"Mau ke mana kamu, Albi?" tanya Farah keluar dari kamarnya.
"Aku mau mengaji, Ma," jawab Albi tergesa-gesa masuk ke kamarnya.
Secepatnya Farah memegang tangan putranya sebelum masuk ke kamar. Ditatapnya Albi dengan kesal dan berkata, "Untuk apa kamu pergi mengaji? Memangnya kamu tidak lelah setelah les seharian?"
"Tidak, Ma. Justru aku semangat buat menuntut ilmu yang baru, apalagi kalau ketemu teman-teman baru."
"Ah, kamu ini. Nggak usah pergi mengaji dengan Atikah lah, nanti Mama ajarin setelah selesai mengurus data yayasan."
Dari ruang tamu, Hilman datang menghampiri mereka. Mendengar pembicaraan antara Farah dan Albi, pria itu merasa kesal. Dengan tergesa-gesa, ia berjalan dan mulai memotong pembicaraan.
"Apa? Albi mau mengaji? Apa salahnya dia mau pergi mengaji? Biarkan saja dia pergi, Farah," ujar Hilman.
"Tapi aku nggak suka kalau dia pergi sama Atikah," sungut Farah.
"Apa salahnya, sih, dia pergi mengaji sama Atikah?" tanya Hilman tak kalah jengkelnya, lalu menatap Albi. "Sudahlah, Albi. Kalau kamu mau pergi mengaji, pergilah. Papa doakan supaya kamu menjadi anak yang saleh."
"Beneran, Pa? Papa nggak marah kalau aku pergi mengaji?"
"Iya."
"Asyik!" Albi melompat kegirangan. "Kalau begitu, aku ganti baju dulu terus pergi mengaji."
Dengan terburu-buru, Albi masuk ke kamar untuk mengganti baju. Dipilihnya setelan baju koko yang pernah dipakai saat lebaran tahun lalu. Tak lupa, ia juga memakai peci dan membawa tas berisi satu buku tulis. Setelah siap, bocah laki-laki itu bergegas mendatangi Atikah yang sedang menunggu di luar.
Sementara itu, Hilman mengajak Farah ke kamar. Baginya, tak baik jika perdebatan karena masalah sepele sampai terdengar oleh orang-orang seisi rumah. Apalagi kalau sampai terdengar oleh Bi Reni. Bisa-bisa orang sekompleks tahu tentang masalah sepele di antara Hilman dan Farah.
"Papa ini, kok malah ngebelain Albi, sih? Papa 'kan tahu, kalau aku nggak suka kalau dia dekat-dekat dengan orang miskin," gerutu Farah sambil duduk di tepi kasur.
"Mau teman Albi miskin atau kaya, selama mereka membawa pengaruh positif, biarkan saja. Lagi pula, apa salahnya Albi belajar agama dengan Atikah dan teman-temannya?"
"Tapi, Pa. Kita itu beda kelas dari orang-orang miskin itu."
"Sudahlah, jangan bahas kelas sosial lagi! Siapa pun berhak mendapatkan pendidikan. Kamu tahu, kita selama ini belum pernah mengajarkan pendidikan agama pada Albi. Jangankan mengaji, salat pun tidak pernah."
"Tapi aku bisa ngajarin dia semampunya. Setidaknya aku juga pernah salat."
"Pernah salat, tapi itu sudah lama sekali," ucap Hilman ketus. "Sebaiknya Albi diajari oleh orang yang tepat dan memiliki ilmu yang lebih baik dari kita. Aku nggak mau, ya, kalau sampai Albi menjadi pemberontak gara-gara belajar agama."
Farah terdiam menatap sinis pada suaminya. Hilman yang sudah terlalu lelah mengurus pekerjaan di pabrik, mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi untuk menenangkan diri sejenak. Sikap Farah yang tidak berubah sejak kedatangan keluarga Pak Risman, membuat Hilman geram. Sulit mendapatkan ketenangan sepulang kerja, jika Farah terus mengomel sambil menjelek-jelekkan orang yang sudah membantunya mengurus rumah selama ini.
Di depan masjid, Atikah dan Albi bertemu dengan teman-temannya. Beberapa teman Atikah mulai berkenalan dengan putra dari Hilman. Sikap mereka yang ramah membuat Albi mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.
Sementara Albi berkumpul dengan beberapa teman laki-laki, Atikah menaruh tas di area madrasah. Intan dan Ani menghampirinya, lalu duduk di samping Atikah.
"Eh, Atikah. Dari tadi sore aku nggak lihat adikmu. Ke mana dia?" tanya Intan penasaran.
"Dia lagi sakit. Sejak dipotong rambut tadi pagi, Dek Sukma mendadak demam. Jadi istirahat dulu saja di rumah," jelas Atikah.
