"Ibuuu ...! Ibuuu! Tolong kami, Bu!" teriak Atikah berusaha melawan rasa takutnya. Tangisan Sukma yang semakin nyaring, justru membuatnya panik.
Mendengar teriakan putrinya, Bu Inah yang sedang memasukkan bumbu ke dalam sup, segera berlari ke luar dapur. Dihampirinya kamar tempat bermain Atikah dan Sukma. Terlihat gundukan selimut berisi kedua putrinya di kasur. Suara tangis Sukma semakin membuatnya khawatir. Segera ia menghampiri mereka, lalu menyingkap selimut.
"Ibuuu! Tolong aku, Buuu!" jerit Atikah, menggigil sambil menutup kedua matanya rapat-rapat. Sekujur tubuhnya bermandikan peluh.
"Atikah! Buka matamu, Nak! Ini ibu," seru Bu Inah menepuk-nepuk bahu Atikah.
Perlahan bocah kecil itu membuka mata, kemudian mendongak menatap ibunya. "Ibu? Ibuuu!" pekiknya memeluk sang ibu yang duduk di tepi kasur.
"Tenang Atikah, ada Ibu di sini," kata Bu Inah, mengusap-usap kepala Atikah, kemudian menggendong Sukma. "Sebenarnya ada apa sampai kamu ketakutan begini?"
"T-tadi ... tadi." Atikah menelan ludah sejenak. "T-tadi ada ... ada nenek-nenek merayap, Bu," jelasnya terbata-bata, napasnya terengah-engah.
"Nenek-nenek? Di mana nenek-nenek itu?"
"Tadi dia duduk di belakang aku, Bu."
"Tapi tadi Ibu nggak lihat ada siapa-siapa di kamar ini selain kamu dan Dek Sukma."
"Aku serius, Bu. Tadi ada nenek-nenek," tegas Atikah.
"Ada apa ini?" tanya Pak Risman yang baru selesai mandi.
"Katanya ada nenek-nenek merayap nyamperin mereka, Pak. Tapi tadi Ibu nggak lihat siapa-siapa," jelas Bu Inah mengerutkan dahi.
"Aku lihat sendiri, Pak. Ada nenek-nenek di belakang aku, terus kukunya yang panjang mau buka selimut aku," kata Atikah meyakinkan.
Pak Risman dan Bu Inah saling tatap. Awalnya, Bu Inah mengira putrinya sedang bermain petak umpet, tapi setelah mendengar penjelasannya, ia yakin ada yang tidak beres pada putrinya. Sambil menggendong Sukma, ia berjalan keluar kamar. Dilihatnya pintu paviliun yang masih terbuka lebar, lalu menutupnya.
Ketika kembali ke kamar, Bu Inah menatap Pak Risman yang sedang menenangkan Atikah. Dengan kesal, wanita itu duduk di samping suaminya sambil mendengus kasar.
"Bapak ini kebiasaan, deh. Kalau sudah masuk rumah, tutup pintunya," ucap Bu Inah dengan muka masam.
"Hehe ... maaf, Bu. Bapak lupa," dalih Pak Risman menyengir.
"Besok-besok kalau masuk ke rumah, jangan lupa ditutup pintunya, ya, Pak. Apalagi kalau pulangnya magrib, jangan sampai pintunya terbuka walau sedikit."
"Memangnya kenapa, Bu? Bakal kemasukan maling?"
Bu Inah menggeleng. "Dulu orang tua Ibu di kampung pernah bilang, kalau dedemit bisa mudah masuk saat pintu rumah terbuka di waktu magrib."
"Ah, Ibu ini masih percaya saja sama takhayul. Ini zaman modern, Bu."
"Itu bukan takhayul, Pak. Ibu juga pernah dengar dari Pak Ustaz Ramlan, kalau magrib itu waktunya setan berkeliaran. Kalau ucapan orang tua Ibu takhayul, terus kenapa Atikah bisa lihat makhluk aneh masuk ke kamar kita?"
"Iya, deh, Bu. Bapak percaya. Lain kali Bapak bakal tutup pintu kalau pulang magrib."
...****************...
Jam dinding menunjukkan tepat pukul tiga dini hari. Pak Risman biasa terbangun pada waktu sepertiga malam terakhir untuk menunaikan salat Tahajud. Sesaat ia menengok pada Bu Inah dan kedua putrinya yang masih tidur lelap. Senyum simpul merekah di bibirnya. Terbesit niat mendoakan mereka di dalam hatinya. Beranjaklah ia dari tempat tidur, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk berwudu.
