kasihan dia, tinggal di lingkungan yang kumuh dan kedua anaknya masih kecil-kecil. Orang seperti itu harus dibantu. Kita juga butuh orang yang ngurus tanaman di halaman rumah, 'kan?"
"Iya juga, sih. Terus kalau misalkan dia meninggal karena uang tumbal dari Pak Jumadi, gimana?"
"Kita lihat saja besok. Kalau misalkan dia datang, berarti uang itu baik-baik saja. Tapi kalau misalkan supir kita ngasih kabar duka tentang pemulung itu, berarti uang di dalam koper ini harus disumbangkan ke RSJ dan SLB."
"Terserah kau saja lah, Mas. Aku nggak mengerti soal begituan. Kalau saja di dunia ini tidak ada pesugihan, maka tentram sekali hidupku ini."
"Sudahlah, tak usah memikirkan hal itu. Setidaknya kita tidak berbuat musyrik seperti mereka dan bisa kaya karena dari usaha sendiri. Lagi pula, kekayaan yang mereka dapat cuma sementara."
Tanpa meninggalkan sepatah kata, Farah meninggalkan Hilman. Tampaknya ia muak mendengar ceramah dari suaminya. Sementara itu, Hilman menggeleng kepala dan mengurut dahinya. Ia tak menyangka, istrinya sangat menyukai uang ketimbang dirinya. Di sisi lain, Hilman juga memikirkan nasib Pak Risman yang masih menjadi teka-teki baginya. Di dalam lubuk hatinya, ia juga menyesal telah menggunakan pemulung jujur itu sebagai bahan uji coba uang tumbal yang dikirimkan Pak Jumadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Amara
wooww ...tadinya mau bilang bodoh kali pak risman ini, ...hahhh astaga ternyata ooh ternyata ,akibat kepolosan dan kebaikan hatinya mereka terhindar dari bencana
2024-12-26
0
Ririt Rustya Ningsih
TUHAN YG UDA ATUR SGALANYA
2024-10-07
0
Maz Andy'ne Yulixah
Untung uang nya gak dipakai pak Risman malah dipakai si Tuti tukang tipu🙄😏
2024-04-03
0