Penolakan Bu Ratmi

Seorang suster mengantar Pak Ramlan menuju ruangan tempat para ibu melahirkan dirawat. Betapa leganya hati Pak Ramlan ketika mendapati Bu Ratmi yang sedang terbaring lemah di salah satu bangsal, sambil ditunggui oleh Mak Asih yang sejak tadi mengkhawatirkan kondisi dari istri Pak Burhan itu. Kebetulan juga, mereka baru saja tiba dari ruang bedah.

Dihampirinya ibu yang baru saja melahirkan itu, sambil sesekali menyeka air mata yang jatuh ke pipinya. "Assalamualaikum," sapa Pak Ramlan, tersenyum simpul sambil menahan kesedihan yang mengganjal di dadanya.

"Waalaikumsalam, Pak Ustaz," jawab Bu Ratmi dan Mak Asih secara bersamaan. Keduanya tampak senang menyambut kedatangan Pak Ramlan.

"Bagaimana kondisi Bu Ratmi? Sudah mendingan?" tanya Pak Ramlan.

Bu Ratmi mengangguk pelan dan berkata, "Saya baik-baik saja, cuma perut saya saja yang masih terasa sakit."

"Tak apa, Bu. Wajar jika terasa sakit seletah melahirkan secara caesar. Itulah perjuangan seorang ibu. Maka sudah semestinya kita berbakti kepada orang tua yang sudah berjuang di antara hidup dan mati demi membawa kehidupan bagi generasi yang baru."

Mak Asih dan Bu Ratmi mengangguk setuju.

"Eh, ngomong-ngomong, di mana dedek bayinya?"

"Mungkin sebentar lagi akan dibawa ke sini," kata Bu Ratmi. "Oya, bagaimana keadaan suami saya? Apa dia baik-baik saja?"

Bergetar hati Pak Ramlan ketika ditanyai kondisi Pak Burhan. Kesedihannya kembali muncul hingga tak mampu lagi membendung air matanya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, hanya isak tangis saja.

Melihat reaksi Pak Ramlan, Bu Ratmi semakin cemas pada kondisi suaminya. Berbagai dugaan buruk menghantui pikirannya sampai-sampai hatinya tak terasa tenang. Pun dengan Mak Asih yang tak sabar ingin mendengar kabar tentang Pak Burhan.

"Ada apa, Pak Ustaz? Apakah Pak Burhan bisa diselamatkan?" tanya Mak Asih penasaran.

Belum sempat Pak Ramlan menjawab, ponselnya berdering. Segera pemuka agama itu merogoh saku celana dan menatap layar ponselnya. Ternyata dari penyelenggara acara sunatan.

"Maaf, Bu Ratmi. Saya permisi dulu, ada yang menelepon," kata Pak Ramlan bergegas meninggalkan ruangan.

"Iya, Pak. Sebaiknya angkat dulu teleponnya," kata Bu Ratmi tersenyum lebar.

Sementara Pak Ramlan mengangkat telepon, Bu Ratmi dan Mak Asih saling bertatapan. Pertanyaan tentang kondisi Pak Burhan masih mengganggu benak Bu Ratmi. Ia menggenggam tangan Mak Asih.

"Mak, kira-kira suami saya selamat nggak, ya?" tanya Bu Ratmi dengan mata berkaca-kaca.

"Bedoa saja, Bu Ratmi. Semoga suamimu baik-baik saja."

"Tapi ... bagaimana kalau dia meninggal? Saya nggak sanggup kalau harus kehilangan Bapak. Yang benar saja, dia pergi di hari bahagia ini. Kasihan nanti anakku, tidak bisa dipeluk ayahnya."

Terenyuh hati Mak Asih mendengar perkataan Bu Ratmi. Malang sekali mereka jika sampai kehilangan Pak Burhan. Selain sebagai kepala keluarga dan penopang hidup, Pak Burhan juga memiliki hati yang welas asih. Kasihan anaknya, yang tak bisa memandang wajah sang ayah untuk pertama kalinya.

Sementara itu, hal ganjil sedang terjadi di ruangan bayi. Bayi-bayi menangis kencang hingga membuat bidan dan perawat kewalahan. Sejak kedatangan anak Pak Burhan, hawa di ruangan itu terasa lebih dingin dan membuat bulu kuduk para perawat merinding. Situasi di sana semakin tak terkendali dan mencekam. Beberapa bayi diberikan pada ibunya masing-masing, sedangkan yang lainnya ditangani oleh perawat.