"Atikah, adikmu memang aneh, ya. Cuma dipotong rambut saja bisa jadi demam, dipotong kuku juga jarinya malah kaku. Sebenarnya dia itu kenapa?" tanya Ani mengernyitkan kening.
Atikah mengedikkan bahu dan berkata, "Aku juga nggak tahu. Tadi pagi Dek Sukma nangis-nangis pas dipotong rambut. Katanya serasa dijambak gitu rambutnya, padahal Ibu nggak menjambak sama sekali."
"Kok bisa gitu, ya?" tanya Intan heran.
"Selain itu adikmu juga suka teriak-teriak sendiri kalau lewat pohon asemnya Pak Pandu. Mukanya kayak ketakutan gitu," tutur Ani.
Di tengah pembicaraan mereka, Bu Rahma, guru yang mengajar anak-anak hari ini, datang ke area madrasah. Secara tidak sengaja wanita berkacamata itu mendengar percakapan ketiga gadis kecil yang sedang duduk-duduk itu. Tatapannya terarah pada Atikah, seolah-olah ingin menanyakan sesuatu.
"Kalian di sini rupanya. Sebaiknya wudu dulu, sebentar lagi azan magrib," tegur Bu Rahma, lalu menatap Atikah. "Oya, Atikah, kenapa Dek Sukma hari ini tidak mengaji?"
"Dek Sukma demam dari tadi pagi, Bu. Sejak dipotong rambut, badannya jadi panas. Tadi juga demamnya belum reda," jelas Atikah.
"Oh, begitu, ya. Sayang sekali. Padahal dia sudah mulai baca al-qur'an."
"Iya, Bu."
"Atikah, apa Sukma suka diajari membaca atau menghafal surat-surat pendek di rumah?"
"Iya, Bu. Ibu kami mengajari Dek Sukma setiap malam, tapi adikku kesulitan menghafalnya. Kalau membaca dan menulis huruf hijaiyah, dia sudah pandai."
"Begitu, ya. Sekarang kamu boleh pergi berwudu. Terima kasih atas infonya, ya."
"Sama-sama, Bu."
Azan magrib berkumandang, orang-orang mulai memasuki masjid untuk salat berjamaah. Albi yang belum bisa berwudu, ikut melihat gerakan wudu teman-temannya. Untuk saat ini ia hanya bisa meniru sambil berusaha belajar. Sementara Atikah dan kawan-kawannya duduk di barisan belakang makmum laki-laki. Setelah iqamat, mereka menunaikan salat Magrib.
Sementara itu di paviliun, keadaan Sukma mulai membaik saat ibunya membaca al-qur'an. Sesibuk-sibuknya Bu Inah bekerja, masih sempat membaca kitab suci. Sukma menatap ibunya sebentar, memperhatikannya baik-baik.
"Bu, ajarin aku ngaji lagi dong," pinta Sukma.
"Baiklah. Kita mulai dari surat Al-Fatihah, ya."
Sukma mengangguk. Kendati selalu kesulitan menghafal surat-surat pendek, ia tidak pernah menyerah untuk mempelajarinya. Bu Inah mendekati Sukma, lalu mengawali hafalannya dengan ta'awudz.
"Bu, kenapa harus pakai ta'awudz dulu, sih? Lidahku terasa kaku tiap baca itu," keluh Sukma dengan wajah memelas.
"Nggak apa-apa, dicoba dulu saja, Dek."
Sukma mulai melafalkan ta'awudz seperti yang diajarkan ibunya. Bibirnya yang mungil terlihat gemetar, lidahnya mendadak kelu. Sambil memejamkan matanya rapat-rapat, gadis kecil itu menghela napas dalam-dalam. Ketika siap memulai hafalannya, Sukma membuka mulutnya.
"A'uzubillah ... h-himi ... himinasy ... sy-syait ... ah, aku tetap nggak bisa, Bu."
"Dicoba lagi, Sayang. Ayo! A'uzubillahiminasysyaithonirrojiim."
Sukma mencobanya kembali, tapi lidahnya mendadak kelu. Kerongkongannya terasa kering, sehingga Bu Inah membawakannya air minum. Selesai minum, Sukma melafalkan ta'awuz lagi. Ia tak tahu bahwa mulutnya tidak diciptakan untuk melafalkan ayat-ayat kitab suci dan memuji nama Tuhan. Kendati demikian, Bu Inah selalu sabar membantu putrinya untuk keluar dari kesulitannya menghafal ayat-ayat al-qur'an.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Semoga bisa ya Sukma,biar gak jahat nanti nya😊
2024-04-03
0
Berdo'a saja
harus bisa Sukma
2023-05-08
0
Rendi Widiyanto Yahya
anak iblis yang berbeda
2022-03-05
0