Dalam keheningan malam, sayup-sayup terdengar suara tangis tersedu-sedu seorang wanita dari depan paviliun. Pak Risman berpikir, bahwa itu hanya halusinasinya saja. Maklum kesadaran belum terkumpul penuh, pikirnya. Akan tetapi, ketika hendak berjalan lagi ke kamar mandi, suara tangis perempuan itu terdengar makin nyaring.
Untuk menuntaskan rasa penasaran, Pak Risman berjalan ke jendela dekat pintu masuk. Dibukanya gorden sedikit demi sedikit, mengintip ke luar rumah. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya pepohonan yang tertiup angin. Pak Risman berbalik badan, kemudian berjalan menuju kamar mandi.
Saat beberapa langkah menuju dapur yang akan dilewatinya, terdengar bunyi beberapa sendok terjatuh di sana. Jelas, pria paruh baya itu terusik oleh bunyi-bunyian yang tak biasa didengarnya. Dengan cepat ia berjalan ke dapur, tampak sendok dan garpu berserakan di lantai. Mungkin ulah tikus, pikirnya. Tanpa berpikiran macam-macam, Pak Risman meraup alat makan itu dan menaruh ke tempat asalnya. Selanjutnya, Pak Risman masuk ke kamar mandi dan menutup pintu. Suara aneh datang lagi di dekatnya. Kali ini suara serupa geraman serigala terdengar tepat di depan pintu kamar mandi.
Pak Risman menghela napas dalam-dalam, demi meredakan rasa takut yang kian membuat jantungnya berdebar keras. Ia pasang telinga baik-baik, mendengarkan suara geraman itu dengan saksama. Semakin didekatkannya telinga ke pintu, suara geraman itu semakin menjauh. Pak Risman bisa mengembuskan napas dengan lega kali ini dan berwudu dengan tenang.
Sementara itu, Sukma terbangun tanpa bersuara. Matanya tertuju ke plafon tanpa berkedip sedikit pun. Ternyata wanita tua yang hendak menghampirinya tadi sore, masih ada di kamar. Ia merayap di langit-langit, sambil menyeringai hingga tampak dua gigi taringnya.
"Ibu kandungmu sudah tidak ada, Nak. Sekarang giliranku yang akan mengambilmu," kata wanita tua itu disertai tawa mengerikan.
Sukma tersenyum melihat makhluk itu. Ketika hendak diambil oleh si wanita tua, wujudnya berubah. Sosok bayi itu tak kalah menyeramkannya dari makhluk gaib yang hendak mengambilnya. Sukma tertawa kecil, gigi taringnya terlihat dari mulutnya yang mungil. Wanita tua itu tercengang saat menatap Sukma.
"Jadi benar, kau anak iblis itu? Kupikir wujudmu seperti bayi manusia biasa, lemah dan tidak berdaya. Tapi ternyata ...."
Mata merah Sukma menyala-nyala. Sinar dari matanya terarah pada wanita tua itu, seolah hendak membakar tubuhnya. Akan tetapi, sinar itu mendadak lenyap. Pak Risman yang baru selesai wudu, masuk ke kamar. Wujud Sukma pun berubah menjadi bayi manusia biasa.
Si wanita tua masih tak percaya dengan wujud bayi yang dilihatnya. Ia tidak menyadari kehadiran Pak Risman, sehingga sosoknya dapat diketahui oleh pria paruh baya itu. Sementara itu, Pak Risman berdiri mematung tatkala melihat bayangan hitam dari langit-langit kamar, berusaha untuk meraih bayinya. Dengan gemetar, ia meraih saklar di dinding dekat tempatnya berdiri. Ketika lampu berhasil dinyalakan, bayangan itu mengepul menjadi asap hitam dan menghilang entah ke mana.
Khawatir dengan kondisi putri angkatnya, Pak Risman bergegas melihat Sukma. Syukurlah, bayi itu tak menangis sama sekali. Bu Inah yang semula tertidur, akhirnya bangun saat lampu menyala. Perlahan ia bangkit, kemudian menatap Pak Risman sambil mengernyitkan kening.
"Ada apa, Pak? Tumben lampunya dinyalakan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Ning Hari Mulyana
karena aku suka dengan jalan kehidupan dari SUKMA makanya rela baca dari awal lagi. Dan semoga author selalu diberi kesehatan dan diberi kelancaran dlm menulisnya sampai tamat... aamiin 🤲🏼🤲🏼
2024-08-18
5
Ning Hari Mulyana
Assalamualaikum author, jujur aku sdh pernah baca cerita SUKMA ini sampai du 130, tapi karena sempat terhenti lama, yg katanya orangtua dari author sakit dan author pingin merawat orangtua dulu.
2024-08-18
1
Maz Andy'ne Yulixah
Baca sambil tarik nafas🤣
2024-04-03
0