Di tengah keributan itu, anak Pak Burhan justru tertidur pulas sekali. Ia hanya menangis satu kali saja, saat keluar dari perut ibunya. Selanjutnya ia tidur tenang seolah-olah tak peduli dengan semua keributan yang terjadi di sekitarnya.

Melihat reaksi tenang dari si bayi, Bidan Ana pun cemas. Kendati merasa bulu kuduknya meremang, ia tetap berusaha menggendong anak Pak Burhan, lalu menepuk pipinya dengan lembut.

"Dek, bangun, Dek," kata bidan itu dengan suara pelan.

Cukup lama bayi itu terdiam. Bidan Ana tetap berusaha untuk membangunkannya. Ia benar-benar ingin memastikan bayi itu masih hidup atau sudah tiada, mengingat kondisi sang ibu yang datang ke rumah sakit setelah terjadi kecelakaan. Namun, setelah lama merasa waswas, akhirnya bidan itu tersenyum lega. Bayi yang digendongnya merespons, lalu membuka mata sesaat. Tubuhnya bergerak pelan, menandakan kondisinya baik-baik saja.

"Wah, kamu sudah bangun rupanya. Sekarang waktunya bertemu dengan ibumu. Ayo, kita ke sana!" kata Bidan Ana semringah.

Anak Pak Burhan seperti mengerti pada perkataan Bidan Ana. Ia tersenyum lebar, membuat bidan muda itu gemas melihatnya. Bayi itu dimasukkan ke dalam kereta dorong, lalu diantar oleh perawat menuju ruangan sang ibu.

Di ruangan lain, Pak Ramlan menutup teleponnya. Sebagai pemuka agama yang taat pada janjinya, ia harus bersikap profesional. Terpaksa Pak Ramlan meninggalkan Bu Ratmi dan jenazah Pak Burhan saat itu juga. Namun, sebelum pergi dari rumah sakit, Pak Ramlan menemui kembali Bu Ratmi dan Mak Asih. Dengan berat hati ia harus berpamitan pada Bu Ratmi yang sedang menanti kabar tentang suaminya.

"Apa tidak bisa ditunda, Pak Ustaz?" tanya Mak Asih mengerutkan dahi.

"Maaf, Mak. Mereka sudah mengundang saya jauh-jauh hari. Saya tidak bisa menundanya," jelas Pak Ramlan dengan wajah memelas.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Saya bisa memaklumi, kok. Sebaiknya Pak Ustaz segera ke sana, kasihan mereka menunggu," kata Bu Ratmi.

"Kalau begitu, saya pamit dulu. Nanti saya akan menghubungi Sari supaya datang ke sini. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Bu Ratmi.

Ketika Pak Ramlan keluar dari ruangan, Mak Asih masih merasa terganjal oleh pertanyaan tentang Pak Burhan. Dengan alasan mengantar Pak Ramlan, wanita tua itu mohon izin sebentar pada Bu Ratmi. Setelah mendapat persetujuan dari Bu Ratmi, Mak Asih bergegas pergi menghampiri Pak Ramlan. Beruntung, pemuka agama itu belum pergi jauh.

"Pak Ustaz!" seru Mak Asih sambil berlari kecil.

Pak Ramlan menoleh, kemudian berbalik badan. "Iya, Mak."

"Pak Ustaz, Bapak belum cerita tentang kondisi Pak Burhan. Bagaimana keadaan dia sekarang?"

Termenung Pak Ramlan ketika mengingat kematian Pak Burhan. Ditatapnya Mak Asih yang masih bertanya-tanya, lalu tertunduk lesu. Ditariknya napas dalam-dalam hingga mentalnya siap menyampaikan kabar duka itu pada Mak Asih.

"Pak Ustaz ... apa Pak Burhan ...."

"Begini, Mak." Pak Burhan menarik tangan Mak Asih ke salah satu sudut rumah sakit sambil menengok ke kanan dan kiri, "Tolong Emak sampaikan kabar ini pada Bu Ratmi di waktu yang tepat, ya."

Mak Asih mengangguk. "Memangnya ada apa dengan Pak Burhan?"

Pak Ramlan mengembuskan napas sejenak. "Beliau ... beliau sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa."

Tersentak Mak Asih mendengar ucapan yang keluar dari mulut Pak Ramlan. Ia membekap mulutnya, seraya meneteskan air mata. Tatapannya mengambang, lalu mengarah ke ruangan tempat Bu Ratmi dirawat.

"Pak Ustaz! Bapak tidak bohong, 'kan? Pak Burhan ... d-dia ...."

"Saya tidak bohong, Mak. Tadi saat tiba di ICU, dokter sedang berusaha menyelamatkan nyawa Pak Burhan, tapi takdir berkata lain. Pak Burhan sudah tiada dan dibawa ke kamar jenazah."

"Ya Allah, kasihan betul Bu Ratmi. Saat anaknya lahir, ia harus kehilangan suaminya."

Pak Ramlan menepuk bahu Mak Asih. "Sebaiknya Emak terus mendukung Bu Ratmi agar tetap tegar. Sampaikanlah kabar ini di saat yang tepat. Mental seorang ibu yang baru melahirkan itu sangat sensitif, jadi berhati-hatilah dalam menyampaikan kabar ini."

Mak Asih mengangguk pelan. "Akan saya usahakan, tapi ... bagaimana kalau Bu Ratmi tidak kuat mendengar kabar itu?"

"Serahkan segalanya pada Allah, Mak. Berdoalah supaya Bu Ratmi diberi kekuatan oleh Yang Maha Kuasa," kata Pak Ramlan dengan tenang. "Kalau begitu, saya pamit dulu, sepertinya yang punya hajat menelepon lagi."

"Iya, Pak, silakan."

Pak Ramlan bergegas pergi menuju lobi rumah sakit, sedangkan Mak Asih melangkah gontai ke ruangan Bu Ratmi. Hatinya remuk redam tatkala memandang istri Pak Burhan dari pintu masuk. Sambil menyeka air mata, ia duduk di samping ranjang Bu Ratmi.

Melihat kesedihan di wajah Mak Asih, Bu Ratmi pun penasaran. Dengan mengernyitkan kening, ia bertanya, "Ada apa, Mak? Kenapa Emak sedih begitu? Apa sudah ada kabar tentang suamiku?"

Mak Asih menggeleng, menurutnya ini bukan saat yang tepat untuk menyampaikan kabar duka itu. "Eh, bagaimana dengan si dedek? Dia belum ke sini?" tanya Mak Asih mengalihkan pembicaraan.

Tak lama kemudian, datang seorang perawat membawa kereta dorong berisi anak Bu Ratmi. Ia memanggil nama sang ibu, kemudian memasuki salah satu bangsal. Seiring dengan masuknya perawat membawa anak Pak Burhan, hawa dingin menyeruak ke dalam ruangan. Beberapa penghuni kamar merasakan ada hal yang ganjil. Bayi-bayi di bangsal berbeda, menangis sangat kencang seperti merasakan sesuatu yang mengerikan akan datang pada mereka. Ibu-ibu yang baru saja melahirkan, berusaha menenangkan bayi dalam gendongannya, tapi suasana mencekam justru membuat segalanya menjadi kacau.

Sementara itu, perawat menyerahkan anak Bu Ratmi dengan semringah. "Selamat, Bu! Anda memiliki putri yang sangat cantik."

Dengan senang hati, Bu Ratmi menerima putrinya ke dalam pelukan. Akan tetapi, entah kenapa senyumnya mendadak lenyap begitu saja tatkala menatap wajah si jabang bayi. Raut semringah tak lagi tampak di wajah Bu Ratmi. Matanya membelalak, mulutnya menganga.

"Ada apa, Bu Ratmi?" tanya Mak Asih.

Tak ada jawaban dari Bu Ratmi. Ketakutan telah menyelimuti seluruh hati dan pikirannya, sehingga membuat ibu yang baru saja melahirkan itu sulit untuk berkata-kata. Paras imut dan polos yang biasa tampak pada setiap bayi, tak ada sama sekali di wajah anak Bu Ratmi. Wanita itu justru melihat sosok bayi kecil berkulit hitam legam dengan taring tajam di mulutnya. Kepalanya memiliki dua tanduk seperti sapi, dan ketika bayi itu membuka mata, tampak sepasang bola mata berwarna merah menyala dengan tatapan tajam menusuk.

Bu Ratmi merasa terancam tatkala mendapati tatapan putrinya bagaikan serigala yang hendak menerkam mangsanya. Ia melemparkan bayinya sambil menjerit. "Buang dia! Dia bukan anak saya!"

Mak Asih segera menggendong bayi itu. "Ini anakmu, Bu Ratmi."

"Bukan! Dia bukan anak saya! Dia anak setan! Apa kalian tidak lihat wajahnya yang mengerikan itu?" teriak Bu Ratmi panik.

Perawat dan Mak Asih mengernyitkan kening, keheranan. Keduanya menatap bayi yang menangis di tangan Mak Asih, dan tak menemukan keanehan sama sekali. Jangankan tatapan mengerikan, wajah dan tubuhnya pun terlihat biasa saja seperti bayi pada umumnya.

Mak Asih berusaha menenangkan Bu Ratmi, lalu memperlihatkan kembali putri Pak Burhan yang baru dilahirkan itu. "Lihatlah baik-baik, Bu Ratmi. Tidak ada yang mengerikan sama sekali pada bayimu ini. Wajahnya mirip sekali denganmu. Bagaimana mungkin anak ini memiliki wajah seperti setan."

Bu Ratmi menengok putrinya sebentar. Wajah anaknya masih sama seperti yang ia lihat sebelumnya. Ia mendorong kuat-kuat bayi yang ditunjukkan oleh Mak Asih, lalu membuang muka. Tangannya yang gemetar menutup seluruh wajahnya, enggan melihat bayi yang lebih mirip monster ketimbang manusia.

Melihat reaksi Bu Ratmi, Mak Asih memandang perawat sambil menenangkan bayi perempuan yang menangis di gendongannya. "Bagaimana ini, Suster? Dia tidak mau menerima anaknya."

"Mungkin Bu Ratmi masih trauma setelah kecelakaan, makanya berhalusinasi."

"Kalau begini terus, kasihan bayi ini. Dia tidak akan mendapatkan ASI pertama dari ibunya."

"Kami akan usahakan agar bayi ini mendapatkan nutrisi. Kami juga akan menghubungi psikolog untuk mendampingi Bu Ratmi. Biasanya ibu yang melahirkan sering mengalami baby blues atau bahkan depresi."

"Saya mohon, lakukan yang terbaik untuk ibu dan anak ini."

"Akan kami usahakan."

Bu Ratmi menatap ke arah Mak Asih. "Cepat buang bayi itu! Kalau tidak, saya akan membunuhnya sekarang juga!"

Merasa panik, perawat itu mengambil bayi dari tangan Mak Asih dan memasukkannya ke kereta dorong. Bayi itu tak berhenti menangis, rasa laparnya belum terpenuhi. Perawat membawa kembali putri Bu Ratmi itu ke kamar bayi. Suasana yang tadinya tenang, perlahan gaduh oleh tangisan bayi. Bidan Ana yang sejak tadi bertugas, merasa heran dengan kejadian itu.

"Kenapa bayi-bayi itu menangis secara bersamaan lagi? Apa kalian telah mempertemukan mereka pada ibunya? Atau belum kenyang diberi ASI?" tanya Bidan Ana dengan nada bersungut-sungut.

"Kami juga tidak tahu penyebabnya, Bu. Sejak putri dari Bu Ratmi ditaruh di sana, bayi-bayi itu sering menangis. Padahal mereka sudah dipertemukan dengan ibunya, bahkan sudah kenyang diberi ASI," jelas salah satu perawat.

"Lalu, masalahnya apa? Jangan bilang kalau putri Bu Ratmi itu penyebabnya," kata Bidan Ana, masih keheranan.

"Entahlah, Bu. Setiap putri Bu Ratmi disimpan ke kamar bayi, hawa di sana terasa mengerikan. Kami tidak merasa sedang ada di kamar bayi, melainkan di kamar mayat," jelas perawat lainnya.

Tak lama kemudian, seorang perawat yang sudah menaruh putri Bu Ratmi datang. "Bu, ada berita buruk!" serunya pada Bidan Ana.

"Berita apa?"

"Tadi saya sudah memberikan putri Bu Ratmi pada ibunya untuk diberi ASI, tapi reaksi Bu Ratmi sangat buruk."

"Memangnya bagaimana reaksi Bu Ratmi?"

"Dia menolak anaknya. Katanya muka putrinya kayak setan. Saya juga tidak mengerti, mungkin Bu Ratmi masih trauma akibat kecelakaan yang dialaminya."

Mendengar penjelasan dari perawat itu, Bidan Ana mencoba mencari tahu. Bergegaslah ia menuju ruangan tempat para ibu melahirkan dirawat. Sembari memeriksa pasien lain, Bidan Ana menyempatkan diri untuk bertemu dengan Bu Ratmi.

Betapa terkejut Bidan Ana tatkala mendapati Bu Ratmi gelisah. Matanya yang melotot dan tubuhnya yang gemetar, membuat bidan muda itu ketakutan. Namun, profesionalitasnya sebagai bidan masih menjadi prioritas. Dengan tenang, Bidan Ana menghampiri Bu Ratmi dan memegang tangannya.

"Tenang, Bu, kami ada di sini. Tak ada yang perlu ditakuti," bujuk Bidan Ana, suaranya lemah lembut.

"Bu, di mana bayi itu sekarang? Jangan biarkan dia dibawa ke sini lagi! Dia bukan anak saya, tapi anak setan!" ucap Bu Ratmi, suaranya terdengar gemetar.

"Iya, Bu. Akan kami usahakan."

"Tidak, tidak! Ibu harus membuangnya sekarang juga. Saya akan membayar berapa pun yang Anda mau, asalkan bayi itu lenyap dari pandangan saya."

Seketika kedua mata Bidan Ana membelalak. "Tapi, Bu. Dia anak Ibu."

"Sudah saya bilang, dia anak setan! Saya tidak akan pernah menerimanya sekalipun lahir dari rahim saya."

Tercengang Mak Asih dan Bidan Ana mendengar pernyataan dari Bu Ratmi. Mak Asih menepuk pipi wanita paruh baya itu dan menatapnya lekat.

"Istigfar, Bu Ratmi. Tak pantas kau bicara seperti itu. Bagaimanapun juga dia putrimu, anakmu yang ditunggu-tunggu sepuluh tahun lamanya."

"Saya tidak peduli, Mak!" Bu Ratmi membuang muka. "Pokoknya dia harus dibuang, biar mati sekalian!"

"Jangan, Bu Ratmi! Jangan lakukan itu! Kalau Bu Ratmi tidak mau mengurusnya, biar saya saja."

"Tidak! Mak Asih juga jangan mengurus anak setan itu! Kalau Mak Asih membesarkannya, saya akan selalu dihantui oleh kehadirannya," kata Bu Ratmi menatap tajam mata Mak Asih. Selanjutnya, ia mengalihkan pandangan penuh harap pada Bidan Ana. "Saya mohon, buanglah bayi itu sekarang juga. Saya sudah tidak tahan dibayang-bayangi oleh sosoknya, bahkan suaranya yang mengerikan itu selalu terngiang-ngiang di telinga. Jika Ibu mau melakukannya, saya akan membayar berapa pun yang Ibu minta."

Bidan Ana termenung sejenak. Tak biasanya ia menemukan kasus seorang ibu yang menginginkan anaknya tiada. Padahal, ia tahu betul bahwa bayi yang dilahirkan Bu Ratmi bukanlah hasil hubungan gelap. Ditatapnya Bu Ratmi yang masih ketakutan, hatinya mulai gamang.

Terpopuler

Comments

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Ada apa dengan Bayi bu Ratmi🤔🤔

2024-04-03

0

Aksay Asyila

Aksay Asyila

kenapa aku jadi penasaran seperti nya memang ada perjanjian sama si wowo 🤭🤭dan bu Ratmi nya gak tahu jadi penasaran thor karena baru baca😄😄

2024-01-15

0

Berdo'a saja

Berdo'a saja

kenapa sosok buruk nya hanya Ratmi yang melihat sementara bagi orang lain tidak dan tetap terlihat cantik

2023-05-04

0

lihat semua
Episodes
1 Kelahiran Putri Iblis
2 Penolakan Bu Ratmi
3 Anak yang Dibuang
4 Uang Tumbal
5 Dibayar Nyawa
6 Rencana Pindah Rumah
7 Mimpi Bu Inah
8 Penerimaan Hilman
9 Sakit
10 Kasih Sayang Ibu
11 Didekati Dedemit
12 Berusaha Bertahan
13 Potong Rambut
14 Dongeng Kesayangan
15 Mengaji
16 Meniti Jalan Lurus
17 Teman Baru
18 Boneka Maurin
19 Susan Pembawa Kesembuhan
20 Bermain
21 Kenakalan Albi
22 Teror Malam
23 Penyerap Energi
24 Janji Tak Ditepati
25 Mencari Solusi
26 Saran Pak Risman
27 Pertemanan yang Kandas
28 Amarah Tak Terbendung
29 Orang Tua Idaman
30 Kediaman Farida
31 Pencarian Sukma
32 Firasat
33 Ketika Mata Terbuka
34 Kedatangan Arini
35 Masa Lalu yang Dikubur
36 Arisan
37 Spesialis Kulit
38 Menjahili Kera Kiriman
39 Bara Dendam
40 Masalah Pelik
41 Terusir
42 Rezeki Tak Ke Mana
43 Kemudahan Hidup
44 Kontrakan Haji Gufron
45 Retrokognisi
46 Peliharaan Baru
47 Kelawuk
48 Jatuhnya Harga Diri
49 Rahasia Yang Terungkap
50 Pembersihan
51 Menaklukkan Wanara
52 Tewasnya Mbah Suro
53 Penglaris
54 Menutup Mata Batin
55 Ketakutan Sere
56 Bu Inah Gelisah
57 Naik Kelas
58 Sebuah Pertanyaan
59 Keguguran
60 Sandekala
61 Menangkap Pak Beni
62 Nasihat Kyai Soleh
63 Percobaan Kedua
64 Meredam Amarah
65 Menjemput Ajal
66 Jalan Keluar
67 Memusnahkan Mantra
68 Api Banaspati
69 Kesepian
70 Memilih Sendirian
71 Dendam Bu Lastri
72 Melawan Ki Purnomo
73 Santet
74 Pemakaman
75 Kala Ramadhan Tiba
76 Mencari Albi
77 Sukma Hilang
78 Tragedi Di Gedung Terbengkalai
79 Kera vs Buta
80 Pulang
81 Berita Buruk
82 Keterangan Sukma
83 Mudik
84 Kumpul Keluarga
85 Menginap di Rumah Abah
86 Akal Busuk
87 Pengaruh
88 Sebuah Peringatan
89 Silaturahmi
90 Gagal
91 Malam Berdarah
92 Adu Ilmu
93 Warisan Emak
94 Pertemuan Terakhir
95 Anak yang Mengutuk
96 Mengantar Jenazah
97 Kesepakatan
98 Acara Perpisahan
99 Menuju Lingkungan Baru
100 Visual
101 Pendaftaran Sekolah
102 Rasa Penasaran
103 Berkenalan
104 Antisipasi
105 Ritual Pemanggilan Arwah
106 Meraga Sukma
107 Kegaduhan
108 Dimensi Lain
109 Kembali ke Raga
110 Kesurupan Massal
111 Menyusun Strategi
112 Iblis dalam Diri
113 Pengumuman
114 Pesan dari Alam Gaib
115 Persaingan
116 Petunjuk Paranormal
117 Mengunjungi Gunung Ciremai
118 Datangnya Malapetaka
119 Kasarung
120 Kembali ke Alam Manusia
121 Pengakuan Bu Ratmi
122 Jin Kiriman Mbah Kasiman
123 Permintaan Pak Jaka
124 Derita Belum Berakhir
125 Kasiman, Mbah Kasiman
126 Gosip
127 Menuntut Kejujuran
128 Biang Keladi
129 Di Luar Dugaan
130 Satu Lawan Satu
131 Kritis
132 Petunjuk dari Sawitri
133 Penebusan Dosa
134 Teror Dimulai
135 Pak Risman Tumbang
136 Rencana Sukma
137 Diskusi
138 Doa Restu Ibu
139 Menunggu Waktu
140 Saatnya Tiba
141 Pertarungan Sengit
142 Akhir Penyesalan
143 Usik
144 Nilai Harga Diri
145 Membela Teman
146 Playing Victim
147 Elegi
148 Sebuah Ikatan
149 Pilihan Fatma
150 Kepastian
151 Cakra Menggoda
152 Dedemit Berulah
153 Menyatakan Perasaan
154 Obsesi
155 Jamuan Makan Malam
156 Ratu Pengasihan
157 Pengintaian
158 Introgasi
159 Pantangan
160 Melepuhnya Susuk
161 Pertaruhan Verina
162 Sumpah Serapah
163 Mantra Pemikat
164 Hilang Kendali
165 Ilmu yang Dicabut
166 Demi Konten
167 Memperoleh Izin Bapak
168 Rumah Tua
169 Diikuti
170 Dusta
171 Ereup-Ereup
172 Mengantar Pulang
173 Bidan Ana
174 Video Perdana
175 Sisi Lain
176 Kencan Rahasia
177 Over Dosis
178 Bayang-Bayang
179 Verina Menyerah
180 Rumah Duka
181 Tantangan
182 Perlindungan
183 Cinta dan Benci
184 Ketulusan
185 Menolak Mati
186 Pengaruh Mimpi
187 Murka Pak Risman
188 Pergi
189 Penghinaan
190 Cakra Adikara
191 Bertukar Nasib
192 Kebal
193 Mengungkap Kebenaran
194 Hasutan
195 Koma
196 Bertemu Kembali
197 Pelukan Hangat
198 Pecundang
199 Ibu Kandung
200 Keji
201 Ulang Tahun Ketujuh Belas
202 Hasrat Pemburu
203 Pembunuhan
204 Curiga
205 Serangan Gaib
206 Incaran Selanjutnya
207 Waspada
208 Sirep
209 Mencari Kelemahan
210 Undangan
211 Ancaman Serius
212 Fitnah
213 Wasiat Pak Risman
214 Beristirahatlah dengan Tenang
215 Muram
216 Alam Bawah Sadar
217 Celah
218 Menculik Tatang
219 Umpan
220 Sarang Iblis
221 Merebut Jiwa Tatang
222 Melarikan Diri
223 Menuju Tempat Lain
224 Menghela Napas Sejenak
225 Bersembunyi di Balik Senja
226 Dikepung Api
227 Menarik Iblis
228 Di Ambang Maut
229 Surga Asmaraloka
230 Visual 2
Episodes

Updated 230 Episodes

1
Kelahiran Putri Iblis
2
Penolakan Bu Ratmi
3
Anak yang Dibuang
4
Uang Tumbal
5
Dibayar Nyawa
6
Rencana Pindah Rumah
7
Mimpi Bu Inah
8
Penerimaan Hilman
9
Sakit
10
Kasih Sayang Ibu
11
Didekati Dedemit
12
Berusaha Bertahan
13
Potong Rambut
14
Dongeng Kesayangan
15
Mengaji
16
Meniti Jalan Lurus
17
Teman Baru
18
Boneka Maurin
19
Susan Pembawa Kesembuhan
20
Bermain
21
Kenakalan Albi
22
Teror Malam
23
Penyerap Energi
24
Janji Tak Ditepati
25
Mencari Solusi
26
Saran Pak Risman
27
Pertemanan yang Kandas
28
Amarah Tak Terbendung
29
Orang Tua Idaman
30
Kediaman Farida
31
Pencarian Sukma
32
Firasat
33
Ketika Mata Terbuka
34
Kedatangan Arini
35
Masa Lalu yang Dikubur
36
Arisan
37
Spesialis Kulit
38
Menjahili Kera Kiriman
39
Bara Dendam
40
Masalah Pelik
41
Terusir
42
Rezeki Tak Ke Mana
43
Kemudahan Hidup
44
Kontrakan Haji Gufron
45
Retrokognisi
46
Peliharaan Baru
47
Kelawuk
48
Jatuhnya Harga Diri
49
Rahasia Yang Terungkap
50
Pembersihan
51
Menaklukkan Wanara
52
Tewasnya Mbah Suro
53
Penglaris
54
Menutup Mata Batin
55
Ketakutan Sere
56
Bu Inah Gelisah
57
Naik Kelas
58
Sebuah Pertanyaan
59
Keguguran
60
Sandekala
61
Menangkap Pak Beni
62
Nasihat Kyai Soleh
63
Percobaan Kedua
64
Meredam Amarah
65
Menjemput Ajal
66
Jalan Keluar
67
Memusnahkan Mantra
68
Api Banaspati
69
Kesepian
70
Memilih Sendirian
71
Dendam Bu Lastri
72
Melawan Ki Purnomo
73
Santet
74
Pemakaman
75
Kala Ramadhan Tiba
76
Mencari Albi
77
Sukma Hilang
78
Tragedi Di Gedung Terbengkalai
79
Kera vs Buta
80
Pulang
81
Berita Buruk
82
Keterangan Sukma
83
Mudik
84
Kumpul Keluarga
85
Menginap di Rumah Abah
86
Akal Busuk
87
Pengaruh
88
Sebuah Peringatan
89
Silaturahmi
90
Gagal
91
Malam Berdarah
92
Adu Ilmu
93
Warisan Emak
94
Pertemuan Terakhir
95
Anak yang Mengutuk
96
Mengantar Jenazah
97
Kesepakatan
98
Acara Perpisahan
99
Menuju Lingkungan Baru
100
Visual
101
Pendaftaran Sekolah
102
Rasa Penasaran
103
Berkenalan
104
Antisipasi
105
Ritual Pemanggilan Arwah
106
Meraga Sukma
107
Kegaduhan
108
Dimensi Lain
109
Kembali ke Raga
110
Kesurupan Massal
111
Menyusun Strategi
112
Iblis dalam Diri
113
Pengumuman
114
Pesan dari Alam Gaib
115
Persaingan
116
Petunjuk Paranormal
117
Mengunjungi Gunung Ciremai
118
Datangnya Malapetaka
119
Kasarung
120
Kembali ke Alam Manusia
121
Pengakuan Bu Ratmi
122
Jin Kiriman Mbah Kasiman
123
Permintaan Pak Jaka
124
Derita Belum Berakhir
125
Kasiman, Mbah Kasiman
126
Gosip
127
Menuntut Kejujuran
128
Biang Keladi
129
Di Luar Dugaan
130
Satu Lawan Satu
131
Kritis
132
Petunjuk dari Sawitri
133
Penebusan Dosa
134
Teror Dimulai
135
Pak Risman Tumbang
136
Rencana Sukma
137
Diskusi
138
Doa Restu Ibu
139
Menunggu Waktu
140
Saatnya Tiba
141
Pertarungan Sengit
142
Akhir Penyesalan
143
Usik
144
Nilai Harga Diri
145
Membela Teman
146
Playing Victim
147
Elegi
148
Sebuah Ikatan
149
Pilihan Fatma
150
Kepastian
151
Cakra Menggoda
152
Dedemit Berulah
153
Menyatakan Perasaan
154
Obsesi
155
Jamuan Makan Malam
156
Ratu Pengasihan
157
Pengintaian
158
Introgasi
159
Pantangan
160
Melepuhnya Susuk
161
Pertaruhan Verina
162
Sumpah Serapah
163
Mantra Pemikat
164
Hilang Kendali
165
Ilmu yang Dicabut
166
Demi Konten
167
Memperoleh Izin Bapak
168
Rumah Tua
169
Diikuti
170
Dusta
171
Ereup-Ereup
172
Mengantar Pulang
173
Bidan Ana
174
Video Perdana
175
Sisi Lain
176
Kencan Rahasia
177
Over Dosis
178
Bayang-Bayang
179
Verina Menyerah
180
Rumah Duka
181
Tantangan
182
Perlindungan
183
Cinta dan Benci
184
Ketulusan
185
Menolak Mati
186
Pengaruh Mimpi
187
Murka Pak Risman
188
Pergi
189
Penghinaan
190
Cakra Adikara
191
Bertukar Nasib
192
Kebal
193
Mengungkap Kebenaran
194
Hasutan
195
Koma
196
Bertemu Kembali
197
Pelukan Hangat
198
Pecundang
199
Ibu Kandung
200
Keji
201
Ulang Tahun Ketujuh Belas
202
Hasrat Pemburu
203
Pembunuhan
204
Curiga
205
Serangan Gaib
206
Incaran Selanjutnya
207
Waspada
208
Sirep
209
Mencari Kelemahan
210
Undangan
211
Ancaman Serius
212
Fitnah
213
Wasiat Pak Risman
214
Beristirahatlah dengan Tenang
215
Muram
216
Alam Bawah Sadar
217
Celah
218
Menculik Tatang
219
Umpan
220
Sarang Iblis
221
Merebut Jiwa Tatang
222
Melarikan Diri
223
Menuju Tempat Lain
224
Menghela Napas Sejenak
225
Bersembunyi di Balik Senja
226
Dikepung Api
227
Menarik Iblis
228
Di Ambang Maut
229
Surga Asmaraloka
230
Visual 2

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!